01 : Star in the Rain
Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
15+
.
.
Mulmed : After the rain - Aimer
.
.
NHL
🍁🍁🍁🍁
Jika dilihat sekilas, Uzumaki Naruto tidaklah berbeda jauh dengan remaja lelaki pada umumnya. Senang bermain-main, penuh canda tawa, terkadang bodoh, gila, dan sedikit sulit diatur. Wajahnya yang cukup tampan dengan ciri khas mata biru, kulit tan, dan rambut pirang alami yang jarang ada di Jepang, juga keaktifannya mengikuti klub berenang membuat Naruto menjadi salah satu siswa populer yang menjadi tipe ideal banyak gadis di sekolah. Bukan hal aneh jika banyak siswa merasa dengki padanya. Bahkan dulu Naruto sempat merasa hidupnya kelewat sempurna, sampai akhirnya sang ibu menceritakan sebuah kisah horror tak masuk akal ketika dia berusia delapan tahun. Tentang rahasia garis keturunan keluarga Uzumaki, dan pengabdian mereka pada sang dewi Inari.

Selama puluhan dekade, Uzumaki dikenal sebagai keluarga penjaga kuil dewi kesuburan, Inari. Merekalah yang bertanggung jawab menjaga serta merawat semua kuil Inari yang ada di seluruh pelosok Jepang. Menjadi calon penerus keluarga utama, sejak kecil Naruto dibesarkan di area kuil. Dituntut belajar tentang berbagai upacara, legenda juga adat yang berkaitan dengan dewi Inari, salah satunya adalah cerita tentang para rubah yang menjadi pelayan setia dewi Inari. Dulu, Naruto hanya menanggapinya sebagai dongeng pengantar tidur, namun dongeng itu mulai menjadi mimpi buruk begitu dia menyadari bahwa rubah dalam cerita merupakan perwujudan dari klan Uzumaki.
Dikatakan bahwa Uzumaki adalah klan terpilih yang mendapat berkah langsung dari sang dewi, berkah yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Dimana semua anak yang memiliki darah Uzumaki dalam nadinya, akan berubah menjadi rubah selama 24 jam setiap kali hujan turun. Berkah itu akan mereka terima ketika menginjak usia 17 tahun, dan akan segera menghilang ketika usia mereka bertambah. Tetapi menurut Naruto, itu bukanlah berkah, melainkan kutukan yang terus menakutinya.
Coba bayangkan, bagaimana jika tiba-tiba hujan turun ketika dia berada di kelas, atau malah saat dia sedang melakukan pertandingan berenang? Apa jadinya jika tubuh atletisnya yang sangat mempesona dan membahana, tiba-tiba saja berubah menjadi gumpalan bulu gemuk dihadapan para suporternya? Bisa-bisa dia menjadi incaran ilmuan gila.
Helaan napas panjang terdengar memenuhi lorong gedung sekolah yang sepi, gemanya bertabrakan dengan suara hujan yang bergemuruh hebat menghantam atap gedung. Manik biru bulat itu menatap pasrah melalui jendela kaca, memancarkan sorot kejengkelan pada langit kelabu. Langkah kecil Naruto pun terhenti, kemudian, takut-takut ia mulai mengangkat salah satu tangannya ke udara.
"Tch, sialan, banyak bulunya."
Mau dikatakan tidak masuk akal pun, hari ini, Naruto benar-benar menjadi rubah karena hujan. Persis seperti yang ibunya peringatkan sejak ia masih kecil. Itu bukan lagi peristiwa aneh, atau mengejutkan bagi Naruto yang sudah beradaptasi dengan keadaan dan berdamai dengan nasib. Namun, ada satu kejanggalan yang membuat Naruto sangat kesal hingga kepalanya berdenyut nyeri, harusnya hari ini dia sudah terbebas dari kutukan karena usianya sudah menginjak 18 tahun sejak dua bulan lalu. Lalu kenapa dia masih menjadi rubah?
Sialnya lagi, karena terlalu panik melarikan diri begitu hujan mulai turun tadi, Naruto malah tersesat di gedung sekolah lama yang terkenal angker.

"Sialan, otot ku hilang semua."
