138. Duri Dalam Daging -1-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

Jantungnya terpompa cepat, ia tak percaya, sungguh ia harus bahagia atau bersedih. Hinata mengambil langkah seribu dari pintu ruang kerja Sasuke, sepanjang perjalanannya menuju gerbang utama Chodo-in, Hinata masih kembali memastikan, akan kebenaran yang ia dengar. Tenten masih hidup, orang yang menjadi penyebab penyakit yang kini ia derita, orang yang menyebabkan ia harus selalu menelan pil pencegah kehamilan setelah berhubungan dengan sang suami. Orang yang menjadi penyebab rusaknya rahimnya.

Sungguh Hinata tak berniat untuk menguping pembicaraan antara Naruto dan Sasuke saat itu. Mungkin saat mereka berada di paviliun Daigokuden, Hinata sempat berniat untuk menguping pembicaraan antara Naruto dan Sasuke, namun niat itu tak ia lanjutkan.

Hinata hanya berniat menyusul sang suami, untuk berpamitan pulang ke istana Dairi, dan saat ia bertanya pada Shikamaru setelah rapat di aula agung telah selesai, ia hanya mendapati jawaban bahwa sang suami berada di kantor keshogunan.

...

Hinata memegangi dadanya sepanjang perjalanan ia kembali ke Dairi, ia telah mengenakan uchikake kebesarannya kini lengkap dengan perhiasan dan tatanan rambut seorang permaisuri. Dadanya terasa sesak saat mengetahui bahwa Tenten masih hidup, bagaimanapun ia tetap menyimpan rasa kecewa mendalam pada pengkhianatan kakak calon kakak iparnya itu.

Pengkhianatan yang hampir membuatnya kehilangan buah hati tercintanya, pengkhianatan Tenten yang membuatnya harus menanggung penyakit yang telah merusak rahimnya, ia bahkan tak bisa mewujudkan keinginan suami tercintanya untuk memiliki seorang putri, dan semua itu disebabkan oleh Tenten.

Tapi disisi lain ada satu hal yang membuat Hinata lega atas berita Tenten yang masih hidup. Jika wanita itu masih hidup, kemungkinan ia membawa benih kakaknya, penerus klan Hyuuga.

"Kogo-sama, anda baik-baik saja...?" Tomoyo langsung berjalan menuju pintu Paviliun Jijuden saat mendapati Hinata berdiri disana dengan tatapan kosong.

"Tomoyo kau bisa membantuku...?"

"Dengan senang hati Kogo-sama..." Tomoyo membungkuk siap menerima titah.

"Tolong minta pada Kasim untuk menjemput Hidenka-sama kesini, sekaranga juga."

...

"Ada apa denganmu, Hinata...." Sakura masuk kedalam kamar Hinata dan meletakkan peti berisi obat-obatan racikannya. "Apa ada yang terasa sakit, atau Kaisar Baka itu bermain kasar saat berhubungan dengan mu....?" Meraih pergelangan tangan Hinata, berniat untuk memeriksa denyut nadi ibu satu anak ini.

Namun Hinata menarik tangannya, "ini bukan tentang aku, Sakura. Ini tentang Tenten."

...

"Jadi, Tenten kemungkinan besar adalah orang yang memberitahu Toneri dan Akatsuki tempat persembunyian kalian saat itu." Sakura kembali mengulangi cerita Hinata, dan Hinata menjawabnya dengan anggukan.

"Seseorang lebih dahulu menemukan Tenten di Tang, dan membawanya ke Heian, selain Naruto-kun dan Sasuke-san, ada orang lain di Heian yang menginginkan Tenten. Sakura kau harus membantuku menemukan Tenten, sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan, Tenten sedang mengandung anak Neji-nii, dan itu artinya penerus garis keturunan Hyuuga ada di dalam rahim Tenten."

Sakura menghela nafas kasar, ia lalu menggamit telapak tangan Hinata. "Hinata, kita tak perlu ikut campur lagi dalam urusan mereka..." Tabib merah muda itu memberi pengertian pada sahabatnya. Ia tak ingin posisi Hinata di istana semakin dipersulit dengan ikut campur dalam masalah Tenten. "Lagi pula dia berperan besar dalam penculikanmu saat itu, ingat Hinata, kau hampir kehilangan Boruto saat itu...."

