03 : Little Mermaid
Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
15+
.
.
Mulmed : The Sound of Rain - BigRicePiano (aku rekomen denger ini pas lagi baca).
.
.
NHL
🍁🍁🍁🍁
Menurutmu, bagaimana suara hujan itu?
Kalau menurut Hinata, suara hujan itu tak ada bedanya dengan sirine ambulan. Mencekam dan membuat hati berdesir ngilu.
Hujan, mungkin banyak orang yang menyukai kesan sejuk dan menenangkan yang selalu hujan tawarkan tiap ia menyapa dunia. Suara gemericik air, aroma segar pretikor, juga warna kelabu yang menenangkan mata, nyatanya semua unsur indah itu justru mengantarkan Hinata menuju gerbang trauma yang ia kunci rapat dalam hatinya. Kenangan hari penuh tragedi itu kembali terulang, terus mencuat mengahdirkan beragam emosi menyakitkan seperti kotak pandora yang dipaksa terbuka. Hinata selalu tenggelam dalam diamnya, serasa bagai disedot pusaran air, semakin dalam menuju dasar bumi. Kerap kali Hinata memilih bersembunyi, menghindari hujan dengan mengurung diri di tempat sepi. Memeluk tubuh ringkih nya erat, sembari menutup telinga rapat-rapat.
Hujan tadinya menjadi teman yang paling menyenangkan karena sang ayah akan mengajaknya bermain air seharian, lalu ayah akan tertawa senang melihat putri kecilnya yang menari-nari girang seperti peri air.
Tapi semua tak lagi sama, setelah hujan merenggut ibunya, kebahagiannya, senyumannya, dan Hinata benci itu.
.
.
.
.
Usianya baru genap tujuh tahun kala ia menangis dihadapan sang ibu menanyakan apa arti 'anak haram' yang biasa orang-orang sematkan dibelakang namanya? Dan yang ia dapatkan adalah peluk penuh tangis sang ibu, diiringi rentetan kata maaf tiada henti, sampai membuat hati Hinata berdesir antara takut, sedih dan kebingungan.
Hinata si anak haram. Karena tidak pernah mendapat penjelasan dari sang ibu, ia berakhir menebak-nebak bahwa semua orang mengejeknya demikian karena sang ayah yang jarang pulang ke rumah, sebab acap kali mereka mengimbuhi nya dengan kalimat pedas yang menyebutkan bahwa Hinata terlahir tanpa seorang ayah, dan ibunya adalah wanita rendahan yang melahirkan tanpa suami. Tentu ia tidak terima, dia punya ayah Hiashi yang sangat mencintainya.
Ayah Hiashi memang kerap sibuk dengan pekerjaannya di kota, tapi tak pernah lupa menjenguk Hinata ketika akhir pekan tiba. Membelikannya mainan-mainan lucu, kemudian mengajaknya bermain seharian di taman bersama Winter- anak anjing berbulu seputih salju kesayangan Hinata, hadiah terindah dari ayah Hiashi. Hinata sangat mencintai ayah, melebihi superhero di film-film yang ia kagumi. Kehadiran ayah di rumah selalu membawa keceriaan. Saat ada ayah, ibu Hikari tidak pernah menangis diam-diam di kamar mandi sembari menyalakan kran air keras-keras. Ibu sering tersenyum cantik dan Hinata sangat menyukainya.
Tetapi seiring dengan bergantinya musim, ayah mulai jarang hadir diantara mereka. Ibu selalu meminta Hinata bersabar, memaklumi kesibukan ayah yang sedang mencari uang supaya bisa membelikan Hinata banyak mainan serta makanan enak. Akhir pekannya tak lagi sama sejak itu. Tidak ada hari-hari menyenangkan bersama ayah dan Winter, yang ada hanya mata sembab ibu, juga ejekan 'anak haram' yang makin menggila. Demi ibu Hinata selalu bersabar, ia menjadi putri penurut supaya ibu tidak bersedih. Tapi bohong kalau Hinata bilang dia tidak butuh ayah, kenyataannya dia rindu berat pada ayah, hingga tanpa sadar terus menyebut nama ayah Hiashi dalam tidurnya. Dan puncaknya, dihari ulang tahunnya yang ke delapan, tanpa sengaja Hinata meminta hadiah yang akan sangat ia sesali seumur hidup. Permintaan pada sang ibu, untuk membawa ayah pulang bagaimana pun caranya. Diiringi tangisan dan kata-kata menyakitkan yang mengikis kepingan hati ibu. 'Ibu saja tidak cukup, Hinata tidak mau hidup tanpa ayah'.
Dan yang Hinata dapatkan di hari berikutnya adalah berita kematian ibunya, juga sang ayah yang datang bersama dua orang asing yang menatap dengki pada Hinata.
"Shion... Putriku.. Putri kecil ibu..." Wanita cantik yang bersimpuh di lantai kayu itu, sekali lagi berteriak histeris dalam pelukan ayah. Mengabaikan anak laki-laki yang ikut menangis disebelahnya. Membuat semua orang yang berada di kuil tak henti menggumamkan kata iba. "Ini salah mu Hiashi! Ini semua salahmu!!"
