150. Permaisuri Yang Terusir -1-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Setting : Heian/Kamakura Periode

Semua terasa berbeda,
Kau datang mendekatiku, namun tetap ada jarak...
Kisah cintam kita tetap tidak akan lengkap...
Ini bukan seperti langit yang harus selalu memenuhi bumi....
Kisah cinta kita belum lengkap....

Kepalanya tertunduk pada meja kayu, air matanya merembes pelan, diiringi isakan halus dari bibir mungilnya. Sudah tiga hari ia tertawan di istana Dairi. Jangan dipikir ia tak mengetahui semua keputusan yang Naruto buat, suaminya memang mengurungnya di istana megah ini, tapi bisik-bisik para dayang yang berdengung di telinganya tak dapat dihindari.

Belum lagi fakta bahwa satu persatu dayang menghilang dari istana Dairi yang terus ia dapati. "Kau mau memperkenalkan dayang baru lagi?" Tebak Hinata tanpa mengangkat kepalanya.

Yugao menghela nafas berat. Ia tahu sudah makanan sehari-hari Hinata selama tiga hari ini, diperkenalkan dengan dayang baru. Setiap hari ada saja dayang yang menghilang yang menghilang dari istana ini usai menggosip.

Kepala dayang itu menghela nafas kasar, ia tak tahan dengan keadaan Hinata yang seperti ini. Dikurung di dalam istana sementara sang suami tak pulang-pulang, belum lagi keadaan Boruto yang setiap hari menangis karena air mata sang ibu.

"Kogo-sama...." Suara Yugao bergetar, "sebenarnya ada hal lain yang ingin ku sampaikan..." Ucapnya lirih.

Akhirnya kepala Hinata terangkat, iris bulannya menatap penuh tanya pada Yugao.

Yugao mendekat, dan dari bagian lengan lebar yukata nya ia mengeluarkan dua buah gulungan. Dengan cepat kepala dayang itu melihat ke kanan dan kiri dan menyerahkan gulungan itu pada sang permaisuri, lalu pergi begitu saja.

...

Iris mutiaranya meneliti tiap kata yang tertulis pada lembaran gulungan itu, membacanya perlahan. Kabar burung yang tersebar di Dairi bukanlah isapan jempol belaka, "pantas saja satu persatu dayang menghilang, Naruto-kun mencoba menutupi semuanya dari ku..." Air bening itu merembes ia menatap ke langit-langit untuk menghalaunya namun tetap gagal. Kini orang yang ia cintai benar-benar telah menjadi iblis.

Surat yang ditulis Sakura sudah cukup jelas, Naruto membuat keputusan sepihak menjadikan klan Uzumaki penguasa Heian. Menetapkan dirinya sendiri sebagai Kaisar seumur hidup dan Boruto sebagai Putera Mahkota, juga Hinata sebagai permaisuri seumur hidup.

"Anda sudah puas, Kogo-sama...?" Suara lain menggema, Hinata terperanjat, ia buru-buru memasukkan surat itu ke dalam tamoto uchikake nya.

Jantungnya berdegup kencang, Shikaku berdiri di hadapannya.

"Semua yang menghalangi niatmu telah lenyap, Inoichi, Danzo, para dayang. Dan kebangkitan klanmu akan segera terwujud..."

"Apa yang anda katakan?" Hinata menyangkal. Namun Shikaku tersenyum penuh kelicikan. "Kau lahir dari klan penuh kelicikan, tak heran bila darah yang memenuhi otakmu dipenuhi dengan tipu muslihat." Shikaku kembali melancarkan cercaannya.

Hinata menggeleng sambil menangis. "Demi Kami-sama semua yang terjadi bukan atas kuasaku."

"Akhirnya aku tahu apa tujuanmu Shikaku-sama..." Suara baritone kembali menginterupsi, Hinata dan Shikaku menoleh, mereka terperanjat dan mendapati Naruto, sang Kaisar berdiri di belakang mereka.

"Tangkap orang tua ini dan jebloskan ke dalam penjara bersama dua rekannya." Titah Naruto langsung terjadi, dua orang samurai mengapit tangan Danzo lalu menyeretnya.

"Kau dengar ini Naruto!!!" Shikaku berteriak walau diseret. "Suatu saat kau akan menyadari siapa pengkhianat sebenarnya, istrimu!" Shikaku menunjuk Hinata yang bergetar ketakutan. "Kau akan tahu siapa sebenarnya istrimu itu. Dia seorang Hyuuga dan selamanya akan menjadi Hyuuga, darah pengkhianat mengalir deras dalam tubuhnya. Kau akan tahu siapa yang sebenarnya mengkhianatimu!!!!"

"Hiks... Hikss..." Hinata terisak sambil menutup mulutnya, ia mundur beberapa langkah menjauhi Naruto. Ketika Shikaku diseret keluar dari istana.

