137. Perisai Berduri Sang Kaisar -2-
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
"Kau sudah membereskannya..." Safir biru itu masih terfokus pada Hoshi no Tama yang berjejer rapi di meja kerjanya, walau kini telinganya sudah ia pasang sejeli mungkin untuk mendengarkan laporan dari sahabat masa kecilnya yang kini telah menjadi jenderalnya.
"Kau meremehkan kemampuanku, Dobe... Khe..." Sasuke mendengus mendengar ucapan sang kaisar.
"Aku yakin kau melakukannya dengan sangat-sangat rapi, pastikan kau tak meninggalkan jejak apapun disana..." Naruto mendongak, tatapan penuh tuntutan ia layangkan pada pria raven itu.
"Teh Peony yang dibagikan di acara Hanabi Matsuri semalam, semua dayang meminumnya, tak ada yang ditambahkan disana..." Jelas Sasuke sembari duduk di hadapan meja persegi panjang di hadapan sang kaisar.
Alis Naruto menukik, timbul pertanyaan dalam dirinya, "lalu bagaimana bisa?"
Sasuke menyesap secawan teh hijau yang tersuguh disana, "Seorang Samurai yang bertugas di istana Kamakura menaruh hati pada dayang itu." Sasuke tersenyum simpul, sebenarnya sudah cukup lama ia mengamati gerak-gerik Fuu yang sering menyebarkan berbagai rumor buruk mengenai Hinata.
"Kau sudah lama memata-matainya?" Tanya Naruto memastikan.
"Beberapa kali mereka melakukan pertemuan di gerbang belakang. Aku sering memergoki samurai itu menyelinap ke kamar kami dan mencuri beberapa perhiasan Sakura. Setelah kau memanggilku di acara Hanabi Matsuri kemarin, aku kembali istana Kamakura dan secara diam-diam dengan sengaja aku meletakkan perhiasan tusuk konde dari kayu eboni yang akan ku hadiahkan pada Sakura. Sebelumnya aku sempat merebus kembali ujung kayu eboni itu agar racun di dalam kayunya sampai pada permukaan kayu, dan begitu menyentuh rambut manusia, maka kadar racun itu akan menyebar pada aliran darah otak, dan bila bergabung dengan kelopak bunga Peony yang diseduh bersamaan dengan teh..."
"Samurai itu mencuri tusuk konde itu?" Naruto menjeda penjelasan Sasuke.
"Aku kembali ke istana Kamakura, dan meletakkan tusuk konde tergeletak di tatami. Beberapa saat kemudian samurai itu menyelinap ke kamar kami, karena giliran jaganya setelah selesai dan dia bisa datang ke acara Hanabi Matsuri. Tak lama kemudian aku berjalan dengan sengaja menguatkan pijakkanku pada rokka hingga dia bisa mendengar jelas langkah kakiku, samurai itu akan mengambil apa saja yang ia dapatkan, dengan cepat, dan hanya tusuk konde kayu eboni itu yang tergeletak."
Naruto mendengus puas mendengar detil siasat Sasuke. "Kau pembunuh yang licik."
"Kau sendirilah yang memerintahkanku, Tenno-sama..." Sasuke tahu banyak tentang racun dan obat-obatan, beberapa tumbuhan yang dipertemukan dalam aliran darah baik secara langsung ataupun tidak langsung, ia mempelajari semua itu dari sang istri.
Beberapa kali Sasuke sering membaca kitab-kitab yang dipelajari oleh sang istri, terutama tentang obat-obatan, atau makan enak yang bisa berubah menjadi racun jika dikombinasikan, Sasuke sangat suka bagian itu,sangat penting dalam politik untuk mempelajari racun. Karena menyingkirkan musuh tidak hanya dengan menggunakan katana. Racun jauh lebih menyenangkan untuk melenyapkan musuh.
"Sekarang dimana Samurai itu?" Naruto memastikan keterlibatannya dan Sasuke dalam kematian dayang itu tak terbongkar.
"Tadi pagi aku memerintahkan Jugo untuk membawanya mengawal para tamu dari Silla ke pelabuhan, aku bahkan memerintahkannya mengantar sampai ke Silla." Jawab Sasuke santai.
"Kau mau membuangnya ke Silla?" Naruto memastikan dan anggukkan Sasuke menjadi jawabannya.
"Membunuh Fuu tak akan menyelesaikan masalah ini, Fuu hanya mata-mata para tetuah yang menentang Hinata." Sasuke memberikan pendapatnya dan Naruto juga satu pemikiran dengan rivalnya itu.
"Menghabisi satu persatu mata-mata mereka, akan membuat nyali para orang tua itu menciut." Jawab Naruto congkak.
