4


Ternyata Steve masih memberi satu hari bonus bagi Berta, dia terbangun di pagi hari masih bersama Steve, matanya langsung berbinar, ia memeluk Steve yang terlihat memandang ke luar jendela, hari masih pagi. Steve menoleh ia rasakan dada Berta mengganjal di punggungnya.

"Satria terima, kasih kau tak meninggalkan aku, biasanya aku bangun selalu tak ada kau di sampingku, aku mencintaimu Satri, kita ... eeem maksudku bisa kan kita serius, kita bicara tentang kita?"

Steve berbalik, ia melihat wanita yang ia anggap menjijikkan masih tanpa baju kembali memeluknya. Dada besar itu menekan tubuhnya.

"Maksudmu?"

"Aku ingin kita menikah atau tak usah menikah tapi aku ingin punya anak darimu."

"Hmmmm, ikut aku ke apartemen." Wajah Steve terlihat datar.

Mata Berta berbinar, ia mengangguk dengan cepat, segera memakai baju dan mengikuti langkah Steve.

Sesampai di apartemen yang sebenarnya bukan milik Steve, dia hanya menyewa dua hari. Kembali mereka mengulang aktivitas liar berulang, apartemen itu menjadi saksi bagaimana kebahagiaan dan kenikmatan berulang Berta rasakan, ia benar-benar merasakan lawan yang seimbang, Berta merasa bahagia, semakin memantapkan dirinya untuk segera serius menikah dengan Steve, kalau pun tidak menikah setidaknya ia punya anak dengan Steve.

Sedang Steve menggunakan waktu dua hari untuk memuaskan dahaganya karena pada hari ketiga ia akan meninggalkan tempat yang banyak memberinya kenangan pahit, untuk kembali melanjutkan pengabdiannya di daerah terpencil sebagai dokter yang dibutuhkan oleh banyak warga.

Hari terakhir, hari kedua Steve membiarkan Berta memanjakannya, melayaninya dengan berbagai makanan, hingga mengulang sesi ke sekian dan kesekian di setiap sudut apartemen itu. Saat akan pulang Berta mendekap Steve.

"Satria, besok kita ketemu lagi ya, di sini."

Steve tersenyum dengan wajah murung, tanpa menganggukkan kepala lalu melihat wanita yang selama dua hari telah ia jadikan pelampiasan kemarahan dan kerinduan pada Laksmi. Sebelum melewati pintu Berta menoleh lagi.

"Satria, aku sebenarnya penasaran, siapa Laksmi yang selalu kau sebut saat kita bercinta tapi aku rasa aku tak perlu tahu, yang penting kita sama-sama terpuaskan."

Steve tak menyahut ia hanya menarik sedikit bibirnya ke samping lalu Berta melanjutkan langkah menuju lift dan menghilang.

Steve segera meninggalkan apartemen itu dan akan segera berkemas untuk keesokan harinya benar-benar menghilang dari kehidupan Laksmi. Berusaha menata diri di tempat baru nanti.

.
.
.

Sebulan sudah pencarian Berta pada sosok Satria, ia sampai stres karena tak bisa menemukan orang yang ia cintai. Laksmi berulang menenangkan Berta yang terus histeris. Hingga Laksmi harus memberinya obat penenang agar Berta tak selalu menjerit-jerit.

"Bagaimana ini Laksmi? Apa yang harus aku lakukan?" Gayatri terlihat cemas.

"Tante sabar ya biar saya yang akan mendampingi Berta karena kondisinya rentan dan depresi saya khawatir Berta akan keguguran."

Mata Gayatri terbelalak.

"Apa katamu? Apa dia hamil?"

"Yah, dia hamil Tante, masih sangat muda baru empat Minggu, jadi nanti saat ia sudah bisa ditenangkan akan saya ajak bicara, kasihan janinnya."

Gayatri memegang dadanya.

"Bertaaaa Berta, lalu siapa laki-laki yang telah membuatnya hamil?"

"Ia selalu memanggil-manggil nama Satria Tante, entah itu siapa."

Gayatri menggeleng-gelengkan kepalanya matanya mulai berkaca-kaca, siapa yang telah menghamili Berta? Sejak awal Gayatri sudah mengingatkan Berta, ini yang ia khawatirkan. Berta hamil dan entah siapa yang menghamilinya.

"Tante sabar ya, akan saya bantu menenangkan Berta dan akan mencari tahu siapa laki-laki yang telah membuatnya hamil, saat dia agak tenang nanti akan saya tanya siapa Satria itu, hanya saya yakin ya Satria itulah papa dari janin Berta."

"Iya, bantu kami Berta, Tante tak tahu harus minta bantuan pada siapa lagi, hanya kau yang bisa membantu, kau sudah seperti anak sendiri bagi Tante."

Satu jam kemudian Berta mulai membuka mata dan mulai berteriak-teriak lagi, Laksmi memeluk Berta berusaha menenangkan wanita yang terus berteriak sambil menangis.

"Tenang Berta Sayang, tenangkan dirimu, kita cari bersama, aku yakin laki-laki itu ada hanya dia mungkin masih ada kepentingan, kita cari ke mana biasanya dia nongkrong."

