06 : Baby Step
Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
15+
.
.
Mulmed : Serenade - Uru
.
.
NHL
🍁🍁🍁🍁
Obsidian itu menatap dengan gejolak emosi yang sulit dipahami, bahkan oleh si pemilik netra sendiri. Memperhatikan Naruto yang memeluk Hinata di ruang UKS dengan begitu posesif. Sai senang bila keberadaan gadis itu memang bisa mendatangkan petunjuk perihal kutukan Naruto. Tapi khawatir, bila keduanya melibatkan terlalu banyak emosi dalam prosesnya. Sai sangat tahu rasanya berharap tinggi lalu dihancurkan oleh kenyataan. Bagaimana jika suatu saat Hinata jatuh hati, pada Naruto yang masih menyukai Sakura? Naruto memang tak pernah terbuka mengenai perasaannya, Sai pun tidak tahu pasti soal hati pemuda itu, tapi diamnya Naruto justru membuatnya berspekulasi.
'Kenapa aku mesti peduli? Bukan urusan ku.'
Berulang kali kalimat itu melintasi benak Sai. Naruto adalah sahabatnya dari kecil, saudaranya, penyelamatnya, sebuah keharusan bagi Sai untuk lebih memikirkan soal kebaikan Naruto diatas segalanya. Sedang Hinata bukan siapa-siapa. Mestinya Sai abai soal Hinata asal mereka bisa mendapatkan titik terang mengenai kutukan Naruto. Toh selama ini, Sai sangat apatis pada hal-hal diluar tanggung jawabnya menjaga Uzumaki Naruto, berkat sang ayah selalu mendoktrinnya untuk mengutamakan keselamatan Naruto diatas segalanya.
Sai tak punya dunianya sendiri, karena waktunya selalu berputar mengikuti Naruto. Satu-satunya kebebasan yang Sai punya hanyalah ketika ia menjadi petugas perpustakaan, dimana ia bisa menghabiskan waktu bersama buku-buku kesukaannya. Di sana, Sai kerap kali sadar betapa kosong hidupnya. Semua yang ia miliki berasal dari Naruto, keluarga angkat, bahkan teman. Semua temannya adalah teman yang ia kenal dari Naruto, dan tanpa ada Naruto disekitarnya teman-teman itupun ikut hilang. Sampai Hinata datang, mereka menghabiskan sepi bersama tanpa saling mengusik. Sai mulai menaruh perhatian pada gadis itu semenjak Hinata secara diam-diam membantunya menata buku yang diacak-acak oleh siswa tak bertanggung jawab. Sai akui, meski tanpa adanya obrolan serius, keberadaan Hinata sedikit menghilangkan rasa sepi dihatinya. Sayang Sai terlalu skeptis untuk memulai suatu hubungan, banyak hal yang ia takutkan, apalagi ketika rumor buruk soal Hinata makin menggila. Dan ditengah keraguannya itu, Naruto sudah mengambil langkah lebih dulu mendekati Hinata.
"Jangan gila, Sai! Cukup pikirkan soal kutukan Naruto!" Gumam Sai marah pada dirinya sendiri. Toh tidak akan ada yang dirugikan jika Naruto dan Hinata dekat. Naruto bisa mendapat petunjuk mengenai kutukan, Hinata juga mendapat teman. Naruto orang baik, tak mungkin ia menyakiti Hinata. Rumor soal kepribadian Hinata yang berbahaya juga tidak terbukti. Kenapa jadi dia yang uring-uringan?
Sai melangkah gusar, ini semua tidak benar. Semua emosi yang ia rasa makin mirip dengan rasa cemburu. Seperti saat ia melihat Naruto yang disayang oleh sang ibu, saat ia melihat Naruto dikelilingi banyak teman tak sepertinya, Sai merasakan sakit yang sama ketika melihat Naruto bisa dekat dengan Hinata yang sejak dulu hanya bisa Sai perhatikan dari jauh.
