139. Duri Dalam Daging -2-
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
Wanita bersurai cokelat dengan tatanan dicepol dua itu tersenyum congkak, ia kembali menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang sederhana di dalam kapal yang membawanya dari tanah kelahirannya. Sesekali ia mengelus pelan perutnya yang sudah membesar, bayi dalam kandungannya membawa banyak keuntungan dalam dirinya. Tentu saja, bayi yang ada dalam perutnya itu adalah bayi terakhir dari klan bangsawan Heian yang kini hampir punah. Ia membawa penerus Hyuuga dalam dirinya.
Bayi yang akan menjadi senjatanya untuk hidup bergelimang harta, mengangkat derajatnya sebagai budak menjadi seorang bangsawan. Tenten tersenyum culas melihat Haku, anak buah dari Zabuza yang merupakan samurai bayaran Danzo yang kini tengah berusaha memasak masakan yang ia inginkan. Ia lalu mendengus acuh saat melihat Zabuza memandang penuh muak padanya. "Khe... Kalian pikir aku takut pada kalian? Kalian tak akan berani menyakitiku dan bayiku, jika sampai terjadi sesuatu padaku dan bayiku, nyawa kalian pasti akan tamat di tangan Danzo."
...
"Budak itu semakin membangkang." Zabuza berjalan mendekat ke arah Haku yang tengah merebus air untuk memasak sup ayam yang akan disajikan pada Tenten.
Haku tersenyum seadanya sambil memasukan beberapa sayuran ke dalam bejana yang terbuat dari bahan Kuningan. "Dia memanfaatkan dengan baik janin yang ada dalam kandungannya. Dia tahu, kita tak akan mungkin menyakitinya. Shimura-sama menginginkan bayi dia dan bayi itu dalam keadaan baik-baik saja sampai ke Heian."
"Aku tak mengerti, apa yang Shimura-sama inginkan dari wanita itu. Dia hanya budak pelarian yang kembali ke tanah airnya. Bahkan dia hidup menggelandang di Tang." Zabuza kembali menerawang bagaimana ia menemukan Tenten, wanita itu berkeliaran mengemis di pasar dalam keadaan hamil besar. "Bahkan dia seperti orang yang hampir mati kelaparan jika tidak kita selamatkan." Sambung Zabuza.
"Shimura-sama punya rencana besar yang tidak kita ketahui Zabuza-san...." Haku menutup tungkunya setelah meletakkan daging ayam di dalamnya.
...
Tenten menatap rakus sup ayam dengan aneka sayuran lezat yang tersaji dihadapannya, dengan rakus, ia langsung mengambil mangkuk kecil dan menyendokkan satu porsi di sup itu, lalu meniup-niup dengan tidak sabar.
"Tenten-san pelan-pelan." Cegah Haku yang sama sekali tak digubris oleh Tenten.
"Berapa lama lagi kita akan sampai di Heian?" Tanya Tenten tidak sabaran, sambil meniup-niup sup.
"Tiga hari lagi." Jawab Zabuza ketus.
Tenten tersenyum licik lalu mengelus perut besarnya sekilas. "Tak sia-sia aku mempertahankanmu dan membiarkan para perompak membawa semua harta pemberian Toneri saat aku kembali ke Tang, tak sia-sia aku hidup menggelandang di negeri Tang dan tetap memberimu, makan. Sekarang kau berguna nak. Bibimu yang bodoh itu pasti kini menginginkan penerus klannya."
...
Mutiara lavender itu menatap lurus pada pantulan bayangannya di cermin, dengan tangan lembutnya yang menyisir surai halus nan panjang bagai kelamnya malam, namun bukan kesempurnaan ragawinya yang kini tengah menjadi pusat perhatiannya. Sang Lotus Ungu kini tengah memikirkan tentang dusta yang ia sembunyikan dari pria tercintanya. Dusta yang akan kelak membawanya ke jurang kutukan para penjahat yang dikalahkan oleh sang suami.
"Eh..." Hinata terkesiap saat merasakan sesuatu yang hangat melingkar di pinggang rampingnya, sepasang lengan kekar tengah melingkar manja disana, dan hal itu membuat Hinata tersenyum tenang.
"Kita akan berdua saja di pantai barat..." Deru nafas hangat nan menyegarkan milik sang Kaisar menyapu lembut gendang telinga putihnya. Satu tangan tan Naruto terangkat dan menyingkap surai kelam Hinata ke samping bahu mungil milik sang istri, ia menyandarkan dagu lancipnya disana, dan menempelkan rahang tegasnya pada pipi persik Permaisurinya.