"Aku tidak peduli tentang Tenten, Sakura, bayi yang ada dalam kandungannya, adalah darah daging Neji-nii...."

"Jadi aku bisa membantumu apa, sekarang....?" Sakura putus asa, Hinata benar-benar keras kepala kali ini.

"Sakura, Sasuke-san punya banyak koneksi mata-mata di Heian. Kau bisa mencari tahu satu untukku..."

"Hinata, kau ingin bertindak di belakang suamimu, ini terlalu berbahaya, berurusan dengan mata-mata dan ikut campur dalam urusan mereka...."

"Sakura, ku mohon, kau tentu tahu tanggung jawab yang harus aku emban, ini adalah bentuk penebusan dosaku terhadap Hyuuga, kendati Hyuuga adalah klan yang berperan besar dalam kekacauan Heian di masa lampau, tapi menikah dengan seorang pembantai klanmu sendiri.... Sakura, kau mengerti apa maksud ku.... Aku tak mungkin membiarkan garis keturunan Hyuuga putus, aku dan Hanabi telah menyandang nama klan lain, tinggal anak dari Neji-nii harapan kami....."

Sakura tak punya pilihan, ia mengiyakan permintaan Hinata, ia tahu apa yang dirasakan Hinata. Seandainya ia berada di posisi itu dia akan melakukan hal yang sama. Jika dia punya kesempatan untuk meneruskan klan Haruno, sayang ia dan ayahnya adalah anak tunggal, terlebih lagi dirinya seorang wanita, dan harus melanjutkan garis keturunan sang suami.

...

"Kau sibuk...?" Kepala merah muda Sakura tersembul dari balik pintu geser, membuat Sasuke mengalihkan atensinya dari gulungan yang tengah ia periksa, buru-buru sang jenderal menggulung kembali surat rahasia itu, surat dari salah satu orang suruhannya yang berada di negeri tirai bambu.

"Kemari," Sasuke menoleh ke arah pintu geser, isyarat matanya yang melembut menandakan ia membiarkan istri musim seminya itu untuk masuk.

"Sedang mengerjakan apa..." Sakura duduk mengambil tempat di samping sang suami, dan sedikit mengintip gulungan yang sedang berada di tangan Sasuke.

Melihat gelagat ingin tahu sang istri, Sasuke buru-buru menutup gulungan itu, ia menoleh dan mempertemukan onixnya dengan emerald Sakura. "Apa di depan ada pedagang sutra dari Tang, atau pedagang mutiara dari Goryeo?"

"Is kau ini..." Sakura mendengus kesal seraya memalingkan muka, suaminya itu mengira ia ingin minta dibelanjakan sesuatu. "Aku sedang tidak ingin meminta koin emas dan perak, Sasuke-kun..."

"Lalu apa yang kau inginkan?" Sasuke menghadapkan seluruh tubuhnya pada sang istri. Ia tak bisa membaca surat itu dengan leluasa jika Sakura berada di dekatnya.

"Kau ingin apa Saki....?" Sasuke menggenggam kedua lengannya dan memanggilnya dengan panggilan kesayangan.

'Berhasil....' Sakura bersorak dalam hati, ia kira Sasuke sudah masuk dalam rayuannya, padahal ia salah, tidak semudah itu Sasuke termakan rayuan Sakura.

"Ano... Sasuke-kun.... Sakura beringsut lebih mendekat lagi pada sang suami, ia menyandarkan kepala merah mudanya pada bahu tegap berlapis montsuki hitam itu. "Jika diperbolehkan, aku ingin meminta mata-mata, padamu..."

Dahi Sasuke berkerut mendengar permintaan sang istri. "Apa maksudmu?"

Sakura menghela nafas ia tahu ini bukan waktunya untuk, ia bermanja-manja pada sang suami, ia menegakkan tubuhnya dan menatap dalam pada onix hitam sang Uchiha terakhir ini. "Hinata menginginkan sesuatu, Sasuke-kun, ia ingin Tenten dan bayinya tetap baik-baik saja."

Dahi Sasuke berkerut mendengar penuturan sang istri. Ia cukup mengerti, Hinata juga menginginkan Tenten tanpa sepengetahuan Naruto, namun Sasuke juga tak bisa mengkhianati Naruto. "Hinata meminta mata-mata padaku melaluimu, tanpa sepengetahuan suaminya." Selidik Sasuke pada istrinya.

