134. Pesta Kembang Api terakhir -1-
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
"Budakkkkk! Kemari kau, kau tidak bisa membuat sup, hah!" Suara baritonnya memanggil lengking seseorang yang disebutnya budak.
"Aku bukan budak, SIALAN!" Lawan Hanabi, tangan ringkih putihnya berusaha memukul-mukul tangan Konohamaru yang menjambak surai coklatnya.
Dengan cepat, Hanabi memutar kepalanya dan mengigit lengan Konohamaru yang menjambaknnya.
"Akhhhhhh." Konohamaru berteriak kesakitan. "Kau!" Dengan perasaan kesalnya, Konohamaru dengan cepat mendorong tubuh ringkih Hanabi.
Tubuh tegap samurai muda itu berjongkok menyamakan tingginya dengan sang bungsu Hyuuga yang tersungkur.
"Masih mau bertingkah seperti bangsawan nona? Kau lupa apa yang dikatakan Shogun-sama, kau itu seorang B-U-D-A-K!"
Hanabi membuang muka dari tatapan Onix Konohamaru.
Bulir-bulir air mata mulai keluar dari mutiara lavendernya.
"Menangis, sekarang kau menangis Hyuuga? Kau itu budak disini jadi bekerja lah dengan baik."
"Hei, gadis liar, kau bisa membunuh ikan-ikan koi peninggalan kakekku!"
"Hei!! Gadis liar! Sedang apa kau disini?" Tanya Konohamaru sambil melangkahkan kakinya mendekati Hanabi, ia dudukkan dirinya di batu alam yang terdapat di tepian kolam, duduk disebelah sang bungsu Hyuuga.
Hanabi hanya diam. Dia memandang lurus kedepan dengan tatapan penuh kilatan kebencian.
"Hei! Aku bertanya padamu?!" Konohamaru menyenggol pelan bahu gadis bersurai coklat ini. Dan berhasil membuat pemilik mutiara lavender ini memperhatikannya.
...
"Kumohon Shogun-sama ampuni dia...." Suara bergetar seorang pemuda menghentikan niat Naruto menebas kepala Hanabi.
Sarutobi Konohamaru, samurai muda kebangaan Keshogunan Kamakura Bafuku. Kini berlutut dihadapan sang Pemimpin Para Samurai. Menjadi tameng bagi Hyuuga Hanabi, gadis yang ternyata selama ini dicintainya dalam diam. Konohamaru telah menaruh hati pada bungsu Hyuuga yang hatinya telah di selimuti dendam kesumat ini. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dirinyalah yang akan menjadi tameng dan melindungi Hanabi.
"Khe...," Naruto tersenyum remeh memandang jijik pada pasangan yang berlutut dihadapannya.
"Sarutobi Konohamaru, kau jatuh cinta ne?" Tanya Naruto remeh.
"Ya, saya mencintai Hyuuga Hanabi, seperti anda yang telah mengambil tanggung jawab untuk melindungi dan menjadi perisai bagi Hidenka-sama, saya telah bersumpah atas nama Kami-sama untuk menjadi perisai bagi Hyuuga Hanabi."
Konohamaru tersenyum kecut. Walau berat, tapi tanpa keraguan ia lepas lempengan tanda pengenal Samurai di obi hakamannya. Disusul dengan katana beserta sarungnya tak berhak ia miliki lagi. Semua itu ia lakukan agar Hanabi bertahan hidup. Bisa melihat kembali senyum bungsu Hyuuga itu sudah lebih dari cukup untuknya.
...
"Kenapa? Kau heran...? Ini katana milik Hiruzen jiji yang kucuri dari aula pertemuan." Ujar Konohamaru seolah memahami raut heran Hanabi. "Nah semua sudah terlepas..." Konohamaru menyeka peluh di keningnya dengan menggunakan lengan, setelah semua rantai yang memasung tubuh Hanabi terlepas. "Aku bukan lagi seorang Samurai, tapi aku tak pernah kehilangan kemampuan Samuraiku.."