Naruto terduduk pasrah di pojok ruang kelas lama yang sudah tak terpakai, menangis dalam diam melihat perut sixpack-nya menghilang dalam sekejap, dan berubah menjadi balon bundar berbulu. Mau mengomel atau mengutuk berkali-kali pun tidak ada gunanya, karena tak akan ada seorang pun yang mengerti bahasa rubah. Dia masih beruntung karena tidak ada yang memergokinya ketika berubah menjadi rubah. Jika tidak, dia bisa saja ditangkap dan dijadikan objek penelitian.
Selama ini, Naruto selalu melewati usia 17 tahunnya dengan hati-hati. Setahun penuh ia tak pernah bosan menonton ramalan cuaca, dan menghindari segala kemungkinan buruk dengan menjauhi tempat umum ketika hari mendung. Naruto bahkan merelakan waktu main, serta membatasi kegiatan klubnya, dengan harapan kalau tahun ini kutukannya akan berakhir, dan dia bisa mengikuti turnamen berenang tanpa memiliki beban.
"Kau harus tenang, Naruto!" Meski saat ini Naruto sedang kebingungan bukan main, dia terus meyakinkan dirinya untuk tetap tenang. Lagi pula kepanikan tidak akan membantu menyelesaikan masalah. Seperti kejadian yang sudah-sudah, jika terlanjur menjadi rubah di area sekolah, dia harus bersembunyi sebelum ada yang melihat. Kemudian, segera mencari pak kepala sekolah Fugaku, atau putra bungsunya— Sai. Mereka adalah anggota keluarga Uchiha yang merupakan cabang dari keluarga Uzumaki. Meski tidak mewarisi kuil Inari, dan tidak mendapatkan anugrah dari sang dewi, semua anggota utama klan Uchiha mengetahui tentang anugrah itu. Karenanya, mereka selalu menjadi harapan terbesar Naruto ketika mengalami masa krisis. Hanya orang dari keluarga Uchiha saja yang akan menyadari bahwa dia bukan rubah liar biasa, dan akan mengantarkannya pulang dengan selamat.
"Tapi hari ini, paman Fugaku tidak datang ke sekolah. Tadi, aku juga menyuruh Sai pulang duluan karena aku ingin latihan berenang.." Naruto kembali putus asa, frustasi sampai menggelinding memutari lantai tanpa sadar. Dia pikir semua kutukan sialan itu sudah berakhir tahun ini, dan dia bisa bebas beraktivitas normal seperti manusia lain. Tapi ternyata semua tidak berjalan seindah bayangan. "Apa salahku?? Kenapa ini harus terjadi padaku? Aku ada latihan berenang sore ini, dasar dewi sialan! Akan ku gigit semua patung dewi di kuil begitu aku bisa pulang!"
Padahal tahun ini adalah tahun terakhirnya menjadi murid SMA, sekaligus kesempatan terakhirnya untuk mengikuti kejuaraan renang tingkat SMA. Kalau kutukannya tidak hilang, terpaksa Naruto harus mundur dari kompetisi seperti tahun lalu. Kalut, Naruto menendang tembok sebagai pelampiasan, lalu meringis kesakitan sedetik kemudian. Saking kesalnya, dia sampai lupa kalau kaki rubah-nya terlalu kecil, rapuh, dan sangat mudah lecet seperti pantat bayi. "Hah... Benar-benar menyedihkan. Kalau begini saja sudah berdarah, kaki ku bisa copot jika aku memaksa berjalan sampai ke rumah. Mau tidak mau aku harus menunggu di sekolah sampai besok."
Baru saja Naruto merasa sedikit tenang, suara langkah kaki terdengar mengejutkannya. Naruto yang memang penakut dengan hal-hal semacam hantu langsung terdiam kaku dengan ekor yang berdiri tegak. Wajahnya memucat seolah kehabisan darah. "Tidak mungkin ada orang yang datang ke gedung tua! Tidak salah lagi, cerita tentang keangkeran gedung sekolah lama bukan sekedar rumor."
"Apa ini?"
Suara perempuan terdengar samar-samar semakin mendekati Naruto, membuatnya menutup mata rapat-rapat. Naruto sibuk mengomel dalam hati, merapalkan berbagai macam do'a yang dia bisa, pasti dewi Inari memberinya karma karena dia ingin menggigit patung di kuil sampai berlubang.