Sakura menghela nafas pelan, ia tak bisa berbohong pada suaminya. "Sasuke-kun..." Suara Sakura melembut, tangannya menggamit tangan sang suami dan menggenggamnya erat. "Kau tentu mengerti apa yang dirasakan Hinata, sebagai garis keturunan terakhir dari klan kita, Hinata tak ingin garis keturunan Hyuuga terputus."

"Sudah ku duga." Sasuke memejamkan matanya, otaknya mulai berpikir tentang keinginan Naruto yang menginginkan pembalasan terhadap Tenten atas apa yang dialami oleh Hinata. "Mengatur siasat di belakang Naruto bukan hal yang mudah. Aku tahu perasaan Hinata, tapi Naruto tak akan membiarkan siapapun yang menyakiti miliknya. Setidaknya jika bayi di kandungan Tenten masih hidup, kita tak mungkin membiarkannya menjadi objek balas dendam Naruto. Naruto bisa menghancurkan apapun semua yang menyebabkan pederitaan Hinata."

"Hanya bayinya Sasuke-kun..., Hanya bayinya, Naruto boleh melakukan apapun pada Tenten, setelah bayinya lahir. Kau tentu mengerti apa yang dirasakan oleh Hinata.... Klannya terbantai, dan satu-satunya saudara laki-laki yang ia miliki kini telah tewas."

Sasuke menghela nafasnya berat, ia tahu apa yang Hinata rasakan. Keinginan agar garis keturunan klannya tidak terputus. Sebagai saudara tertua yang tersisa dari klan Hyuuga, Hinata tentu mengemban tanggung jawab untuk memastikan melanjutkan garis keturunan klannya, walau ia sendiri tak bisa memberikan penerus bagi Hyuuga.

"Para wanita Hyuuga yang Naruto asingkan di pertambangan..., Hinata bisa menjadikan mereka sebagai mata-mata. Butuh waktu hampir tiga minggu sambil menanti perjalanan kapal dari Tang yang membawa Tenten "

Sakura menarik nafas lega, Sasuke membuka celah bagi Hinata untuk memperoleh mata-mata.

"Aku akan memberikan Hinata satu mata-mata yang berasal dari klan Hyuuga. Berhati-hatilah Sakura. Para tetuah itu kini tengah mengamati gerak-gerik kita. Kita bisa dituduh akan menentang kaisar bila hal ini sampai terdengar oleh para pejabat. Terlebih lagi klan kita pernah melakukan konspirasi besar untuk menjatuhkan klan senju dari tahkta."

...

"Kau suka makanannya..." Hinata tersenyum lembut, menyuapkan potongan daging sapi rebus pada sang suami.

Naruto memasukkan ke mulutnya potongan daging sapi yang disuapkan Hinata melalui sumpit, ia tersenyum tipis sambil mengunyah, dan setelah makanan itu ia telan sempurna, bibirnya langsung mengecup lembut tangan penuh kasih sayang yang menyuapinya. "Ku dengar, setelah kembali dari Chodo-in kau meminta Sakura datang ke Dairi, kau merasa tak enak badan, atau kelelahan, hm..." Sorot mata Naruto menatap dalam pada mutiara lavender sang istri terpancar dari sana, begitu khawatirnya ia pada sang istri.

Hinata menggeleng pelan, ia tak ingin menjadi beban pikiran suaminya. Tentang penyakitnya biarlah ia simpan sendiri dulu setelah ia memastikan apakah Tenten masih mengandung bayi Neji. "Aku hanya melakukan pemeriksaan rutin..." Bohong Hinata, ia tak mungkin berkata jujur pada sang suami bahwa ia juga menginginkan Tenten. Suaminya juga mengincar budak dari negeri tirai bambu. Hinata tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Tenten bila wanita itu tertangkap oleh Naruto, apalagi jika ia benar sedang hamil. Hinata takut Naruto akan membalaskan semua penderitaan yang ia terima pada wanita kakaknya itu.

"Jangan terlalu lelah sayang..." Naruto menyeka sudut bibirnya yang sedikit kotor karena kaldu sapi. "Kau harus mempersiapkan rahimmu dengan baik... Kita akan segera mempunyai bayi perempuan, bukan?"

Hinata tersenyum tipis dan mengangguk, saat Naruto mengelus perut rampingnya yang dililit Obi merah itu, hatinya mencelos, suaminya masih menginginkannya mempersiapkan rahimnya untuk mengandung kembali, sementara rahimnya sendiri kini telah rusak.