Naruto tak pernah tahu apa yang direncanakan oleh para tetuah itu, lebih dari menjatuhkan reputasi Hinata, kecurigaan mereka pada Hyuuga dan uchiha telah mengantarkan mereka pada konspirasi dingin yang lebih kejam dari pada pemberontakan yang dilancarkan uchiha dan Hyuuga.
...
"Fuu mati."
Inoichi mendengus gusar saat mendengar laporan dari besannnya, sementara Shikaku, pria dengan surai kunciran nanas yang mulai beruban itu masih bisa mengunyah gyozanya dengan santai.
"Cepat atau lambat Naruto akan mencari tahu itu, kembalinya rombongan Shinto Ryu lebih cepat dari yang direncanakan, adalah berkat dari gosip yang kita sebarkan melalui Fuu." Shikaku tersenyum simpul sambil meletakkan cawannya.
"Setidaknya kabar bahwa pembangunan istana klan Hyuuga telah sampai di telinga Hinata, dan hubungan Naruto dengan Shinto Ryu sekarang merenggang karena gosip itu." Tambah Inoichi seraya membuka gulungan yang diletakkan Danzo di atas meja.
Danzo mendengus kesal, berita yang bawa ditanggapi santai oleh besan dan rekannya. "Budak itu ada di Tang, dan orang-orang suruhan kita sudah menangkapnya."
Inoichi dan Shikaku tersenyum penuh kemenangan, terlebih setelah membaca surat yang dikirimkan oleh suruhan mereka di negeri tirai bambu itu.
...
"Apa kau menemukan kejanggalan dalam kematiannya?" Hinata setengah berbisik pada Sakura yang duduk di sampingnya, di sekitar mereka para dayang yang mengenakan mofuku tengah membacakan mantra-mantra pelepasan pada jenazah Fuu yang sebentar lagi akan dikremasi.
Sakura menghela nafas pelan. "Hanya kematian seorang dayang biasa Hinata, dia tak terlalu akrab denganmu, kenapa kau harus tahu detil alasan kematiannya, dia keracunan hanya itu yang perlu kau tahu...." Sakura menatap kagum pada Hinata, wanita yang mengenakan mofuku sutera itu masih memikirkan hal remeh seperti ini. "Dia dayang yang sering menghembuskan gosip di istana Dairi, harusnya kau senang akan kematiannya."
"Justru karena itu, aku takut Naruto-kun terlibat dalam kejadian ini." Ia begitu memelankan suaranya ketika menyebut nama sang suami, Hinata tak ingin ada yang mendengar tentang kecurigaannya terhadap suaminya sendiri. "Kau tahu, dia bisa berbuat apa saja bila hal itu berhubungan denganku..."
"Tomoyo berkata, dia meninggalkan kamar semalam."
Hinata tertegun mendengar ucapan Sakura, kepalanya tertunduk tak bersemangat.
"Sudah berapa kali Hinata, sudah berapa kali kau membuatnya marah dengan sikap sangat pedulimu dengan sekitarmu, kau mengabaikan harga diri Naruto, dan sekarang kau mencurigai suamimu.... Setelah banyak hal yang ia lakukan untukmu...." Sakura tak asal bicara, ia hanya bercermin pada pembicaraannya dengan Sasuke beberapa hari lalu saat Sasuke menantang para tetuah dengan berkata akan kembali membangun kembali kejayaan Uchiha. "Hinata kita harus mempercayai mereka, dan tentang penyakitmu, sudah seharusnya kau bicara pada Naruto."
...
"Sasuke." Naruto turun dari singgasananya ketika balai pertemuan telah sepi, rapat pagi baru saja selesai, dan menyisakan Sasuke yang masih duduk di meja rapatnya membereskan beberapa gulungan.
Kepala raven itu mendongak dan melirik tajam pada safir biru sang kaisar. "Aku masih punya banyak pekerjaan Tenno-sama, beberapa perbatasan kita mengirimkan surat permohonan tambahan Samurai, terutama di perbatasan laut."
"Bisa kau selesaikan urusanmu dulu, lalu menemuimu di ruangan ku."
Naruto pergi ke ruangan pribadinya di Istana Chodo-in, Sasuke tahu, apa yang Naruto ingin bicarakan padanya. Sang kaisar ingin melihat masa lalu.
...
"Anda pasti sangat kualahan mengurus urusan Dairi, dan juga harus mengurus bayi anda..." Tomoyo melihat jelas gurat kelelahan itu di bawah mata Hinata, kantung matanya tampak jelas, sang permaisuri tak mendapatkan tidur yang baik malam ini, lalu ia harus mengurus prosesi pemakaman Fuu yang cukup melelahkan.
"Bagaimana Boruto...." Hinata duduk di kursi marmer yang ada di kamarnya dan memukul kecil bahunya yang terasa pegal.
