05 : Apricity
Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
15+
.
.
Mulmed : Umareru Negai.
.
.
NHL
🍁🍁🍁🍁
Sai hanya memandang heran pada Naruto yang sejak masuk ke kelas sudah tidak bersemangat. Rasanya aneh sekali ketika seseorang yang biasa banyak tingkah tiba-tiba menjadi pendiam. Apalagi, Naruto sudah seperti itu sejak kemarin. Awalnya Sai berpikir kalau Naruto sedang kesal lantaran kemarin pak Kakashi menghubungi Kushina dan mengadukan masalah Naruto yang mendapat hukuman karena merusuh lagi. Tapi jika sekedar itu masalahnya, si heboh Naruto tidak mungkin murung sampai berlarut-larut. Sai sangat tahu prinsip hidup sahabatnya, 'masalah hari itu harus selesai hari itu juga, tidak boleh sampai mempengaruhi hari lain'.
"Kau kenapa? Apa kemarin bibi menghukum mu terlalu keras?"
Naruto hanya menggeleng pelan. Seolah tak tertarik pada Sai, pandangannya terus fokus ke arah jendela, memperhatikan anak-anak dari klub berenang melakukan pemanasan pagi dengan berlari mengelilingi sekolah. Naruto pernah sangat membenci kegiatan itu, menurutnya berlari sangat membosankan dan melelahkan, tapi siapa sangka jika dia merindukan momen itu sekarang. Dia rindu berlatih mati-matian sebelum mengikuti turnamen berenang.
Gerak-gerik Naruto tentu tidak luput dari pengamatan Sai. "Kau tidak ikut latihan?"
"Aku menyerahkan surat pengunduran diri dari klub tadi pagi."
Manik Sai membola seketika. Dia adalah saksi hidup bagaimana seorang Naruto sangat menggilai dunia berenang sejak kecil. Pencapaian Naruto dalam turnamen juga tak main-main, ketika baru bergabung dengan klub berenang SMA saja dia sudah berhasil menyabet mendali perak tingkat nasional. Menjadi juara termuda dari prefektur Tokyo, yang kala itu masih duduk di kelas satu. Para orang dewasa bahkan menyebutnya jenius. Kalau saja ia tak harus direpotkan dengan 'anugrah', dan terpaksa hiatus dengan alasan cedera, mungkin Naruto juga menjadi kandidat juara ketika naik kelas dua.
"Kau yakin ingin mundur lagi tahun ini?"
"Iya. Meski berat aku harus merelakannya. Lagi pula aku tidak punya pilihan lain 'kan?" Naruto tertawa pelan, sangat kontras dengan raut wajahnya yang tampak kacau. "Tahun ini adalah kesempatan terakhir ku untuk mengalahkan kak Sasuke. Aku tahu tahun depan aku masih bisa ikut turnamen sebagai mahasiswa, tapi aku benar-benar ingin meraih medali emas sebelum lulus dari sekolah ini."
Uchiha Sasuke, kakak angkat Sai itu memang menjadi role model bagi Naruto sejak lama karena mereka sama-sama menekuni olahraga berenang. Sebenarnya, berbeda dengan Naruto yang sangat mencintai dunia berenang dan selalu bekerja keras, Sasuke adalah tipe berbakat yang mampu meraih medali emas di tahun pertama dia belajar berenang dengan mudah. Sai masih ingat bagaimana terlukanya harga diri Naruto kala itu, karena kalah dari orang yang bahkan tidak berkompetisi secara serius. Sampai-sampai Naruto bertekad untuk meraih medali emas sebelum lulus SMA supaya tidak kalah dari Sasuke.
"Naruto, kau tidak perlu buru-buru untuk mundur.. Kita masih punya waktu sebelum kejuaraan dimulai, ayo cari jalan keluar bersama."
"Bagaimana jika kutukan itu tidak menghilang sampai aku mati?" Sorot mata Naruto terlihat tanpa hasrat. Membayangkan masa depan mengerikan dimana ia harus terus bersembunyi dari hujan, mematahkan sisa semangat yang ia punya. "Kutukan ku harusnya sudah selesai saat aku naik kelas tiga, tapi kenyataannya.."
"Hei, kenapa kau jadi pesimis begitu?" Sai mengguncang pelan pundak Naruto supaya ia mengangkat kepalanya dari atas meja. Melihat Naruto yang lesu begitu benar-benar membuat Sai tidak nyaman. "Bukankah kau bilang, kau mendapatkan petunjuk soal kutukan saat bersama Hinata? Kenapa sekarang malah menyerah?"