...

Sudah hampir satu Minggu sejak ia mendengar berita bahwa Tenten masih hidup, Hinata sudah mendengar dari Sakura bahwa Sasuke akan memberikannya seorang mata-mata. Namun hingga saat ini Hinata masih belum bertemu dengan orang yang ia ketahui menyandang klan yang sama dengannya.

Selama itu pula ia hanya berpangku tangan menunggu kedatangan Sakura ke paviliunnya. Ia tak bisa meninggalkan Jijuden dalam beberapa hari ini. Jadwal pelatihan Tomoyo yang semakin padat membuatnya harus menjaga sendiri buah hatinya. Hinata tak bisa mempercayakan Boruto pada sembarang dayang.

"Sakura, kenapa kau baru datang...?" Hinata setengah berlari menuju pintu Paviliun saat mendapati tabib wanita itu sampai di kediamannya.

"Tenno-sama sudah berangkat ke Chodo-in?"

Hinata mengangguk cepat menjawab pertanyaan Sakura.

"Kita ke kamarmu, aku takut ada yang menguping pembicaraan kita disini." Ajak Seraya menarik tangan Hinata.

...

"Teme, kau sudah menemukan siapa orang yang menginginkan budak itu?"

Sasuke menggeleng pelan, matanya tertuju ke ubin kamar istirahat Naruto di istana Chodo-in. "Orang-orang suruhan ku mengikuti mereka sampai ke kapal, Tenten bersama orang yang pernah mereka lihat di Heian sebelumnya."

Naruto mendengus kesal, sudah satu minggu ia tak dapat berita tentang buruannya. Tentu saja ia tak mendapatkan berita apapun, mata-mata yang Sasuke utus saat ini berada di tengah laut, dan mereka kesulitan mengirimkan surat melalui merpati di tempat seperti itu.

"Apa kau mau kita melakukan perjalanan ke pantai barat, untuk menghadang kapal itu?"

Tawaran Sasuke membuat Naruto yang membuang muka ke arah lain kini memandangnya. "Kurasa itu bukan ide buruk."

...

"Kita harus menjemputnya di pantai barat, ada yang melihatnya." Danzo meletakkan cawan sake-nya dan menatap tajam pada sang besan.

"Kurasa Naruto dan Sasuke sudah juga mengincar wanita itu." Jawab Inoichi seraya menuangkan sake dari pochi ke cawannya.

"Mereka lebih sering berdiskusi berdua akhir-akhir ini, dan banyak merpati pengantar surat yang berterbangan di sekitar kantor ke Shogun-an." Shikaku menyampaikan analisanya seraya mengusap janggutnya.

"Naruto, memikirkan ucapanmu tempo hari Shikaku," sahut Inoichi.

"Diantara kita bertiga, hanya Shikaku yang masih di dengar oleh bocah ingusan itu."

Shikaku tersenyum penuh kemenangan mendengarkan penuturan Danzo, rekannya itu benar, Naruto memang lebih percaya padanya. Semua itu berkat sang putera yang menjadi orang kepercayaan sang kaisar, juga otak cerdasnya yang membuat ia bekerja tak gegabah. "Biar aku yang berangkat ke pantai barat. Naruto dan Sasuke tak akan tinggal diam, mereka pasti mencari tahu tentang Tenten, dan kemungkinan besar mereka juga tahu bahwa ada sekelompok orang yang membawa Tenten menuju Heian. Dan tak menutup kemungkinan mereka sedang mencari tahu tentang orang-orang yang membawa Tenten, yang tak lain adalah orang suruhan kita."

Danzo mendengus puas, sementara Inoichi tersenyum miring.

"Otakmu benar-benar encer, Narra. Sekalipun usiamu sudah bau tanah, khe..." Danzo terkekeh pelan seraya menenggak sake-nya.

...

"Sasuke-kun mengajukan perjalanan ke pantai barat bersama Naruto." Sakura duduk di kursi bundar berlapis marmer itu, lalu menuang teh dari poci.

"Naruto-kun pasti setuju....." Raut wajah Hinata benar-benar khawatir, ia menyusul Sakura duduk di hadapan wanita bersurai merah muda itu.

