04 : Arcane

Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
15+
.
.
Mulmed : Honto wa, ne (The truth is) - URU
.
.
NHL

🍁🍁🍁🍁

Naruto sama sekali tidak paham bagian mana yang bisa disebut 'anugrah' dari fenomena abnormal yang menimpa keluarga Uzumaki. Berubah menjadi hewan hanya karena turun hujan itu mengerikan. Banyak waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk bersembunyi, belum lagi ia harus menghadapi rasa khawatir berlebihan tiap kali mendung menyapa. Bukankah konotasi dari kata anugrah adalah kebahagiaan tak terduga yang patut disyukuri? Sedangkan hingga saat ini, Naruto masih tidak tahu kenapa dewi sampai repot-repot mengubah klan Uzumaki menjadi rubah, apa manfaatnya? Atas landasan apa dia bisa mensyukuri pemberian dewi itu?

Jujur, Naruto sempat kecewa. Ingin rasanya naik ke nirwana menemui sang dewi, lalu mengajaknya berduel.

Tapi ditengah kekalutannya itu, ibu Kushina tanpa lelah selalu menasehati Naruto, menanamkan pikiran-pikiran positif supaya hati Naruto berhenti kecewa. Misalnya, dengan menjadi rubah Naruto pun punya lebih banyak waktu luang di rumah untuk menemani ibu. Naruto juga bisa membantu membasmi tikus yang kerap menakuti ibu tiap malam. Seperti yang dia lakukan sekarang.

"Sembunyi di sana kau rupanya tikus kurang ajar."

Naruto- yang kini sedang berada dalam wujud rubahnya, memicing penuh emosi ketika mengintip tikus kecil yang tengah bersembunyi di salah satu altar kuil. Malam ini, suasana hati Naruto benar-benar jatuh pada titik terburuk. Di sekolah, lagi-lagi ia gagal mendekati Hinata, tak berhenti sampai disitu, sorenya hujan malah turun mengubahnya menjadi rubah. Dan sekarang, dia harus mengejar seekor tikus yang barusan membuat Kushina histeris sampai memecahkan piring. Sebenarnya, ibu Kushina yang sangat takut pada tikus itu sudah memelihara beberapa ekor kucing gemuk untuk memberantas tikus di rumah. Tapi sayang, mereka malah berakhir menjadi beban baru keluarga Uzumaki karena hanya tahu caranya makan dan tidur. Jadilah Naruto dimanfaatkan oleh sang ibu untuk menangkap tikus, dengan alasan wujud rubah Naruto yang kecil bisa dengan mudah menyelinap ke berbagai sudut. Sialan memang, kalau tidak ingat seberapa besar rasa sayangnya pada ibu Kushina, Naruto mana sudi.

"Kena kau!" Naruto tertawa penuh kemenangan, ternyata tidak buruk juga, stresnya sedikit teralihkan setelah berhasil menangkap tikus yang menjadi buronannya sejak dua jam lalu. Meski jauh di lubuk hati dia sedikit merasa ternistakan. "Haah... Lelah sekali."

Naruto pernah bilang kalau tubuh rubahnya sangat ringkih 'kan? Jadi jangan heran kalau dia sudah kelelahan setengah mati hanya karena mengejar tikus kecil. Ia tidak akan sanggup jika harus kembali ke rumahnya yang terletak di bagian paling belakang kompleks kuil. Membuatnya memutuskan untuk beristirahat sejenak di dalam ruang altar yang sudah lama tak dipakai itu. Dari beberapa altar yang ada di kuil Inari tempatnya tinggal, altar yang terletak dekat dengan taman itu adalah satu-satunya yang tidak dibuka untuk umum, sekaligus menjadi altar tercantik meski ukurannya paling kecil. Alasannya sederhana, karena di altar itulah Kushina menaruh segala kenangannya bersama sang suami.

Permata safir itu memandang jauh pada sebingkai foto yang ibunya tata rapi berdekatan dengan patung dewi. Di sana, Namikaze Minato tampak tersenyum tanpa beban. Sedikit sekali kenangan yang Naruto miliki bersama mendiang ayahnya itu. Minato meninggal ketika Naruto baru berusia tiga tahun karena sakit, satu-satunya yang masih tersisa dalam ingatan Naruto hanyalah bayangan tubuh ayahnya yang selalu terbaring tak berdaya di atas kasur. Namun, ia selalu berusaha tersenyum selemah apapun keadaannya ketika Naruto datang untuk menjenguk.

Naruto lebih banyak mengenal karakter Minato dari cerita ibunya. Tentang Minato yang sebenarnya berasal dari New York dan rela mengubah kewarganegaraan demi menikahi Kushina, bahkan nama Jepang Minato ternyata adalah pemberian dari Kushina. Dari pernikahan itu lahirlah Naruto- satu-satunya Uzumaki yang tidak bersurai merah karena ia lebih banyak mewarisi gen dari ayahnya. Sayang, fakta itu tak membuatnya terlepas dari kutukan keluarga Uzumaki. Malahan, ada kemungkinan kalau kutukan yang menimpa Naruto sedikit berbeda karena dia terlahir dari pasangan beda Negara.

"Ayah maaf.. Karena aku seperti ini, aku tidak bisa menjaga ibu dengan baik." Naruto menunduk dalam. Dia memang tidak mengingat banyak hal tentang ayahnya, tapi pesan terakhir yang Minato bisikkan ketika memeluknya kala itu masih membekas dengan jelas, Naruto harus menjaga ibu saat ayah tidak ada. Tapi sekarang kenyataannya, Naruto justru menjadi putra yang paling merepotkan sedunia. Naruto tidak normal, dia lemah, dan selalu membuat ibu Kushina khawatir karenanya.