"Anak rubah?"
Naruto benar-benar tak berkutik ketika tubuhnya yang hanya sebesar dua kepal tangan orang dewasa terangkat ke udara. Sebuah tangan sedang meremas bokongnya sekarang, membuatnya tak bisa bergerak, bahkan untuk bernapas saja terasa sulit. Naruto bersyukur, itu artinya wanita itu bukan hantu. Tapi, apa-apaan situasi ini? Seorang wanita meremas bokongnya? Apa yang lebih parah dari pada berubah menjadi hewan secara tiba-tiba, kemudian dilecehkan? Rasanya Naruto ingin mencari jembatan dan meloncat ke sungai saja! Atau dia bisa mati duluan karena tak kuat menahan malu.
"Makan.."
Makan? Apa dia akan dijadikan bahan makanan? Rasa malu Naruto berubah menjadi kengerian hanya dalam beberapa detik. Seketika kelopak mata Naruto terbuka lebar, mendapati manik amethyst yang bersinar tajam menelisik tubuhnya. Keringat dingin mulai berjatuhan dari atas kepalanya, membuat bulu cokelatnya lepek. Hari ini, Naruto benar-benar kagum pada tingkat kesialannya yang luar biasa tinggi.
"Hyuuga Hinata..." Hampir saja Naruto menggigit lidahnya sendiri. Jika Hinata yang menangkapnya, dia benar-benar akan berakhir mati disembelih. Kalau tahu begini dia akan memilih berlari saja sampai ke rumah, meski kakinya patah pun dia masih bisa menggelinding dengan sekuat tenaga. Itu jauh lebih baik dari pada berurusan dengan si Hyuuga yang berbahaya. "Dari sekian banyak orang, kenapa harus si Cyborg yang menangkapku!!!"
.
.
.
.
.
.
Hyuuga Hinata, ketika pertama kali bertemu dengannya di kelas dua, manik amethyst gadis itu selalu mengusik Naruto. Bukan karena cantik atau menarik, manik itu justru menghadirkan rasa tidak nyaman tiap kali tatapan mereka tak sengaja bertemu. Naruto tidak suka cara Hinata menatap orang-orang disekitarnya. Cara gadis itu menatap orang lain, sangatlah kosong, tanpa emosi, seolah dia sedang berhadapan dengan setumpuk batu bukannya manusia.
Cyborg Girl, begitulah cara anak lain memanggil Hinata. Bukan tanpa alasan, kepribadiannya yang nyaris tak pernah berbicara dan selalu tanpa ekspresi, membuat gadis itu terlihat seperti robot berkulit manusia. Robot yang hanya tau caranya bergerak, tanpa mengerti yang namanya emosi.
"Hyuuga Hinata, anak itu menyeramkan." Naruto yang sedari tadi memandangi langit dari balik jendela mulai memberikan perhatian pada Sakura, teman sekelasnya. "Melihatnya membuatku teringat pada psycopat di film-film."
"Kenapa?" Sai yang duduk tenang disebelah Naruto menimpali, tanpa mengalihkan tatapan dari buku ditangannya. Dia sudah sangat hapal dengan sikap Sakura, yang akan cepat kesal jika ceritanya diabaikan. "Apa dia melukai orang?"
"Bukankah dia terlihat seperti tidak punya emosi? Tidak pernah bereaksi meski ada yang menggangu nya, tatapannya selalu membuat tidak nyaman. Orang yang seperti itu biasanya malah berbahaya, 'kan?" Sakura mulai memelankan suaranya. "Ku dengar, belum lama ini dia melukai ibunya sendiri sampai ibunya dilarikan ke rumah sakit."
"Kau dapat berita tidak jelas dari mana?" Naruto memicingkan mata tanpa sadar. Dia memang tidak terlalu mengenal Hinata. Mereka bahkan tidak pernah bertegur sapa sama sekali, karena Naruto yang selalu sibuk dengan klub renang, dan Hinata yang kadang kala menghilang dari kelas tanpa memberitahu siapapun. Sejujurnya, Naruto hampir setuju dengan perkataan Sakura, tentang Hinata yang penuh misteri dan menyeramkan. Namun, hal serius seperti 'melukai ibunya sendiri' bukanlah sesuatu yang sepele. "Jangan asal menyebarkan rumor tidak jelas, Sakura.."