Berta memeluk Laksmi sambil terus meraung.

"Aku tahu apartemennya tapi saat aku ke sana ternyata itu hanya apartemen sewaan, rasanya tak mungkin jika dia membohongiku, karena saat terakhir dia malah manis padaku seolah memberiku harapan, aku sudah siap menjadi istrinya, Laksmi, aku hanya mau dia, aku hanya mau Satriaku."

Tangis Berta pecah lagi, Laksmi memeluk semakin erat. Mengusap Punggung sahabatnya supaya merasa tenang dan nyaman hingga akhirnya Berta tertidur.

Laksmi menatap wajah sembab Berta sambil berpikir, siapa laki-laki yang bernama Satria itu?

Tak lama datang laki-laki yang jika dilihat dari wajahnya ia masih sangat belia, bertubuh tinggi dengan warna kulit kecoklatan dan otot yang liat terlihat dari kaos yang ia gunakan seolah sesak dan tak muat ditubuhnya.

"Maaf, saya disuru Ibu sepuh untuk menemani Ibu Berta, soalnya kasihan Bu Dokter takut kecapean katanya, maaf baru kali ini saya bisa ke sini." Laksmi mengangguk dan mulai bertanya.

"Kamu siapa?"

"Saya?"

"Loh, ya iya kamu lah."

"Eh, saya Muhammad Afan Rudyanto, rumah saya juauh dari rumah Ibu Sepuh, masuk-masuk ke gang sempit gitu, dan saya ..."

"Haduh haduh maksudku kamu itu sopirnya apa apanya gitu loh." Laksmi menahan tawa tapi ia gemas juga melihat wajah tampan, belia juga masih terlihat lugu.

"Oh gitu, saya sopir kantor sekaligus orang kepercayaan Ibu sepuh."

"Oh ok ok, aku pulang dulu ya Afan, jagain Berta ya?"

"Iya Bu Dokter."

Laksmi sekali lagi melihat kondisi Berta memastikan semuanya baik-baik saja. Lalu menoleh menatap Afan.

"Kalau ada apa-apa yang terjadi pada Ibu Berta kamu tekan ini ya tombol merah, nanti akan ada perawat yang ke sini."

"Oh iya Bu Dokter."

"Tolong jaga ya Afan."

"Pasti Bu."

Afan duduk di kursi yang ada di dekat brangkar Berta. Ia lihat anak majikannya yang tertidur pulas, Afan pun menyandarkan badannya pada kursi dan mulai mengeluarkan ponselnya, sambil melihat pesan masuk lalu senyam-senyum sendiri.

"Satriaaa ... kamu ... di mana?"

Rintihan suara Berta mulai terdengar dan Afan segera duduk tegak, memasukkan ponsel ke sakunya lalu berdiri dan melangkah lebih dekat ke arah Berta. Tangis Berta mulai terdengar. Afan menyentuh pelan  lengan Berta, ia hanya bermaksud menenangkan Berta tapi reaksi Berta sungguh mengejutkan Afan. Berta menarik tangan Afan dan memeluk lengan kekar itu.

"Satriaaa ... Satriaaa kamu jangan pergi lagi, peluk aku Satriaaa ... peluk akuuu." Tangis Berta pecah, ia meraung lagi dengan keras, ia dekap lengan Afan sambil berurai air mata sementara Afan terlihat bingung, namun cengkeraman tangan Berta di lengannya semakin erat. Dengan ragu Afan memeluk Berta yang langsung dibalas Berta dengan dekapan erat. Dalam kebingungannya tangan Afan bergerak menekan tombol berwarna merah hingga tak lama perawat datang.

"Kenapa Mas? Bu Berta berteriak-teriak lagi?"

Afan menggeleng dengan wajah memerah karena malu dan canggung karena seumur-umur baru kali ini ia didekap dan mendekap wanita.

"Anu Bu, ini nangis terus, dan manggil Satria, lah saya Afan bukan Satria."

Perawat yang berdiri di dekat Afan dan Berta menghela napas.

"Mas kalo cuman nangis mah gak papa, ini dari kemarin-kemarin teriak-teriak terus manggil Satria, saya juga gak tahu siapa Satria, yaudah Mas sabar aja kalo dianggap Satria, kan Mas yang jaga dari pihak keluarganya kan? Paling nggak Ibu ini nggak ngamuk-ngamuk lagi."

"Iyaaa, tapi ... tapi saya jadi gimana ini Bu, dia peluk saya erat banget, ini mana nangis terus."

"Nggak papa Mas, suru sabar aja, nasehati gitu."

"Tapi saya ... saya jadi agak gak enak Bu."

"Lah kenapa?"

"Ini Ibu Berta kayaknya gak pake apa-apa ya dibalik baju pasien? Dadanya nempel ke dada saya dan saya jadi deg-degan."

"Yaela Maaas, duuuh Mas iniii." Perawat itu tak dapat menahan tawanya lagi.

🔥🔥🔥

4 Juli 2021 (20.06)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top