Naruto terdiam, ekor matanya melirik ke bangku Hinata yang masih kosong. Gadis itu belum datang meski sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai. Jujur Naruto khawatir, takut kalau hal yang tidak-tidak akan kembali menimpa Hinata, namun sejak kejadian di taman kemarin pagi, Hinata lagi-lagi menghindarinya. Ya wajar saja, kata-katanya kemarin sudah kelewat batas untuk ukuran orang asing yang belum lama saling sapa. "Aku, merasa sangat jahat padanya. Aku sangat egois Sai. Memintanya untuk menerima kehadiran ku, tanpa sadar memaksanya untuk terbuka kepadaku yang bukan siapa-siapa. Dan semua itu kulakukan karena aku sangat frustasi ingin menghilangkan kutukan aneh dalam diriku. Bukankah aku jadi seperti ingin memanfaatkannya?"
Naruto bangkit, berjalan pelan menuju bangku Hinata lantas menyelipkan beberapa buah permen dari sakunya ke loker Hinata. Mimpi yang menyapanya tadi malam kembali melintas di depan mata seperti gulungan film yang diputar dengan kecepatan kilat. Mimpi singkat yang mampu meremukkan hati Naruto.
.
.
.
.
Lagi, ketika safirnya terlelap, Naruto justru terjaga di dunia yang begitu asing. Dia bahkan sudah tidak terkejut ketika jiwanya kembali terperangkap di tubuh Uzumaki Menma, hanya bisa menjadi pengamat dan pendengar tanpa memiliki kendali.
"Menma-kun... Terimakasih banyak."
Manik Menma dan miko itu saling bertukar pandang, menyelami satu sama lain hingga puas. Mengundang suara tawa mengalun pelan dari bibir keduanya. Sepasang tangan mereka masih bertautan erat ketika pandangan mereka beralih pada hamparan ladang bunga krisan berwarna kuning cerah. Itu adalah tempat terfavorit mereka, dimana keduanya sering menghabiskan waktu bersama hingga matahari terbenam.
"Kali ini kau berterimakasih untuk apa?"
"Kalau Menma-kun tidak memberikan nama Hime padaku, mungkin sampai sekarang orang-orang hanya akan memanggilku Miko." Kepala itu bersandar nyaman pada bahu lebar Menma. Kembali mengingat masa lalu, ketika orangtuanya sendiri meninggalkannya di sebuah kuil tua karena menganggap Hime sebagai anak aneh. "Aku lahir dengan kemampuan aneh, aku bisa meramalkan masa depan meski tidak begitu jelas, bisa mendengar suara dewi dalam kepala ku, bisa mengutuk seseorang yang melukai ku, orangtuaku bahkan merasa takut padaku karenanya. Saat pertama kali dibawa ke kuil ini, orang-orang memperlakukan ku layaknya patung dewi. Mereka berlutut di depan ku, menghindari ku karena segan. Hanya Menma-kun saja yang dengan polosnya memasuki ruangan ku dan mengajakku bermain. Saat itu, akhirnya aku merasa menjadi manusia."
Jemari Menma mengusak pelan surai indigo itu, menyalurkan kehangatannya. Jika sebagian orang berpikir bahwa terlahir dengan membawa kekuatan sang dewi adalah berkah, bagi Hime semua itu adalah musibah. Di dunia yang dipenuhi oleh banyak orang egois, kekuatan semacam itu bisa memicu bencana. Secara naluriah, orang-orang akan menatap Hime dengan dua pandangan berbeda, pandangan yang memancarkan rasa takut, dan juga tatapan penuh rasa serakah yang ingin memanfaatkan kekuatan diluar nalar itu.
"Dari sekian banyak orang, kenapa harus aku? Hidupku sangat sia-sia."
Menma menggeleng pelan sebagai jawaban, ia juga tidak tahu apa maunya sang dewi. Menurut kitab di kuil mereka, beberapa ratus tahun sekali akan terlahir seorang gadis dengan kemampuan istimewa yang bisa mendengar suara dewi Inari, gadis itu harus mengabadikan seluruh hidupnya untuk menjadi Miko— sang pelayan dewi. Tapi tidak ada yang menjelaskan, kriteria seperti apa yang membuat seorang gadis terpilih sebagai Miko. Takdir itu sudah ditentukan bahkan sebelum kelahiran.
"Hime, mungkin kau berpikir kalau hidupmu sia-sia, tapi tanpa mu, orang-orang tidak akan tahu kapan musim hujan akan datang, kapan mereka bisa menanam gandum, kapan wabah akan menyerang, dan masih banyak lagi. Kau adalah anugrah yang diutus dewi untuk menjawab doa kami. Kalau orang lain tidak bisa mengerti itu, setidaknya ada aku yang sangat bersyukur karena kehadiran mu. Terlepas kau Miko atau bukan, kau sudah menjadi bagian dari kebahagiaan ku. Karena itu, aku akan selalu melindungi mu dengan nyawaku. Jangan takut."
Kedua kening itu saling bersentuhan, senyum manis mengembang pada bibir plum sang Miko. "Kalau begitu, aku juga akan melakukan hal yang sama. Karena hanya Menma-kun yang ku punya."