"Naruto-kun bersemangat sekali..., bukankah seharusnya aku yang bersemangat..." Hinata meletakkan sisir kayunya dan menggunakan tangan yang tadinya ia gunakan untuk menyisir, untuk membelai rahang tegas sang suami.
"Aku bersemangat, karena kau yang memulainya.." Sepasang tangan kekar itu mulai membelai tiap inci tubuh sang lotus ungu, Hinata berdesis lembut karena jamahan lembut sang suami, hingga satu tangan sang kaisar menari diatas perut ratanya yang dililit obi putih. "Aku ingin putri cantik yang mirip denganmu...."
Kembali senyum kecut tersungging di bibir tipis sang permaisuri, ia membuang wajahnya dengan gerakan lembut agar tak bertatap wajah dengan sang suami. "Naruto-kun masih pagi...." Kilahnya manja. Hinata tahu, sampai kapanpun ia tak akan bisa memberi Naruto putri cantik seperti yang diinginkan suaminya.
Naruto-kun gomenasai....
...
Fajar ini sang surya lebih cepat menyapa tanah Kyoto, kilau cahayanya yang bagaikan emas terpantul dari atap istana Dairi. Pagi ini halaman Dairi nampak sibuk, beberapa kereta nampak berjajar rapi di depan gerbang, puluhan samurai berbaris rapi di depan pintu istana.
Hari ini adalah hari yang ditentukan, hari dimana Naruto dan Sasuke akan berangkat ke pantai barat pulau Honshu. Sang jenderal samurai telah berada di istana kekaisaran jauh sebelum sang fajar menyapa, kini dia tengah berdiri di anak tangga terendah istana Dairi, onix hitamnya memandang tajam pada besi panjang di tangannya, katana salju yang telah bertahun-tahun ikut bertarung bersamanya.
"Sasuke-kun...."
Tepukan pelan di bahu berlapis pakaian zirah itu membuat sang Jenderal menoleh. Ia tersenyum tipis saat mendapati istri merah mudanya berdiri di belakangnya. "Kau baru tiba?"
Sakura menjawab pertanyaan sang suami dengan anggukan.
"Apa Sarada rewel?" Kembali pertanyaan dilayangkan oleh Sasuke, ia keluar dari istana Kamakura saat semua penghuninya terlelap di alam mimpi. Puteri kecilnya itu masih berada dalam buaian sang ibu ketika ia meninggalkan kediamannya.
"Dia sudah mulai akrab dengan Rukia." Jawab Sakura menenangkan. "Begitupun juga dengan Ishihara. Sasuke-kun, apa tidak sebaiknya kita membawa Ishihara dan Sarada? Aku tak tenang meninggalkan mereka di Kyoto di bawah pengawasan dayang.... Apa lagi beberapa hari ini."
Sasuke tersenyum tipis, ia menengadahkan kepala ravennya ke langit musim panas Kyoto. "Jika ada yang berani bermain dengan nyawa lagi, maka perang akan kembali berkecamuk. Dan musuh kita sekarang bukan tipe orang suka dengan perang."
Sakura terkesiap dengan penuturan sang suami. "Apa maksudnya?"
"Salam hormat pada Tenno-sama dan Kogo-sama." Sasuke mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaan Sakura, kala seorang Kasim mengumumkan kehadiran Naruto dan Hinata.
Beberapa Kasim, samurai, yang berada di teras istana Dairi ber-ojigi memberi hormat pada sang Kaisar dan Permaisuri. Naruto dan Hinata turun dari istana Dairi dengan saling bergandengan tangan, pagi ini Sang Kaisar mengenakan pakaian zirah hitam kebesarannya saat masih menjabat sebagai seorang jenderal, dan Hinata, tak ada uchikake mewah yang membalut tubuhnya. Ia berpenampilan beda pagi ini.
Tubuh rampingnya dibalut dengan montsuki putih, ia mengenakan hakama hitam yang dililit Obi besi hitam pada pinggangnya, surai kelamnya yang biasa ditata dengan sanggul atau berbagai mode feminim, pagi ini hanya dikuncir kuda, dan hal yang paling mencengangkan adalah, di punggungnya, Hinata menyandang katana klan Hyuuga peninggalan Neji.
