Epilog

***
"Hahahahahaha! Bego amat lo, baru ketemu ngajak nikah!" Tawa Vino terdengar menggelegar dari seberang telepon.

Di tempatnya, Andra hanya bisa menggeram kesal. Andai Vino ada di hadapannya saat ini, Andra itu pasti sudah menghabisinya.

"Lo nggak ada kontaknya? Gue mau ketemu dia, mau minta maaf," ucap Andra setelah berkali-berkali menghela napas.

"Gue nggak punya kontaknya, tapi nanti gue tanya Zara deh. Soalnya dia yang ngundang anak-anak alumni SMA kita."

"Oke, nanti chat gue lagi aja," jawab Andra sebelum akhirnya menutup sambungan.

Sekali lagi, ia mengacak rambut sembari menghela napas. Entah bagaimana bisa hal yang pertama keluar dari mulutnya setelah sekian lama tidak bertemu Ila adalah mengajaknya menikah.

"Aaaarrgghh! Bego!" pekiknya kesal.

Sekilas, wajah Ila terbesit dalam ingatannya. Rambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai dan membingkai wajah tirusnya, serta riasan sederhana yang membuat wajah manis Ila semakin menawan. Andra benar-benar menyesal karena tidak sempat memotret Ila waktu itu.

Penampilan casual Ila yang biasanya, sudah berganti dengan penampilan sederhana nan anggun. Dan sungguh, Andra benar-benar sudah jatuh cinta lagi pada perempuan itu. Sepuluh tahun berlalu, meski banyak perempuan yang sempat mengisi kehidupan Andra, namun tak pernah ada yang mampu menggantikan posisi Ila di hatinya. Jadi begitu kembali bertemu lagi dengan Ila, hal pertama yang keluar dari mulutnya malah hal memalukan itu.

Namun, lagi-lagi adegan itu terulang dalam memorinya. Saat seorang pria dengan kemeja batik berwarna biru, tiba-tiba datang dan membawa Ila pergi begitu saja. Harusnya Andra sadar diri, bahwa baik dulu maupun sekarang, perasaan Ila memang tak pernah ada untuknya.

***

Entah sudah berapa kali Andra melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Kakinya juga terus bergerak naik-turun, Andra benar-benar gusar. Sudah hampir tiga puluh menit ia menunggu, namun Ila belum datang juga. Memang salahnya, karena datang terlalu awal.

Setelah mendapat kontak Ila dari Zara, Andra segera menghubungi perempuan itu. Untungnya, Ila tidak merespons buruk. Justru ia memang menantikan saat-saat Andra mencarinya. Bukan hanya Andra, Ila juga ingin sekali meluruskan apa yang terjadi dan menyelesaikan apa yang belum tuntas di antara mereka.

Tak lama, lonceng di pintu kafe sore itu berdenting. Menandakan seseorang yang baru saja masuk. Dan benar saja, seorang perempuan dengan balutan blouse panjang dan celana jeans yang membalut kaki jenjangnya membuat Andra terpana. Ila selalu sesederhana itu namun membuat Andra terpukau. Rambut hitam paniangnya, yang tempo hari dibiarkannya tergerai, kini dikuncir kuda dengan satu jepitan terselip di belakang telinganya.

"Hai, Ndra," sapa Ila begitu ia melihat Andra yang sedang menunggunya. "Udah lama nunggu? Maaf, tadi gue masih ada meeting."

"Nggak kok, gue juga baru datang," bohong Andra.

Ila hanya bisa terkekeh pelan. Sejak dulu, Andra memang paling tidak bisa berbohong. Dengan jelas, Ila bisa melihat dua cangkir kosong di hadapan Andra. Cowok itu benar-benar terlihat berbeda. Andra yang selalu acak-acakan, kini terlihat lebih rapi dengan kemeja biru donker yang digulung se-lengan dan rambut yang disisir rapi.

"Jadi...." Ila menggantungkan ucapannya, sengaja membiarkan Andra yang menjawab.

"Gue mau minta maaf soal... omongan gue waktu di nikahan Vino tempo hari," ucap Andra sambil tertunduk.

"Omongan yang mana?"

"Yang..., masa harus gue ulangin?" tanya Andra ragu.

"Yang mana, gue benar-benar lupa."

"La, ayo nikah. Yang–"

Belum sempat Andra melanjutkan ucapannya, Ila sudah memotong.

"Ayo!"

"HAH?!"

"Ayo nikah," ucap Ila sekali lagi, dengan senyuman yang tercetak di wajahnya.

Di tempatnya, Andra hanya bisa melongo. Sama sekali tidak percaya dengan apa yang Ila katakan. Perempuan itu benar-benar ajaib dan tidak bisa ditebak. Namun, memorinya seketika memutar ulang kembali adegan dimana Ila digandeng seorang pria. Adegan yang paling ingin Andra lupakan, tapi sangat sulit.

"Tapi... lo bukannya udah...." Andra menggantungkan ucapannya, seraya menatap Ila ragu.

"Udah apa?" tanya Ila dengan nada yang kelewat lembut. "Gue masih nungguin lo, Ndra. Selama ini gue hidup dalam harapan-harapan kalau suatu saat lo bakal datang lagi ke kehidupan gue dan menjadi seseorang yang berarti buat gue."

Ucapan Ila yang begitu lembut, seolah menikam Andra dengan ribuan belati. Rasa sesak seketika menghampirinya saat tatapannya bertemu dengan tatapan Ila yang seolah memancarkan kesedihan. Andra tidak pernah memikirkan bagaimana Ila dan apa yang dirasakan perempuan itu. Selama ini ia hanya memikirkan dirinya sendiri.

"Yang di kawinan Vino itu sepupu gue dari Surabaya. Sengaja gue ajak, karena gue lagi males nyetir," ucap Ila tiba-tiba yang sukses membuat Andra menatap lurus ke arahnya.

Ternyata, masih banyak hal yang belum ia ketahui tentang Ila. Masih banyak yang perlu ia ketahui dan masih banyak hal yang perlu ia bagi.

"Maafin gue, La. Selama ini gue pikir, lo adalah bagian terpenting dalam kehidupan gue. Tapi nyatanya gue salah, gue hanya mikirin diri gue sendiri. Gue terlalu egois."

"Kita mulai dari awal lagi, Ndra. Bagian baru kehidupan kita," ucap Ila pelan.

Andra mengangguk pelan, menatap senyum lembut Ila sembari menggenggam erat tangan perempuan itu. Dalam hati Andra berjanji untuk tidak pernah melepaskan genggamannya. Bagian barunya bersama Ila, baru akan dimulai.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top