Namun dalam satu kedipan, adegan berikutnya yang terputar didepan mata Naruto sangatlah berbeda dari ekspektasinya. Jangankan saling melindungi, Menma yang harusnya menjadi malaikat pelindung bagi Hime justru hadir sebagai malaikat mautnya. Sakitnya dikhianati menghantam kuat dada Naruto, disertai perasaan kalut ketika melihat Hime meregang nyawa ditangannya. Hime, cintanya, telah tega membunuh keluarga Menma hingga emosi membutakan mata hati pemuda itu.
.
.
.
.
Mimpi itu membuat Naruto terjaga sepanjang malam. Mengacaukan pikirannya hingga ia sampai pada keputusan untuk menyerah.
Kehangatan yang membuncah tiap tatapan mata mereka bertemu itu, terasa begitu nyata meski hanya dalam mimpi. Seolah ratusan bunga tengah mekar serempak, mengundang kupu-kupu yang menggelitik dadanya. Rasanya tidak berlebihan jika Naruto menyimpulkan bahwa Menma sangat mencintai Hime. Bahkan, Naruto masih ingat dengan jelas bagaimana kedua tangan Menma gemetar hebat sesaat setelah ia menghabisi nyawa Hime. Mengingkari sumpahnya sendiri untuk menjaga Hime, dan malah mengantarkan gadis itu pada maut. Perasaan Menma yang teramat kuat itu sampai mempengaruhi Naruto, membuatnya kesulitan membedakan mana yang mimpi dan mana yang nyata ketika melihat kemiripan Hinata dengan Hime.
Apa mungkin ibu Kushina benar soal teori-teori reinkarnasi itu? Jika iya, bukankah itu gawat? Naruto tidak mau menjadi sebodoh Menma, yang membunuh belahan jiwanya sendiri. Tapi bagaimana jika tragedi terulang kembali? Bagaimana jika Naruto tanpa sengaja melukai Hinata kelak? Tentu ia tidak mau. Naruto tidak mungkin rela membuat Hinata terluka hanya demi menghilangkan kutukannya.
"Tiba-tiba aku takut, bagaimana jika sikapku malah melukainya? Jika dia tidak mau menerima ku, maka biarlah seperti itu. Aku tidak akan memaksa. Aku masih bisa mengawasi dan melindunginya dari jauh."
Sai menghela napas pelan. "Lantas kutukan mu? Bagaimana jika kau tidak mendapatkan petunjuk lagi karena tidak berdekatan dengannya?"
"Tujuan awal ku menyapa Hinata adalah untuk berterimakasih karena sudah memberiku tempat berteduh. Aku tidak lagi punya niatan untuk melibatkannya dengan kutukan keluarga Uzumaki." Naruto rasa, dengan membantu Hinata dari balik layar saja sudah cukup. Jika Hinata tidak suka berinteraksi dengannya, maka Naruto akan menjadi bayangan yang diam-diam menghalau terik matahari untuknya. Dia masih akan terus berusaha mencari cara meredakan rumor buruk tentang Hinata, atau sekedar memberi perhatian kecil seperti membersihkan lokernya dari sampah dan kata-kata jahat. Tapi tak akan memaksa memasuki dunia gadis itu lagi. Karena Naruto, tidak ingin melihat amethyst yang dipenuhi ketakutan, kekecewaan dan kesedihan itu lagi. Dia masih merasa bersalah mengenai kata-katanya di halaman sekolah kemarin pagi, yang mungkin sudah membuat Hinata tidak nyaman.
"Tingkahmu seperti remaja yang sedang jatuh cinta saja."
"Hah?" Lamunan Naruto buyar, bicara apa Sai barusan?
"Kelakuan mu sekarang benar-benar mengingatkan ku saat kau jatuh cinta pada Sakura dulu. Kau yang biasanya seenaknya jadi sering mengalah. Sikap tidak ingin tahu mu juga meluap entah kemana."
Sebuah buku tulis sukses mendarat di muka datar Sai, pelakunya tidak lain adalah Naruto yang berusaha menahan diri supaya tidak terlihat salah tingkah. "Bicara apa kau ini? Kenapa mengungkit masa lalu? Lagi pula, aku peduli pada Hinata bukan berarti itu cinta." Naruto akui hatinya sering tak karuan karena Hinata, mendengar namanya saja sudah cukup membuat detak jantung Naruto menggila. Tapi, bisa saja ia hanya terpengaruh oleh perasaan Menma yang ia lihat dalam mimpi kan? Mengingat kemiripan paras Hinata dan Hime.