"Dia sudah tidur dengan nyenyak Kogo-sama..."
"Tomoyo, maafkan aku, tak seharusnya kau menjaga Boruto..."
Tomoyo tersenyum tipis dan berdiri di samping Hinata, "apa yang kulakukan sekarang, tak sebanding dengan apa yang Anda berikan padaku, Hinata-nee," tangan Tomoyo lalu mengarah ke bahu Hinata yang ditutupi sutera bewarna merah muda itu. "Tanpa Anda , saya tak mungkin berkenalan dengan Ouji-sama..."
"Ah aku harus secepatnya mencari seseorang yang bisa ku percaya untuk merawat Boruto, kau harus lebih cepat belajar Tomoyo, waktu tak akan terasa..."
...
"Kau yakin akan aman disini?"
Naruto mengamati kolam besar istana Selatan di istana Kamakura Bakufu, istana yang dulu pernah ia gunakan untuk menampung belasan Geisha peliharaannya.
"Ya, disini tempat yang aman, seaman kau menyembunyikan wanita simpananmu..." Sindir Sasuke tanpa melepaskan tatapannya pada Hoshi no Tama milik Mito yang kini ada pada genggamannya.
"Khe..." Naruto mendengus kesal. "Sekarang berbeda...." Jawabnya sembari menerawang taman istana Selatan Kamakura Bakufu, di tempat ini ia pernah mengadu katana dengan istrinya, beberapa hari setelah ia membantai habis klan Hyuuga.
Sasuke menghela nafasnya pelan, ia mencoba menyalurkan sisa-sisa energi yang ia miliki melalui tangannya ke arah Hoshi no Tama milik Mito. "Ku dengar kau semalam meninggalkan Dairi dan tidur di Chodo-in lagi?" Sasuke sama sekali tidak lepas dari fokusnya.
"Kau mendengar gosip itu dari mana?" Tanya Naruto kesal, setelah kematian Fuu, gosip-gosip murahan masih saja berhembus dari Dairi.
"Tomoyo datang tadi pagi, mengabari kematian Fuu, mereka berbincang banyak termasuk sikap merajukmu..." Sasuke berjongkok di hadapan kolam teratai itu dan dengan perlahan melepaskan Hoshi no Tama milik Mito, membiarkan mustika siluman rubah ekor sembilan berusia lebih dari seribu tahun itu tenggelam di dalamnya.
"Sekarang kau punya hobi baru rupanya, menguping pembicaraan para wanita." Balas Naruto ketus.
"Pusatkan energimu, dan fokus pada apa yang ingin kau lihat." Sasuke tak menanggapi ucapan Naruto, Hoshi no Tama milik Mito yang ia celupkan ke dalam kolam itu mulai bereaksi, cahaya gelap memantul dari dalam kolam.
...
Safir biru Naruto memanas, satu persatu kejadian yang luput dari matanya dipantulkan dari kolam itu. Dimulai dari tanpa sepengetahuannya Tenten menambahkan serbuk rumput bambu pada minuman yang ia berikan pada Hinata.
Lalu sosok bertudung menyambangi tempat persembunyian Akatsuki dan Toneri, sosok itu membuka tudungnya dan berbicara singkat pada Toneri, menerima kantung uang dan kemudian sosok bertudung itu membuka tudungnya.
Jari jemari Naruto yang saling mengepal, bergemeretak kuat, ketika ia pergi mencari kayu bakar untuk Hinata, Tenten membawa Toneri dan Akatsuki ke tempat persembunyian mereka. Tampak jelas pada penglihatannya, Hidan, salah satu anggota Akatsuki mengeluarkan cahaya kebiruan dari tangannya dan mengarahkannya ke kepala Hinata yang saat itu terkulai tak berdaya menahan kesakitan.
Air mata bening penuh amarah mengalir di pipi karamelnya saat pemandangan itu kembali berlanjut. Toneri menginjak pergelangan Hinata, membatasi pergerakan wanita itu, dan rahang Naruto kian mengeras saat melihat Konan menyingkap bagian perut nagajuban putih Hinata, sebuah tinju siap dilayangkan pada perut berisi janin itu, namun...
"Kussoo!!!" Naruto berteriak murka, Sasuke mengakhiri pantulan di kolam itu. "Kenapa kau menghentikannya, hah!!!" Naruto mengamuk menghampiri Sasuke dan menarik kerah montsuki biru gelap yang dikenakan sang jenderal.
"Tak akan ada yang berubah, jika kau melihatnya." Jawab Sasuke santai. "Kau sudah tahu sekarang siapa musuhmu yang masih berkeliaran."
"Tunjukkan padaku dimana wanita jalang itu berada sekarang!"