Konohamaru menatap miris jari jemari Hababi yang di penuhi luka akibat penyiksaan yang dialaminya. "Aku sudah membawa obat-obatan dan beberapa pakaian layak. Setelah keluar dari perguruan ini akan kuobati lukamu..." Konohamaru tersenyum lembut dan perlahan mengangkat tubuh Hanabi yang lemah tak berdaya.
"Konohamaru..." Panggil Hanabi ketika mereka melangkah keluar dari gudang yang memasungnya.
"Apa..?" Jawab Konohamaru sambil melangkahi tubuh-tubuh penjaga yang tak sadarkan diri karenanya.
"Terimakasih...." Ucap Hanabi tulus.
"Kau harus membayarnya dengan menemani hidupku selamanya." Jawab Konohamaru sambil melangkahkan kakinya menuju kandang kuda.
...
Potongan demi potongan kejadian itu kembali terlintas dalam ingatan Hanabi, hari pertama ia dibawa Konohamaru ke Shinto Ryu untuk dijadikan budak disana. Saat dimana Konohamaru menyerahkan posisinya sebagai samurai, melepaskan kesempatannya sebagai pewaris perguruan samurai tertua di Heian, demi menyelamatkannya dari hukuman mati karena percobaan pembunuhannya pada sang kakak yang saat itu adalah istri Jenderal Samurai.
Hingga saat dimana Konohamaru membawanya dari tahanan Shinto Ryu, bertualang mengelilingi Heian hingga kembali lagi ke Kyoto saat mendapati para pemberontak bergerak menuju ibu kota, saat dimana Konohamaru menyamar menjadi pengikut pemberontak agar mereka bisa menyelamatkan Naruto dan Hinata dalam sekapan Sasuke di istana Kamakura.
Hanabi dengan uchikake terindahnya berdiri di balik gerbang istana Buraku-in, menyambut calon suaminya. Hari pernikahan mereka kian dekat, akhirnya ia bertemu kembali dengan Konohamaru, setelah berbulan-bulan usai dilantiknya kembali pemuda itu sebagai penjaga dinasti ini.
Pintu gerbang berwarna maroon itu terbuka, tanpa sadar bibir tipis bungsu Hyuuga itu melengkung ke atas, menggambarkan senyuman penuh cinta yang begitu tulus. Konohamaru ada di barisan depan rombongan itu sambil menuntun Nawaki sang pangeran cilik, di belakangnya nampak Kurenai, bibi Konohamaru, yang menjadi satu-satunya wali yang Konohamaru miliki. Janda Sarutobi Asuma itu nampak bahagia sembari menuntun Puteri kecilnya bernama Mirai.
Tepat disebelah Kurenai, hadir pula Hatake Kakashi, sang guru besar yang kini memimpin sementara perguruan Shinto Ryu sampai, Konohamaru, sang pewaris sesungguhnya telah siap. Guru sang kaisar dan jenderal itu nampak gagah berjalan memasuki gerbang istana Buraku-in, bergandengan dengan sang istri Shizune yang tak lain adalah tabib di perguruan samurai yang telah mendidik para samurai hebat di dinasti ini.
Di sisi lain di dalam gerbang istana Buraku-in nampak Hinata bersama Naruto, dan Tomoyo berdiri sejajar dengan Hanabi, mendampingi sang gadis yang tak lama lagi akan melepas masa lajangnya. Di barisan belakang nampak Sakura bersama Sasuke, Sai bersama Ini, dan Temari bersama Shikamaru yang ikut mendampingi penyambutan para tamu agung ini.
Tabuhan genderang dan petasan menggema meriah di halaman istana Buraku-in bersamaan dengan masuknya para rombongan dari Shinto Ryu ke gerbang istana. Sakura mencuri pandang sekilas, ia berdiri tepat di belakang Hanabi, pipi mulus bungsu Hyuuga itu nampak memerah karena malu.