"Sai?" Sakura yang baru datang untuk ikut menjenguk Hinata di UKS terheran-heran melihat Sai yang hanya diam di depan pintu lalu melangkah pergi. Mengurangkan niat awalnya, Sakura memilih mengikuti Sai.
.
.
.
.
Hinata tetap mengikuti langkah Naruto meski rasa takut dan khawatir terus memenuhi kepalanya sejak tadi. Tidak tahu kenapa, setelah percakapan mereka di ruang UKS, tiba-tiba saja Naruto mengajak Hinata ke hutan belakang sekolah. Bukan hanya sekedar di tepi terluarnya seperti biasanya, tapi benar-benar masuk sampai ke dalam. Jika tahu akan diajak ke tempat seperti ini, Hinata akan lebih memilih ikut Naruto menghadiri rapat OSIS.
"Naruto-kun, kenapa kita kemari?" Hinata, adalah gadis pemberani sebenarnya. Ia hanya tidak suka tempat gelap dan sepi, yang akan membuatnya mengingat hari-hari buruk ketika Hiashi mengurungnya di kamar kosong supaya tidak menggangu Shina. Dan hutan ini punya keduanya, gelap, sepi.
"Takut ya?" Sebenarnya sekarang, Uzumaki Naruto hanya bergaya sok keren dengan menggoda Hinata. Kenyataannya, pemuda yang mudah menjerit hanya karena serangga dan cerita hantu itu jauh lebih ketakutan dari pada Hinata. Tangannya yang digunakan untuk menggenggam tangan Hinata, bahkan sudah sangat basah seperti baru dicelup ke air es. Tapi ia pantang menyerah, sebelum tujuannya tercapai. "Tahan sebentar lagi, ya? Ayo jalan sedikit lagi dan semua akan baik-baik saja. Hinata percaya padaku 'kan?"
"Naruto-kun, kau tidak punya riwayat sakit jantung 'kan?"
"Huh?"
Hinata mengangkat tangan mereka yang saling bertautan tepat ke depan wajah Naruto, dan pemuda itu hanya tertawa kikuk. Hinata cukup peka untuk memahami, kalau Naruto juga melawan takut sepertinya. Namun tak lama, perasaan takut itu berubah menjadi rasa kagum ketika keduanya berhasil melewati barisan pepohonan rimbun, dan menemukan tanah lapang yang ditumbuhi banyak sekali bunga liar.
Amethyst Hinata membola, sama sekali tidak mengira kalau di dalam hutan kecil yang seram itu, terdapat tempat yang luar biasa mengagumkan. Bunga-bunga disana tampak berkilau cantik ditimpa cahaya matahari yang mengintip dari celah dedaunan. Angin yang berhembus menjadi satu-satunya suara yang mengalun lembut di telinga. Hinata memejamkan matanya singkat, lantas menghirup napas dalam-dalam. Aroma embun, kayu yang sudah lapuk, rerumputan dan bunga yang basah, memberi ketenangan yang membuat Hinata sejenak lupa segala masalah. Ketika kelopak matanya kembali terbuka, sebuah senyum yang silaunya mengalahkan sinar matahari menyambutnya. Entah sejak kapan, pemuda bermarga Uzumaki itu telah mengikis jarak diantara mereka. Hingga tatapan Hinata terkunci pada samudra biru yang menghiasi paras Naruto.
"Tempat ini, tidak seseram bayangan mu 'kan?" Naruto merasa sangat lega, ketika Hinata terlihat menyukai tempat itu. Kelopak matanya berkedip lucu kala seekor kupu-kupu dengan usil hinggap ke hidung mungilnya lalu terbang begitu saja menuju bunga-bunga. Mungkin, kupu-kupu tadi salah paham, mengira kalau gadis cantik yang berdiri di dekat Naruto sekarang adalah setangkai bunga.
"Bagaimana kau tahu ada tempat seperti ini di tengah hutan?"