Hidup atau mati, kau tak akan kubiarkan berkeliaran dengan kebahagiaan Tenten, aku harus mendapatkanmu, membalas setiap rasa sakit yang Hinata akibat perbuatanmu. Kau tak akan bebas dengan mudah dari jangkauanku!
...
Safir biru itu menatap tajam pada genangan air jazzuci di hadapannya. Ia berada berada di Onsen pribadi istana Chodo-in sekarang, ruang satu-satunya ruang privasi sang Kaisar dimana bisa menghabiskan waktu sendirinya.
Bayang-bayang penyiksaan Hinata masih terekam jelas dalam ingatannya saat Sasuke membuka tabir masa lalu untuknya. Ia ingin mengamuk, menghancurkan semua yang ada di sekitarnya, namun tak semudah saat ia masih menjabat jenderal Samurai. Kini semua gerak-gerik yang akan ia lakukan menjadi sorotan para tetua, ia adalah seorang kaisar.
Ada cara lain untuk melampiaskan emosinya. Hinata, tubuh dan bibir istrinya selalu bisa menjadi peredam amarahnya, "CK..." Ia berdecak kesal, mengingat pertengkarannya semalam dengan Hinata. Kini ia tak bisa menyentuh wanitanya itu.
Dan hanya pilihan terakhir, berendam di jazzuci yang telah berisi air dingin penuh ini, satu-satunya cara untuk menurunkan luapan emosinya. Heian berada di pembuka musim panas sekarang, udara begitu menyengat di tanah emosi dan berbagai permasalahan yang ia harus selesaikan belakangan ini membuat penat merajai akalnya.
Naruto membuka jubah mandi berwarna hitam yang melapisi tubuh berototnya yang dihiasi bekas luka goresan katana di setiap incinya. Hanya tinggal hakama yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Bersamaan dengan jubah mandinya yang jatuh ke lantai marmer, satu kakinya masuk dalam jazzuci, seketika sensasi air sejuk itu merambah dari saraf kaki hingga saraf otaknya. Sedikit ketenangan Naruto dapatkan, dan bertambah lagi setelah sebagian tubuhnya berada dalam bak pemandian itu.
...
Seorang samurai membungkuk memberi hormat padanya saat kaki cantiknya menapaki istana Chodo-in. Hari mulai senja, istana pemerintahan itu tampak sepi karena beberapa pejabat telah pulang ke rumah mereka masing-masing. "Tenno-sama ada di Daigokuden...." Tanya Hinata lembut pada sang penjaga dan langsung dijawab oleh anggukan oleh dua orang samurai itu secara serentak.
Daigokuden, satu-satunya paviliun yang berada di dalam kompleks istana Chodo-in, istana pemerintahan dinasti Heian. Paviliun ini berbatasan langsung dengan aula agung dimana setiap paginya sang kaisar memimpin rapat. Daigokuden adalah satu-satunya paviliun yang merupakan tempat privasi sang kaisar. Tak ada siapapun yang bisa masuk ke paviliun ini tanpa izin sang pemimpin dinasti ini.
Langkah Hinata berhenti di depan pintu bergaya arsitektur China, ia sudah berada di depan paviliun Daigokuden sekarang, seorang samurai yang berjaga di depan pintu itu nampak menghalangi langkahnya, mereka menyimpangkan katana seolah isyarat 'anda tidak bisa masuk lebih dalam'
"Gomenasai, Kogo-sama...." Salah seorang samurai angkat bicara. "Tenno-sama tak berpesan mengizinkan siapapun masuk dalam Daigokuden, kecuali Kanpaku-sama, hari ini."
Hinata menghela nafas penuh kekecewaan. Kaisar memiliki hak mutlak atas paviliun ini, jika hampir seluruh urusan rumah tangga istana diatur oleh permaisuri, itu hanya berlaku untuk Buraku-in dan Dairi, khusus untuk Chodo-in yang merupakan istana pemerintahan, kaisar memiliki hak penuh atas istana ini.
Chodo-in merupakan kompleks istana paling sederhana, dibandingkan Buraku-in dan Dairi. Kompleks ini hanya terdapat aula agung di bagian tengah, dengan paviliun Daigokuden di sebelah selatannya. Lalu kantor-kantor pemerintahan dan pengadilan yang mengelilinginya. Chodo-in satu kompleks istana yang sederhana namun disinilah letak jantung kehidupan Heian.
"Izinkan Kogo-sama masuk bersamaku."
Suara seorang pria terdengar dari belakangnya dan membuat Hinata menoleh.
"Kanpaku-sama," dua orang samurai itu membungkuk memberi hormat pada sang perdana menteri yang berdiri di belakang sang permaisuri.
"Kogo-sama, ikutlah bersamaku." Shikamaru melangkah diikuti oleh Hinata.
"Tunggu Kanpaku-sama." Seorang Samurai menghadang.