Sungguh, seumur hidup Sakura mengenal adik Hinata, untuk pertama kalinya lah ia melihat Hanabi memerah malu seperti Hinata. Tak kuasa menahan rasa gemasnya, tangan Sakura terulur mencubit pipi Hanabi dan....
"Itaiiii..." Hilang sudah, hilang citra anggun yang sejak tadi ia tampilkan, lengkingan besar Hanabi menggema di halaman istana Buraku-in mengundang gelak tawa semua yang hadir disana, termasuk sang calon suami, Konohamaru.
...
Kini aula perjamuan istana Buraku-in nampak begitu meriah, beberapa seniman diundang Hinata untuk memeriahkan penyambutan kedatangan keluarga calon suami adiknya. Ia diperintahkan Naruto untuk mempersiapkan semua perhelatan ini, sebisa mungkin Hinata meminimalisir penggunaan harta istana untuk acara ini, agar tidak mengundang gosip.
Namun hari bisikan tak enak ia dengar, saat ia berjalan keluar dari aula untuk mengambil puteranya yang tertidur di dalam kamar tamu.
"Berani-beraninya dia mengeluarkan banyak uang istana untuk rangkaian acara pernikahan adiknya, padahal ia hanya permaisuri sementara."
Nampaknya dua dayang yang tengah bergosip itu tak sadar, Kendati mereka mereka berada di balik tirai, namun mulut besar mereka masih bisa terdengar oleh sang permaisuri.
Tomoyo yang berjalan mendampingi Hinata, berjalan kearah tirai, untuk melabrak dua dayang penggosip itu, namun Hinata menarik tangannya, ia menggeleng pelan seraya menarik Tomoyo menjauh.
Sementara di aula perjamuan, tatapan penuh cinta antar Konohamaru dan Hanabi semakin tak terelakan, kendati keduanya duduk berseberangan cukup jauh, namun bahasa isyarat pada pandangan mata mereka, cukup mengungkapkan rasa rindu mereka.
Jangan mengira keduanya akan bertatap mesrah, tidak salah besar. Keduanya bertatapan seolah akan memukul satu sama lain, rasa kesal yang menutupi cinta dan rindu mereka satu sama lain.
...
"Auuuuuuu...."
Bulu Roma Hanabi berdiri sendiri saking takutnya ia mendengar lolongan serigala di depan kamarnya. "Bagaimana bisa serigala masuk ke dalam istana?" Tanyanya pada dirinya sendiri.
Ia kembali melanjutkan menyisir surai cokelatnya, mengabaikan suara menakutkan itu.
"Auuuuuu...." Suara itu kembali menggema, tengah malam seperti ini, ia sudah sangat mengantuk akibat perjamuan tadi pagi, dan kini waktu istirahatnya harus terganggu karena ketakutanya pada suara lolongan itu.
Hanabi bangkit dari ranjangnya, mengenakan jubah pelapis nagajuban tipisnya, lalu ia menuju pintu kamarnya. Tiba di luar kamar ia mengitari lorong dengan penuh rasa takut, menuju taman belakang di mana suara itu bersumber.
"Kenapa semakin dekat suara lolongannya semakin aneh dan dibuat-buat..." Gumam Hanabi dalam hati seraya terus berjalan.
Suasana semakin mencekam, suara lolongan itu semakin dekat, dan tiba-tiba hilang saat ia telah sampai ke taman belakang istana Jijuden. Angin berhembus di tengkuknya, membuat rasa takut semakin merajainya. "Apa ada penyusup?" Batinnya.
"Akkkhhhhh...." Hanabi berteriak keras saat pandangannya menggelap, seseorang menutup matanya, lalu dilanjutkan membungkam mulutnya.