"Anak-anak klub renang pernah melakukan uji nyali disini, untuk acara penyambutan anak baru kalau tidak salah. Karena takut, aku berlari sampai masuk terlalu dalam ke hutan." Naruto mulai bercerita, dan Hinata dengan tenang menyimak. "Aku tak berhenti mengumpat, karena saat itu malam hari jadi segalanya terlihat lebih menyeramkan. Lalu aku sampai disini. Tidak terlalu banyak pohon tinggi di area ini, jadi aku bisa melihat langsung bulan dan bintang di atas langit. Kau tahu, justru karena tempatnya gelap dan menakutkan, malam itu bulan bintang terlihat jauh lebih cantik dari biasanya."
Naruto kembali menarik tangan Hinata, mengajaknya duduk beralaskan rerumputan dibawah pohon rindang. "Hal yang kita kira sangat menakutkan, mungkin saja jika kita tidak kabur dan terus menghadapinya, diujung kita akan menemukan keberuntungan yang tidak diduga-duga."
Hinata mengerti sekarang, alasan Naruto tiba-tiba mengajaknya kemari. Tadi, Hinata menolak ketika Naruto mengajaknya pergi menghadiri rapat dengan OSIS. Alasannya takut, ia merasa tak pantas berada di tempat seperti itu sampai berpikir akan mundur dari posisinya sebagai perwakilan kelas.
"Aku, pernah cerita kalau aku sangat ingin jadi atlet renang profesional 'kan? Salah satu mimpiku adalah memenangkan medali emas sebelum lulus SMA. Tapi, belum lama ini aku mengundurkan diri dari klub."
Hinata menoleh saat genggaman tangan Naruto dirasa makin kuat. Ada getaran samar disana. "Kenapa?"
"Ada satu alasan, yang membuat ku benar-benar tidak bisa berenang." Naruto tidak menjelaskan alasannya dengan jelas. Dia tidak sanggup. "Dulu, aku kadang malas-malasan latihan. Aku takut duluan sebelum ikut turnamen, takut menghadapi pelatih yang galak, dan senior yang kelewat seenaknya. Usahaku meraih gelar juara jadi tak optimal. Sekarang aku sangat menyesali hari-hari itu. Harusnya aku lebih berusaha lagi ketika ada kesempatan."
"Naruto-kun..." Melihat wajah yang biasanya cerah itu muram, Hinata merasa khawatir. Dia kembali mengingat momen ketika mereka masih duduk di bangku kelas dua. Saat seantero sekolah heboh karena Naruto dinyatakan mundur dari turnamen dengan alasan cidera. "Apa kau baik-baik saja?"
"Hinata, menyesal itu rasanya sakit sekali. Aku tidak mau kau merasakannya, tidak mau kau jadi seperti ku." Entah sejak kapan, kepala Naruto sudah terbaring nyaman diatas pangkuan Hinata. Semua terjadi begitu natural hingga keduanya sama sekali tak merasakan canggung. "Mungkin, sekarang kau sedang diberi kesempatan untuk memberitahu kalau Hyuuga Hinata tidak seperti yang mereka kira. Tolong dicoba dulu, ya? Prosesnya, bisa jadi akan sangat menyakitkan, tapi kau bisa istirahat kapanpun kau merasa lelah, kau boleh mengadu padaku dan aku akan mendengar semua keluh kesah mu."
"Iya. Kali ini, aku akan mencoba."
Ketika Naruto sadar akan segala tindakannya yang dengan sangat berani berbaring dipangkuan Hinata, jantungnya bergemuruh hebat. Sesaat, Naruto seperti menjadi orang lain. Semua rasa malunya hilang, digantikan dengan rasa nyaman seolah dia dan Hinata adalah dua sejoli yang sudah lama mengenal satu sama lain. Mungkin karena sekarang mereka sedang berada di padang bunga, yang mengingatkan Naruto akan bagian dari mimpinya. Dimana Menma dan Hime biasa menghabiskan waktu berdua, berlarian di tengah padang bunga lalu terjatuh dengan posisi saling memeluk. Naruto bahkan sudah membayangkan, sehangat apa rasanya pelukan Hinata?