Baru kali ini Hinata melihat wajah hancur ayah. Tapi ia tak cukup berani untuk mendekat dan menyeka air mata yang mulai berjatuhan dari permata ayahnya, memilih diam di ujung ruangan sembari memeluk erat guci abu ibunya.
"Kalau saja kau tidak berselingkuh dengan mantan kekasihmu itu, putri ku tidak akan diculik dan mati konyol dalam kecelakaan bersama selingkuhan ayahnya sendiri!!" Tangis bibi berambut pirang itu lagi-lagi pecah. Matanya memancarkan kesedihan mendalam ketika menerawang pada foto gadis kecil cantik berhias dupa juga bunga di altar. Seolah semestanya diterpa kiamat saat itu juga. "Kalau kau tidak pernah bisa melepas Hikari, dan belajar mencintai ku Hiashi, mestinya tolak saja perjodohan kita sejak awal."
"Shina maaf, tolong ampuni aku. Aku tidak menyangka Hikari akan berbuat sejauh itu hanya untuk membawaku kembali. Sumpah demi apapun, seiring waktu aku mencintaimu dan anak-anak kita melebihi apapun. Aku memilih kalian, dan berniat meninggalkan wanita itu sejak lama." Amethyst Hiashi tampak bergulir, mengarah pada Hinata dengan tatapan mengoyak hati. "Kalau saja aku tidak membuat kesalahan malam itu... Kalau saja Hikari tidak pernah melahirkan putrinya.."
Pijakan Hinata hancur. Bersama gemuruh hujan, langit seolah ikut runtuh menimpa seluruh semestanya hingga jadi debu. Otak kecilnya yang sama sekali belum dewasa dipaksa memikirkan kemungkinan-kemungkinan paling kejam. Bahwa sang ayah yang begitu ia cintai justru menganggapnya sebagai pembawa duka dan tak semestinya dilahirkan ke dunia. Hati Hinata patah, kepingannya melebur tersapu dinginnya air hujan, ternyata ayah tak pernah mencintainya ataupun ibu. Ternyata, kebersamaan yang begitu ia rindukan itu tak ada nilainya bagi ayah. Ayah sudah punya keluarganya sendiri, keluarga bahagia tanpa ibu dan Hinata. Mereka tak pernah dianggap ada, sampai akhir pun ayah hanya menangis untuk mengantar kepergian si kecil cantik- Shion, tanpa tertarik untuk sekedar memeluk Hinata, atau mendoakan ibu untuk terakhir kalinya.
Hinata merasakan pahitnya penyesalan untuk pertama kalinya. Kenapa takdir tega sekali bermain-main dengan hati manusia? Kenapa Hinata baru menyadari kalau dia hanya memiliki sang ibu, ketika semesta sudah merenggut ibu untuk selamanya?
Kaki Hinata melemas, napasnya tidak beraturan hingga terasa mencekik. Dia rindu ibu, ingin dipeluk ibu dan menenangkan diri dalam dekap hangatnya. Tanpa memiliki tujuan kaki kecilnya terus berjalan menelusuri lorong kuil yang bercabang tak berujung. Hinata tidak peduli sekalipun ia tersesat, toh rumah tempatnya kembali sudah tiada. Dia hanya ingin mencari altar yang sepi, dimana ia bisa mendoakan ibunya untuk terakhir kali sebelum abunya dikuburkan. Altar sebelumnya sudah terlalu sesak, penuh doa yang dipanjatkan untuk Shion. Tanpa ada yang mengingat bahwa ada guci abu lain yang perlu didiokan dalam pelukan Hinata. Namun entah karena air mata yang tertahan di pelupuk matanya sudah terlalu banyak, atau karena suasana diluar sedang mendung, pandangan Hinata makin lama makin mengabur. Hanya gelap yang ia lihat ketika pipinya menyentuh dinginnya lantai dengan cukup keras.
.
.
.
.
"Hei! Halo? Kau dengar aku?" Hal pertama yang menyapa penglihatannya adalah lima jari mungil yang melambai didepan wajahnya. Kemudian senyum yang sangat cerah menyusul sedetik kemudian, membuat Hinata menyadari keberadaan anak lelaki bernetra sebiru langit yang membaringkan tubuh tepat disebelahnya. "Kau baik-baik saja? Kenapa tidur di lantai? Karena tidak kuat menggendong mu, jadi aku menemanimu disini."
Anak itu berceloteh, tak berkomentar apa-apa soal penampilan Hinata yang pastinya sangat kacau. Bahkan ia mengusap wajah Hinata yang penuh ingus tanpa merasa jijik. "Kau baru menangis ya?"
Hinata menunduk, terlalu malu sampai tidak sadar kalau anak lelaki itu sudah membantunya bangun dengan menarik tangannya pelan. Tanpa Hinata minta, ia tak lupa mengambilkan guci abu yang masih tertinggal di lantai. "Siapa yang berada di dalam sini?"