Namun jangan kira Hanabi akan diam saja. Dia memang takut dengan sesuatu yang berkaitan dengan roh-roh, namun bila ancaman itu nyata seperti sekarang, ia sama sekali tak takut. Giginya telah siap untuk menerkam tangan kurang ajar yang membekap mulutnya.
"Itaiiiiiiiii....!!!!"
Mata dan mulut Hanabi lepas dari bekapan orang asing itu, bersamaan dengan jeritan sang penyusup yang kesakitan karena gigitannya.
"Kau masih liar seperti dulu....!!!"
Suara itu, Hanabi terperanjat mendengar suara itu. Suara yang benar-benar ia kenal, suara calon suaminya, Sarutobi Konohamaru.
Iris bulan Hanabi membulat saat melihat pemuda bersurai cokelat sama sepertinya itu tengah meringis kesakitan seraya mengibas-ngibaskan tangan yang baru saja ia gigit.
"Kau tak apa-apa Konohamaru-kun...." Hanabi nampak khawatir, ia meraih tangan Konohamaru yang baru saja ia gigit, meniup-niupnya , berharap bisa meredahkan rasa sakitnya.
Iris cokelat Konohamaru menatap lembut pada si gadis yang akan ia nikahi, ia rindu gadis itu. Tapi ada hal yang tak ia sukai dari gadis itu.
Di teras paviliun Jijuden, kedua insan kasmaran yang akan mengikat janji suci ini duduk di batu besar di bawah temaram bulan.
"Bagaimana kabar Konohamaru-kun...?" Hanabi tersenyum lembut seraya menggenggam tangan sang calon suami.
Konohamaru termangu melihat cara berbicara Hanabi yang seolah dilembut-lembutkan, iris cokelatnya menatap bagaimana cara Hanabi menggenggam tangannya, ia berperilaku seperti Hinata di depan Naruto.
"Hanabi? Apa kau sakit...?" Konohamaru menarik tangannya dari genggaman Hanabi dan meletakkannya di kening Hanabi, memastikan bahwa calon istrinya itu baik-baik saja.
Hanabi tersenyum lembut seraya menggeleng pelan, "Konohamaru-kun bicara apa, aku baik-baik saja...." Jawabnya seraya mengelus pelan rahang Konohamaru.
Konohamaru bergidik ngeri, "katakan Hanabi kau salah minum obat apa? Kenapa tingkahmu seperti Hinata-nee di hadapan Naruto-nii...."
"Kenapa tidak cocok ya... Padahal aku sudah berlatih....." Hanabi mengerucutkan bibirnya sedih, selama satu pekan ia mengintip bagaimana cara Hinata bicara dan bersikap pada Naruto lalu berlatih menirunya.
"Hahahahha....." Mendengar jawaban Hanabi, bukannya menghibur, Konohamaru malah tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. "Kau ingin meniru Hinata-nee hahahahha, itu sangat mustahil, Hinata-nee yang lembut seperti bunga tak dapat ditiru oleh kau yang sekeras kayu balok itu. Hahahahha...."
Hanabi menghentakkan kakinya kesal mendengar ejekan calon suaminya itu, tak tahukah Konohamaru ia melakukan semua itu agar bisa menyenangkan hati Konohamaru, selama ini semua pria selalu memuji cara Hinata memperlakukan suaminya, ia hanya ingin menjadi yang terbaik untuk pria yang telah banyak berkorban untuk dirinya.
Air mata mengalir dari mata bulannya, "kau menyebalkan.....!!" Ia kesal dan berniat meninggalkan Konohamaru sendirian. Namun dengan cepat tangan Konohamaru menarik tangannya.