Beberapa Kasim dan dayang serta Sakura tampak takjub akan penampilan Hinata yang tak biasa pagi ini.
"Kogo-sama, anda tampak berbeda pagi ini..." Sakura buka mulut mewakili pujian dan rasa penasaran para dayang dan Kasim yang takjub akan penampilan Hinata.
"Hinata tak akan duduk dalam kereta." Suara Naruto menggema seolah menjawab alasan kenapa Hinata memakai pakaian seorang samurai wanita. "Dia akan duduk di satu kuda bersamaku, tentu akan menyulitkan bila dia tidak mengenakan hakama, dan katana itu, Hinata ingin akan ikut bersiaga selama perjalanan." Naruto menggenggam erat tangan Hinata dan menatap dalam pada mutiara lavender sang istri. Ia menaruh kepercayaan besar pada Hinata.
"Sejak hamil, sudah lama aku tak menjajal kemampuan katana-ku..." Hinata tersenyum tipis menjawab pada orang-orang di hadapannya.
Shikaku yang baru tiba dan berdiri di barisan paling belakang, tersenyum simpul. Ia tahu alasan Hinata mengenakan pakaian samurai, "ada yang sedang kau lindungi Kogo-sama... Kau sedang bersiaga menjaga pewaris klanmu..."
Tak jauh berbeda dengan Shikaku, Sasuke juga sudah dapat membaca alasan Hinata memakai pakaian seperti itu. Berhati-hatilah Hinata, kau sedang menantang Uzumaki Naruto, dan bila kau salah langkah maka kau akan hidup tanpa separuh nyawamu....
...
Tangan tannya terulur, Naruto sudah berada di atas kuda kesayangannya terlebih dahulu agar dapat membantu sang istri agar lebih muda naik ke atas kuda. Hinata mengangguk dan meraih tangan suaminya, ia menginjakkan kakinya pada pedal di sisi tubuh kuda jantan itu, dan dengan mudah Naruto menariknya.
Dalam sekali tarikan tubuh mungil Hinata kini berada di depan tubuh sang kaisar, mereka duduk berdua di atas kuda yang sama. Sepasang tangan sang kaisar melingkar pada pinggang sintal sang istri, ia menyandarkan dagu lancipnya pada pundak mungil berlapis montsuki putih yang Hinata kenakan. "Kau sudah siap untuk perjalanan ini....?"
Wajah Hinata memerah karena tersipu, kendati hatinya merasa takut, ia telah berani ikut campur dalam masalah Naruto. Dan resiko besar akan ia hadapi jika sang suami mengetahui keterlibatannya dalam rencana melepaskan Tenten.
...
"Kita sudah sampai." Zabuza menginjakkan kakinya di dermaga pantai barat pulau Honshu, di belakangnya nampak Haku yang tengah memapah Tenten, diikuti oleh beberapa samurai anak buahnya. Zabuza menoleh ke arah Tenten, "sebentar lagi adalah giliran mu bekerja."
Zabuza pria bersurai kelam itu melangkah menuju pesisir pantai barat pulau Honshu. Onix hitamnya memandang sekitar pasir putih tempat itu, hari mulai senja nampak beberapa kapal pedagang dari berbagai penjuru negeri tengah bersiap kembali berlayar. Tapi bukan itu incarannya, melainkan seseorang pria berhaori hitam yang berdiri seolah menantinya.
Ia mendekat pada pria asing itu, dan menerima secarik kertas, dibukanya dengan seksama surat itu dan dibacanya dengan teliti. "Kaisar sudah dekat." Ia tersenyum simpul setelah membaca surat itu. Sebentar lagi tugasnya sudah selesai. "Haku." Ia menoleh, memanggil nama tangan kanannya yang tengah memapah wanita hamil dari negeri tirai bambu itu. "Bawa perempuan ini kearah barat, sudah ada kereta disana. Kita menginap di rumah peristirahatan keluarga Nara malam ini."
...
"Kau suka dengan perjalanan ini....?"
"Eh..." Hinata terkesiap saat mendapati tubuhnya didekap dari belakang, ia urungkan niatnya untuk mengarahkan telapak tangannya pada api unggun yang ada di hadapannya, ia tak membutuhkan itu, karena sang suami mendadak memberikan kehangatan kepadanya. Hinata mengangguk dan tersenyum lembut saat pipi kecokelatan menyentuh pipi persik ya. "Besok kita akan tiba di pantai barat....?" Tanya Hinata memastikan.