Menepis segala imajinasinya, Naruto berniat bangun dan menjauh sebelum Hinata merasa tak nyaman. Namun tangan gadis itu justru mengusap surai pirangnya dengan lembut, telaten membersihkan sebuah daun kering yang entah sejak kapan terselip disana. "Terimakasih Naruto-kun.."
"Y-ya?" Astaga, wajah Hinata dekat sekali. Naruto tatap singkat bibir plum yang biasa menciumnya ketika menjadi rubah itu. Dadanya mendadak sakit. "Ahaha... Harusnya aku yang berterimakasih. Karena Hinata mau mendengarkan saran ku, padahal aku-"
"Naruto-kun, kau tahu... Sebenarnya sejak kelas satu, aku sudah banyak memperhatikan mu. Menurut ku, kau sudah berjuang dengan baik. Kau yang bisa membawa pulang medali perak hari itu, terlihat sangat keren." Hinata segera memotong kalimat Naruto begitu ia sadar kemana arah pembicaraan pemuda itu. Kendati Naruto dikenal sebagai pribadi cerah yang penuh percaya diri, pada akhirnya dia tetaplah seorang remaja yang punya banyak keraguan pada dirinya sendiri. Seperti manusia pada umumnya, Naruto juga bisa merasa rendah diri sesekali. Dan Hinata ingin sekedar berikan validasi untuk kurangi cemas Naruto, untuk mengingatkan kalau Naruto adalah pribadi yang mengagumkan terlepas dari segala kekurangannya.
"Aku hanya juara dua.."
"Memang kenapa? Bukankah usahamu juga tak kalah keras dari si juara satu?" Naruto terkekeh saat Hinata memencet pelan hidungnya. "Jadi, jangan terlalu disesali, ya? Kecewanya jadikan motivasi saja, jangan jadi luka yang berlarut-larut. Nanti, kalau kesempatan lain datang padamu, aku akan mendukung mu di barisan paling depan."
"Oke. Ayo sama-sama berjuang, ayo belajar kurangi rasa takut mulai sekarang." Naruto tidak mengerti, yang ia rasakan sekarang ini, perasaan siapa? Perasaan Menma pada Hime yang mempengaruhi alam bawah sadarnya, atau rasanya sendiri?
Ketika mereka tertawa bersama, rasanya seolah angin laut yang hangat menerpanya dengan kuat. Tubuhnya bagai dibawa melayang entah kemana. Memberikan rasa seringan bulu yang bebas, juga menggelitik disaat yang sama. Apa benar dia jatuh cinta lagi? Kata Sai, belakangan ini ia terlihat seperti saat dirinya jatuh hati pada Sakura dulu.
Tapi Naruto rasa, kali ini jauh lebih gawat. Jika dulu Naruto bisa melepas cinta pertamanya dengan alasan, tak ingin membuatnya kesulitan. Kali ini, Naruto rasa ia tak bisa melupakan Hinata dengan alasan apapun. Bahkan muncul harapan dalam hatinya, kalau Hinata akan menerima segala tentang dirinya, termasuk kutukan sialannya.
Oh, mungkin kutukannya tidak seburuk itu. Karena jika Naruto tidak menjadi rubah saat hujan kala itu, dia tidak akan menemukan bintang dihadapannya sekarang, Hyuuga Hinata.
"Wah, yang disana itu bunga apa? Warnanya mirip mata mu." Panik dengan rasa malunya, Naruto berakhir membuang mata ke sembarang arah dan mengalihkan pembicaraan mereka.
"Oh, kalau yang itu namanya hydragea. Bunga yang bermekaran saat musim hujan." Hinata menjawab pelan, sekeping memori tentang ayah tiba-tiba muncul di kepalanya. "Dulu, ayah selalu mengajak ku keluar ketika gerimis, kami pergi melihat bunga itu bersama."
"Kau rindu?"