"Maaf... Aku cuma khawatir karena kita sekelas dengannya. Aku ingin kalian berhati-hati." Sakura menunduk lesu. Naruto, dan Sai tahu Sakura bukanlah tipe anak yang akan sembarang bicara meskipun dia memang sedikit cerewet. "Sebenarnya aku juga tidak mau percaya pada rumor mengerikan seperti itu. Tapi aku tidak mendengarnya dari satu anak saja. Banyak yang membicarakan insiden itu diam-diam. Rumah Hinata tidak jauh dari sekolah, jadi banyak anak yang melewati rumahnya saat pulang dan tidak sengaja melihat kejadian itu..."
Penjelasan Sakura tiba-tiba mengingatkan Naruto pada cerita Kiba, salah satu teman di klub berenangnya. Saat Kiba pulang agak larut beberapa waktu lalu, dia tak sengaja melihat suatu insiden. Meski Naruto tidak terlalu ingat cerita lengkapnya.
"Saat itu, ambulans berhenti di depan rumah Hinata. Ayah Hinata menggendong keluar ibu Hinata yang terluka parah di bagian leher. Tak lama setelahnya Hinata mengikuti mereka...." Penjelasan Sakura terhenti, rasa takut membuatnya tidak sanggup berbicara lebih lanjut. Sakura memutuskan untuk mengeluarkan ponselnya, kemudian menunjukkan sebuah foto yang membuat Naruto dan Sai sesaat lupa caranya bernapas.
Dalam foto itu, darah memenuhi piyama putih yang Hinata kenakan. Gadis itu berdiri tenang memegang gunting kecil ditangannya, sembari menyunggingkan senyum mengerikan di bibirnya.
🍁🍁🍁🍁
"Hm..."
Saat ini, Naruto sedang gemetar hebat karena Hinata mendudukkannya di atas meja makan sembari terus memelototinya. Otak Naruto terus berkata, agar dia segera kabur, tapi kakinya sudah selemas jelly hingga berdiri saja dia tidak sanggup. Hanya berdua dengan Hinata membuatnya ngeri. Naruto terus menutup kedua matanya, sampai dia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Ketika ia memberanikan diri untuk mengintip, ia melihat sebuah sosis.
"Aku hanya punya ini... Apa rubah bisa makan sosis?"
Lagi-lagi Naruto menangkap sinyal bahaya, sudah pasti Hinata ingin membuatnya gemuk terlebih dulu sebelum memakannya. Tapi, jika dia menolak sosis itu, bisa saja Hinata akan murka dan langsung membantingnya seperti di adegan telenovela kesayangan ibu Kushina. Akhirnya, Naruto memilih untuk melahap sosis itu sampai pipinya menggembung.
"Syukurlah kau menyukainya.."
Naruto terpaku ketika jemari Hinata menyentuhnya, membersihkan sisa-sisa sosis yang menempel di bibirnya. Tangan itu sangat kecil dan terasa hangat. Apa mungkin tangan yang terlihat serapuh ranting kering itu bisa melukai orang lain? Untuk pertama kalinya, Naruto berani menatap mata Hinata. Entah perasaannya saja, atau sorot amethyst itu memang lebih lembut dari biasanya?
Gadis itu hanya ingin memberinya makanan. Semua yang Naruto takutkan nyatanya tidak terjadi. Hinata tidak memakannya. Sekarang gadis itu malah sibuk memakan beberapa potong roti tawar, tanpa menggunakan selai ataupun lauk. Mungkin, sosis tadi merupakan satu-satunya lauk yang Hinata punya. Tapi dia malah memberikannya pada Naruto. Hinata yang ia lihat sekarang, sangatlah kontradiksi dengan rumor yang biasa ia dengar.
"Sepertinya, aku sudah salah menilai orang."
Ketika Naruto sibuk menelisik Hinata yang sedang makan, terdengar suara pintu yang dibanting. Naruto sudah panik karena terkejut, tapi Hinata justru terlihat sangat tenang. Ia mengangkat tubuh Naruto dari atas meja, dan menyembunyikan Naruto di pangkuannya.
