10


"Kak Berta sudah pulang?"

Berta berjalan dituntun oleh Afan, Afan tersenyum dan mengangguk pada Bram, Berta diam saja terus saja berjalan ke kamarnya tanpa menyapa pada Bram dan ibunya yang duduk di ruang makan.

"Ibu tiduran ya? Biar saya panggilkan pembantu biar menemani Ibu kalo ada apa-apa, saya kepikiran juga kalo ibu nggak ada teman."

"Nggak papa Fan, aku sudah kuat kok,  pulanglah, nanti kalo ada apa-apa, aku telepon kamu, dan biar kamu aja yang jadi sopir pribadi aku."

"Oh iya iya Bu, saya pulang dulu ya."

Berta menatap punggung kekar Afan yang menghilang di balik pintu, entah karena selama sakit hanya Afan yang setia di dekatnya lama-lama Berta merasa jika hanya Afan yang tahu apa yang ia inginkan.

Mata Berta penuh air mata lagi, ia usap perutnya ingatannya kembali pada janin yang telah hilang dan wajah Satria yang entah ada di mana saat ini. Laki-laki yang untuk pertama kalinya bisa membuatnya jatuh cinta dan ingin menikah sekaligus laki-laki pertama yang mengempaskan cintanya.

"Aku tak tahu apakah kau hanya ingin melintas atau apa dalam hidupku, setelah semua pengakuanku kau tetap saja menghilang hanya aku yakin suatu saat kau akan hadir lagi meski entah itu kapan."

Pintu terbuka dan muncul wajah ibunya, Berta tak peduli, ia segera merebahkan diri dan memunggungi ibunya yang berjalan mendekat.

"Kau pulang? Maaf jika ibu dan Bram tak selalu ada di dekatmu karena perusahaan yang harus segera kami urus, Bram yang menggantikanku lalu yang kau pegang saat ini kita kelola berdua."

Berta masih saja diam, ia terlalu lelah, setelah semua jerih payahnya untuk membesarkan perusahaan seolah semua tak ada artinya. Lelah, pasti dan kini ia diabaikan saat sakit.

"Aku tahu kau marah pada ibu, tapi ibu dan Bram juga tidak santai di rumah tapi waktu kami lebih banyak di perusahaan."

"Aku ingin sendiri."

"Kau harusnya berpikir, bahwa kami bukan tidak peduli padamu tapi kami tak punya waktu untuk hal-hal yang tak penting dalam hidup."

Berbalik dengan wajah marah, Berta bangkit dan duduk di tepi ranjang.

"Oh jadi seandainya aku mati pun tetap tak penting?"

"Bukan begitu, kau kan begini hanya karena seorang laki-laki? Kau sampai hamil di luar nikah apa itu masalah penting? Jika kau wanita terhormat harusnya cari laki-laki yang yang sepadan, menikah dan punya anak, bukan tiap malam memberikan tubuhmu pada tiap laki-laki semua menjamah tubuhmu lalu hamil hingga tak jelas laki-lakinya dan janin yang luruh itu tak jelas siapa bapaknya karena terlalu banyak yang nyumbang, apa itu masalah penting?"

"Buu! Aku semua seperti ini karena ibu dan bapak yang lebih berpikir tentang Bram, sejak dulu aku diabaikan hingga sejak remaja aku mencari kepuasan dengan banyak laki-laki yang bisa memanjakanku dengan cara yang lain. Lalu saat sakit apa ada yang peduli? Setelah semua yang aku lakukan pada perusahaan keluarga, hingga aku berpikir lebih baik aku mati saja."

"Heh kau pikir hanya kamu yang merasa seperti itu, ibumu ini tak pernah mendapat perhatian dari almarhum bapakmu, apakah ibu menyerah? Tidak karena hidup terlalu indah, sayang hidup disia-siakan untuk hal tak penting apalagi masalah cinta."

"Aku manusia Bu, makanya masih ada rasa cinta, ibu justru yang bukan manusia karena selalu membeda-bedakan anak dan rasa cinta yang mungkin tak pernah ibu rasakan berbalas seumur hidup Ibu."