Hinata menggeleng. Keduanya saling terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Hinata sebenarnya rindu. Ia ingin kembali mengulang momen indah disaat ia dan ayah yang sama-sama menyukai hujan, akan menghabiskan waktu bersama tiap gerimis menyapa dunia. Tapi apa mungkin? Ayah membencinya sekarang, dan entah sejak kapan hujan menjadi sangat menakutkan bagi Hinata. Sampai ia kerap berlari mencari tempat bersembunyi ketika hujan tiba-tiba mengguyur bumi.
Naruto tahu bahwa sesungguhnya Hinata rindu. Tapi apa ia bisa menjadi seseorang yang mengobati rindu itu? Sedang dirinya hanyalah seseorang yang harus bersembunyi tiap kali hujan turun.
Apa mungkin, suatu saat nanti mereka bisa berjalan dibawah satu payung yang sama sembari menikmati hujan tanpa adanya rasa takut?
Begitu banyak ragu yang muncul ditengah diamnya dua remaja itu, namun hari ini mereka sama-sama sudah bulatkan tekat untuk coba berhenti takut. Dimulai dari langkah kecil, dan semoga suatu saat mereka mampu berlari jemput bahagianya masing-masing.
"Hinata."
"Hm?"
"Karena janji lama kita untuk bertemu kembali sudah terpenuhi, ayo buat janji dan harapan baru."
Hinata terus memperhatikan, bagaimana tangan besar Naruto bersentuhan dengan tangannya hingga jemari mereka saling bertaut.
"Let's spend every second of our youth happily, and create a new happy moment."
🍁🍁🍁🍁
"Hinata, kau baik-baik saja?"
Begitu kembali masuk ke kelas, Hinata langsung disambut oleh pertanyaan dari Sakura. Emerald gadis itu melihatnya dari atas sampai bawah. Bukan cuma itu, beberapa teman perempuan Sakura juga ikut mengerubunginya.
"Mana mungkin baik? Dia baru dilecehkan oleh si Deidara kan'!" Gadis bersurai blonde mirip Naruto, yang setahu Hinata bernama Yamanaka Ino itu meraih pundak Hinata, lalu memutar tubuhnya beberapa kali.
"Heh! Mulutmu tidak bisa difilter sedikit?" Sakura menimpali tidak terima karena Ino tiba-tiba menariknya mundur dan mendekati Hinata. "Kau membuat Hinata takut, dasar bodoh!"
"Maaf, dua orang bodoh itu pasti membuat mu bingung ya?" Tenten, yang paling berkepala dingin dibandingkan Ino dan Sakura pun memutuskan mengambil alih. "Kebanyakan teman sekelas melihat kejadian di tangga tadi pagi."
"Ma-maaf... Aku tidak bermaksud membuat keributan. Aku benar-benar tidak sengaja mendorong orang itu. Aku hanya terkejut karena dia-"
"Iya, kami tahu." Senyuman Tenten membuat Hinata kembali tenang. "Awalnya banyak yang salah paham dan menyudutkan mu tadi. Tapi karena kau mau berteriak dan menjelaskan keadaannya, kami jadi tahu yang sebenarnya."
"Maksudnya?" Kali ini Naruto yang menjawab, sejak tadi berdiri dibelakang Hinata membuatnya ikut menyimak.
"Si Deidara itu memang mesum!" Ino menyahut berapi-api. "Dulu dia pernah menyentuh pantatku, dan berdalih kalau hanya ingin menyapa. Karena dia terkenal sebagai social butterfly, aku percaya saja. Aku juga tidak berani berargumen karena tak punya bukti, aku takut dibilang berlebihan."
Tenten mengangguk setuju. "Bukan cuma Ino yang merasakannya, tapi banyak. Setelah Hinata dibawa pergi Naruto tadi, Sakura dan Sai mengancam akan melaporkan Deidara ke kepala sekolah supaya dia jujur. Lalu anak-anak perempuan yang merasa pernah jadi korbannya ikut angkat bicara."