"Memang apa salahnya membuka hati lagi? Jujur saja aku lelah melihat mu memasang wajah sendu setiap Sakura bersama kak Sasuke." Sai berdecak pelan, dia paham cinta pertama itu sulit dilupakan, tapi hidup harus tetap berjalan 'kan? Naruto sudah terlalu lama memendam rasa pada Sakura, sejak mereka duduk di bangku SMP dan mungkin masih berlangsung hingga sekarang. Bodohnya, ia terlalu enggan untuk mengaku sampai Sasuke mendahuluinya."Padahal kalau kau mau mencoba mengungkapkan perasaan mu, mungkin saja sekarang yang menjadi kekasih Sakura adalah dirimu, bukan kakak ku. Kalian sudah lama dekat dan-"
"Aku tidak pantas dicintai oleh siapapun Sai. Orang yang kucintai hanya akan merasakan kesedihan, ketika dia tahu bahwa aku adalah monster, abnormal." Naruto menunduk dalam, dibalik kepercayaan dirinya yang setinggi langit, dia terus menerus membuat kebohongan demi menutupi sisi rapuhnya. Namun kadang kala didepan segelintir orang, tanpa sadar ia lengah menunjukkan keresahannya. "Aku tidak mau orang itu bernasib seperti ibu, yang diam-diam menangisi keadaan ku setiap malam."
Ini dia, Naruto dengan segala pemikiran berlebihannya yang jarang diketahui orang-orang. Sisi lain dari Naruto si periang. Sai tidak menyukainya, tapi ia tidak bisa banyak berkomentar. Karena siapapun yang berdiri diatas sepatu Naruto pasti akan merasakan kegelisahan yang sama. Naruto sudah cukup hebat dengan menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja supaya orang disekitarnya tidak ikut khawatir, menutupi betapa kacau isi kepalanya, mengabaikan patahan hati yang kian lama makin melebar. Wajar bila sesekali ia mencapai titik lelah.
"Naruto! Sai!"
Dua pemuda itu menoleh serentak pada Sakura yang berlari tergopoh-gopoh memasuki kelas, melupakan obrolan berat yang sebelumnya mereka bahas.
"Kenapa?" Sai menjadi yang pertama bertanya, keheranan dengan kedatangan Sakura.
"Cy-cyborg itu... Maksudku Hinata."
"Kenapa dengannya?" Kini Naruto yang bertanya tidak sabaran setelah mendengar nama Hinata disebut dengan nada suara yang terdengar takut itu.
"Dia baru saja mendorong seseorang sampai jatuh dari tangga."
Detik itu juga, Naruto langsung berlari dengan kecepatan gila menuju tangga, tak mempedulikan Sai dan Sakura yang berlari menyusul dibelakang sembari terus meneriakkan namanya.
🍁🍁🍁🍁
Hinata terdiam kaku, berdiri diatas salah satu anak tangga sembari memperhatikan seorang lelaki yang terduduk lemas memegangi kening yang berdarah. Otak Hinata masih belum bisa mencerna situasi sepenuhnya. Napasnya tiba-tiba saja memburu ketika satu persatu orang datang mengerumuni mereka, menatapnya dengan sorot mata menusuk.
"Argh... Sakit sekali.." Pemuda itu semakin mengerang kesakitan ketika beberapa anak membantunya berdiri. Bukan cuma kening, siku dan lututnya juga ikut terluka karena terbentur anak tangga. "Kau gila? Kau hampir membunuh ku, dasar sialan!"
Hinata menggeleng, dia sama sekali tidak punya niat untuk melukai siapapun. Dia hanya terkejut ketika lelaki bersurai pirang itu tiba-tiba saja memeluk pinggangnya dari belakang, dan refleks melakukan perlawanan. Mungkin, perlakuan kasar Neji yang kadang kala melecehkan tubuhnya seenak hati telah mempengaruhi alam bawah sadar Hinata, memicu sifat defensif yang berlebihan. "Bukan. Ti-tidak begitu."
"Astaga dia benar-benar psikopat!"
"Ssstt.. jangan keras-keras, kalau dia marah kau bisa dalam bahaya!"
"Menakutkan.. Kasihan sekali Deidara-san."
Suara yang berasal dari kerumunan itu membuat hati Hinata ciut. Apakah akan ada yang mempercayainya? Lagi-lagi tangan terkutuknya sudah melukai orang lain. Benar kata ayah, mestinya dia tidak usah lahir ke dunia. Dengan begitu ibu Hikari akan hidup bebas tanpa harus dicap sebagai istri simpanan, Shion tidak akan diculik, ayah, kak Neji, dan bibi Shina tak harus menderita. Laki-laki didepannya itu, juga tidak akan terluka. Mungkin, semua masalah akan selesai jika dia menghilang.
"Ma-maaf.. Maafkan aku... Maaf.." Suara Hinata makin mengecil, bahkan kalah dengan bisikan-bisikan siswa lain. Ah tidak, itu tidak bisa disebut sebagai bisikan ketika Hinata bisa mendengar jelas sumpah serapah, juga hardikan yang mereka tujukan padanya.
'Anak pembawa sial!!'
Hinata memejamkan mata rapat, ditengah riuhnya hinaan yang orang-orang lontarkan kepadanya, suara bentakan sang ayah justru terdengar paling keras, seolah suara itu langsung menggema di dalam kepalanya.
'Beraninya kau melukai istriku!'
Tidak. Tidak. Tidak. Hinata terus menggumamkan kata itu dalam hati tapi lucunya, belah bibirnya hanya mampu bergetar samar tanpa bersuara.