"Kita baru bisa memata-matai mereka disana, Sasuke-kun sudah mengatur satu orang wanita Hyuuga yang bekerja sebagai nelayan di pantai barat sebagai nelayan. Dengan begitu kau dan aku tak perlu terlibat langsung, dan Sasuke tak perlu berhubungan denganmu langsung untuk membantumu.... Hinata"

"Sakura itu berarti kita harus ikut mereka ke pantai barat."

Sakura mengangguk yakin. "Akan ada banyak pengawalan nanti, bila Boruto dan Sarada ikut, aku sudah membujuk Sasuke-kun, dan dia akan membicarakan hal itu pada Tenno-sama... Sekarang giliranmu Hinata, apa kau bisa membujuk Naruto agar kau bisa ikut bersamanya."

Hinata terdiam, mengikuti perjalanan Naruto dan Sasuke, lalu meninggalkan Boruto yang baru berusia setengah tahun, belum lagi ia akan merepotkan Tomoyo selama perjalanan itu. Tapi ini satu-satunya kesempatanku untuk menyelamatkan penerus Hyuuga....

Sang permaisuri menghela nafas panjang dan, dengan pertimbangan matang ia mengangguk yakin. "Aku akan meyakinkan Naruto-kun untuk mengajakku..."

...

"Apa hari ini sangat melelahkan...?" Hinata dengan telaten dan lembut membantu sang suami untuk melepaskan jubah kebesarannya.

Naruto tersenyum tipis, mengangguk, lalu mengecup kening sang istri yang tertutup poni rata. "Lelahnya pergi entah kemana, saat melihatmu...." Tangan Naruto melingkar pada leher putih Hinata, dan ia menarik sang istri agar wajah mereka berdekatan dan menempelkan pipi tannya pada pipi poselen permaisurinya. "Ah dimana jagoanku...." Seketika Naruto melepaskan pelukannya pada sang istri, dan berjalan menuju tempat tidur khusus bayi yang berada di samping tempat tidur mereka.

Safir birunya memandang gemas pada bayi berusia enam bulan yang tangan-tangannya terangkat, seolah minta digendong oleh sang ayah.

"Dia merindukan Tou-chan nya..." Hinata berdiri di belakang Naruto dan menumpukan dagunya pada dada bidang sang kaisar.

Membalas tangan-tangan mungil yang ingin menggapainya, Naruto dengan perlahan mengangkat tubuh gemuk buah cintanya bersama sang Lotus ungu. "Ah anak Tou-chan bertambah berat ya..." Naruto mengguncang-guncang tubuh bayi gemuk itu, hingga safir biru Boruto mengerjap, tak lama bayi itu tersenyum kegirangan dalam gendongan sang ayah.

Suasana hati Naruto-kun sedang bagus.... Waktu yang tepat untuk membujuknya...

...

"Kenapa dia cepat sekali tidur...?" Jari telunjuk Naruto menyentuh lembut pipi tembam bergurat bak kumis kucing itu, sang kaisar baru saja keluar dari Onsen untuk membersihkan dirinya setelah seharian kegiatannya di istana pemerintahan, dan baru ditinggal beberapa menit saja, anak semata wayangnya sudah terlelap ke alam mimpi.

"Seharian ini dia bermain terus..." Jawab Hinata dari arah meja rias, sang permaisuri kini tengah menyisir surai kelamnya yang basah. Kaisarnya baru saja mengajak dirinya untuk berendam bersama di Jacuzzi, padahal Hinata sudah mandi sebelumnya, ia jadi harus mandi dua kali.

"Sayang, kau kualahan merawatnya sendirian....?" Naruto bangkit dari duduknya di tepian ranjang, setelah puas menatap sang putera yang tertidur.

"Yugao juga membantuku, saat Tomoyo belajar bersama Anko Sensei...." Jawab Hinata lembut seraya berdiri, Naruto kini telah berdiri di belakangnya, tangan putih sang permaisuri mengusap pelan bahu bidang sang kaisar. "Kau tak perlu terlalu memikirkannya...."

"Yokatta..." Naruto tersenyum lega lalu mencium pipi putih sang istri. "Sebenarnya ada yang ingin ku sampaikan padamu...."

Dahi putih Hinata berkerut, mimik wajah Naruto lebih serius dari yang sebelumnya.

"Aku akan pergi beberapa hari ke pantai barat, ada hal mendesak mengenai beberapa birokrasi yang harus aku selesaikan sendiri, dan butuh waktu tiga hari untuk sampai kesana...., Shikamaru akan mengurus semuanya disini..."