Naruto segera menggelengkan kepala kuat-kuat, ia tidak suka pada dirinya yang tiba-tiba merasa sangat lemah, itulah mengapa ia enggan berlama-lama menatap foto ayahnya di altar. Namun, saat hendak melangkah pergi, seberkas cahaya menyilaukan yang berasal dari kolong meja tempat foto Minato dipajang mengalihkan perhatian Naruto. Didasari rasa penasaran, ia menghampiri sumber cahaya itu. Menemukan sebuah gelang silver yang memantulkan cahaya matahari.

"Hyuuga Hinata?" Betapa terkejutnya Naruto ketika menemukan ukiran nama itu, pada permukaan gelang yang sejak tadi mengundang bayangan gadis kecil bermunculan dalam ingatannya.

.

.

.

.

Bagi Naruto yang tumbuh besar di kawasan kuil, perpisahan adalah pemandangan yang biasa ia lihat sehari-hari. Dibandingkan orang yang berdoa mengharapkan berkah atau keselamatan dari dewi Inari, jumlah orang yang datang untuk upacara pemakaman jauh lebih banyak. Kata ibunya, itu adalah hal wajar, karena manusia adalah mahluk arogan. Yang kadang merasa bisa melakukan segala sesuatu sendiri tanpa bantuan siapapun, sampai takdir mengajari mereka bagaimana rasanya berada dititik terendah karena kehilangan, putus asa, barulah mereka ingat pada Tuhan. Mencari tempat mengadu, dan bergantung pada do'a.

Hari itu tidak ada bedanya dengan hari-harinya yang lain. Naruto masih mencium aroma dupa, mendengar suara tangis menyayat hati dari para orang yang ditinggalkan keluarganya, juga melihat betapa dahsyatnya efek kehilangan pada kehidupan seseorang.

Naruto pun pernah kehilangan, bukankah hidup itu memang tentang mengikhlaskan yang pergi dan menyambut yang datang? Semua orang pasti akan mengalaminya, karena itu Naruto tidak menangis. Percuma, menangis pun tak akan ada yang berubah. Namun, pendirian kuatnya hancur lebur ketika melihat bagaimana gadis kecil bersurai indigo itu menangis hebat sampai bahunya bergetar sembari memeluk guci abu ibunya. Naruto ikut menangis diam-diam. Naruto mulai mengerti, selama ini dia tak pernah menangisi kematian Minato bukan karena pendiriannya yang teguh. Tapi karena dia belum benar-benar paham arti kehilangan, belum tahu rasanya kehilangan hal yang lebih berharga dari semesta.

Sosok ayah memang sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan seorang anak, tapi Naruto yang sejak awal lebih sering menghabiskan waktu dengan Kushina, belum terlalu menyadari perbedaan saat ayah masih ada atau tidak. Emosi menyesakkan itu baru terpancing keluar ketika dia melihat gadis kecil yang hancur menangisi kepergian ibunya. Mungkin karena merasa senasib, rasa simpati muncul di hati Naruto. Tanpa sadar ia malah mengikuti langkah gadis kecil itu, menyusuri lorong-lorong di kuil tanpa memiliki tujuan. Memperhatikan bagaimana napasnya terlihat sesak karena tangis, juga bagaimana ia jatuh tersungkur ke lantai karena sudah tak sanggup menahan beban sakit di hati.

Pada akhirnya, Naruto tak bisa meninggalkan anak itu sama sekali. Mereka pergi ke altar kesayangan ibu Naruto untuk berdoa bersama, dan Naruto berusaha sebisa mungkin meredakan kesedihan anak itu sembari mendengar ceritanya.

"Sudah, jangan menangis lagi.." Naruto menggenggam jemari anak itu setelah mengumpulkan keberanian. "Kau harus mengantar ibumu dengan senyuman 'kan?"

Air mata anak itu masih enggan berhenti, membasahi maniknya yang serupa mutiara. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi."

"Jangan takut, saat sudah besar nanti aku akan menjemputmu. Ayo menikah, dan membuat keluarga lengkap kita sendiri!"

Mata yang terlihat masih sedikit merah dan bengkak itu menatap Naruto polos. "Kenapa menikah?"

"Kata ibuku menikah itu berarti menemukan teman hidup. Jadi aku akan terus menemani mu." Naruto tersenyum lega ketika kalimatnya mampu menghadirkan senyum dibibir gadis itu meski samar.

"Terimakasih, kau sangat baik."

"Tidak masalah. Sebagai gantinya, karena hari ini kau sudah banyak menangis, sering-seringlah tersenyum padaku di masa depan nanti!"

Hari itu, mereka menghabiskan sore bersama. Hingga seorang laki-laki datang dan menarik gadis itu pergi, menyisakan gelangnya yang terjatuh.

.

.

.

.

Naruto terlampau terkejut sampai tidak sadar kalau tikus yang sudah susah payah ia tangkap kembali lolos. Pikirannya sudah dipenuhi oleh berbagai macam hal rumit.

"Benarkah itu Hinata? Banyak orang yang bernama Hinata, tapi wajahnya mirip." Naruto menggelinding dilantai saking pusingnya. Ditambah, ia malu setengah mati karena mengingat kata-katanya sendiri. "Naruto bodoh! Kenapa saat kecil aku bodoh sekali? Menikah? Mengerti artinya saja tidak! Mati saja kau Naruto!"