"Hebat 'kan aku bisa membuatnya terpojok?" Sakura yang tadinya tersenyum lebar langsung merengut karena Naruto menjitak kepalanya.
"Bukan kau, Deidara dan orang-orang yang membelanya pasti takut karena Sai sudah angkat bicara." Meski hanya sering diam dan tak mempedulikan sekitar, bagaimanapun nama Sai kerap dibicarakan di sekolah sebagai sosok cukup disegani karena dia adalah putra kepala sekolah. Pandangan Naruto beralih ke Hinata. "Itu juga berkat keberanian Hinata yang sudah berkata jujur."
Hinata tersenyum kecil, matanya menatap Sakura kemudian beralih pada Sai yang berjalan mendekati Naruto. "Selain pada Naruto-kun, aku juga sangat berterimakasih pada Sakura-san dan Sai-san. Terimakasih, sudah percaya padaku."
"Aku tidak melakukan apapun sampai kau harus berterimakasih sambil membungkukan badan begitu." Sai menjawab pelan. "Malahan, aku merasa harus minta maaf pada Hinata-san. Jika aku lebih cepat mengambil tindakan, mungkin kejadian tidak mengenakan seperti tadi tidak akan terjadi."
"Baiklah, karena masalah Deidara sudah selesai, bagaimana kalau kita membahas soal festival sekolah? Mumpung ada jam kosong saat pelajaran pak Kakashi." Naruto segera mengalihkan topik sebelum pembicaraan menjadi makin berat. Hinata baru belajar lebih terbuka, menerima permintaan maaf dari banyak orang sekaligus akan membuat moodnya menjadi dingin dan canggung. Biar semua berjalan perlahan dan lebih alami. "Aku dan Hinata sudah ke ruang OSIS tadi. Siswa kelas satu dan dua akan membuka stand jualan, jadi siswa kelas tiga diminta mengisi pentas seni."
Sakura mengangguk paham, kemudian berteriak meminta perhatian seluruh siswa di kelas. Karena ketua kelas mereka- Shikamaru sedang tidak masuk, sebagai wakil Sakura mengambil alih. Ia langsung menyampaikan sesuai dengan yang Naruto katakan, dan semua siswa menyambut dengan anggukan paham.
.
.
.
.
"Jadi, sesuai hasil voting, kelas kita akan menampilkan drama Cinderella. Ada yang punya saran, sebaiknya siapa yang jadi peran utama?"
"Bagaimana kalau Naruto yang jadi pangeran?" Salah seorang siswi menjawab pertanyaan Sakura dan disahuti antusias oleh siswi lain. Sakura tidak kaget, karena jika mengesampingkan sifat anehnya, Naruto termasuk siswa paling tampan di kelas mereka.
"Hei! Aku tau aku tampan seperti pangeran, tapi aku kan pelupa! Bagaimana kalau aku tidak ingat dialog saat diatas panggung? Dramanya bisa berubah jadi ajang komedi." Naruto protes tidak terima, dan semua orang kompak tertawa.
"Tapi, bukankah image Naruto sudah terlalu pangeran?" Tenten mengatakan pendapatnya tanpa ragu. "Maksudku, kenapa sesekali kita tidak membuat tokoh pangerannya sedikit berbeda?"
"Berbeda bagaimana?" Sakura bertanya penasaran.
"Ayo buat pangerannya lebih manusiawi. Bukan tokoh sempurna yang kelewat tampan, baik dan bersinar. Tapi manusia biasa yang kebetulan menyandang status dan tanggung jawab besar, yang diluar terlihat memiliki segalanya tapi sebenarnya dia tak punya apa-apa selain statusnya."
"Ah benar! Jadi bukan Cinderella saja yang merasa tertolong dan beruntung berkat pertemuan mereka, tapi si pangeran juga!" Sakura tersenyum antusias, apalagi ketika melihat yang lain ikut antusias sepertinya. "Kalau begitu, kira-kira siapa yang cocok jadi pangerannya?"