"Ibuku..." Hinata berucap lirih, dengan suara parau khas orang yang baru menangis.
"Apa ibumu sudah didoakan di altar kuil? Abu ini harus segera dikuburkan." Anak itu bicara sangat tenang soal kematian, seolah sudah terbiasa menghadapi perpisahan. Padahal usianya terlihat tak jauh beda dari Hinata, mungkin hanya selisih bulan.
"Aku sedang mencari altar yang sepi."
Anak laki-laki bersurai serupa kelopak bunga matahari itu hanya mengangguk pelan, tidak berani bertanya macam-macam. Soal Hinata yang datang sendirian, atau kenapa Hinata enggan bergabung dengan orang-orang di altar utama. Dan Hinata sangat mensyukuri itu, terlalu menyakitkan jika dia harus mengingat semua kejadian buruk untuk bercerita.
"Aku tahu altar lama yang sudah jarang dipakai. Ayo doakan ibumu bersama." Anak lelaki itu berujar lembut sembari menarik tangan Hinata. Membawanya melewati sisi demi sisi kuil yang terasa asing, namun anehnya Hinata si penakut justru merasa sangat aman ketika langkahnya dituntun makin menjauh dari altar utama tempat sang ayah berada.
"Hei... Bolehkah aku bertanya?" Sekali lagi Hinata merasa heran, pada keberanian yang entah sejak kapan ia dapat. Mungkin hatinya sudah terlampau kacau, pikirannya lelah, dadanya sesak memikirkan kata orang-orang yang selama ini berusaha dia tampik. Tentang ibunya yang merusak rumah tangga orang lain, pembunuh anak tidak bersalah, si pendosa yang sampai akhir pun tak akan diampuni oleh dewa. "Apa.. apa dewa akan memaafkan ibu jika aku berdoa dengan sungguh-sungguh? Aku tahu ibu berbuat salah, tapi ibu melakukannya demi diriku. Aku akan hidup untuk menebus semua kesalahan itu jadi-"
Kalimat Hinata terpotong oleh pelukan yang tiba-tiba ia dapatkan. "Pasti. Ibumu sudah membesarkan anak sebaik dirimu, kata ibuku, dewa dan dewi akan sangat mencintai orang-orang yang menghargai titipannya. Dan ibumu, sudah menjaga titipan paling berharga mereka dengan sangat baik, dirimu."
"Benarkah?" Mata Hinata mulai berair ketika anak laki-laki itu melepaskan pelukannya, dan kembali melanjutkan langkah mereka hingga keduanya berhenti di sebuah ruang altar yang ukurannya jauh lebih kecil dari altar sebelumnya.
"Iya. Saat ayah ku meninggal, ibu bilang aku harus menjadi anak yang kuat dan baik. Dengan begitu, dewa dewi akan memberikan tempat terindah untuk ayah, karena dia berhasil menjaga putranya dengan baik sebelum ajal menjemput." Senyum anak itu teduh seperti pepohonan rindang, tapi juga cerah dan hangat secara bersamaan. Mengingatkan Hinata pada komorebi, seberkas cahaya matahari yang berhasil menerobos celah dedaunan. Sangat indah. "Jadi jangan bersedih lagi. Kau boleh menangis, tapi jangan lupa untuk kembali tersenyum, oke?"
"Apa kau tidak rindu pada ayahmu?" Pertanyaan itu terlontar setelah Hinata meletakkan guci abu sang ibu ke altar, menghiasnya dengan setangkai bunga liar yang ia pungut di halaman sebelum memasuki area kuil tadi.
"Ayah meninggal saat usiaku masih sangat belia, dibandingkan rindu, aku lebih ingin mengetahui bagaimana sosoknya yang belum terlalu ku kenal." Anak laki-laki itu lantas mengusap surai indigo Hinata pelan saat menyadari bahwa gadis kecil itu hampir menangis lagi. "Lagi pula, jika aku terus terpuruk merindukan ayah, aku takut ayah khawatir disana. Aku juga tidak mau menambah beban kesedihan ibuku."
"Bagaimana jika aku sangat rindu pada ibu dan tidak bisa tersenyum lagi? Aku tidak mau ibu sedih karena mengkhawatirkan ku, apa yang harus kulakukan agar setegar dirimu?"
"Aku tahu ini akan terdengar seperti bualan, aku juga tidak mempercayai ibuku ketika ia mengatakannya. Tapi kau tahu? Kadang kala kebohongan kecil bisa sedikit meredakan harapan membara di hati manusia..." Anak itu menggaruk tengkuknya pelan. "Ketika sedang ada banyak bintang di langit, anggaplah ibumu adalah salah satunya. Dia ada di atas sana, selalu mengawasi mu sampai kapan pun. Dia akan ikut senang ketika putri kecilnya bahagia."