Setelah puas menendang-nendang lantai salah tingkah, kini Naruto termenung cukup lama. Jika gadis kecil itu benar Hyuuga Hinata, si Cyborg Girl yang dia kenal, bukankah takdir lucu sekali? Pertama, kutukannya tiba-tiba hilang saat dia ingin menyelamatkan Hinata, lalu mimpi-mimpi aneh soal miko yang sangat mirip dengan Hinata, dan sekarang fakta bahwa mereka sudah pernah bertemu sebelumnya. Seolah semesta ingin memberitahukan sesuatu pada Naruto.

"Apa Hinata mengingat ku?" Naruto rasa jawabannya adalah tidak. Dia bahkan baru mengingatnya hari ini, mana mungkin Hinata ingat kejadian sepuluh tahun lalu? Apalagi jika melihat betapa dinginnya gadis itu kepadanya. Lagi pula, itu bukan hal penting yang harus Hinata ingat 'kan? "Benarkah itu kau? Jika iya, kenapa kau tidak tersenyum? Bahkan menangis saja tidak. Apa yang terjadi padamu, Hinata?"

🍁🍁🍁🍁

"Maaf ya, aku cuma punya sedikit." Gadis bersurai indigo itu tampak berjongkok tenang disebelah sepedanya, hanya tangannya yang sibuk membagi sebuah sosis menjadi beberapa potongan kecil untuk dibagikan pada segerombolan kucing liar yang sudah mengeong kelaparan. "Jangan berebut, nanti kalian terluka. Kata ibuku kita harus saling berbagi, tidak boleh berkelahi, oke?"

Wajah panik itu lantas mengundang senyum dibibir pemuda yang sejak tadi memperhatikan si gadis indigo dalam diamnya. Pagi ini, Naruto memang sengaja meminta sopir untuk menurunkannya di gang sempit yang biasa Hinata lewati ketika berangkat sekolah. Jika selama ini Naruto memilih abai, dan hanya melirik sekilas dari balik kaca mobilnya, sekarang ia ingin mencoba menyapa gadis itu. Tentu keputusannya sempat mendapat protes dari Sai, karena posisi gang yang masih terlalu jauh dari area sekolah. Tapi Naruto mana peduli. Setelah menemukan gelang silver di altar kuil kemarin, rasa penasarannya pada Hinata makin menjadi-jadi. Dia sudah tidak memikirkan gengsi lagi, ditolak berkali-kali pun Naruto pantang mundur.

"Kau?!" Hinata memekik, tentu saja terkejut karena kehadiran pria jakung yang tiba-tiba muncul dari balik tikungan dan ikut berjongkok di dekatnya. "Kenapa kau ada disini?"

"Ini jalan menuju sekolah, setahuku siapapun boleh melaluinya." Jawaban yang terdengar tengil itu tentu membuat Hinata ingin segera menyingkir dari sana, jika saja Naruto tidak menahan tangannya. Pemuda itu memaksanya memegang beberapa irisan ayam goreng yang ia keluarkan dari kotak bekalnya menggunakan garpu, lantas melirik singkat pada kucing-kucing yang entah sejak kapan sudah bertingkah manja kepada Naruto. "Anak-anak malang ini masih mengeong lapar, bantu aku menyuapi mereka, cepat."

Hinata menurut, meski masih bersungut tidak terima. Ia melirik Naruto penuh selidik. "Aku biasanya melihat mu diantar dengan mobil, tidak ada alasan untukmu berjalan melalui gang sempit ini. Sengaja mengikuti ku ya?"

"Ban mobilku bocor, mau tak mau aku harus naik bus. Kau tahu 'kan jarak halte ke sekolah lumayan jauh, jadi aku harus melanjutkan dengan jalan kaki lewat sini." Naruto berbohong dengan sangat lancar, hingga mampu membuat Hinata diam.

"Yasudah kalau begitu... Aku duluan." Baru saja Hinata meraih kemudi sepedanya, lengan besar Naruto kembali menginterupsi. "Apa lagi?"

"Teman sekelas mu sangat kelelahan setelah berjalan jauh, dan kau tidak mau menawarkan tumpangan? Tega sekali.." Naruto tidak berniat meminta izin, karena nyatanya sekarang dia sudah merebut kemudi sepeda Hinata. Menaiki sadel depan sesuka hati, dan melirik Hinata supaya duduk dibelakangnya.

"Hei! Kau seenaknya sekali."

"Hinata, kita harus berbagi dan tidak boleh berkelahi, oke?"

Astaga! Pipi Hinata sudah semerah tomat sekarang, antara kesal dengan sikap Naruto, dan juga malu bukan main karena pemuda itu ternyata menguping percakapannya dengan kucing-kucing tadi. Pasti, dia terlihat makin aneh dimata pemuda itu karena berbicara dengan hewan. Jika Sara dan teman-temannya tahu, mungkin akan ada rumor baru yang muncul, seperti 'si gila Hinata'.

"Hinata ayo naik, nanti kita terlambat."

Pada akhirnya Hinata naik dengan wajah yang terlihat super kesal. "Benar-benar, apa sih mau mu? Kenapa kau terus mengganggu ku akhir-akhir ini? Apa aku ada salah?"

"Kenapa ya?" Naruto mulai mengayuh pedal sepeda pelan, menembus angin yang membelai surainya pelan. Memikirkan betapa bodohnya orang-orang yang menyebar rumor bahwa Hinata itu psikopat. Padahal mereka belum melihat sisi lain Hinata yang penyayang binatang, penurut, dan mudah sekali dijahili. "Mungkin karena aku suka melihat mu marah?"