"Tenang, Hime..." Naruto memajukan langkahnya, menarik Hinata dan memeluknya erat. Tangan sewarna madunya memandu kepala Hinata untuk bersandar pada dada bidangnya, lalu dengan lembut ia mengelus surai kelam sang istri. "Kau tak perlu takut... Semua yang mengusikmu sudah aku lenyapkan. Kau akan menjadi permaisuri Brian seutuhnya."

Hinata mendongak dengan air matanya yang berlinang, ia menggeleng pelan. "Naruto-kun izinkan aku pergi dari istana ini...."

Naruto tersenyum miring seraya menarik dagu lancip Hinata. "Siapa yang mengizinkanmu pergi dariku... Bahkan mautpun tak ku izinkan mengambilmu tanpa izinku...."

...

"Tak ada satupun dari kalian yang meninggalkanku." Naruto duduk di singgasananya, mengibaskan jubah hitam bermotif naga yang ia kenakan. Tepat di bawah singgasananya, Shikamaru dan Sai yang ingin mengundurkan diri berdiri.

"Kau tak bisa menentang hak kami, Tenno-sama." Shikamaru bersuara lantang.

"Anggaplah ini sebagai penebusan kesalahan ayah kalian." Naruto tersenyum licik. "Beruntung aku tak membantai seluruh klan kalian karena kesalahan para tetua busuk itu."

Sai tersenyum remeh. "Kau hanya memiliki Saiteki, dan Kanpaku di sisimu. Bukan sahabatmu lagi."

Bersamaan dengan ucapan terakhirnya, Sai dan Shikamaru meninggalkan Naruto sendirian di aula. Naruto tak kehilangan Perdana Menteri, Jenderal, atau Prajuritnya. Tapi ia telah kehilangan semua sahabatnya.

...

Kakashi memejamkan matanya sembari meremas surat Sakura yang dibawa oleh Sasuke ke Shinto Ryu. "Naruto telah dibutakan oleh kekuasaan. Ia lupa tujuan utama rakyat mengangkatnya sebagai Kaisar."

"Aku turut andil dalam hal ini." Sasuke menundukkan kepalanya. "Pengkhianatan yang ia saksikan sejak kecil dan semua serangan yang membuat hatinya bersiaga untuk melindungi keluarga kecilnya, akulah penyebabnya." Sasuke menunduk sesal.

Kakashi menghela nafas berat. "Kita harus menggulingkan Naruto, dan hanya Hinata yang mampu melakukannya. Mintalah bantuan pada Sakura."

...

Iris gioknya membaca tiap detik surat yang ia terima bersamaan dengan bahan makanan yang masuk ke dalam istananya. Surat yang ia kirimkan pada Sasuke telah mendapat balasan dan sekarang sang suami berada di Shinto Ryu.

Ia menghela nafas berat setelah membaca surat itu, sebuah siasat yang harus ia atur bersama Hinata untuk menggulingkan kekuasaan Naruto.

...

Hinata menutupi tubuh polosnya dengan nagajuban tipis, sang suami tertidur pulas di sisinya usai menggagahinya semalam suntuk. Setelah memastikan Naruto benar-benar terlelap dalam tidurnya, Hinata menyelinap ke onsen.

Ia berjalan mengendap menapaki bebatuan marmer itu, lalu mengambil secarik surat di bawah pakaian mandinya yang telah disisipkan oleh Yugao.

...

Campurkan ramuan ini pada minuman Naruto secara rutin.
Kau tidak perlu takut, ini tak akan membuatnya mati. Dia hanya akan gampang mengantuk dan susah berkonsentrasi.

Shikamaru dan Sai akan memanfaatkan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Mempengaruhi para pejabat untuk menjadikanmu Ratu sementara. Sambil menunggu Sasuke-kun kembali masuk ke Kyoto. Setelah itu kau bisa kembali membawa Naruto ke Kawaguchiko dan menghabiskan hidup dengan damai disana.

...

Tangan Hinata bergetar hebat, di tangannya sudah ada nampan dengan poci dan cangkir teh. Ini sudah satu pekan ia menyuguhi Naruto dengan ramuan buatan Sakura. Namun rasanya masih tetap membuatnya takut.

Obat itu bekerja dengan sangat cepat, Naruto menjadi cepat kembali ke Dairi beberapa hari ini, tidur dengan cepat dalam dekapannya dan sering terlambat untuk menghadiri apel.

"Kenapa berdiri begitu jauh, Hime..." Naruto yang baru terjaga dari tidurnya menepuk sisi kosong di tepian ranjang yang ia duduki.

Hinata tersenyum tipis, ia melangkah pelan, meletakkan nampan itu pada meja bundar, lalu menuangkan teh dari poci ke dalam cangkir. Ia berjalan mendekat dan duduk di sisi Naruto, lalu menyuguhkan teh tersebut.