Hinata kembali larut pada pikirannya saat itu. Mengingat kenakalan-kenakalannya yang membuat ibu makin susah. Juga rasa sesal karena telah hadir ke dunia, menghancurkan hidup ibunya. Ditengah-tengah doanya, isakan kembali lolos tanpa bisa dibendung oleh jemari kecil yang berusaha membekap bibir. Dengan suara bergetar yang timbul tenggelam disahut gemuruh hujan, gadis itu berbisik tertunduk. "Aku anak yang buruk ibu... Maaf... sampai akhir aku tidak sempat mengatakan terimakasih, dan seberapa besarnya rasa sayangku pada ibu."
"Terimakasih sudah lahir." Hinata tertegun, anak lelaki yang sejak tadi terlihat fokus berdoa disebelahnya tiba-tiba membuka kelopak matanya, menatap Hinata dengan safir biru sembari menggenggam tangannya. Ia menuntun tangan Hinata supaya melepas bekapan pada bibir, seolah memberi tahu tak apa menangis sejadi-jadinya supaya ia punya kekuatan untuk bangkit esok hari. "Kurasa, kalimat itu yang akan ibumu katakan jika dia ada disini."
Hari itu Hinata habiskan untuk menangis sampai tubuhnya kelelahan dan tertidur bagai bayi. Ia tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelahnya. Saat ia membuka mata, ia sudah berada di tempat asing yang ayahnya sebut sebagai rumah barunya. Rumah dimana ibu Hikari tidak ada di dalamnya, rumah dimana ayah Hiashi yang ia kenal berubah total menjadi sosok baru, rumah dimana Winter tidak diperbolehkan masuk lagi, rumah dimana Hinata harus hidup sebagai orang lain.
.
.
.
.
"Kira-kira ibu yang mana ya?" Manik Hinata mengintip dari balik jendela kamarnya, memperhatikan langit cerah penuh bintang ketika akhirnya hujan reda. "Apa yang paling terang itu? Ah tidak, ibu pemalu, mungkin dia si kecil yang berada di ujung terjauh itu.."
Helaan napas pelan terdengar, sampai sekarang pun dia masih suka mempercayai kebohongan kecil yang anak laki-laki itu buat demi menghibur hati. Uzumaki Naruto, butuh waktu bertahun-tahun sampai Hinata mengetahui nama anak itu.
'Aku tidak punya siapa-siapa lagi.'
'Jangan takut, saat sudah besar nanti aku akan menjemputmu. Ayo menikah, dan membuat keluarga lengkap kita sendiri!'
Hinata tertawa hambar, mengingat percakapan terakhirnya bersama Naruto sebelum ia tertidur di altar kuil Inari bertahun-tahun lalu. Bohong kalau Hinata bilang dia tak mengharapkan apapun, meski ia tahu itu hanyalah janji main-main anak kecil. Mungkin karena hatinya sudah terlalu lelah, dia mulai menggantungkan diri pada harapan sekecil apapun untuk bertahan hidup.
Namun, meski dia bisa bertemu kembali dengan pemuda itu dikelas yang sama ketika SMA, dan akhirnya mengetahui namanya, Hinata selalu mengurungkan niat untuk sekedar menyapa. Dia sadar, bahwa dirinya sama sekali tidak meninggalkan jejak dalam ingatan Naruto. Hinata tidak menyesali itu, tidak pula merasa kecewa, meski hatinya sedikit nyeri ketika ia tak sengaja mendengar Naruto berkata, 'Tidak bisakah kalian berhenti membicarakan soal cyborg girl itu? Dia membuat ku takut'.
Saat itu, Hinata merasa tak ada bedanya dengan little mermaid yang paling bodoh sedunia. Hanya karena keramahan Naruto kecil dulu, ia mulai berharap yang tidak-tidak. Seperti si duyung kecil yang mengorbankan suara untuk ditukar dengan kaki demi pangeran pujaannya, Hinata hampir mengorbankan waktu belajarnya demi bisa dekat dengan Naruto. Padahal ia tahu, hal itu akan memicu masalah yang membuat Shina menggila dan ayahnya mengamuk. Memicu kejadian malam berdarah yang ia sesali sampai sekarang.
Di rumah ini ia memiliki tanggung jawab besar, menggantikan posisi Shion, permata kecil keluarga Hyuuga yang sudah direnggut paksa oleh mendiang ibunya. Membuat Hinata mau tak mau memakai topeng tebal, berpura-pura menjadi Shion dan berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkan mimpi-mimpi Shion yang belum sempat terealisasi. Seperti, menjadi siswi terpintar seantero sekolah, berkuliah ditempat yang sama seperti kak Neji, dan menjadi dokter seperti ayah Hiashi. Alasannya hidup adalah untuk melakukan penebusan dosa, mana sempat memikirkan janji manis masa kecil?
Tapi ketika dia mulai terbiasa tak acuh pada sosok Naruto, hidup lagi-lagi mengajaknya bercanda.
'Bisakah kita menjadi teman?'