"Tenno-sama memerintahkanku untuk mengantarkan gulungan ini." Shikamaru menunjukkan gulungan yang berada di tangannya.
"Tenno-sama sudah memberi tahu hal itu, tapi Kogo-sama."
"Aku yang menjaminnya. Jika Tenno-sama mengamuk, aku akan tetap berada disini." Jamin Shikamaru. Ia tahu benar Naruto sedang dalam suasana hati yang buruk hari ini, rapat tadi pagi berlangsung singkat, dan Naruto menutupnya buru-buru. Shikamaru tahu apa yang menjadi penawar dari suasana hati Naruto yang buruk.
Dua orang samurai itu saling melirik, merasa sudah cukup aman dengan jaminan Shikamaru, mereka membiarkan Hinata masuk ke dalam paviliun Daigokuden bersama sang perdana menteri.
...
"Tak ada dayang Disni." Ucapan Shikamaru seolah menjawab tanya yang ada di dalam hati Hinata. "Hanya ada seorang Kasim yang membereskan paviliun ini di pagi dan sore hari. Tenno-sama jarang menginap disini, kecuali saat dia ingin menyendiri."
Hinata kembali tersenyum kecut mendengar tambahan penjelasan dari Shikamaru. Hinata mengedarkan pandangannya pada ruang kerja suaminya ini. Ini pertama kalinya ia memasuki paviliun Daigokuden. Tak banyak ruangan yang ada di paviliun ini, hanya ada ruang untuk menerima tamu ketika memasuki pintu depan, lalu masuk kedalamnya, hanya ada ruang kerja.
"Disana kamar Tenno-sama." Shikamaru meletakkan gulungan yang Naruto minta di meja kerjanya, lalu menunjuk pintu geser dimana kamar Naruto berada. "Di dalamnya juga terdapat Onsen. Sore hari seperti ini biasanya dia berendam di Jacuzzi. Biasanya sebelum pulang ke Dairi dia selalu mandi, agar tampak lebih segar bertemu anda. Tapi kemarin dia menginap kembali disini." Shikamaru melenggang menuju pintu ruang kerja. "Aku berada di Zashiki jika terjadi apa-apa, kau bisa berteriak." Shikamaru tersenyum menggoda, lalu keluar dari ruangan itu.
...
Manik mutiaranya mengamati kamar itu, kamar pribadi sang kaisar yang berada dekat dengan ruang kerjanya. Cukup sederhana bila dibandingkan dengan peraduan mereka di istana Dairi. Hanya ada tempat tidur untuk satu orang dan lemari yang disertai kaca.
Tentu saja, kamar ini dirancang bukan untuk menjadi ruang istirahat yang nyaman bagi kaisar. Karena kamar yang nyaman berada di Dairi. Kamar ini dibuat jika sang Kaisar harus mengerjakan pekerjaannya hingga larut malam dan terpaksa menginap, karena di setiap kantor pemerintahan terdapat kamar tamu, maka ruangan khusus untuk kaisar juga harus tersedia.
Hinata mendengar suara gemericik air dari pintu geser di sebelah selatan kamar itu. "Ini pasti pintu menuju Onsen." Gumam Hinata lirih seraya menghampiri pintu itu. Namun saat tangannya meraih pintu geser itu, ia urungkan niatnya.
...
Hinata menatap dirinya di hadapan cermin besar, ia telah melepaskan uchikake mewahnya dan kini tubuhnya hanya dibalut handuk putih yang ia lilitkan model kemben, seluruh riasan wajahnya telah ia hapus, dengan air mawar yang ada di lemari pakaian kamar itu. Surai kelamnya yang tadi digelung rumit dan berhiaskan bunga yang terbuat dari emas dan perak kini telah ia lepas, dan ia biarkan tergerai hingga ke pinggang.
"Aku harus menebus rasa bersalahku...., Kasihan Naruto jika harus menginap disini terus..." Hinata bergumam pelan seraya memperhatikan tampilan dirinya dari pantulan cermin nampak sangat menggoda untuk seorang wanita yang masih menyusui. Wajahnya yang polos tanpa riasan dan surai tegerai bebas, adalah favorit suaminya. Pipi Hinata merah padam membayangkan itu, sudah lama mereka memiliki waktu intim, dan Hinata ingin memulainya lebih dahulu.
...
Pintu geser itu terbuka amat pelan, hingga sesosok tubuh tegap yang tengah berendam dalam Jacuzzi itu tak menyadari bahwa ada orang lain yang berusaha mengusik kesendiriannya.
Hinata berjalan amat pelan agar sang suami tak menyadari kehadirannya, ia ingin memberi kejutan sekaligus permintaan maaf. Langkah demi langkah ia tapaki, hingga ia berada di tepian Jacuzzi.