"Minumlah," tawarnya lembut.

Naruto tersenyum tipis, meraih teh cangkir itu dari sang istri. Ia mendekatkan hidungnya pada teh tersebut. "Harum seperti biasanya..." Pujinya tenang.

Hinata hanya tersenyum menanggapinya.

Bibir merah kecokelatan itu mendekat pada bibir cangkir, hampir menyesapnya, namun terhenti.

Hinata urung menghembuskan nafas lega, kala sang suami mengurungkan niatnya untuk minum.

"Kau mau mencobanya?"

Bola mata keunguan itu tak dapat berdusta, membola menunjukkan betapa terkejutnya ia saat sang suami menyodorkan cangkir teh itu padanya. Ia tersenyum terpaksa, berusaha untuk tak menggundang curiga sang suami, tangan bergetarnya meraih cangkir itu.

Prang

Hinata tersentak, cangkir itu tak sampai di tangannya, Naruto melempar cangkir keramik biru itu ke lantai hingga pecah.

"Ku pikir hanya kau satu-satunya orang yang bisa ku percayai, Hime..."

Hinata menoleh dari pecahan cangkir itu, menatap sendu pada sang suami yang tengah berujar lirih.

"Kau pikir aku tak tahu tentang surat ini....?" Naruto menunjukkan gulungan yang ia simpan di bawah kasur.

Bola mata mutiara Hinata terbelalak lebar, ia mencari keberadaan surat dari Sakura yang telah ia baca itu. Betapa cerobohnya ia sampai surat itu bisa jatuh ke tangan Naruto.

"Kau terlalu polos untuk menjadi pendusta Hime...." Naruto melempar surat itu ke lantai. "Aku meminum penawar dari ramuan yang diberikan oleh istri si Teme itu. Bukan hanya dia tabib terbaik di negeri ini." Naruto tersenyum remeh. "Katakan, kau hanya dijebak Hime... Katakan kau tak berniat menggulingkan takhtaku!!!!"

Naruto berteriak membuat Hinata terperanjat. Air mata lolos dari mutiara ungunya, beradu dengan safir biru yang dipenuhi dengan kekecewaan itu.

"Bela dirimu, katakan ini kau hanya dijebak!!!" Naruto mengguncang tubuh Hinata, namun wanita itu diam seribu bahasa.

"Kau tak mengelak hm..." Naruto masih bersikeras mendengar penyangkalan Hinata, namun tak sepatah katapun keluar dari bibir plumnya.

"Diammu membuktikan, bahwa kau tetaplah seorang Hyuuga. Kau terlahir dari klan pengkhianat dan pengkhianatan mengalir deras dari dalam darahmu... Tuduhan para tetua itu terhadapmu adalah benar." Ucapnya dengan sorot mata dingin. Naruto berdiri, menjauhi Hinata.

"Jika aku menyangkal apa kau akan percaya?" Hinata akhirnya membuka mulutnya.

"Kau meragukan cintaku, Hime.... Kau mengorbankan hubungan yang susah payah kita perjuangkan untuk masalah sepeleh ini... hmm...? Untuk apa selama ini aku membelamu....?"

"Naruto-kun..." Hinata bangkit, ia mencoba meraih tangan Naruto, namun sang Kaisar menepisnya.

"Kau menyakitiku.. Hime... Kau melukai kepercayaan ku..." Naruto mundur selangkah.

"Naruto-kun... Mari pergi dan kembali ke Kawaguchiko..." Hinata maju selangkah, mencona meraih tangan Naruto, namun gagal, Naruto kembali menepisnya.

"Jangan sentuh aku! Kau ingin pergi bukan? Besok pagi pergilah dari hadapanku, renungkan kesalahanmu sampai musim semi." Naruto berbalik, menolak melakukan kontak mata dengan sang istri.

"Kau mengusirku," Hinata terbata tak percaya.

Naruto tersenyum remeh, "bukankah kau sangat ingin pergi? Pergilah, aku membebaskanmu." Naruto melangkah menuju pintu kamar.

"Baiklah jika kau ingin aku pergi."

Langkah Naruto terhenti saat kalimat Hinata keluar, ia memejamkan kelopak matanya, dan air merembes dari sana. 'Kau telah berjanji, kau tak akan meninggalkan aku, sekalipun aku mengusirmu... Kau mengingkarinya Hime...'

"Jika kau ingin mengasingkan aku, ku mohon jangan di istana Naniwa, asingkan aku di Kawaguchiko."

Buku-buku tangannya memutih, Naruto mengepal tinjunya erat, ia enggan menoleh. "Kau berani mengajukan syarat. Aku pun akan mengajukan syarat."

Hinata tersentak, batinnya teriris, Naruto benar-benar mengusirnya.

"Keluar dari istana tanpa Boruto."

つづく

Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top