Satu kalimat itu, sudah cukup untuk membuat Hinata merasa tidak karuan. Ketika kecil dulu, dia merasa sangat senang karena Naruto bersedia untuk berada disisinya. Siang malam ia berharap akan dipertemukan dengan Naruto lagi. Namun sekarang, Uzumaki Naruto adalah sosok yang paling ingin Hinata jauhkan dari hidupnya. Berpura-pura tidak mengenali Naruto adalah keputusan yang paling tepat, jika Hinata ingin menjauhkan pemuda itu dari nasib sial yang menyertai hidupnya. Mereka terlampau berbeda, Naruto dengan dunianya yang penuh warna, dan Hinata yang harus hidup dalam bayangan demi menebus semua dosa-dosanya. Sayangnya, menjauh tidak semudah yang Hinata bayangkan. Ketika dia berpikir bahwa Naruto tak akan menyadari keberadaannya, pemuda itu justru datang menawarkan sebuah sapu tangan untuk menyeka hidungnya yang berdarah. Tak cukup sampai situ, Naruto juga menyelamatkan nyawanya tempo hari.
🍁🍁🍁🍁
"Bangun!"
Suara kasar juga tatapan yang menukik tajam seperti elang pemangsa itu sontak menarik paksa Hinata keluar dari alam mimpinya.
"Ayah dan ibuku sudah pulang dari rumah sakit. Ibu terus mencari Shion, kau tahu apa yang harus kau lakukan bukan?"
Hinata menunduk dalam tak berani membalas tatapan Neji- kakak laki-lakinya secara biologis, meski mereka lahir dari rahim yang berbeda. Suara Neji tak pernah gagal membuat Hinata bergetar hebat. Antara takut pada sosok Neji yang kadang kelewat kasar mencacinya, namun ia tak bisa melawan karena jauh dalam lubuk hati, Hinata merasa sangat berdosa pada pemuda itu. Dia adalah salah satu alasan yang membuat Neji memekik frustasi setiap malam bersama tumpukan botol alkohol. Kelahirannya telah merenggut kebahagiaan terbesar dalam hidup Neji, membuat keluarga yang ia cintai lebih dari nyawanya sendiri tercerai berai.
"Apa sekarang kau tuli dan bisu?"
"Maaf kak..." Hinata menggeleng cepat. Sempat lupa kalau Neji paling benci dipanggil kakak olehnya jika mereka hanya berdua. "Ma-maksud ku, aku mengerti Neji-san."
Hinata memejamkan mata ketika mendengar benturan kuat di sebelahnya, lagi-lagi Neji menendang kursi yang berada di kamar Hinata sebagai pelampiasan emosi. Membuat kursi itu menyenggol lengan Hinata sebelum akhirnya menghantam tembok hingga patah menjadi dua.
"Makin hari kau makin mirip saja dengan jalang itu, menjijikkan! Kalau saja ibu tidak pulang hari ini, lebih baik aku menghabiskan waktu di kampus dari pada harus bernapas di tempat yang sama dengan hasil dosa sepertimu."
Hinata masih setia menutup mata, lengannya berdenyut nyeri, ia yakin warna kebiruan sudah muncul menghias permukaan kulitnya yang pucat. Tapi ia tak pernah marah, jika ia menempatkan dirinya pada posisi Neji, Hinata mungkin akan melakukan hal yang sama. Siapa yang tahan ketika harus serumah dengan anak hasil perselingkuhan sang ayah? Putra mana yang tak kecewa ketika ibunya dibuat menangis setiap hari? Kakak mana yang masih merasa baik-baik saja ketika adik perempuannya mati mengenaskan karena alasan konyol? Hinata memahami luka Neji, dan merasa bertanggung jawab atas itu.
"Dengar ya!" Kali ini Hinata meringis, bentakan Neji, juga cengkraman pada lengannya yang sudah membiru membuatnya remuk luar dalam. "Kalau kau berani berulah seperti terakhir kali, aku tidak akan segan untuk membunuhmu! Selama ini aku masih mengasihani mu karena kebetulan wajahmu mirip dengan adik ku."
Hinata menatap punggung Neji yang berjalan keluar kamarnya setelah membanting pintu keras-keras. "Shion kau sangat beruntung, kakak mu sangat menyayangi mu. Ayah dan ibumu juga, mereka sangat hancur seolah kehilangan dunianya saat kau pergi." Air mata terkumpul di pelupuk, siap membasahi pipi kapan saja. Kini tatapannya beralih pada foto Shion kecil diatas nakas nya. "Kalau aku terus memohon maaf dan melakukan yang terbaik, apa kakak dan ayah akan bisa menyayangi ku sedikit saja? Apa ibumu bisa memaafkan ibuku, Shion? Aku sangat menyesal, maaf sudah lahir dan merampas kebahagiaan kalian. Jika boleh, aku akan dengan senang hati menukar nyawaku demi membawamu kembali ke pelukan mereka."
.
.
.
.
"Putra ibu benar-benar membanggakan. Pasti lelah sekali ya berkuliah di jurusan kedokteran?"
Hinata keluar dari kamar tanpa bersuara, enggan mengganggu interaksi keluarga yang terlihat sangat hangat dan membuatnya sedikit iri itu.
"Begitulah bu, karena aku sudah duduk di semester akhir, aku makin sibuk."