Hinata beranikan diri angkat tangannya. Ia masih malu, tapi topik yang sedang dibicarakan sekarang benar-benar membuatnya tertarik. "Bagaimana kalau Sai-san? Em... Kurasa dia akan cocok memerankannya, apalagi dia suka membaca buku. Bukan hanya sekedar mengingat, dia akan lebih mudah mengembangkan dialognya."
"Jadi Sai, bagaimana?"
Yang ditanya oleh Sakura justru terdiam, obsidiannya hanya fokus pada satu titik sedari tadi. Terkunci pada amethyst milik gadis bersurai indigo yang berdiri di depan kelas disebelah Naruto dan Sakura. "Boleh saja. Tapi, bagaimana jika Hinata-san yang jadi Cinderella nya? Bukankah kau juga suka buku dan dongeng?"
Naruto sontak terkejut, matanya sampai membulat lucu.
"Aku tidak masalah kalau yang lainnya setuju." Toh, Hinata memang sudah biasa berakting kan? Jika kemampuannya yang tak seberapa itu bisa membantu orang lain, Hinata merasa senang.
"Tentu tidak ada yang keberatan!" Sakura menjawab cepat setelah melihat respon dari siswa lain yang cukup positif. Kejadian di tangga pagi tadi, sepertinya sudah sedikit menghapus pandangan buruk siswa lain pada Hinata. Lagi pula, kebanyakan dari mereka hanya tidak peduli saja soal Hinata, bukan benar-benar takut. "Baiklah, karena sudah mendapatkan dua peran utama dan tidak ada yang mencalonkan diri lagi, untuk pemeran ibu tiri, saudara tiri, dan ibu peri, peran tambahan akan ditentukan dengan undian. Sisanya, akan menjadi tim perlengkapan nanti. Ada yang perlu dibahas lagi?"
"Sai, Hinata, kalian suka membaca dan tau dongeng Cinderella 'kan?" Ino mengangkat tangannya dan bertanya. "Apa ada sebaris dua baris dialog yang kalian ingat? Kalau ada, coba praktekkan satu saja. Kurasa kita perlu melihat chemistry mereka terlebih dahulu. Akan aneh jika pasangan utamanya canggung 'kan?"
"Tidak masalah." Sai berjalan ke depan kelas dengan tenang, sedang Naruto sudah merasa tidak karuan sejak tadi entah karena apa.
Sedetik, dua detik, suasana kelas menjadi tenang dan yang terdengar hanya gema sepatu Sai. Semua terpana, mereka selama ini terbiasa dengan sosok Sai yang suka menjauh dari atensi, yang hanya mengikuti Naruto sebagai bayangan. Dan kini Sai seakan menunjukkan cahayanya sendiri. Bukan aura secerah matahari layaknya milik Naruto, tapi aura lembut bagai cahaya bintang yang baru nampak dari balik awan. Bintang dan bulan, seperti itulah sosok Sai dan Hinata terlihat dimata orang-orang sekarang. Keduanya punya aura teduh yang begitu serasi.
"Tuan putri, bolehkah saya berdansa dengan Anda?" Sai ulurkan tangannya. Tak ada rasa malu, atau getaran suara karena gugup. Sorot matanya terlihat berkaca-kaca dipenuhi kerinduan. Ia benar-benar terlihat seperti seseorang yang menjemput cintanya dengan begitu berani.
Naruto terlihat makin resah. Dia tau adegan picisan ini akan mengarah kemana. Sudah pasti adegan cium tangan yang diakhiri dengan pelukan dansa. Dan anehnya ia merasa tidak terima. Hingga yang mendarat pada tangan Sai justru tangannya, bukan Hinata.
"Hei Naruto! Kau merusak suasana!" Ino yang sudah siap merekam dengan kamera gawainya mendadak kesal, karena secara tiba-tiba Naruto maju menghalangi tubuh mungil Hinata dan meraih tangan Sai, merusak adegan.