"Benar...." Naruto mengecup sekilas pucuk kepala sang istri. "Rasanya menyenangkan bisa berdua saja seperti ini tanpa memikirkan masalah kerajaan...., langit malam ini cerah bukan....?" Naruto menunjuk langit kelam malam itu. Mereka tengah memasang tenda di tengah hutan, sebelum melanjutkan perjalanan esok pagi, karena terlalu berbahaya jika mereka memaksakan melanjutkan perjalanan.
Hinata mengikuti arah telunjuk Naruto. Ia tersenyum dan mengangguk, "bintang yang paling besar dan terang itu adalah Naruto-kun.... Bintang sang Kaisar..."
"Hontou...." Naruto mengeratkan pelukannya pada sang istri. Ia beruntung Sasuke dan Sakura telah masuk ke dalam tenda, begitu pula dengan Shikaku, hanya ada beberapa samurai penjaga, dan mereka tak akan berani mengintip sang kaisar yang tengah bermesraan. "Lalu kau yang mana....?" Tanya Naruto kembali seraya mengecup pipi gembul sang istri.
Hinata menggeleng, "aku tak ada disana...."
Tangan Naruto terulur dan menarik dagu lancip sang istri. "Tempat dimana tak ada dirimu, tempat itu bukanlah tempatku, walau nirwana sekalipun." Nampak nada kekecewaan disana, Naruto tak suka Hinata yang merendahkan dirinya.
"Naruto-kun.... Ini hanya bercanda... Jangan terlalu serius...." Hinata mengelus sayang rahang tegas suaminya.
"Aku tak suka kau berbicara seperti itu." Naruto menarik dagu Hinata, tak memberikan kesempatan pada wanitanya itu menjawab, Naruto menempelkan bibirnya pada pada bibir mungil sang istri, menekan bagian belakang kepala Hinata hingga sang Lotus ungu tak mampu mengelak ciuman dalam itu.
...
"Hinata tak akan bisa berkutik malam ini." Sakura menghela nafas pasrah, setelah mengintip dari sela-sela tendanya, rasanya kemungkinan untuk mengajak Hinata menemui mata-mata yang telah disiapkan Sasuke pupus.
"Dobe tak akan melepaskannya malam ini, sebaiknya kalian bertemu dengan mata-mata itu saat tiba di rumah peristirahatan." Sasuke angkat bicara setelah menggulung sebuah surat yang ia terima.
Sakura menoleh ke arah sang suami. Ia kadang bingung dari mana Sasuke bisa menerima surat selama perjalanan ini.
"Tenten sudah tiba di pantai barat." Jawab sang jenderal sembari membaringkan tubuhnya di atas futton.
Sakura beringsut mendekat pada sang suami. "Darimana kau tahu?" Sakura memposisikan wajahnya tepat di atas wajah sang suami. Membuat Sasuke membuka kembali matanya yang telah terpejam.
Sasuke tak menjawab sepatah katapun, tangannya langsung bergerak cepat dan menggapai bagian belakang kepala Sakura, menarik kepala permen kapas itu hingga bibir mereka beradu.
"Hmmmmpppppp...." Sakura merasa kesal, ia tiba-tiba dicium secara paksa oleh sang suami.
...
Malam kian larut, Naruto dan Sasuke terbuai dengan pasangannya masing-masing, hingga mereka tak menyadari Shikaku malam itu menyusup keluar dari area perkemahan, menuju rumah peristirahatan miliknya yang tak di ketahui oleh siapapun.
"Dimana wanita itu?" Shikaku masuk dengan cepat saat Haku membuka pintu geser untuknya.
"Dia di kamar Nara-san." Haku membungkuk memberi hormat, namun tak diindahkan oleh Shikaku.
"Zabuza?" Onix hitam Shikaku mengedar pada ruangan itu.
"Zabuza-sama sedang membersihkan diri di Jacuzzi..." Kembali Haku menjawab sopan.
Shikaku melewati Haku, dan berjalan cepat menuju kamar Tenten berada, ia ingin memastikan keadaan pionnya itu baik-baik saja.
Srak
Pintu geser itu terbuka kasar dan membuat seorang wanita yang tengah menyisir surai cokelatnya terkesiap.
"Siapa kau!" Wanita itu berbicara meninggi, namun Shikaku sang pembuka pintu tersenyum congkak.