"Hinata.." Sebuah langkah kaki terdengar mendekat, meski pandangan Naruto terhalang meja makan, ia bisa menebak bagaimana ekspresi laki-laki itu ketika mendengar suara dinginnya. Disaat bersamaan, Hinata berusaha menghentikan jarinya yang gemetar dengan menggenggamnya kuat-kuat. "Besok ibumu akan keluar dari rumah sakit. Pastikan kau tidak mengulangi kebodohan yang sama lagi. Ingat posisimu, di rumah ini tugasmu hanyalah tersenyum dan mengiyakan semua keinginan istriku."
"Iya, ayah."
"Bagus. Kau tahu kalau kami menyayangi mu 'kan? Tolong jangan buat kami kecewa." Tangan pria paruh baya itu mendarat dipuncak kepala Hinata, membuat gadis itu mendongak menatap tepat ke matanya. "Sekarang tidurlah."
Pundak Hinata seketika melemas begitu pria itu melangkah pergi. Bahkan Naruto yang tidak terlalu mengerti situasinya pun bisa merasakan tekanan yang begitu intens saat pria tadi berbicara ke Hinata.
"Sayang ya...." Hinata merasa tingkat kewarasannya semakin berkurang. Kata sayang dari orangtua adalah hal yang patut disyukuri oleh seorang anak. Tetapi, kata itu justru terdengar bagai umpatan di telinganya. Karena Hinata tahu, ada harga yang harus dia bayar nantinya. Setiap kata sayang yang ayahnya ucapkan, adalah tali yang digunakan untuk mengikat lehernya. "Aku penasaran.... Kali ini, apalagi yang akan dia minta dariku sebagai ganti dari kasih sayangnya?"
.
.
.
.
.
Patuh pada perintah ayahnya, Hinata masuk ke dalam kamar, membawa Naruto dalam gendongannya. Kamar itu sangat polos dan sederhana, berbeda jauh dengan kamar kebanyakan anak perempuan yang biasanya dipenuhi pernak-pernik. Satu-satunya hal yang menarik perhatian Naruto adalah tumpukan buku di rak sudut kamar Hinata.
"Dia benar-benar suka buku... Pantas saja aku sering melihatnya di sekitar perpustakaan. Kukira, dia hanya mencari tempat yang sepi."
Langkah Hinata terhenti di depan sebuah cermin besar yang berhadapan dengan tempat tidur. Hinata duduk di atas kasur, lantas mulai membuat ekspresi-ekspresi aneh sembari menatap cermin. Naruto benar-benar tidak mengerti apa yang gadis itu lakukan sekarang, tapi ekspresi Hinata membuatnya kembali merinding.
"Tersenyum, harus banyak tersenyum untuk ibu.."
Naruto melotot, ekspresi horror yang barusan itu, senyuman? Hinata berusaha tersenyum?
"Harus seperti Shion.."
Naruto mengikuti arah pandangan Hinata yang jatuh pada sebuah bingkai foto kecil diatas nakas dekat cermin. Dalam foto itu, ada seorang gadis kecil yang terlihat sangat mirip dengan Hinata. Baik warna mata, sampai bentuk wajah, mereka seperti pinang dibelah dua. Yang satu versi kecil, dan yang satu lagi versi dewasa. Tapi, gadis kecil di foto itu punya senyum yang sangat lebar, dan surai keemasan yang berbeda dengan Hinata.
"Aku lelah..."
Tidak tahu apa yang mempengaruhinya, Naruto meletakkan tangannya ke pipi Hinata. Membuat gadis itu sedikit tersentak.
"Kau berusaha menghibur ku, ya?"
Naruto mengernyit, saking fokusnya dia sampai tidak sadar kalau Hinata sudah meletakkannya di atas sebuah bantal. Gadis itu mengoleskan sesuatu yang terasa dingin ke tangan Naruto, aromanya seperti salep. Hinata menyadari luka di kaki Naruto, dan mengobatinya dengan hati-hati.
Napas Naruto tertahan seketika, saat ini wajah Hinata hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. Tanpa peringatan, gadis itu mengecup singkat jari kaki, serta wajah Naruto setelah ia mengelusnya beberapa kali. Dia merona hebat, jantungnya yang kini hanya berukuran sebesar bola pingpong berdebar tidak normal sampai Naruto takut akan copot. Apa yang tadi bisa disebut sebagai ciuman? Jika iya, maka hari ini ciuman pertama Naruto sudah dicuri oleh si cyborg girl.