Hinata yang sedang menggerutu memang terlihat lebih manis ketimbang Hinata yang selalu diam tanpa ekspresi.

"Alasan macam apa itu? Jangan bohong."

"Aku ingin mendekatimu, dasar tidak peka." Naruto berucap jujur, dan suasana hening seketika. Naruto merasa malu tentu saja, sedangkan dibelakang, Hinata menatapnya penuh tanda tanya. "Kan aku bilang ingin berteman, lupa?"

Hinata termenung. Baginya, segala tindakan Naruto sangatlah tidak masuk akal. Apa untungnya berteman dengan si suram Hinata, disaat Naruto punya banyak sekali teman luar biasa di sekolah? Sampai beberapa waktu lalu, dia bahkan masih menjadi orang yang Naruto takuti.

"Ingat saat hari pertama masuk setelah libur kenaikan kelas tiga? Karena ada jam kosong, ketua kelas membuat event random, memberikan pesan kesan secara anonim ke teman sekelas supaya suasana lebih hidup." Hinata masih diam seperti biasa, hanya mendengar umpan topik percakapan tak bermutu yang susah payah Naruto ciptakan. Tapi Naruto yang bebal tentu tak menyerah begitu saja, terus bicara meski sepihak. Hinata sampai kagum pada kemampuan Naruto dalam mengalihkan topik, membuat kecanggungan yang tadi sempat menyapa terlupakan begitu saja. "Jika di kertasmu ada kata arcane, itu aku yang menulisnya."

Alis Hinata bertautan, sebenarnya dia tidak begitu mengingat event yang Naruto singgung sejak tadi. Dia sudah lama melupakan hari sialan dimana ia mendapat berbagai macam kata umpatan dan ledekan berkedok pesan kesan itu. Tapi, dari sekian banyak coretan tidak jelas, kata arcane yang ditorehkan dengan tinta biru itu memang sempat menarik perhatiannya dulu. "Apa itu semacam kata umpatan dalam bahasa asing?"

Naruto tertawa sangat pelan. Hinata baru tahu, pemuda bersuara nyaring, yang sering berteriak tidak jelas jika bersama kawanan temannya itu, bisa tertawa setenang ini. Suara tawanya candu sekali. Lembut dan dalam, seperti hembusan angin yang terpantul di permukaan ombak."Bukan. Artinya misteri yang hanya bisa dipahami segelintir orang, dan kurasa kata itu sangat cocok untuk menggambarkan dirimu dari sudut pandangku."

"Hinata, sebenarnya aku ingin minta maaf. Kau tahu, kesan pertama ku padamu sangatlah buruk. Jujur saja, aku bisa gemetar takut hanya karena melihat matamu, aku terpengaruh oleh rumor. Mungkin tanpa sengaja aku sudah menyakitimu dengan tindakanku." Selagi ada kesempatan, Naruto benar-benar ingin meluruskan kesalah pahaman diantara mereka. Dia cukup paham jika Hinata ragu menerima ajakan pertemanan darinya, karena bagaimanapun Naruto sempat menjadi salah satu orang yang melihat Hinata dengan rasa takut. Menghakiminya tanpa ada niatan untuk mengenalnya lebih dulu. "Tapi sudut pandang bisa berubah seiring waktu bukan? Sekarang aku merasa sangat salah sudah menilai mu tanpa berusaha mengenal mu. Karena itu, aku serius saat berkata ingin berteman. Jika boleh, aku ingin menjadi bagian dari segelintir orang yang bisa memahami mu. Apa kau mau memaafkan ku?"

Hinata tidak terkejut mendengar pengakuan Naruto. Hal seperti itu sudah biasa, lagi pula siapa yang tidak merasa takut pada gadis suram yang diliputi banyak rumor tak menyenangkan? Dia justru lebih terkejut pada ungkapan maaf Naruto, heran pada hatinya yang tiba-tiba merasa hangat dengan mendengar satu kata maaf. Mungkin, hati yang ia paksa kuat tiap kali orang-orang memperlakukannya seenaknya mulai merasa lelah, dan mengharap kata maaf dari seseorang sebagai pelipur. "Terimakasih sudah meminta maaf. Tak apa, semua orang berhak menentukan sudut pandang masing-masing."

Mungkin terdengar berlebihan, tapi Naruto merasa sangat lega, seolah setumpuk batu baru diangkat dari atas dadanya. Naruto tak pernah menerima kata terimakasih tiap kali ia meminta maaf pada seseorang, jangankan terimakasih, tidak diabaikan saja sudah bagus. Naruto tidak tahu kalau satu kata sederhana itu bisa membuatnya sesenang ini, merasa bahwa usahanya mengumpulkan keberanian sangat dihargai, terlepas permintaan maafnya diterima atau tidak.

"Lalu, bagaimana sudut pandangmu terhadap ku? Apa yang kau tulis di kertas ku?" Naruto serius saat berkata ia ingin mengenal Hinata lebih jauh. Bukan hanya karena masalah kutukan, tapi karena ia ingin tahu sisi tersembunyi dibalik sosok dingin gadis itu. Sisi lembut, yang beberapa kali mengundang gemuruh hebat dalam dada Naruto.