Shina terlihat duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah mereka, disampingnya ada Hiashi, dan di depannya, Neji berjongkok disebelah kakinya. Terus menghujani sang ibu dengan tatapan penuh kasih sayang, yang dibalas dengan belaian lembut pada surainya oleh sang ibu.
"Ibu jadi khawatir pada Shion, bagaimana kalau dia kelelahan jika mengambil jurusan kedokteran juga?"
Hinata buru-buru melangkah mendekati Shina begitu mendapat lirikan dari sang ayah. Tak lupa mengenakan wig serupa surai mendiang Shion, dan memasang senyum palsu terbaiknya. "Ibu tidak perlu khawatir.... Aku akan melakukan yang terbaik."
"Mau bagaimana lagi... Sejak kecil putra putri ibu memang sangat ingin menjadi dokter seperti ayahnya supaya bisa merawat ibu dengan baik." Hinata terdiam kaku saat jemari kurus Shina mulai menyentuh pipinya. Rasa berdosa terus menghujam hatinya. Wanita dihadapannya ini sangat lemah dan bisa hancur kapan saja karena keadaan, bisa-bisanya Hinata hampir mencelakainya karena keegoisan dulu.
"Ibu, ini sudah larut. Kakak antar ke kamar ya? Ibu 'kan harus banyak istirahat." Neji buru-buru membantu ibunya bangkit dari sofa, dan membawanya ke kamar. Mungkin sudah terlalu muak dengan drama keluarga yang Hinata lakukan, tak tahan melihat orang lain mengambil identitas adik kesayangannya.
Kini hanya ada Hinata dan ayah yang saling menukar pandang ditengah kesunyian. Jika tidak ingat usia, Hinata ingin sekali melompat ke pelukan sang ayah yang seingatnya sangat nyaman itu. Ia ingin berlarian di taman luas dalam gendongan ayah, diikuti Winter yang mengejar dibelakang. Lalu pulang ke rumah, dimana ibu sudah menanti dengan beragam hidangan lezat.
Pulang. Hinata benar-benar ingin pulang. Ke rumah lamanya yang kini sudah rata dengan tanah. Hanya dirumah itu dia bisa mendengar suara ibu, dan bertemu dengan ayah yang menyayanginya. Ayah yang ada di rumah ini terlalu asing, hingga untuk sekedar menyapanya saja Hinata butuh keberanian lebih. "A-ayah... Mau aku buatkan kopi?"
"Jangan banyak berulah."
Mendapat kalimat sedemikian tajam setelah mengumpulkan sisa keberanian yang ia punya, Hinata hanya bisa berdiri mematung melihat ayahnya pergi mengabaikannya.
'Ibu, aku ingin hidup dengan baik seperti keinginan mu. Sampai detik ini aku hidup bu, tapi aku tidak merasa hidup. Jadi, apa yang harus kulakukan? Apa aku benar-benar tidak boleh ikut denganmu? Kenapa malah Shion yang kau ajak pergi? Bukankah aku putri kecil kesayangan mu?'
🍁🍁🍁🍁
Hari ini, sepotong roti coklat dan sekotak susu strawberry tersusun rapi dalam loker mejanya. Hinata bersyukur masih ada yang bisa ia gunakan sebagai pengganjal perut. Lantaran pagi tadi dia sengaja melewatkan sarapannya, berangkat lebih awal karena tak mau merusak suasana di meja makan.
"Karena festival sekolah akan segera dilaksanakan, OSIS meminta tiap kelas mengajukan dua delegasi sebagai perwakilan rapat antar kelas. Seperti yang sudah kita sepakati, kita akan menentukannya dengan lotre." Sakura yang merupakan wakil ketua kelas pun mulai mengambil beberapa gulungan kertas yang sudah dikocok dalam sebuah toples plastik sebelumya. "Uzumaki Naruto.... Dan Hyuuga Hinata."
Naruto kontan memekik girang setelah mendengar nama kedua yang Sakura sebutkan, padahal tadinya dia sudah hampir berteriak protes. Beda halnya dengan Hinata yang baru saja sadar setelah sibuk memakan roti coklat.
"Hinata!" Si pemilik nama terlonjak kaget karena Naruto tiba-tiba sudah berdiri di depannya, sedikit menundukkan tubuh jakungnya supaya netra biru itu bisa sejajar dengan amethyst Hinata yang masih duduk. "Kita terpilih sebagai perwakilan kelas."
"Iya."
"Bukankah artinya kita akan sering bertemu mulai sekarang? Kita jadi punya banyak kesempatan untuk bicara."
"Bukankah sejak dulu kita sudah sering bertemu di kelas? Hampir setiap hari kalau kau lupa."
Naruto terdiam, Hinata benar, mereka selalu punya kesempatan untuk bicara, tapi Naruto terlalu tak acuh. Dan lihatlah apa akibatnya sekarang, lidah Naruto terasa kelu sampai mencari topik pembicaraan saja tak mampu.
"Tunggu, mau kemana?" Naruto buru-buru menahan Hinata saat gadis itu bangkit dari tempat duduknya.
"Keluar, ini sudah jam istirahat."
.
