151. Permaisuri Yang Terusir -2-
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
"Kau tak punya pilihan lain...
Sebuah hukuman untuk pengkhianatan...
Hidup terpisah dari kami akan membuatmu menyadari bahwa kau tak berarti apapun tanpa kami...
Menyendiri lah, renungkan lah seberapa penting keberadaan kami untukmu..."
Naruto berlalu tanpa menoleh, tanpa melihat tatapan kosong sang istri yang lemas terduduk tak berdaya. Ia tak pernah tahu bahwa hukuman yang ia jatuhkan pada belahan jiwanya itu akan membawanya pada penyesalan tanpa ujung.
Kekerasan hatinya untuk menghukum orang yang ia cintai demi ego, dan takhtanya, akan membawanya lubang kesepian yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Air mata bening itu menetes, membasahi popok berwarna emas itu, lama Hinata mengecup dalam pakaian bayinya itu. Hukuman yang Naruto jatuhkan untuknya lebih dari penyiksaan hukuman mati.
Terpisah dengan buah hati yang amat ia cintai, membuat batinnya bagai dihujam ratusan katana.
"Hinata-nee....."
Suara itu membuat kepala indigonya menoleh, Hinata tersenyum tipis mendapati Tomoyo berdiri di depan pintu. Gadis Maiko yang selama ini mengabdi padanya tersenyum tulus seraya menggendong sang buah hati.
Hinata buru-buru menghapus air matanya, ia tak ingin Tomoyo melihat air matanya, namun terlambat. Gadis berusia enam belas tahun itu berjalan mendekat padanya.
"Katakan ini bohong, hiks... Tak mungkin Tenno-sama mengusirmu.... Di...dia... Amat mencintaimu...." Tomoyo terbata ia tak mampu membendung air mata di pipinya.
Hinata tersenyum getir, air mata membasahi pipi porselennya. Ia mengambil Boruto gendongan Tomoyo. Memeluk erat bayi yang belum genap berusia satu tahun itu, iris biru itu... Iris biru yang selalu mengingatkannya pada pria yang amat ia cintai. Bahkan pria itu tak mengizinkan ia membawa cetak salinan si pria itu untuk bersamanya. "Boruto-kun Kaa-chan akan sangat... Sangat merindukanmu....."
Padahal hanya sampai tahun berakhir, namun Hinata merasakan bahwa inilah hari terakhir yang ia lalui bersama sang putera.
"Hinata-nee..."
Hinata tiba-tiba terperanjat, Tomoyo bersujud di kakinya.
"Izinkan aku ikut denganmu, Naruto-sama telah mengangkat dirinya sebagai Kaisar seumur hidup, aku tak perlu lagi belajar menjadi permaisuri.... Izinkan aku ikut dan menemanimu dalam pengasingan...."
"Tomoyo..." Hinata berujar lirih ia berusaha menunduk untuk membantu Tomoyo berdiri, tapi Tomoyo malah memeluk kakinya.
"Aku mohon... Aku mohon... Izinkan aku menemanimu...." Ada perasaan aneh yang tak dapat diucapkan oleh Tomoyo. Rasa takut yang membuatnya enggan membiarkan Hinata hidup dalam pengasingan seorang diri tanpa orang yang dia kenal.
Hinata tersenyum kecut, "kau boleh ikut..." Jawabnya lirih.
"Kogo-sama..." Seorang Kasim berdiri di depan pintu. Darah Hinata berdesir deras. Hanya tiga bulan Naruto mengusirnya ke pengasingan, namun ia merasa waktunya untuk bersama Naruto kian menyempit. Pria itu bahkan tak kembali ke Dairi semalaman walau ia tahu esok istrinya akan pergi.
Inikah saat terakhirku mendampingimu suamiku... Inikah saat terakhirku berada di sisimu....
"Kereta yang akan membawa Anda ke Kawaguchiko telah siap." Sang Kasim menyampaikan titah.
Hinata menunduk mengeratkan pelukan pada sang putera. 'Bahkan kau enggan menemui ku sebelum kepergianku...'
"Aku ingin menemui suamiku sebelum berangkat..."
Ya... Aku ingin menemui suamiku, Uzumaki Naruto... Sahabat kecilku yang tak pernah bisa menyakitiku...
Sahabat kecilku yang selalu melindungiku...
Aku ingin menemui mu sebagai Uzumaki Naruto, teman hidupku...
Bukan sebagai Jenderal tiga puluh ribu pasukan Kamakura Bakufu, bukan sebagai putera Namikaze Minato yang telah membantai klanku untuk dendamnya...
Bukan sebagai Kaisar Heian yang mempertahankan takhtanya....
Aku ingin menemui Naruto-kun...ku... Meminta maaf padanya atas janji yang tak dapat ku selesaikan...