"Aku tidak menulis apapun." Hinata menyahut pelan, benar-benar tidak tahu harus melihat Naruto dengan sudut pandang seperti apa. Sebagai anak kecil manis yang ia rindukan selama ini? Atau sebagai teman sekelas yang dunianya sangat bertolak belakang dengan Hinata? Yang jelas, satu kata saja tidak akan cukup untuk menggambarkan sosok pemuda itu dimata Hinata. "Tidak tahu harus menulis apa."

"Kalau begitu, mulai sekarang lihatlah aku." Amethyst Hinata membola, ketika Naruto menoleh kearahnya, menembus rongga dadanya dengan tatapan safir yang tajam. Pemuda itu tersenyum lembut hingga kelopak matanya membentuk lengkungan bulan sabit, dengan hiasan semburat merah pada tulang pipinya. "Sering-seringlah memikirkan ku, dan putus kan, dengan sudut pandang seperti apa kau akan menilai ku kedepannya. Dan aku akan melakukan hal yang sama."

Seiring dengan detak jantung mereka yang mulai berisik, roda sepeda Hinata masih terus berputar. Melalui jejeran bunga sakura yang memenuhi jalan menuju ke gerbang sekolah. Perkataan Naruto begitu sederhana, tapi Hinata merasa seolah lembaran baru buku kehidupannya telah dibuka. Ada halaman kosong, yang kali ini ingin dia isi dengan alur bahagia, bukan tragedi atau mellow drama seperti halaman-halaman sebelumnya. Apa harapannya terlalu berlebihan?

Apa salah jika Hinata masih mengharapkan janji Naruto yang bersedia menemaninya, meski pemuda itu tak ingat apa-apa? Jujur, Hinata takut untuk memikirkan masa depan. Bagaimana jika nasib buruk kembali merobek lembar bahagia dalam hidupnya? Apa dia sanggup? Hidup tanpa memiliki apapun sejak awal, rasanya akan lebih baik ketimbang dipaksa merasakan pedihnya perpisahan lagi.

"Hei kalian, berhenti!" Terlalu terlena dengan percakapan sebelumnya, Naruto tanpa sengaja terus mengayuh sepeda sampai melewati gerbang sekolah. Melanggar tata tertib yang mengharuskan siswa menuntun sepedanya begitu memasuki area sekolah, supaya tidak menggangu pejalan kaki. Jadilah sekarang mereka mendapat teriakan menggelegar dari satpam.

"Aduh gawat!" Bukannya berhenti, Naruto justru mengayuh pedal sepeda makin kencang demi menghindari kejaran pak satpam. "Hinata pegangan yang kencang!"

"Hei! Ada apa dengan mu?!" Hinata memekik, kaget karena Naruto mengayuh sepeda dengan membabi buta, sejak tadi heboh sekali meneriaki orang-orang supaya minggir. Sampai-sampai Hinata melupakan segala pelik yang sempat memenuhi kepalanya tadi. Naruto benar-benar seperti ombak, kadang memporak porandakan hati Hinata dengan terjangan kuatnya, kadang menenangkannya dengan sapuan kecil nan hangat, dan kadang sangat tak terduga. Makin ingin mengerti Naruto, ia makin merasa tenggelam.

"Aku malu sekali astaga, kita pasti akan dimarahi guru-guru, lalu dihukum jika tertangkap!"

"Kau tidak takut berurusan dengan robot psikopat sepertiku, tapi kau malah takut diomeli guru?"

Naruto yang tidak ambil pusing soal ledekan itu, segera memarkir sepeda Hinata dan menarik gadis itu untuk berlari memasuki gedung sekolah. Hinata merasa seperti sedang bermimpi. Rasanya baru kemarin, ia hanya berani melihat Naruto dari jauh tanpa menyapa. Dan sekarang, pemuda itu berada tepat didepannya, menggenggam erat jemarinya seolah takut Hinata tertinggal dibelakang. Mereka berlari menyusuri lorong sekolah dengan langkah seirama.

"Tidak heran kau sampai mati-matian meloncati pagar sekolah saat hari pertama masuk. Ternyata kau setakut itu dengan hukuman dari guru."

Naruto melirik Hinata, telinganya memerah padam dipaksa mengingat memori memalukan masa lalu. Saking takutnya ia pada Kushina, dan tidak mau pihak sekolah mengadu ke Kushina soal kelakuan nakalnya, Naruto pernah nekat memanjat pagar hingga celananya robek saat kelas satu. Waktu itu, Naruto melihat siluet seorang gadis yang buru-buru kabur begitu ia berhasil mendarat ke tanah dengan suara robekan kain yang memekakkan telinga. "Jadi itu kau?"

Hinata mengangguk, dan Naruto mengacak rambut pirangnya pelan. Malu sekali rasanya. Apa dia dan Hinata diikat oleh semacam benang tak kasat mata? Kenapa banyak sekali kebetulan-kebetulan yang begitu tak masuk akal dalam hubungan mereka?

"Aku bukannya takut dihukum, aku hanya tidak mau pihak sekolah mengadu ke ibuku. Dia tipe wanita yang memiliki tanduk ketika marah, sangat seram." Naruto berusaha memulihkan citranya, tanpa tahu bahwa Hinata malah makin ingin tertawa mendengar alasan yang ia buat.

"Kita sembunyi dulu disini." Naruto menarik Hinata masuk ke ruang musik, menuntun gadis itu untuk bersembunyi dibawah piano tua beraroma kayu eboni bercampur debu kering. Salah satu jari telunjuknya menyentuh bibir, memberi instruksi supaya Hinata tetap tenang. "Kau bisa mengejek ku nanti, tapi jangan berisik dulu."