'Sudah kubilang, kau hanya perlu diam seperti orang mati! Hinata sudah mati dalam kecelakaan itu! Tugasmu hanya tersenyum sebagai Shion! Jangan berulah!'
"Maaf..." Air mata Hinata jatuh tak terkontrol, dadanya sangat sakit berusaha keras mencari oksigen yang tiba-tiba saja terasa menipis.
'Hinata, hanya karena banyak orang mengabaikan mu, bukan berarti tidak ada seorangpun yang mau mendengarkan mu.'
Ketika suara pemuda itu melintasi ingatannya, bercampur menjadi satu dengan suara-suara lain yang menyerangnya, secara ajaib Hinata bisa kembali menarik napas dalam.
Benarkah? Apa jika dia berteriak akan ada yang mau mendengarnya sekali saja? Apa kata-kata Uzumaki Naruto bukanlah suatu kebohongan?
Hinata tidak peduli lagi. Dia sudah lelah membodohi diri sendiri, menelan segala bentuk kebencian serta kesalahan yang dilemparkan padanya. Sekali saja, ia ingin menarik napas panjang dan berteriak sampai lega. Lalu setelahnya, ia tak akan protes meski semua orang merasa marah dan meminta nyawanya sebagai kompensasi.
"AKU TIDAK BERMAKSUD MELUKAINYA." Tubuh kurus itu nyaris limbung setelah teriakannya membungkam mulut semua orang. Tangannya yang bertumpu pada dinding terlihat kepayahan menahan berat badannya sendiri. Sakit, dia gelisah tanpa mengerti bagian mana yang membuat seluruh tubuhnya berteriak kesakitan. Hinata hanya ingin pulang, dipeluk ibu lalu terlelap dalam waktu yang lama. "A-aku hanya takut... Dia memegang pinggang ku tiba-tiba.."
"JANGAN BOHONG!" Deidara yang masih sibuk menyeka darah di keningnya ikut berteriak tidak terima. "Aku hanya berusaha menyapa anak suram seperti mu, dan bukannya berterima kasih kau malah berkata seolah aku melecehkan mu??"
Balasan kurang menyenangkan dari Deidara itu tentu membuat siswa lain kembali heboh. Mereka semua tidak menyadari gelagat aneh Hinata yang napasnya mulai memendek, pun dengan kaki yang tak lagi berdiri kokoh. Bagaikan belati, kata-kata dan tatapan mereka telah menyayat-nyayat sekujur tubuh gadis itu tanpa ampun. Hanya safir pemuda itu yang menyadarinya, bahwa Hinata tidak baik-baik saja.
Dengan napas yang masih tersenggal-senggal setelah berlari seperti orang kesurupan, Naruto masih berusaha membelah lautan manusia yang telah menenggelamkan Hinata. Dia melihat semuanya, bagaimana Hinata berusaha menunjukkan isi hatinya dengan cara paling menyakitkan. Gadis itu jelas ketakutan, namun tak ada seorangpun mau mencoba mengerti. Dia berusaha setengah mati melindungi hatinya disaat orang-orang seolah berlomba menghancurkannya.
"Hei..." Naruto berujar pelan, langsung memahami kepanikan Hinata ketika gadis itu menyilangkan kedua tangannya kedepan begitu Naruto mendekat. Itu adalah bentuk pertahanan terakhir dari seorang Hinata.
Tanpa banyak bicara, Naruto segera berdiri di belakang gadis itu. "Seperti mereka yang tidak mau mendengar mu, kau tidak perlu mendengar apa yang tidak ingin kau dengar," bisiknya pelan sebelum memasangkan earphone ke telinga Hinata. Pemuda itu lantas melepas jas seragamnya, menudungkannya ke kepala Hinata hingga warna maroon memonopoli penglihatan gadis itu.
"Kami harus menghadiri rapat perwakilan kelas dengan OSIS, minggir."
Deidara sontak menghalangi, tak terima ketika Naruto tiba-tiba menginterupsi urusannya dan merangkul Hinata untuk melangkah pergi. "Hei kau, beraninya!"
"Apa? Mau mengajak berkelahi?" Naruto si jenaka kini melayangkan lirikan tajam penuh amarah yang membuat semua orang terdiam, terlalu terkejut hingga tak tahu harus bereaksi seperti apa. Naruto seakan ingin menghabisi Deidara dengan tatapannya. Sejujurnya, Naruto memang ingin menghajar Deidara, tapi baginya keadaan Hinata jauh lebih penting. Dia tidak mau memperkeruh suasana, dan menyia-nyiakan usaha Hinata yang sudah susah payah menjelaskan situasinya supaya bisa segera bebas dari tempat memuakkan itu. "Sudah kubilang ada rapat, kami sibuk. Minggir."