.
.
.
Naruto terus merutuki dirinya sendiri yang hanya diam ketika Hinata melangkah menjauhi kelas. Dan disinilah dia sekarang, berjalan mengelilingi sekolah seperti orang kebingungan untuk mencari Hinata. Gadis itu benar-benar seperti hantu, mudah sekali menghilang tanpa jejak. Salahnya juga yang tidak bisa menahan Hinata tadi, sumpah, baru kali ini Naruto yang dikenal sebagai social butterfly merasa mati gaya dan canggung dihadapan seseorang. Salahkan mimpi sialannya semalam, mimpi tentang si gadis miko yang makin lama tampak makin jelas. Kali ini bukan mimpi menyayat hati seperti saat itu, tapi mimpi dimana si miko tersenyum sangat cerah kepadanya. Hingga begitu terbangun, Naruto langsung ingin melihat wajah Hinata. Seperti orang yang sedang rindu berat.
Setelah sepuluh menit mencari, safir Naruto menemukan keberadaan gadis itu. Ia sendirian, duduk dibawah sebuah pohon di halaman belakang sekolah yang berbatasan dengan hutan kecil. Jemarinya tampak sibuk membuka karton susu strawberry pemberian Naruto, lantas meletakkannya begitu saja diatas dedaunan kering. "Kau mau menjadikan tempat ini sebagai kuil atau apa? Kenapa menaruh persembahan di tepi hutan?"
Amethyst itu sempat membola lucu, tapi tak berlangsung lama karena Hinata dengan cepat menyembunyikan ekspresinya dibalik bentangan buku tebal. Hening beberapa menit, Hinata yang asik dengan dunia bukunya, dan Naruto yang diam-diam tersenyum seperti orang bodoh hanya karena menatap sekotak susu strawberry. Kendati pertanyaannya tidak dijawab Hinata, Naruto cukup tahu apa tujuan Hinata meletakkan susu itu ditepi hutan, dia ingin membaginya dengan Naru. Padahal, tiap pagi Naruto sengaja menyelipkan makanan ke loker gadis itu supaya Hinata bisa makan sampai puas. Tapi, gadis itu tak pernah lupa berbagai. Kadang dengan kucing liar yang ada di halaman depan sekolah, kadang juga dia akan membawanya ke hutan belakang sekolah karena meyakini Naru tinggal disana. Naruto tahu setelah beberapa hari ini diam-diam mengikuti Hinata.
Katakanlah dia seperti penguntit menjijikkan, Naruto tidak keberatan. Dia hanya ingin memastikan kejadian di kolam renang waktu itu tidak terulang kembali, tapi masih terlalu canggung bila secara terang-terangan berada disisi Hinata.
"Kau rajin sekali belajar." Naruto kembali melontarkan kalimat random. Tidak lagi mengharap jawaban dari Hinata, dia hanya ingin ikut duduk menikmati sejuknya udara dibawah pohon rindang bersama Hinata.
"Aku harus mendapat nilai yang bagus jika ingin masuk jurusan kedokteran di Universitas Tokyo." Diluar dugaan, kali ini Hinata menjawab tenang walau fokusnya belum teralihkan dari lembaran-lembaran putih tergores tinta itu.
"Jadi, cita-citamu ingin menjadi dokter?"
Hinata terdiam, kali ini ia meletakkan bukunya. Tadi, ia hanya menjawab seperlunya karena merasa tidak enak mengabaikan orang yang pernah menyelamatkan nyawanya. Tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan baru yang membuatnya kebingungan. Mana mungkin dia menjawab bahwa itu mimpinya Shion 'kan?
"Terimakasih karena sudah menyelamatkan ku waktu itu, Uzumaki-san." Akhirnya, Hinata memilih membelokan percakapan, toh dia memang harus berterimakasih.
"Ibuku, nenek, kakek, paman, bibi, semua adalah Uzumaki. Jadi Uzumaki yang mana yang kau ajak bicara tadi?" Naruto tertawa pelan melihat kebingungan pada netra Hinata. Mata gadis itu jauh lebih jujur dari mulut, bahkan ekspresinya. Semua emosi yang tidak Hinata perlihatkan pada wajahnya, terpancar jelas dari matanya. "Namaku Naruto kalau kau lupa."
Hinata mendengus, kekanakan, pemuda ini berusaha membalas ucapannya di kelas tadi atau apa?
"Terimakasih Naruto-kun."
"Sama-sama Hinata." Naruto tersenyum lebar, seolah baru memperoleh kemenangan dalam turnamen. "Bukankah lucu? Kita sudah cukup lama sekelas, tapi tidak tahu banyak soal satu sama lain. Aku bahkan baru tahu kau ingin jadi dokter."
"Itu hanya opsi dari orangtua ku, aku tidak benar-benar tahu ingin menjadi apa." Mulut Hinata terkatup rapat. Apa-apaan yang barusan? Kenapa bibirnya lancang sekali bicara tanpa pikir dua kali? Membicarakan soal impian masa depan dengan orang terdekat saja terasa canggung, apalagi kalau harus mendengarnya dari orang yang tidak dekat sama sekali 'kan? Naruto pasti merasa tak nyaman.