"Oke, ssstt.."

Naruto sama sekali tidak menyangka Hinata akan menirukan gerak tangannya. Jemari kecil gadis itu menyentuh bibir tipisnya yang terkatup lucu menanhan tawa. Astaga, manis sekali. Tuhan pasti sedang tersenyum ketika menciptakan Hinata, lihat saja betapa indahnya hidung mungil, mata bulat berkilau, juga alis simetris, yang menghias wajah tembam itu. Naruto tidak berani membayangkan, bagaimana jadinya bila wajah itu senantiasa dihiasi tawa dan berbagai macam ekspresi lainnya? Hati Naruto jadi tak karuan, saking gugupnya, kepalanya sampai membentur piano tanpa sengaja. Menciptakan suara keras yang membuat tempat persembunyian mereka ketahuan.

🍁🍁🍁🍁

"Whoa!! Apa itu? Apa itu yang bergerak-gerak brutal dibawah sana?!" Naruto sontak membanting skop kecil yang ia gunakan untuk menggali lubang, setelah menemukan mahluk aneh menggeliat diantara butiran tanah. "Pak Kakashi keterlaluan sekali memberi hukumannya!"

Hinata tidak tahan, dia tertawa cukup keras sampai Naruto terkejut. Bagaimana bisa seorang pemuda bertubuh setinggi itu memekik ketakutan hanya karena menemukan cacing? "Jangan berlebihan, kita hanya diminta menanam bibit bunga."

Naruto masih kesal sebenarnya, tapi melihat Hinata tertawa walau hanya sebentar, dia jadi ingin mentraktir pak Kakashi sekaleng kopi. "Harus aku apakan mahluk-mahluk itu? Dibuang? Dibunuh?"

"Jangan!" Naruto mendapat hadiah geplakan pelan di lengannya. "Itu hanya cacing, tidak berbahaya. Malahan dia yang membuat tanah menjadi subur. Kenapa kau tega sekali mau membunuhnya?"

"Bentuknya aneh begitu... Seperti mie ramen tapi hidup.." Wajah Naruto memucat, sepertinya beberapa hari kedepan ia tak akan bisa memakan ramen.

"Maaf kalau dia menakuti mu. Dia juga tidak meminta dilahirkan seperti itu." Kini safir Naruto terkunci pada Hinata yang dengan sangat tenang memegang cacing-cacing itu dengan tangannya. Lantas memindahkannya ke sisi lain hati-hati, seakan takut menyakiti si cacing. "Sudah. Biar aku saja yang melanjutkan menanam bibitnya. Naruto-kun, bisa bantu aku mengambil selang untuk menyiraminya?"

"Tunggu sebentar, aku akan segera kembali!"

Naruto berlari bukan karena terburu-buru ingin mengambil selang air, tapi untuk menyembunyikan wajahnya yang ia yakini sudah semerah tomat busuk sekarang. Ya ampun, Hinata ternyata keren sekali.

.

.

.

.

"Dasar pembunuh tidak tahu malu."

Gerak jemari Hinata terhenti, meninggalkan kegiatan menanam bunganya. Mendengar kata-kata sedemikian pedas yang ditujukan padanya, ia otomatis mendongak. Menatap singkat gadis yang berdiri congkak di depannya. Hinata bahkan tidak ingat siapa dia, atau mereka memang tak pernah bersinggungan sebelumnya?

"Siapa?"

Satu kata itu cukup membuat Fuuka naik pitam. Berani sekali orang seperti Hinata tidak mengenal dirinya yang merupakan anggota aktif OSIS? Fuuka sebenarnya tidak punya masalah pribadi apapun dengan Hinata, tapi melihat Sara- sepupunya sering menangis karena gadis aneh itu, tentu Fuuka tidak terima. Apalagi ketika dia mendengar desas desus bahwa Hinata adalah psikopat yang tega melukai ibunya sendiri, tapi bisa menjadi juara umum sekolah karena memanfaatkan koneksi ayahnya yang merupakan donatur tetap sekolah.

"Baru sekali aku melihat orang yang tidak tahu malu sepertimu. Padahal kau sekolah saja tidak niat, sampai dihukum guru seperti sekarang. Tapi bisa semudah itu menjadi juara umum."

Sumpah, Hinata sudah kepalang penat. Dia memang masuk ke sekolah bergengsi ini dengan bantuan koneksi Hiashi, karena nilai ujiannya yang kelewat rendah kala itu. Mau bagaimana lagi? Hinata tak pernah dibelikan buku, atau sekedar diberikan waktu tenang untuk belajar. Dia hanya akan dicari ketika penyakit mental Shina kambuh, dan setelahnya ia harus bersembunyi seperti hantu di rumah ayahnya sendiri. Sejak awal, Hinata juga tidak berniat memasuki sekolah ini. Jika bukan demi Shina dan sandiwaranya sebagai Shion, Hiashi mana mau repot-repot menyekolahkan anak gagal seperti dirinya? Sedangkan tabungan yang ditinggalkan ibu Hikari hanya cukup untuk membiayai sekolah sampai jenjang SMP.