Maaf karena aku meninggalkanmu saat kau mengusirku....
Karena aku tak pernah tahu, apakah waktu akan berpihak padaku untuk bisa menjumpaimu lagi... Sebagai Naruto-kun ku... Teman hidupku....
...
Aku menahan nafas,
Dan melihatmu...
Seolah dunia telah berhenti,
Bahkan jika kau tidak melihatku,
Hatiku menuju ke arahmu...
Mencintaimu, merupakan hal yang menyakitkan...
Kakinya berdiri di depan pintu aula pertemuan, hari masih begitu pagi...
Tak ada siapapun disana, kecuali sang Kaisar yang duduk di singgasananya berkutat dengan dekrit-dekrit yan telah mencuri banyak waktunya.
"Aku akan pergi..." Suara itu mengalun lembut di telinga sang kaisar. Kepala pirangnya terangkat, mendapati sosok cantik dengan uchikake satin putih berdiri di bawah singgasananya, surai kelam itu terurai hingga ke pinggang, hanya dengan cahaya lampion temaram wanita itu tampak begitu bercahaya, wanita yang hanya miliknya, orang yang paling ia percaya namun telah mengkhianatinya.
"Tak perlu berlebihan, kau hanya akan pergi selama dua musim." Sang kaisar menjawab acuh, membohongi isi hatinya sendiri.
Hinata tersenyum tipis, Naruto kembali terfokus pada gulungan di mejanya, mengabaikan keberadaan Hinata yang mungkin hanya akan ia dapati saat ini juga.
"Apa aku boleh meminta permintaan....?" Hinata melirih, cinta seolah pudar dari hati Naruto, pria itu mengabaikannya.
"Apapun, selain membawa Boruto..." Jawaban dingin itu menghujam hati Hinata. Senyum getir kembali terukir di bibir plumnya.
"Izinkan Tomoyo dan Hitoshi ikut denganku...." Ucapnya lirih.
Naruto tersenyum sinis. Bukan masalah baginya bila ingin membawa Tomoyo. Tapi membawa Hitoshi, putera Neji itu, membuat Naruto semakin mengerti sepenting apa Hyuuga bagi Hinata. 'Kau masih memikirkan kelangsungan Klanmu di saat seperti ini.'
"Terserah."
Kembali Hinata merasakan sesak di dadanya. Pengabaian Naruto begitu menghujam palung terdalam hatinya. Ia mengumpulkan tenaga untuk mengukir senyuman di bibir mungilnya. Kakinya seolah terpaku, ia tak ingin berpaling dari wajah Naruto, ia takut... Ia takut tak dapat melihat wajah itu lagi....
"Boleh kau izinkan Sakura untuk menyusui Boruto..." Inilah permintaan terberat bagi Hinata, puteranya itu masih bergantung padanya, namun mereka harus terpisah karena ego.
"Kau masih memikirkannya?" Tanya Naruto sinis.
"Aku ibunya...." Hinata meremas saputangan ungu di telapak tangannya, batinnya seolah tengah diperas oleh mulut tajam Naruto.
"Aku kabulkan, kau bisa pergi sekarang...." Ia tak mendongak, sekedar untuk melihat betapa mengibanya wajah Hinata.
"Apa aku tak bisa memelukmu, Naruto-kun....?" Ia hampir terisak, bahkan untuk memeluk suaminya sendiri ia harus memohon.
"Renungkan kesalahanmu, baru kau bisa menyentuhku." Ia tak bergeming masih dengan fokus utamanya.
"Izinkan aku melihat wajahmu...." Hinata berujar lirih, dan hal itu sontak membuat Naruto mendongak.
"Kau tahu, aku paling membenci pengkhianatan."
Hinata dapat melihat wajah Naruto, tapi sebagai imbalan kata-kata tajam menghujam batinnya.
"Kau orang yang paling aku percayai, Hime. Kau satu-satunya orang yang tak pernah ku sangka akan mengkhianatiku. Aku menyisakan kan kau seorang saat aku membantai dan membuang klan mu, membawamu ke sisiku. Tapi aku tak pernah menyangka bahwa pengkhianatan yang aku dapat."
"Hanya karena kesalahan kecil kau mengasingkan ku...."
"Bukankah kau yang sangat ingin hidup di luar istana, nikmati. Tapi tanpa kehadiranku dan Boruto."
"Aku terima hukumanku, suamiku..." Hinata membungkuk sembilan puluh derajat.
"Sekarang aku bahkan meragukan motifmu tetap berada di sisiku setelah hidup dan klanmu ku hancurkan." Naruto mengeluarkan sesuatu dari bawah mejanya. "Ramuan pencegah kehamilan, kau bahkan enggan mengandung benihku lagi. Aku tahu, Boruto tercipta saat dendammu dan dendamku membara, kau tak punya pilihan saat itu aku menghamilimu tanpa persetujuan darimu... Sekarang, katakan Hinata apa pernikahan kita berharga untukmu?"