"Kalau aku, aku ingin menjadi atlet renang profesional dan bergabung di tim nasional."
Hinata menoleh, ternyata Naruto menanggapi obrolannya dengan santai. Dan entah angin apa yang menerpanya sekarang, sampai seluruh tubuhnya yang sempat tegang menjadi sangat rileks.
"Sejak kecil, aku suka pergi ke tempat yang belum pernah ku datangi. Itu membuatku suka berenang, karena saat di dalam air dan membuka mata, aku merasa seperti berada di dunia lain. Kata ibu, sisi diriku yang suka pergi ke tempat baru itu mirip dengan mendiang ayah. Kau tahu? Ayah ku seorang fotografer, keren 'kan?" Naruto terus bercerita, seolah mencoba memberi tahu Hinata, bahwa ia ingin lebih membuka diri. Memberi akses pada Hinata untuk mengenalnya, sekaligus berusaha mengenal Hinata perlahan. "Kalau Hinata bagaimana? Apa kau juga suka pergi melihat tempat-tempat baru?"
"Tidak. Aku takut tersesat." Hinata tidak tahu kenapa dia menjawab pertanyaan tak penting itu, mungkin dia senang karena Naruto terus memanggil nama 'Hinata' ketika dia bicara. Bukan 'Shion', 'Cyborg', atau 'hei kau' seperti yang biasa orang lain ucapkan.
"Hm? Kau bisa melihat peta dengan mudah di ponsel mu."
"Itu bukan karena aku tidak punya peta. Aku akan tersesat karena aku tidak memiliki tujuan." Hinata bangkit, mulai merasa bahwa dirinya hari ini aneh sekali. "Aku duluan."
Tembok tak kasat mata yang gadis itu ciptakan sangatlah tebal dan menjulang tinggi, itulah yang Naruto rasakan setelah mereka berbincang sesaat. Entah apa yang membuatnya begitu tertutup dan takut menerima orang dari luar. Naruto ingin tahu, dia ingin menembusnya. Aneh sekali bukan? "Kalau begitu, bagaimana jika kita pergi bersama? Aku serius soal kata-kata waktu itu, ayo berteman."
"Apa mau mu?" Hinata berucap pelan tanpa menoleh lagi ke belakang. Apa Naruto sedang mengasihaninya yang selama ini terlihat mengenaskan tanpa teman sampai menjadi korban rundungan Sara? Atau ada tujuan lain dari ajakan pertemanannya? Bertahun hidup dengan keluarga barunya membuat Hinata belajar banyak hal, manusia menyukai hubungan timbal balik. Jika mereka memberi, pasti diujung mereka akan meminta sesuatu sebagai ganti. "Apa yang kau inginkan dariku? Aku ingat betul saat kau menatapku takut, kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"
Hinata bukannya tidak senang saat ada seseorang yang ingin menjadi temannya, ia hanya tidak mau dikecewakan oleh ekspektasinya sendiri.
Lagi-lagi Naruto terdiam melihat Hinata yang membungkukan badan sebelum pergi. Kalimat terakhir Hinata benar-benar menamparnya. Sikap tidak mau tahunya selama ini, ternyata sudah sangat melukai Hinata. Dia yang berpura-pura tak tahu ketika Hinata dimusuhi tanpa sebab, dia yang diam-diam termakan rumor buruk tentang Hinata dan ikut mengatainya menyeramkan. Mana mungkin Hinata bisa secepat itu percaya padanya? Seandainya saja Hinata tidak pernah memungutnya ketika menjadi rubah, seandainya mimpi-mimpi aneh yang berkaitan dengan kutukan itu tak pernah muncul, apakah Naruto akan sebaik itu untuk sekedar menyapa Hinata? Tidak, dia akan terus melakukan hal jahat pada Hinata diluar kesadarannya.
"Jalanmu masih panjang Naruto.. Ayo berusaha lebih keras lagi."
Baru kali ini Naruto berharap hujan segera turun menyapu bersih dunia. Dengan begitu, ia akan kembali menjadi anak rubah kecil yang bisa bebas memeluk Hinata.
🍁🍁🍁🍁
Ciye yang nunggu part gemoy dan Naruto ver rubah tapi gak dapet 🤭
Catatan:
- NH disini pemeluk kepercayaan Shinto ya guys, kepercayaan asli Jepang. Di kepercayaan itu yang dipuja adalah dewa dan dewi, ada banyak banget dewa dewinya yang terkenal itu Inari, Bishamon, Ebisu, dll. Ibadahnya di kuil. Biasanya satu keluarga cuma menyembah satu dewa / dewi aja, dan keluarga NH disini nyembah dewi Inari.
- Untuk proses pemakaman di Jepang, rata-rata orang disana kalau meninggal itu dikremasi, lalu abunya di doakan dikuil sebelum disimpan di rumah abu, rumah keluarga, dikubur, atau dilarung ke laut. Paling umum dikubur sih kalau di Jepang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top