Lulus SMP dia berniat mencari kerja dan membiayai hidup sendiri, tapi apa mau dikata saat Hiashi berubah pikiran, dan bersih keras memasukan Hinata ke SMA impian Shion bagaimanapun caranya? Hinata juga punya harga diri, bisa merasa malu, oleh karena itu begitu masuk SMA dia langsung belajar mati-matian demi memenuhi ekspektasi keluarga Hyuuga yang setinggi langit. Enggan menggunakan campur tangan Hiashi, lalu dihina lagi oleh semua orang, termasuk ayahnya sendiri. Dia membuang mimpinya, mengorbankan waktu, membatasi pertemanan demi mengejar angka-angka tanpa makna supaya tak ada yang kecewa. Tapi hasilnya, dunia yang tak tahu apa-apa tentang Hinata malah memandang dirinya dengan begitu rendah, sebagai robot psikopat penyendiri yang bisanya hanya mengandalkan koneksi orangtua.

"Anak macam apa yang berani melukai ibunya sendiri? Kau masih punya muka untuk ke sekolah setelah melakukan tindakan kriminal semenjijikan itu? Pembunuh seperti mu mestinya berada di penjara, bukan bersekolah disini. Mencoreng nama baik sekolah saja."

Hinata diam, dia bukan pembunuh. Tapi tak salah juga dia disebut sebagai pembunuh yang tega melukai seorang ibu. Karena keinginan egoisnya untuk hidup bersama ayah dulu, telah merenggut nyawa anak tidak berdosa, dan menghancurkan sebuah keluarga bahagia. Dia memang pendosa yang pantas mendapat segala bentuk hukuman dari Tuhan. Gadis didepannya yang tidak berhenti mengoceh itu, mungkin salah satu wujud dari karmanya. Disaat seperti ini, Hinata selalu memilih diam seperti kaleng bekas yang pasrah meski berulangkali ditendang. Kalaupun dia melawan dan terjadi perkelahian nantinya, ia akan membuat Hiashi marah.

"Katakan sesuatu! Kalau kau memang tidak melakukan apa-apa, kenapa kau diam saja? Kau tidak bisu 'kan?"

"Sekalipun aku jelaskan apa kau akan percaya?" Hinata menatap kosong, bahkan sang ayah sendiri, yang darahnya mengalir di tubuhnya tidak pernah percaya atau sekedar mendengar penjelasan Hinata. Sekali sudah divonis bersalah, maka selamanya akan tetap seperti itu.

"Memang kau tahu kenapa Hinata menusuk ibunya?" Tubuh Hinata menegang, begitu juga dengan Fuuka. Suara bariton itu terdengar santai namun cukup menyelidik, dan mengintimidasi disaat bersamaan. "Fuuka, sepertinya kau paham sekali kejadiaannya. Coba ceritakan secara lengkap, aku juga ingin tahu."

"I-itu tentu saja karena dia psikopat, Naruto-kun!"

Hinata memalingkan wajahnya ke sembarang arah ketika Naruto meliriknya dengan safir yang seolah siap menyayat habis kulitnya itu. Sejak kapan pemuda itu datang, dan mendengar segala perkataan Fuuka? Entah apa yang Naruto pikirkan tentang dirinya sekarang. Tapi apa pentingnya? Bukankah stereotip negatif sudah biasa melekat pada namanya? Apa artinya merasa takut?

"Aneh, kalau dia memang psikopat kenapa polisi membiarkannya berkeliaran bebas?"

"Mungkin, orangtuanya masih melindunginya.. Yah, Lagi pula seburuk apapun kelakuan anak, orangtua pasti memaafkan."

"Mungkin kau bilang?" Sebelah alis Naruto terangkat, bersamaan dengan seringai yang muncul dibibir. "Itu artinya kau tidak yakin dengan ucapanmu sendiri, apa aku salah?"

Fuuka sontak melangkah mundur ketika Naruto berjalan kearahnya dengan ekspresi tidak bersahabat. Benar-benar berbeda dengan Naruto si ramah yang selama ini populer di sekolah.

"Kau dan Sara sepupu mu itu, baru menduga-duga tapi sudah berkata seenaknya... Menyebarkan rumor, melakukan serangan fisik dan verbal pada Hinata, memicu keributan. Dimata ku, kelakuan kalian selama ini juga termasuk tindakan kriminal." Sebenarnya Naruto paling malas jika disuruh berdebat, menggunakan tinju jauh lebih mudah kalau saja dia tidak ingat kalau lawannya adalah perempuan. "Apa perlu ku panggilkan polisi sekarang?"

"Kau sampai menghina temanmu sendiri hanya demi membela orang sepertinya?"

Sara menunjuk Hinata tidak terima, sedangkan Naruto hanya tertawa karena seingatnya ia tidak sedekat itu dengan Fuuka, hanya sebatas kenal karena semua anggota ekstrakurikuler di sekolah pasti sering berurusan dengan OSIS.

"Naruto, kau pasti akan menyesal! Gadis itu hanya akan membuat mu tertimpa kesialan." Fuuka melangkah pergi dengan wajah penuh emosi.

Sedangkan Naruto, fokusnya sudah dimonopoli oleh Hinata yang hanya berjongkok diam tanpa membela diri seperti waktu kejadian kolam renang. Jujur saja Naruto sedikit emosi sekarang.

"Kenapa kau membelaku?" Fuuka tidak salah, Naruto hanya akan mendapat sial jika bersamanya. Lihat saja, baru sehari berurusan dengan Hinata, Naruto sudah berkelahi dengan temannya sendiri. Tidak menutup kemungkinan bila nanti Naruto akan ikut dimusuhi satu sekolah sepertinya. "Kau juga tidak tahu apa-apa soal diriku, jangan ikut campur."