Ketika Deidara ingin menghalangi Naruto yang membawa Hinata pergi seenaknya, kini giliran Sai dan Sakura yang maju menghadang. Tidak mungkin mereka berdua tinggal diam setelah melihat Naruto sudah ikut campur. Mereka mungkin belum mempercayai Hinata sepenuhnya, apalagi Sakura yang notabenenya belum pernah mengobrol dengan anak itu sama sekali, tapi mereka mempercayai Naruto. Dia bukan tipe orang yang bertindak tanpa alasan.
"Kalau ingin cari ribut, lawan aku. Mau kupatahkan tulangmu yang bagian mana, hm?" Sai tidak tahu apa yang membuatnya sangat emosi sampai dia melupakan bahwa Fugaku tidak akan senang jika dia menggunakan kemampuan beladiri nya bukan untuk melindungi Naruto tapi untuk berkelahi. Melihat Hinata tadi, darahnya langsung mendidih, ingin sekali menghajar seseorang.
Tunggu, Hinata? Bukankah harusnya Sai marah karena Deidara berani menantang Naruto?
🍁🍁🍁🍁🍁
Pundak itu tak lagi bergetar, namun kepala Hinata masih setia menunduk. Naruto sengaja mengajak gadis itu menepi ke UKS, tempat paling tenang dan nyaman seantero sekolah menurut Naruto, supaya Hinata bisa mengistirahatkan pikiran sejenak.
"Maaf." Suara itu timbul sesaat lantas kembali tenggelam karena Naruto terlalu bingung memilih kata. Suara gorden yang bergesekan akibat ulah jahil angin pun mendominasi selama beberapa menit. "Waktu itu di taman..... aku keterlaluan sekali ya?"
Meski masih menunduk, menyembunyikan raut wajahnya dibalik jas milik Naruto, diam-diam Hinata menyimak suara bariton yang cukup menenangkan telinga itu. Suara Naruto, tak kalah hangat dengan sinar matahari yang sejak tadi mengintip mereka dari balik jendela kaca.
"Aku belum terlalu mengenal mu, belum mengerti duniamu, tidak tahu apa saja yang berkecamuk di kepala mu, tapi waktu itu aku memaksakan pendapat ku padamu." Bukan hal mudah untuk membicarakan sisi terdalam diri, ketika tak ada orang yang bisa dipercaya. Naruto merasa jahat sekali, dia terlalu ingin tahu, memaksa Hinata terbuka tanpa memikirkan luka yang gadis itu sembunyikan susah payah.
"Kau tahu, aku memang sangat keras kepala sejak kecil, dan ibuku sering mengomeliku karenanya. Jadi jika aku terlalu keras kepala sampai membuat mu tidak nyaman seperti waktu itu, kau bisa mengomel juga sepuasmu. Aku akan berusaha memperbaiki diri." Naruto akan lebih suka melihat Hinata marah atau kesal padanya, dari pada ketakutan. Dia ingin mendengar semua omelan Hinata agar dia bisa lebih mengerti isi hati gadis itu. "Tapi jangan menjauhi ku. Kalau kau menjauh, aku tidak tahu harus bagaimana lagi karena aku tidak suka memaksamu."
Sejujurnya kalau menuruti ego, Naruto ingin disisi Hinata lebih lama. Ingin memastikan dengan mata sendiri, apa Hinata sudah merasa lebih baik? Tapi mungkin, Hinata membutuhkan ketenangan sekarang.
"Apa kau ingin sendiri dulu? Istirahat di sini saja, aku akan keluar membeli minum." Naruto sudah nyaris melangkah pergi kalau saja bagian belakang kemejanya tidak ditarik oleh seseorang. "Hinata?"
"Bi-bisakah kau disini dulu? Aku takut.." Suara Hinata begitu lirih, namun Naruto bisa mendengarnya dengan jelas, nada penuh harap yang tertutup kabut kesedihan. "Aku tidak mau sendiri."
Naruto menoleh, melirik Hinata yang akhirnya berani sedikit mendongak. Amethyst gadis itu terlihat sedikit basah dan sangat kosong. Tidak lagi berkilauan seperti dulu, ketika mereka pertama kali bertemu di kuil Inari. Entah bagaimana, Naruto sudah benar-benar yakin jika Hinata yang dia temui bertahun-tahun silam adalah Hyuuga Hinata yang ada dihadapannya sekarang. Perubahan drastis sikap Hinata mungkin didasari oleh kejadian masa lalu, pasti berat bagi gadis seusianya hidup tanpa seorang ibu. Lalu soal ibu yang sering disebut-sebut dalam rumor itu, Naruto merasa ada yang janggal, bukankah ibu Hinata sudah lama meninggal?
'Hinata sekarang tidak tinggal dengan orangtua kandungnya.'
Naruto menggeleng pelan teringat informasi dari Sai dulu. Bukan itu yang terpenting sekarang, tapi Hinata.