Gayatri segera keluar dari kamar Berta dengan perasaan marah. Ingin rasanya ia caci maki Berta yang ia anggap terlalu lancang dan tak sopan padanya.

"Ada apa Ibu?" Pertanyaan Bram ia acuhkan hanya air mata yang hampir tumpah ia tahan.

Bram menuju kamar Berta dan menemukan kakaknya yang baru saja berbaring.

"Kak, maaf jika aku tak kembali ke rumah sakit lagi, terlalu banyak yang harus aku pelajari di perusahaan hingga kadang sampai malam aku baru pulang karena mulai hari ini secara resmi aku sudah menggantikan ibu, bukan aku mau mengabaikan tapi ibu menuntut aku harus mencapai pencapaian yang sama sepertinya dan itu aku rasa sulit."

Berta tetap tak berbalik, ia tahu Bram tak bisa disalahkan, ia hanya merasa kesepian dan tak punya siapa-siapa.

"Nggak papa Bram, aku hanya merasa sendiri saja, saat menderita seperti itu, hanya seorang sopir yang menemani aku siang dan malam, bahkan saat sekarangpun dia yang ada di sampingku bukan keluargaku bahkan aku berpikir, mungkin hanya Afan yang terus akan peduli padaku, tadi saja dia bingung dan cemas mau meninggalkan aku, tapi aku paksa pulang sedang aku dan ibu aku yakin tak akan sampai berpikir ke sana."

"Maafkan aku, biar aku yang jaga kakak jika aku tak ke kantor, kakak mau apa? Ingin apa?"

"Nggak usah Bram aku yakin ibu akan lebih butuh kamu, dia akan terus manggil kamu, kau nggak akan bisa apa-apa jika ibu sudah memerintah, harus dan tidak boleh ada kata tidak."

"Yah itulah ibu kita yang mau tak mau harus tetap kita hormati, kadang tidak masuk akal juga sarannya, kakak tahu jika ibu tetap ingin aku dengan Laksmi? Ini mulai lagi, nyuru aku nikah sama Laksmi sementara aku sudah tak bisa dialihkan dengan Meli."

Dan Berta berbalik, ia menatap wajah adiknya yang terlihat resah.

"Untuk hal yang satu itu aku lebih setuju ibu, carilah wanita yang sederajat Bram biar kamu nggak kesulitan, apa yang kau lihat pada wanita itu, dia tak bisa masuk ke kalangan kita, kau tak ingat saat kau ajak dia ke rumah dan kita makan bersama? Dia bingung Bram, hal sepele yang bisa bikin kamu malu saat dia harus mendampingimu sebagai seorang pimpinan perusahaan besar, kau adikku satu-satunya, aku tak ingin kau mengalami nasib seperti aku yang seolah selalu dipermainkan takdir jika berurusan dengan cinta."

"Aku hanya mencintai Meli kak, tak ada yang lain."

"Tapi ingat Bram kekuatan Ibu dan kepatuhanmu pada ibu akan menghalangi jalan mu bahagia dengan pilihanmu."

"Itu juga yang meresahkan aku Kak, kita sama-sama tahu bagaimana karakter ibu kita, jika tidak ya tetap tidak meski kebahagiaan anak yang jadi taruhannya."

"Nah kau tahu itu, lebih baik kau menghindari itu sejak awal."

"Tapi kak ..."

"Tidak ada tapi untuk ibu, Bram."

.
.
.

"Kak Ayumi!?"

Steve kaget saat ia tiba di kontrakan, Ayumi berdiri di depan pintu, matanya sembab seolah habis menangis.

"Ada apa? Mengapa kakak ke sini lagi? Aku tak akan melayani apapun yang kakak mau."

"Frans punya yang lain Steve, makanya ia semakin malam bahkan tidak pulang, antarkan aku ke puskesmas tempat dia dinas."

"Tak mungkin, kata siapa?"

"Pokoknya antarkan aku sekarang agar kau percaya, instingku sebagai istri yang mengatakan itu juga perubahan dia dan ada banyak hal yang bisa aku jadikan pertanda."

14 Februari 2022 (05.32)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top