"Malaikat penyelamatmu."
Jawaban singkat dari Shikaku membuat alis Tenten menukik, ia mulai berpikir.
"Nara Shikaku." Jawabnya dengan senyuman penuh kelicikan.
...
Pintu geser terbuka pelan, seorang wanita dengan wajah pucat dan surai kelam membawa botol berisi sake dan meletakkannya di meja rendang di sebuah ruangan.
"Duduklah. Haku." Wanita itu mengurungkan niatnya untuk meninggalkan ruangangan itu dan ikut duduk bergabung bersama tuannya. Haku duduk mengambil posisi disamping Zabuza, pria yang memintanya untuk tidak meninggalkan ruangan itu. Ia mulai menuangkan sake dari dalam botol tanah liat itu, pada satu persatu cawan keramik di meja itu.
"Kau jangan coba-coba meminum sake itu, Tenten." Ancaman keluar dari mulut Shikaku saat onixnya menangkap basah Tenten yang mencoba meraih cawan berisi sake.
Tenten memutar matanya bosan. Terlalu banyak pantangan yang ia harus patuhi disini. Padahal di Tang aku sering minum arak, tapi bayi ini baik-baik saja.
"Kami membangun tenda di dekat sini. Besok pagi mereka akan tiba di pantai barat." Shikaku membuka pembicaraan setelah menenggak satu cawan sake. "Lusa, kau bawa Tenten ke tempat Naruto dan Sasuke bertemu dengan mata-matanya."
Mata hitam Tenten membulat mendengar rencana Shikaku. "Kau ingin aku mati hah!"
Shikaku tersenyum sinis mendengar ketakutan Tenten. "Hinata tak akan membiarkanmu mati, dia punya mata-mata disini."
...
Suara kokokan ayam mengusik tidurnya, kelopak mata sewarna madu itu mengerjap tak nyaman, dan tak lama safir biru keluar dari persembunyiannya. Lengannya terasa ringan, dahinya mengernyit dan pandangannya mengedar seolah mencari sesuatu. Seingatnya semalaman Hinata terlelap dalam dekapannya, "kemana perginya dia."
Hingga suara gemericik air tetesan air terjun yang sejak tadi mengisi gendang telinganya, kini berbaur dengan lantunan lembut suara menyejukkan hati. Naruto hafal betul suara merdu itu. Suara milik Uzumaki Hinata, wanita tercintanya.
...
Senyuman terpatri dari bibir kecoklatan itu, safir birunya menangkap pemandangan yang amat menakjubkan. Tubuh sintal Hinata meliuk lentur mengikuti alunan gemericik air terjun, Hinata tidak sedang menari, wanita itu kini tengah bermain dengan katana-nya.
Naruto tahu, istrinya itu tengah melakukan pemanasan, membiasakan diri dengan pedang samurai itu. Hampir satu tahun lebih sejak mendapati dirinya mengandung, Hinata sama sekali tak menyentuh katana.
Sebagai orang yang juga mempelajari katana Naruto tahu betul kerinduan sang istri pada pedang panjang itu. Bibirnya tersungging penuh pikiran nakal. Hinata begitu cantik ketika mengayunkan katana-nya, ingatannya melayang pada malam dimana ia beradu katana dengan Hinata saat keduanya masih terselimuti dendam.
Surai kelam Hinata yang berayun manja, tubuh sintal Hinata ketika mengayunkan katana, semua itu seolah membangkitkan gairah Naruto untuk kembali menjajal kemampuannya bersama sang istri.
...
Tranggggg
Hinata terkesiap, gerakan lembutnya mengayunkan katana tiba-tiba menghasilkan bunyi peraduan benda serupa. Seseorang tengah mengadu katana miliknya, mutiar lavendernya bersiaga, ia memasang kuda-kuda, siapapun bisa menyerangnya dalam kegelapan fajar seperti ini.
Ia tak sedang mengandung lagi, seperti keadaannya beberapa bulan lalu saat diserang. Saat ini ia bisa melawan.
Tranggggg
Tranggggg
Dua katana beradu, Hinata bergerak cepat saat angin berdesir bersama dengan pergerakkan katana yang mendekat kearahnya.
Ia memasang kuda-kuda bersiaga, seorang musuh berlari kearahnya secepat angin, dan mutiara ungunya membola saat mendapati lawan di hadapannya.
"Serang aku Uzumaki Hinata."
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top