"Kau berasal dari mana? Apa kau tinggal di hutan belakang sekolah?" Hinata membaringkan tubuhnya di sebelah Naruto, masih asik memainkan jemari kecil rubah itu. "Apa kau di gedung tua untuk berteduh? Jangan ke sana, tempat itu bisa roboh kapan saja. Tidak aman berteduh disana."
Meski wajahnya masih terlihat datar, Naruto bisa menangkap kekecewaan dari gelagat Hinata. "Kau tahu, aku sangat kesepian disini. Aku ingin memelihara mu, tapi kau akan kesulitan jika tinggal denganku. Jadi besok, saat hujannya reda, aku akan mengantarmu pulang..... Pulang ke rumah.... Aku juga.. Ingin pulang."
Naruto tidak terlalu mengerti apa maksud gumaman terakhir Hinata, kini gadis itu tertidur dengan wajah yang terlihat jauh lebih damai. Sayangnya, Naruto tidak akan bisa tidur sedamai itu sekarang. Tidak, saat Hinata memeluknya erat tepat di dada.
"Sialan, aku jadi seperti orang mesum."
🍁🍁🍁🍁
Keesokan paginya, Hinata membawa Naruto ke sekolah, memasukkan rubah kecil itu ke dalam tas sekolahnya supaya tidak ketahuan. Naruto masih tidak bisa mengerti jalan pikiran Hinata. Bagaimana bisa dia memungut rubah liar yang datangnya entah dari mana, dan membawanya ke sekolah tanpa pikir panjang? Apa dia tidak takut digigit dan terkena rabies?
Naruto menghela napas pelan, barusan dia hampir saja menyamakan diri sendiri dengan hewan liar penyebab rabies.
"Kau tunggu di sini sebentar ya, aku harus ke kamar mandi. Aku butuh air untuk membersihkan mejaku." Hinata berbisik pelan, membuka sedikit resleting tasnya supaya rubah itu bisa bernapas. "Setelah itu, aku akan mengantarmu ke hutan belakang sekolah."
Hinata melangkah pergi, sedangkan Naruto mencuri-curi kesempatan untuk mengintip keadaan di luar. Kelas mereka sangat sepi. Berhubung masih pagi, sepertinya murid lain masih sibuk melakukan piket di halaman sekolah seperti biasa. Naruto memutuskan untuk segera keluar dari tas Hinata, dan berlari mencari Sai. Tapi niat Naruto terhenti begitu matanya tak sengaja membaca coretan-coretan pulpen pada meja Hinata. Banyak sekali sumpah serapah, dan hinaan tertulis disana. Bukan cuma itu, keadaan loker meja Hinata sudah seperti tempat sampah, penuh kertas dan tisu bekas.
'Aku butuh air untuk membersihkan meja ku.'
Naruto terduduk tidak percaya, siapa yang tega melakukan semua ini? Apa Hinata selalu diganggu anak lain? Kenapa tidak ada yang membantunya? Dia pikir, semua teman-temannya di kelas adalah orang yang baik, dan Hinata lah yang mengisolasi diri sendiri. Tapi, setelah dia melihat bagaimana Hinata diperlukan, tentu saja Hinata enggan bicara pada mereka.
Naruto menggigit bibir, bukankah selama ini dia sama saja jahatnya dengan mereka yang menghardik Hinata? Naruto begitu mencintai dunia statisnya. Dia memilih masa bodoh dengan dunia sekitar, diluar garis pertemanannya. Meski dia hampir tidak pernah berbicara dengan Hinata, sampai kemarin pun Naruto masih mempercayai rumor buruk tentang gadis itu. Hanya percaya, tanpa berusaha mencari tahu kebenarannya. Dia memang tidak menulis kata-kata jahat seperti 'psikopat' atau 'gadis gila' di meja Hinata, tapi dia pernah menilai Hinata sebagai gadis semacam itu, padahal dia belum mengenal Hinata.
"Naruto?"
Naruto menoleh, langsung berlari girang saat melihat Sai di depan pintu kelas mereka. Rasanya seperti bertemu dengan belahan jiwa.