Namun ia nampaknya kurang beruntung, saat satu kakinya ia celupkan kedalam Jacuzzi, tiba-tiba insting samurai Naruto berfungsi. Ia bersiaga dan menoleh ke asal suara.
"K-kau..." Suara sang kaisar tercekat, ia tak percaya, Hinata, permaisurinya itu berada satu kolam dengannya. Hubungan mereka bisa dikatakan sedang tidak baik, Hinata cukup berani mengambil langkah mendatangi Naruto langsung terlebih dahulu, ia mungkin akan mengalami penolakan, sama seperti ketika ia harus bermandikan air hujan demi mendapat maaf dari Naruto, setelah tragedi ia berlutut di hadapan Danzo.
Firasat Hinata benar, Naruto tak menampakkan ekspresi apapun, atau lebih tepatnya ia sedang menahan dengan kuat hasrat yang berkobar dalam dirinya, mengingat Hinata yang tak mempercayainya membuat sang kaisar mengenyampingkan gairahnya untuk menyentuh tubuh sang istri yang kini sangat menggoda.
Tubuh tegap sang kaisar berbalik kembali memunggungi Hinata. "Pulanglah ke Dairi, aku hanya ingin sendiri sekarang."
Hinata menggeleng, ia tidak terima penolakan sang suami. Ia sudah berpenampilan hampir telanjang saat ini, tak mungkin sang suami mengabaikannya.
Handuk yang ia kenakan sudah terlanjur basah, Hinata tak boleh mundur. Ia berjalan di dalam Jacuzzi, dan...
Greb
Naruto sontak terperanjat saat mendapati sepasang tangan putih nan mungil milik istrinya melingkar pada perut berotot miliknya.
"Hiks... Hiks... Jangan tolak aku Naruto-kun... Kumohon maafkan aku...."
Hati Naruto tiba-tiba menghangat, pelukan di pinggangnya kian mengerat, dan hal itu membuat jantungnya berdesir, apalagi dada berisi Hinata menempel kuat pada punggungnya. Hinata memang selalu mengerti dan memahaminya, wanita yang telah melahirkan penerus untuknya itu selalu mengalah pada sikapnya yang terkadang keras dan kekanakan.
Tangan Naruto membelai lembut lengan Hinata yang melingkar pada pinggangnya, dan dengan kecepatan yang bagai kilat, Naruto berbalik, kini posisi berbanding terbalik. Tangan Naruto kini melingkar di pinggang Hinata, mendekatkan tubuh mereka berdua yang kini berhadapan. Satu tangannya lalu terangkat dan menuju bagian belakang kepala Hinata, mendekatkan wajah cantik sang permaisuri dan..... Bibir mereka bertemu, Naruto mengambil alih permainan ia melumat kasar dan dalam bibir ranum sang Lotus ungu.
Benar, tubuh Hinata adalah candu baginya, bibir ranum Hinata adalah penawar baginya. Naruto hanya membutuhkan Hinata sebagai obat dari emosinya, Hinata yang selalu mengalah dan mengerti akan dirinya.
...
Handuk basah yang melekat pada tubuh Hinata, membuat cetak jelas pada tiap lekukan pahatan sempurna sang maha pencipta. Naruto yang tengah membopong Hinata tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah sendu dan tubuh sang istri. Ia bawa Hinata ke pinggir Jacuzzi, dan tubuh basah itu ia dudukkan di bibir kolam. Ia berdiri di hadapan Hinata yang kini posisinya lebih tinggi darinya. Kepala Naruto kini berada tepat di hadapan perut Hinata.
"Gomenasai....." Naruto menggamit kedua telapak tangan Hinata yang bertumpu pada pahanya. Bibir merah kecokelatannya dengan sangat lembut mengecup kedua telapak tangan itu.
Hinata mengangguk seraya tersenyum lembut, tangan putihnya mengusap sayang pucuk kepala pirang Naruto, lalu menunduk dan mengecup lembut kepala sang Kaisar. "Aku yang salah...." Bisik Hinata lembut.
Ini yang membuat Naruto selalu jatuh cinta pada sang istri, kesabaran Hinata seolah tak berujung dalam menghadapi sikap keras kepalanya. Ia tersenyum hangat, dan menyandarkan kepalanya pada paha sang istri, dan hal itu disambut Hinata dengan belaian lembut di surai kuningnya.
Di tengah-tengah kenyamanannya, safir biru Naruto terfokus pada perut ramping sang istri. Bayang-bayang siksaan yang Hinata terima ketika ia akan melahirkan kini terlintas lagi dalam otaknya. Tangan Naruto terulur, dan menyentuh perut yang tercap jelas dari balik handuk itu. "Pasti sakit sekali...." Gumam Naruto pelan.