"Aku tidak tahu kau mengingatnya atau tidak, aku bahkan baru mengingatnya beberapa hari lalu." Naruto melepas pelan tangan Hinata dari ujung bajunya, lantas berbalik dan menatapnya lamat-lamat. "Aku pernah bilang akan menjemputmu 'kan? Kau tidak sendirian lagi, ada aku yang akan menemanimu. Yah, meskipun dulu aku belum benar-benar tahu arti menikah haha.. Maaf."
Hinata menatap nanar gelang yang Naruto keluarkan dari sakunya, air matanya tumpah ketika gelang itu sudah terpasang cantik pada pergelangan tangannya. Gelang itu, hadiah terakhir yang pernah dibelikan oleh ibu Hikari dan ayah Hiashi. Harta berharga Hinata yang Hinata pikir sudah hilang untuk selamanya, ternyata ada pada Naruto. Dan kini kembali ketangannya bersama janji yang pernah pemuda itu ucapkan.
"Maaf, perlu waktu lama bagiku untuk mengenali mu dan mengembalikan gelang itu pada pemiliknya."
Perasaan Hinata campur aduk, dia senang, tapi juga malu. Bagaimana kalau Naruto berpikir bahwa dia adalah seorang psikopat seperti yang lain? Apalagi setelah menyaksikan kejadian di tangga tadi. Dia ingin sosoknya tetap menjadi kenangan baik dalam ingatan Naruto.
"Aku.. aku tidak melakukannya... Aku.. tidak pernah berniat melukai siapapun." Hinata menggenggam gelang itu erat. Jika dia ingin dipercaya oleh seseorang, setidaknya dia juga harus mencoba mempercayai orang lain terlebih dahulu, bukan? Mungkin saja Naruto akan berbeda, mungkin saja dia bukan tipe orang yang akan langsung menghakiminya, atau tipe orang yang hanya ingin mendengar cerita menarik tanpa benar-benar merasa peduli.
.
.
.
.
"Ayo sayang, makan udang tempura-nya. Bukankah kau sangat menyukainya, Shion? Kau selalu tersenyum senang setelah memakannya."
"Ti-tidak mau..." Hinata terus menggeleng keras, menghindari tatapan Shina. Masalahnya, dia bukanlah Shion yang sangat menyukai udang, tapi Hinata yang bisa mati karena alergi hanya dengan menelan segigit udang.
Hinata tak pernah menyangka kalau penolakannya itu akan membuat air muka Shina berubah drastis. "Kau sudah keterlaluan Shion. Kemarin kau tidak niat belajar, dan sekarang kau menolak masakan ibu? Ibu hanya ingin mendukung mu untuk meraih cita-cita mu sebagai dokter!"
Hinata tidak tahu apa yang tengah merasukinya kala itu sampai dia berani mengatakan fakta yang harusnya dia pendam sampai mati. "Aku bukan Shion bi, aku Hinata."
"Tidak. Tidak. Tidak. Kau bukan.. kau bukan anak ku.. Kau anaknya jalang itu.. Kembalikan putriku!"
Dan yang terjadi berikutnya, tentu saja Shina mengamuk. Wanita yang mentalnya telah benar-benar hancur itu bahkan berusaha melukai Hinata dengan gunting. Hinata sudah pasrah, ketika Shina berkata ingin mencongkel amethystnnya yang kata orang-orang sangat mirip dengan milik Hikari. Shina bahkan sudah nyaris menyayat lehernya ketika wig pirang yang Hinata kenakan terlepas sepenuhnya, hingga surai indigo yang identik dengan milik Hikari itu terlihat jelas. Namun ketika Hinata membuka mata, yang ia lihat justru tubuh Shina yang sudah terkapar bersimbah darah.
Wanita yang juga seorang ibu itu mengalami dilema, dia membenci Hinata, tapi naluri keibuannya telah menghalangi Shina untuk melukai seorang anak yang juga merupakan korban keadaan. Hingga akhirnya, wanita itu memilih untuk melukai dirinya sendiri. Berharap kematian akan mengantarkannya pada sang putri kesayangan.
"Bibi hentikan!"
Hinata merasa sangat jahat, ia hanya bisa berusaha merebut gunting di tangan Shina sebelum luka wanita itu makin parah. Tapi sedetik kemudian, tubuhnya justru terpental karena tamparan keras dari sang ayah.
"Dasar tidak tahu diuntung! Apa yang kau lakukan pada istriku?!"
Tubuh Hinata meremang, tangannya masih memegang gunting bersimbah darah yang berhasil ia rebut dari Shina sebelum wanita itu jatuh pingsan. "A-ayah.. aku tidak—"
"Anak pembawa sial! Beraninya kau melukai istriku!" Hiashi tampak panik menghubungi ambulans, sedangkan Hinata hanya berdiri mematung.
"Aku benar-benar tidak melakukannya, aku hanya—"
"Diam! Sudah kubilang, kau hanya perlu diam seperti orang mati! Hinata sudah mati dalam kecelakaan itu! Tugasmu hanya tersenyum sebagai Shion! Jangan berulah!"