Melihat gelang merah yang terbuat dari anyaman benang, menggantung di leher rubah itu, Sai makin yakin kalau yang dilihatnya adalah Naruto. Gelang itu adalah lambang kuil Inari. Sai langsung mengangkat tubuh gembul rubah itu, dan menyeretnya ke ruang UKS. Naruto sudah hilang dari kemarin, bisa gawat jika tiba-tiba dia berubah menjadi manusia di depan siswa yang lain.
Di dalam UKS, Sai segera mengeluarkan tas berisi baju dan barang-barang Naruto dari dalam sebuah lemari. Beruntung ayah Sai merupakan kepala sekolah, jadi tidak sulit baginya meminta sang ayah untuk menyediakan lemari kecil di ruang UKS. "Kau ini kemana saja?! Kau tahu betapa hebohnya seisi kuil karena kau menghilang? Kan sudah kubilang, cepat cari aku jika terjadi sesuatu!"
Sai menghembuskan napas panjang, percuma saja mengomel sekarang, Naruto juga tidak akan bisa menjawabnya. "Cepat pakai seragam mu kalau kau sudah berubah menjadi manusia. Bibi Kushina menitipkan bekal makan siang mu padaku, untuk berjaga-jaga kalau kau datang ke sekolah. Sudah ku taruh di loker mu, nanti cepat makanlah, kau pasti kelaparan semalaman."
Naruto mengangguk paham. Bekal makan siang ya, Naruto jadi teringat Hinata yang berangkat ke sekolah dengan perut kosong. Padahal semalam dia tidak banyak makan karena memberikan semua sosisnya ke Naruto.
.
.
.
.
.
Hinata masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Karena beberapa anak mengganggunya di kamar mandi tadi pagi, Hinata pikir, dia tidak akan punya cukup waktu untuk membersihkan mejanya saat jam pelajaran pertama dimulai. Tapi ketika dia kembali, mejanya sudah sangat bersih seperti baru. Bahkan, dia menemukan sebuah kotak bekal bergambar rubah kecil di lokernya. Hinata tersenyum kecil tanpa sadar, memakan isi kotak bekal itu tanpa merasa curiga karena perutnya yang lapar.
Setelah rubah kecil yang manis itu hilang, dia mendapat sekotak bekal yang masih hangat. "Apa ini balasan untuk sosis yang kemarin? Apa dia rubah ajaib yang menjaga hutan?" Gumam Hinata menebak-nebak, meski dia tahu itu tidak masuk akal.

Dari sisi lain kelas, Naruto melirik senang Hinata yang makan dengan lahapnya.
"Hei Naruto, hari ini bibi membawakan mu bekal apa? Ingin tukar lauk?" Sakura yang baru datang langsung duduk di dekat Naruto dan Sai.
"Hari ini aku hanya bawa uang."
"Eeeh? Kenapa?" Sakura tahu, diantara mereka bertiga, Naruto adalah yang paling rajin membawa bekal. Bibi Kushina yang sangat terobsesi dengan makanan sehat, tidak mungkin membiarkan Naruto jajan sembarangan. "Kenapa??"
Sai yang tahu alasannya hanya bergeleng pelan, dan berpura-pura tidak tahu. "Sakura, jangan banyak tanya. Kalau kau terus cerewet begitu, kakak ku pasti akan memutuskan mu."
"Mulut mu jahat sekali! Kak Sasuke tidak semenyebalkan dirimu tahu!"
Mengabaikan dua sahabatnya yang berkelahi, Naruto larut pada pikirannya sendiri. Seharusnya sekarang, dia merasa kesal karena kutukannya tidak juga hilang, tapi kenapa dia malah senang? Tunggu, senang? Apa yang membuatnya senang?
Sejak hari itu, dibandingkan sampah, Hinata malah lebih sering menemukan kotak bekal atau camilan dalam lokernya.
🍁🍁🍁🍁
Akhirnya keturutan juga keinginan ku buat bikin cerita teenfic NH, ala-ala shoujo manga, yang love story-nya masih polos 😭.
Menurut kalian, ini dibikin series, atau oneshot aja cukup sampai sini? Tolong jawab ya.
Btw, kalau gak nanti malem ya besok, aku bakal publish cerita lain dengan genre yang lebih dewasa. Tunggu ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top