"Ada apa, sayang....?" Hinata mendekatkan wajahnya pada wajah Naruto, ia tak begitu jelas mendengar gumaman yang baru saja disuarakan suaminya.
Naruto menggeleng pelan. "Aku hanya berkata aku sangat menyayangimu..."
"Hmmm, apa ada yang kita tunggu..." Hinata bergumam pelan dengan wajahnya yang memerah.
"Tidak." Jawab Naruto sambil memandang ke segala arah, ini adalah ruangan pribadi Naruto dan ia sedang dalam keintiman bersama sang istri, ia tak menunggu siapapun.
"Kalau begitu, apa yang kita tunggu...."
Wajah memerah Hinata, dan kode yang diucapkan Hinata, sudah cukup untuk membuat seringai buas di bibir Naruto mengembang sempurna.
Kyaaaaaa
Hinata terpekik sempurna, cipratan air Jacuzzi membasahi tubuhnya, suaminya itu melompat keatas tubuhnya dan kini ia berada di posisi terlentang dengan Naruto berjongkok dengan kedua kakinya berada di sisi pinggang Hinata.
"Kau benar Hime, kita tak sedang menunggu apapun...." Deru nafas hangat yang dihembuskan Naruto, Hinata tahu, suaminya itu dalam puncak gairahnya.
"Tapi tidak disini bukan...?"
Pertanyaan polos Hinata membuat Naruto menyeringai sempurna, ia berpindah posisi ke samping sang istri, dan dalam satu tarikan kini Hinata berada dalam gendongan.
"Katakan, kau sanggup berapa ronde, sayang...."
"Berapapun yang Naruto-kun inginkan....."
"Kau yakin...?"
...
"CK, mendokusai..." Shikamaru mengumpat geram, suara desahan dan kikikan manja kini sudah mulai terdengar di ruang tamu paviliun itu. "Apa kalian dengar itu?"
Dua orang samurai penjaga pintu menoleh mendengar suara Shikamaru. Mereka menunduk menahan malu, tentu mereka mendengar rintihan surgawi yang didengungkan pasangan agung Heian ini.
"Masih takut Tenno-sama akan mengamuk, dia akan benar-benar mengamuk jika tahu aku menungguinya disini. Kurasa kehadiranku sebagai penjamin kalian sudah tak dibutuhkan lagi. Aku harus pulang, istriku menunggu." Shikamaru berdiri sembari mengibaskan bagian belakang haori- nya. "Kali ini kalian harus benar-benar menghalau siapapun yang masuk jika ingin tetap hidup."
...
Senyum tipis terpatri dari bibir mungilnya, Hinata terbangun dengan mendapati sang suami terlelap nyenyak di sampingnya. Itu adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Tangan putihnya ia ulurkan mengusap lembut surai pendek pirang itu, Naruto menggeliat karena perlakuannya itu dan hal itu cukup untuk membuat Hinata tertawa kecil, Naruto menggeliat seperti Boruto saat menerima belaian darinya.
"Ah baru satu malam aku meninggalkan Boruto, tapi aku sudah merindukannya...." Gumam Hinata pelan. Berhenti bermain dengan wajah lelah suaminya, ia duduk di pinggir ranjang. Ranjang Naruto di paviliun Daigokuden jauh lebih sempit dari pada ranjang mereka di Dairi, wajar karena paviliun ini diperuntukkan untuk satu orang.
Hinata duduk di tepian ranjang dan tentu saja hal pertama yang akan ia lakukan setelah berhubungan intim dengan sang suami, adalah meminum pil pencegah kehamilan yang sudah diracikkan Sakura untuknya.
"Kenapa cepat sekali bangun, hmmm..." Hinata terkesiap saat mendengar suara serak sang suami yang disertai pelukan di pinggangnya. Hinata beruntung karena ia sudah menelan pil itu sebelum suaminya bangun.
"Aku harus segera kembali ke Dairi, tak ada yang mengurus Boruto-kun..." Kilah Hinata.
"Heh? Bukankah ada Tomoyo." Naruto bangkit dari posisi berbaringnya dan mengenakan haorinya.
"Naruto-kun, Tomoyo bukan lagi dayang, dia calon permaisuri sekarang."
Ucapan Hinata membuat Naruto menghela nafas kasar, sang istri menyadarkannya pada posisi yang ia emban. Ia hanyalah kaisar pengganti.
"Ku rasa aku harus segera mencari dayang yang cocok untuk membantuku mengurus Boruto." Hinata menyelampirkan surai panjangnya ke bahu dan merapikan nagajuban nya yang berantakan karena serangan fajar Naruto.
"Kau bisa memilih dari dayang yang ada di Dairi." Jawab Naruto sembari mengusap tengkuknya yang kebas.