Hinata ingin mengukir senyum di bibirnya, namun ia tahan, ia tak ingin menimbulkan rasa curiga pada sang suami. "Naruto-kun... Sebenarnya jika diizinkan aku ingin ikut dalam perjalanmu...."

Mata Naruto menyipit penuh selidik. Tak biasanya Hinata suka ikut dalam kegiatan kepemerintahannya, kecuali saat pembangunan kota Naniwa beberapa bulan lalu. "Tumben sekali kau ingin ikut..." Selidik Naruto, tapi masih dalam nada lembut.

Hinata menghela nafas pelan, otaknya berputar mencari alasan, Naruto sangat amat mempercayainya, ia harus menemukan sedikit alasan yang tepat dan mampu meluluhkan hati sang kaisar. "Setelah beberapa kejadian yang terjadi beberapa waktu ini, aku sering membuatmu marah..., Jika Naruto-kun tidak keberatan, aku ingin menemani Naruto-kun dalam perjalanan ini, tak apa jika aku harus berdiam diri di rumah.... Yang penting aku ikut dengan Naruto-kun...." Ia menyandarkan kepala indigonya dan mengelus lembut dada bidang sang suami.

Hinata tahu, ia benar-benar tengah menipu sang suami saat ini. Ia menggunakan titik terlemah Naruto, yaitu dirinya sendiri. Hinata adalah kelemahan paling besar Naruto.

"Pastikan Boruto benar-benar aman bersama Yugao dan Tomoyo, kita tidak bisa mengajaknya."

Hinata tersenyum dalam pelukan Naruto, saat pria itu memberikan jawabannya. Ia berhasil, ia berhasil memanfaatkan kelemahan suaminya. Ini adalah pertama kalinya Hinata memanfaatkan kelemahan Naruto untuk kepentingannya sendiri. Kepentingan klannnya.

Gomenasai Naruto-kun....

...

Bibir merah kecokelatan itu menyesap teh hijaunya pelan, safir birunya tertutup menikmati wangi daun teh yang menguar dari cawannya. "Jadi... Sakura ingin ikut bersama kita?" Tanyanya setelah meletakan cawan teh itu di meja.

Lawan bicaranya mengangguk, Sasuke tersenyum tipis, lalu menyumpit sepotong buah dan mengunyahnya pelan. "Jika kau keberatan, aku bisa menolaknya."

"Hinata akan kesepian disana." Naruto menggaruk alisnya berpikir. "Ku pikir ada baiknya Sakura ikut bersama kita untuk menemani Hinata. Dengan begitu dia bisa mengalihkan perhatian Hinata dari urusan kita. Bila, Hinata sampai tahu bahwa kita mengincar Tenten, aku berani bersumpah, istriku dengan hati bidadari ya itu, pasti akan mencegah kita."

Sasuke tersenyum miring. Maaf Dobe, kali ini aku sedikit mengkhianatimu.

"Aku juga berencana mengajak Shikaku-san."

Ucapan Naruto sontak membuat dahi Sasuke mengerut. "Kau yakin?"

"Satu-satunya tetuah yang bisa dipercaya adalah dia. Selama ini dia tak pernah menentang keputusanku. Juga, yang mengingatkanku tentang Tenten, adalah dia. Lagi pula, Shikaku-san pernah menjadi Gubenur di wilayah itu, akan mudah bagi kita untuk menyusuri wilayah itu."

Sasuke kembali mencerna ucapan Naruto baik-baik, Shikaku orang yang mengingatkan Naruto tentang Tenten. Tak mungkin orang tua itu tak punya niat apapun.

...

"Aku tak mau makan ini!"

Prang

Suara piring marmer itu berbunyi nyaring beradu dengan lantai kapal.

"Kau!" Seorang pria hampir saja melayangkan tamparannya pada wanita hamil di hadapannya yang memecahkan piring.

"Tahan Zabuza-san." Wanita lain dengan perawakan langsing, menahan tangan tuannya untuk menampar si perempuan hamil yang duduk santai di kasur khusus kapal. "Jika sampai dia dan bayinya terluka, Shikaku-sama tak akan membayar kita."

Pria bernama Zabuza itu meludah kasar. "Cuih...., Kau urus wanita hamil sialan ini Haku.

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top