Ketika sang ayah membawa pergi Shina dalam gendongannya, Hinata hanya bisa mengikuti mereka seperti orang bodoh. Hatinya hancur, tapi, dia harus tersenyum 'kan? Tersenyum seperti Shion, karena hanya itulah alasannya dibiarkan tetap hidup. Dengan begitu, tidak akan ada yang mesti terluka.
.
.
.
.
Ketika cerita panjang yang melelahkan itu usai, Hinata baru menyadari bahwa kini tangannya sudah digenggam dengan sangat erat oleh Naruto.
"Maaf, apa ceritaku membosankan? Kau pasti merasa tidak enak mendengarnya."
Naruto menggeleng ribut. "Terimakasih sudah bercerita, terimakasih sudah mempercayaiku. Kau sangat hebat, tak perlu takut, kau tidak melakukan hal yang salah."
Naruto terus mengulangi kalimat itu berusaha memberikan kekuatan pada Hinata, hingga tanpa sadar Hinata tersenyum. Masalahnya, ekspresi wajah Naruto sekarang bahkan terlihat lebih kacau dari dirinya. Hidung dan matanya memerah, dahinya berkerut, terlihat jelas sedang menahan air mata. Jadi ternyata, seorang Uzumaki Naruto juga memiliki sisi cengeng.
"Terimakasih sudah berkenan mendengar ceritaku ku hari ini. Terimakasih sudah percaya."
"Hei Hinata..." Si pemilik nama hanya menatap Naruto penuh tanya. "Bolehkah aku memeluk mu?"
Hinata masih diam ketika Naruto membawanya kedalam pelukan canggung yang anehnya terasa hangat itu. Ia masih duduk di tepi bangkar sedangkan Naruto berdiri di depannya, sedikit melingkarkan dua lengan tannya di area pundak Hinata, tak lupa memberi usapan yang begitu menenangkan. Jadi begini rasanya mendapat afeksi? Hinata rasa, lelahnya sedikit terobati. Lucu sekali 'kan? Padahal Naruto hanya memeluknya. Namun efek yang diberikan jauh lebih ampuh dari obat penenang yang biasa ia minum diam-diam.
"Terimakasih karena sudah berusaha sampai sejauh ini. Semua akan baik-baik saja, kata ibu Tuhan itu baik. Jika dia memberi seribu kesedihan, suatu saat dia juga akan memberi satu kebahagiaan yang akan menghapus semua kesedihan itu." Naruto sengaja memeluk Hinata, dia malu kalau ketahuan bahwa matanya tengah pipis sekarang. Bukankah reuni mereka begitu ironis? Naruto ingat soal harapan bahwa mereka akan tertawa bersama ketika bertemu kembali di masa depan. Tapi lihatlah sekarang, Naruto dan Hinata sama-sama terjebak di situasi pelik sampai hampir lupa caranya tersenyum dari hati. Hinata dengan urusan keluarganya, dan Naruto dengan mimpinya yang terhalang kutukan.
Tak apa, dunia memang bukan tempat yang ramah. Tapi setidaknya, mereka masih punya satu sama lain untuk saling menguatkan 'kan?
"Naruto-kun."
"Hm?"
"Kurasa, aku sudah tau kata apa yang ingin ku tulis di kertas mu..." Naruto menunduk, memperhatikan manik Hinata ingin tahu. "Apricity."
Kehangatan sinar matahari, di musim dingin.
Naruto tertawa pelan, diikuti oleh senyum tipis Hinata setelahnya. "Terserah kau saja, yang penting sekarang berhentilah menangis."
"Aku tidak menangis?"
"Oh ya?" Naruto menangkup kedua pipi gembil itu. Hinata memang tidak bersuara, mungkin ia juga tidak menyadari kalau air matanya mengalir deras sejak tadi. "Lantas, ingus siapa ini yang menempel di bajuku?"
Astaga! Hinata malu sekali sampai ingin sembunyi di lubang cacing. Perasaan kacau di hatinya seketika menguap, digantikan oleh rasa geli yang menggelitik tiap sudut di dadanya. "Kau menyebalkan!"
🍁🍁🍁🍁
Sorry nih ga langsung up pas jumlah voment udah terpenuhi. Abisnya kalian ngeri, baru juga dua hari, g nyampe malahan 😭.
Btw, yang dialami Hinata di tangga itu namanya serangan panik. Biasanya karena terlalu takut, atau karena ada sesuatu yang traumatis dan mentrigger, gejalanya pusing, ga bisa ngomong, sampai gak bisa napas dan itu rasanya sakit banget meski fisiknya ga luka. Ada yang pernah? Hug dulu sini (⊃。•́‿•̀。)⊃
Oiya, kalian udah liat part teaser belum? Seperti biasa, bagi pendapat dong buat bensin lanjutin cerita ini. Aku tu suka bacain tanggapan-tanggapan kalian walau jarang ku bales satu-satu 🥺.
Next mau yang manis dulu apa mau yang nangis lagi? 🤭.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top