Hinata mengambil inisiatif dan langsung memijat tengkuk sang suami. "Apa aku boleh merekrut dayang baru...."
"Hati-hati saat memilih dayang, sayang...." Naruto mengecup sekilas dahi Hinata lalu turun dari ranjang menuju ruang kerjanya.
...
Safir biru Naruto melotot saat keluar dari kamarnya, ia mendapati sahabat Uchihanya berada di ruang kerjanya sepagi ini. "Teme, kau tak punya pekerjaan lain apa, hah?"
"Kau membaca gulungan yang dibawa oleh Shikamaru?" Tanpa menghiraukan pertanyaan sang kaisar, Sasuke malah balik bertanya.
Naruto menggeleng, dan hal itu sontak membuat onix Sasuke meneliti Naruto dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Montsuki hitam yang talinya terlepas, dan hakama yang sedikit melorot, membuat Sasuke mendengus remeh. Ia tahu apa yang dikerjakan Naruto semalaman hingga tak sempat membaca pesan penting darinya. "Hinata disini?" Bahkan Sasuke memanggil sang permaisuri dengan nama belakangnya.
Naruto mengangguk, seraya berjalan ke arah meja kerjanya. Ia mengambil satu gulungan baru yang terletak disana dan membukanya cepat. "Ini tentang wanita itu?"
Sasuke mengangguk menanggapi pertanyaan Naruto. "Kurasa kita tak bisa bicara sekarang." Timpal Sasuke yang menyadari keberadaan Hinata.
Naruto dan Sasuke bukan orang bodoh, Hinata berada di balik Shoji untuk menguping pembicaraan mereka.
...
Safir biru Naruto menyendu memandang wajah cantik Hinata, Hinata dengan telaten memasangkan sabuk di haori kebesarannya. Pagi ini Naruto akan memimpin rapat rutin, di aula agung, dan karena Hinata menginap di Chodo-in bersamanya ia bisa lebih pagi berada di aula agung dan menyidak beberapa menteri yang tak disiplin.
Tangan Naruto terulur saat Hinata membenarkan lipatan kerah montsuki nya, ia mengelus pipi persik Hinata dan sekelebat bayangan penyiksaan Hinata muncul dalam ingatannya. "Hime...?"
"Uhum..." Jawab Hinata tanpa melepaskan fokus dari kegiatannya.
"Saat Akatsuki menculikmu...."
Dan saat Naruto mengingatkan tentang kejadian yang menjadi mimpi buruk panjang baginya, Hinata menghentikan gerakan tangannya pada kerah Naruto. Ia memperdalam pandangan mutiara lavendernya pada safir biru sang suami.
"Tentang Tenten..." Naruto tahu Hinata tak nyaman dengan pertanyaannya, ia membelai surai Hinata yang masih tergerai, untuk memberikan kenyamanan pada Hinata agar ia bisa mendapatkan jawaban.
"Aku tak ingat apapun Naruto-kun.... Aku pingsan karena kontraksinya begitu kuat...." Hinata berbohong, ia melihat Tenten keluar dari goa persembunyiannya dan melihat Tenten sekilas kembali bersama Akatsuki dan Toneri.
Naruto menarik tubuh Hinata yang masih terbalut nagajuban putih itu, dan mengusap punggung kecil sang istri dengan lembut.
Orang yang menjadi penyebab penderitaanmu, Hime. Tak berhak untuk menghirup udara.
Naruto-kun tak boleh tahu tentang Tenten yang membawa Akatsuki dan Toneri ke persembunyian kami waktu itu, aku harus menemukan Tenten, dia pasti masih hidup, dan di dalam rahimnya ada penerus Hyuuga... Aku tak mungkin membiarkan garis keturunan Hyuuga terputus.
...
"Kau masuk tanpa pemberitahuan, Dobe!" Sasuke mendengus kesal saat Naruto masuk kedalam ruang kerjanya tanpa pemberitahuan. Biasanya para Kasim di depan ruangannya akan berteriak menyuarakan kedatangan sang kaisar. Kecuali bila kaisar itu masuk buru-buru sebelum sang Kasim sempat buka mulut.
"Mana gulungan itu!" Naruto langsung mengulurkan tangannya di hadapan Sasuke.
Sasuke mendengus kesal dan menyerahkan gulungan itu. "Kau harusnya berterima kasih padaku, aku membawanya sebelum Hinata menaruh curiga dan membacanya."
Naruto tak menghiraukan ocehan Sasuke, ia membaca dengan seksama surat yang ditulis oleh orang suruhan Sasuke. "Wanita itu ada di Tang selatan dan sedang menuju Heian."
"Dobe, Seseorang dari Heian telah menemukannya lebih dahulu, ada orang lain selain kita yang menginginkan Tenten."
つづく
Tsudzuku
Next chap : Duri dalam daging
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top