"Kalau begitu beri tahu aku. Beritahu aku segala hal tentang dirimu." Naruto tak mau kalah. Dia tahu, mungkin kata-katanya sudah lancang, tapi jika dia tidak melewati batas garis yang digambar Hinata, selamanya ia tak akan bisa meraih gadis itu. "Hinata, tidak akan ada yang berubah jika kau hanya diam."

"Tetap tidak akan ada yang berubah meski aku bicara, pada akhirnya mereka hanya akan percaya pada yang ingin mereka percaya." Rasanya akan sangat menyakitkan ketika dia sudah memberanikan diri untuk jujur, tapi balasan yang didapat hanya tatapan penuh curiga. Hinata takut.

Naruto menunduk, seperti yang Hinata katakan tadi, pada akhirnya orang hanya akan percaya pada apa yang ingin mereka percaya dan kadang mengabaikan fakta. Dulu Naruto juga begitu, tapi sekarang dia benar-benar ingin mempercayai Hinata. Meski ia tidak tahu bagaimana caranya membuat Hinata mengerti. Bukan cuma Naruto yang belum menaruh kepercayaan pada Hinata, tapi gadis itu juga belum mempercayainya. Rasa curiga pada satu sama lain itu pun menjelma menjadi benteng tinggi yang mempersulit mereka untuk membuka hati.

"Aku psikopat yang melukai ibuku sendiri. Tidakkah kau takut kalau aku akan melukai mu juga?"

"Tentu saja, aku sangat takut. Tidak mungkin ada orang yang tidak takut terluka. Pada awalnya aku juga seperti mereka, meski aku tidak berkata apa-apa, sebenarnya dalam hati aku juga mencurigai mu, aku ingin menjaga jarak dan tidak terlibat dengan mu."

"Jauhi aku." Hinata mengangkat skop kecil ditangannya, menghunuskan benda itu tepat di depan mata Naruto. Hinata, sudah terlalu hancur untuk diperbaiki. Dia merasa salah sudah sempat terlena pada ajakan pertemanan Naruto, Hinata pikir akhirnya dia bisa hidup dengan normal seperti orang lain. Dia lupa kalau dirinya adalah anak haram pembawa sial, yang bisanya cuma menyusahkan orang lain. Daripada harus menyeret Naruto jatuh ke kubangan bersamanya, lebih baik jika pemuda itu takut dan menjauh darinya.

Alih-alih takut, Hinata justru mendapati Naruto yang tersenyum, berdiri tenang tanpa mundur sejengkal pun. Seolah ia sangat yakin bahwa Hinata tidak akan pernah sanggup melukainya. Dengan lembut jemari tan itu menyentuh tangan Hinata, membuat gadis itu menjatuhkan skop digenggamannya. Naruto masih setia menatap tangan Hinata yang bergetar hebat. Manik amethyst Hinata sedikit basah memancarkan kekalutan, sangat kontra dengan segala tindakan juga kata-katanya. Naruto mendengus pelan, mana ada psikopat dengan hati selembut ini? Hinata bahkan tidak sanggup melukai seekor cacing. "Bukankah sangat bodoh jika aku membencimu tanpa berusaha mengenalmu lebih dulu? Semua rumor tentang Hinata memang sangat menakutkan, namun dilain sisi Hinata yang kulihat setiap hari hanyalah gadis penyayang binatang, dan penyuka buku. Aku, sudah banyak mendengarkan sudut pandang orang lain tentangmu. Karenanya sekarang, aku ingin mendengarnya langsung darimu."

Hinata menarik tangannya, mundur beberapa langkah menghindari tatapan Naruto. Buru-buru berbalik, beranjak pergi meninggalkan Naruto sebelum hatinya makin kebingungan. Dia baik-baik saja meski seluruh dunia membencinya, dia tak butuh dipahami oleh siapapun, itulah yang selalu Hinata pikirkan selama ini. Tapi segala tindakan Naruto perlahan-lahan membuatnya menyadari realita, bahwa kenyataannya dia tidak sekuat itu. Dia ingin dimengerti, ingin didengarkan, tapi tak cukup berani untuk meminta sedikit atensi dari siapapun, apalagi afeksi. Karena Hinata tahu bahwa dirinya tak berharga, seperti kata ayah, keberadaan seorang Hinata sangatlah mengganggu dan tidak diinginkan oleh siapapun.

"Hinata, hanya karena banyak orang mengabaikan mu, bukan berarti tidak ada seorangpun yang mau mendengarkan mu."

Hinata ingin berlari sekencang-kencangnya, tapi tidak tahu harus memilih arah yang mana. Ia ingin mempercayai kata-kata Naruto. Tapi hingga detik ini, semua kata-kata yang sering ayah lontarkan masih menjadi rantai yang melilit seluruh tubuh Hinata, dia tidak pantas dicintai, tidak pantas berada disisi siapapun.

🍁🍁🍁🍁

Kan aku bilang apa, ini aslinya romcom, cuman kadang suka cosplay aja jadi hurt ( ◜‿◝ ).

Bagi pendapatnya dong, kadang kalau ga ada komen tu aku bingung mau ngelanjutinnya gimana, alurnya udah pas belum, feelnya ada apa engga ༎ຶ‿༎ຶ.

Apa yang bikin kalian penasaran sama cerita ini btw? Ku kira g bakal ada peminatnya.

Di chap ini lebih jatuh cinta ke Naruto atau Hinata?

Berhubung aku udah fast up, up berikutnya ntar dulu ya. Kalau tembus 60 vote, 30 komen deh nanti aku lanjut (ga usah buru-buru ditembusin gapapa beneran).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top