Canggung, semua bisa melihat sorot safir Naruto yang sekejap tampak dipenuhi emosi tak bersahabat sebelum akhirnya pemuda itu tertawa kencang, menghidupkan kembali suasana.
"Maaf maaf! Em.. Prakteknya nanti saja ya, saat latihan? Sekarang kita lanjutkan lagi pembagian tugasnya. Kalau terlalu lama ditunda, pekerjaan kita akan menumpuk di belakang nanti." Naruto menggaruk belakang kepalanya pelan, dia juga bingung sendiri kenapa tubuhnya bergerak seenaknya tadi. "Sakura, aku mau mengajukan diri sebagai pemeran! Orangnya masih kurang 'kan?"
"Hah? Mau jadi apa kau?"
"Aku bisa jadi peri yang menolong Cinderella mencapai mimpinya!" Naruto berkata bangga, peri lebih berkontribusi dalam kebahagiaan Cinderella ketimbang si pangeran 'kan? Peri juga menemukan Cinderella terlebih dulu ketimbang dunia.
"Perannya ibu peri, bukan ayah peri, bodoh! Lagi pula peri mana yang badannya bongsor seperti mu?" Sakura memukul pundak Naruto geram. Temannya ini kadang memang sedikit random. Padahal dia sendiri yang menolak untuk jadi pemeran tadi, tapi sekarang dia merengek meminta peran tak masuk akal. "Kau di tim properti!"
Naruto hanya mengernyit kesal. Pantas saja dia dimarahi Sakura, apa-apaan tindakannya yang sangat kekanakan tadi? Dia masih tidak paham kenapa rasanya kesal sekali sampai ingin menggigit orang. Padahal dia harusnya menjauhi panggung 'kan? Kutukannya akan sangat merepotkan nanti.
"Naruto-kun." Hinata tersenyum melihat Naruto yang menatapnya dengan ekspresi seperti anak kucing yang baru dibuang. Dia jadi ingat pada Naru si rubah tiba-tiba. "Bukankah tim properti yang akan menyiapkan panggung dan juga pakaian para pemain? Kalau begitu, peran Naruto-kun jauh lebih penting dari ibu peri. Karena kau yang akan membuat ku menjadi Cinderella yang berdiri di atas panggung paling cantik."
Oh, Naruto tidak jadi kesal. "Kalian dengar? Peran ku sangat penting, hahahahah!"
"Si gila itu benar-benar."
"Sudah, biarkan dia senang sedikit, toh kita jadi dapat hiburan."
"Kalau Shikamaru masuk, dia pasti akan pusing."
Peduli setan pada tawa teman-temannya yang mulai mengejeknya, Naruto tak bisa sembunyikan kalau dia merasa sangat senang sekarang.
🍁🍁🍁🍁
Sekarang tau 'kan kenapa chapter satu judulnya aneh banget, 'Star in the Rain?'. Karena Naruto ngerasa berkat hujan dia nemuin bintang yang belum pernah dilihat orang lain 🤣. Dan ya, saat itu mereka sama-sama sedang bersembunyi dari hujan. Hinata dan Naruto sama-sama sedang ketakutan dengan alasan yang berbeda, tapi karena itu mereka malah saling menemukan.
Kalian ngerasa ga di chapter ini NH intim banget meski ga banyak adegan skinship? Dan itu terjadi diluar kesadaran mereka 🌝. Atau kalian malah lebih fokus sama Sai? Let me know your thought about this story, please? Aku tu pengen tau, apa amanat yang ku kasih di tiap chapter itu nyampe ke pembaca. Apa chara developmentnya bisa dilihat sama pembaca? 🥺
Karena chapter ini udah full manis, chap depan nangis, oke? Dikit aja, segini🤏. Dan bakal ada Naru versi gemoy!
*Gambar diatas mewakili perasaan Naruto pas tau Hinata jadi Cinderella dan dia terlanjur nolak jadi pangeran. Hiks.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top