Air mata mengalir kian deras dari mutiara lavendernya. Namun hal sama sekali tak menggerakkan hati sang kaisar, rasa ketakutan pengkhianatan membuatnya buta akan cinta tulus Hinata, membuatnya lupa akan jalan terjal yang mereka lalui. Menghapus semua kenangan indah yang mereka arungi.
"Mencintaimu... Sangat menyakitkan, Naruto-kun...."
Naruto tersenyum kecut, ia memandang nanar penuh amarah pada sang istri. Akhirnya ia bangkit dari singgasananya. "kalimatmu sudah menjadi jawaban untukku, pergilah, aku tak ingin melihat mu lagi..." Ia berbalik masuk keruang pribadinya yang terhubung di belakang singgasana, meninggalkan Hinata yang jatuh berlutut dengan bersurai air mata.
Ia menoleh sekilas, safir dan mutiara itu beradu. Sekuat mungkin Hinata mengukir senyum di hadapan sang suami, berbanding terbalik, Naruto membuang muka dan berlalu tanpa ia tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya melihat senyuman sang Lotus ungu kesayangannya.
Sayangku, jangan lupa...
Cintaku yang tak terlupakan,
Matamu, menatapku...
Seolah tahu hatiku...
...
Angin musim pembuka musim gugur itu bertiup kencang, menusuk. Hingga ke tulang, mantel tebal berbulu yang menutupi seluruh tubuhnya seolah tak berarti, rasa dingin itu begitu menusuk. Pengabaian dan ketidak pedulian sang belahan jiwa membuatnya seolah tak memiliki harapan lagi.
Hinata memeluk erat bayi montok itu, begitu hangat seolah tubuh Boruto adalah obat dari segala rasa sakit di hatinya. Tapi hal itu tak berlangsung lama, kedatangan Sakura seolah menjadi pertanda terputus takdirnya dari istana Dairi.
"Hinata... Tak seharusnya kau menerima hukuman ini..." Sakura menatap sendu pada Hinata.
"Ini adalah hukuman terpantas untukku," jawabnya lirih. "Aku titip Boruto padamu...." Hinata menyerahkan buah hatinya pada Sakura. "Mulai hari ini tinggallah di Dairi bersama Sarada dan Ishihara, aku sudah bicara pada Naruto-kun..."
Sakura tersenyum getir, dekrit sudah beredar, Uchiha Sasuke ditetapkan sebagai tahanan luar akibat tuduhan rencana kudeta. Suaminya tak akan pernah bisa memasuki Kyoto.
"Apa dia tahu tentang penyakitmu?"
Hinata menggeleng. "Jangan pernah beritahu apapun padanya, berjanjilah padaku...."
"Semua akan baik-baik saja, kau akan kembali ke Kyoto dalam enam bulan, kau akan bertahan... Aku membekalimu banyak obat-obatan kau harus bertahan Hingga musim semi tahun depan Hinata..."
Hinata tersenyum tipis, tak menjawab apapun, ia hanya memindahkan tubuh Boruto pada pelukan Sakura. Seolah tahu bahwa ia tak akan pernah bertemu lagi dengan sang ibu, bayi itu menangis kencang, tak mau terlepas dari pelukan sang ibu.
Berulang kali Hinata berusaha memindahkan tubuh Boruto, namun usahanya sia-sia, bayi itu menarik surai panjangnya, jika terlepas tangan kecilnya akan memeluk erat leher sang ibu. Hingga sebuah tarikan paksa pada tubuh mungilnya membuat tangisnya makin kencang, tangannya bergerak-gerak berusaha menggapai tubuh yang telah melahirkannya.
Namun tarikan sang ayah berhasil memisahkan mereka, Naruto mendekap erat sang putra yang menangis kencang, membiarkan tangan kecilnya terus menggapai tubuh sang ibu.
"Kau bisa pergi sekarang." Tanpa melihat wajahnya Naruto berbalik kembali masuk ke dalam istana, menyisakan tatapan penuh harap di iris mutiara itu. Menatap lembut pada bahu tegap yang selalu melindunginya untuk yang terakhir kali...
Bahkan ketika aku mencoba pergi jauh....
Kenangan itu menanyakan kita...
Bahkan jika aku berada di tempat yang berbeda...
Perasaan itu tidak bisa dihilangkan...
Tidak apa-apa walaupun sedikit terlambat...
Jika sudah takdir,
Kita akan bertemu lagi,
Suatu hari...
Aku harap bisa mencintaimu...
Seperti yang kuinginkan...
Gerbang istana Dairi tertutup, bersamaan dengan terputusnya takdir Hinata dengan istana itu.
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top