"Hanabi, aku mencintai dirimu apa adanya, Hanabi yang lincah, Hanabi yang bicara apa adanya, Hanabi yang memanggilku tanpa suffix -kun, Hanabi yang bukan hanya menganggapku sebagai kekasihnya, tapi juga sebagai teman dan rivalnya. Hanabi yang bar-bar, namun selalu ceria dan bersemangat. Mungkin Naruto-nii menyukai wanita lembut dan penurut seperti Hinata-nee. Tapi aku bukan Uzumaki Naruto, mantan Jenderal Kamakura Bakufu yang sekarang memimpin dinasti Heian. Aku adalah Sarutobi Konohamaru, samurai junior yang mencintai gadis bar-bar seperti Hyuuga Hanabi."
Bibir mungil bungsu Hyuuga itu tersenyum tipis, dengan air mata haru yang sedikit menetes di pipi pualamnya. Ia berbalik, dan dengan sigap Konohamaru membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Pewaris perguruan Shinto Ryu itu menggesekkan hidung mancungnya pelan pada si gadis.
"Baka...." Hanabi memukul pelan dada bidang Konohamaru yang berlapiskan montsuki cokelat itu.
"Kau tahu aku lebih suka kau memanggilku seperti itu..." Ia menyandarkan kepala Hanabi pada dadanya.
"Kau pria aneh..."
"Tapi aku mencintaimu...."
"Jadi bagaimana kabarmu....?"
Konohamaru menjauhkan kepala Hanabi dari wajahnya menangkup pipi gembul Hanabi dan mengadu kedua iris mereka. "Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, tapi sedikit merindukanmu..., Bagaimana denganmu...?"
Seketika senyum Hanabi meredup, ia lepaskan tangan Konohamaru yang menangkup pipinya. "Aku takut meninggalkan istana ini..."
...
"Kami sangat tersanjung dengan kunjungan anda Yang Mulia..." Shikaku tersenyum ramah seraya mempersilahkan Naruto masuk kedalam ruangan tamu paviliun klan Nara. Malam itu Naruto memenuhi undangan makan malam klan Nara, ia datang bersamaan dengan Shikamaru yang akan pulang kerumahnya.
Naruto tersenyum tipis, duduk di hadapan meja lebar yang tersaji berbagai makanan lezat, pria dengan darah kitsune itu malah memilih poci sake yang dituangkan ke cawannya. "Lebih dari sekedar hubungan Kaisar dan perdana menteri, atau Shogun dan Saiteki, aku dan Shikamaru telah berteman sejak masa kanak-kanak. Bagaimana aku bisa menolak undangan anda, bukan begitu, Shila?" Naruto menoleh ke arah Shikamaru yang duduk di sisi kanannya untuk mencari pembenaran, dan dijawab anggukkan oleh Shikamaru. Pria dengan rambut yang diikat bagai nanas itu memang telah memberi tahu Naruto untuk berhati-hati di rumahnya, sejak dari perjalanan.
...
"Bagaimana kabar Kogo-sama dan putera anda?" Shikaku memulai siasatnya saat mendapati Naruto telah menyelesaikan makan malamnya.
Naruto baru saja meletakkan gelas kuningannya yang berisikan air putih, saat pertanyaan mustahil itu terlontar dari mulut Shikaku. Naruto tahu benar para tetua itu menentang Hinata, akan terasa sangat janggal bila Shikaku menanyakan kabar Hinata.
"Dia baik-baik saja." Jawab Naruto sekenanya.
"Kenapa Otou-sama kali ini memperhatikan Kogo-sama...?" Kali ini Shikamaru yang angkat bicara mencoba menetralkan suasana.
"Ku dengar beberapa hari kemarin Kogo-sama tidak sadarkan diri saat terkena hujan deras-"
"Dia sudah baik-baik saja." Potong Naruto cepat. Ia tidak suka bila ada orang lain yang mencampuri urusan pribadinya dengan sang istri.
"Gomenasai Tenno-sama bukan maksud saya ingin mencari tahu informasi keluarga anda, hanya saja dari cerita yang aku dengar dari Shikamaru dan Sai, Kogo-sama melahirkan dengan cara tidak wajar, kondisi fisiknya pasti akan sangat lemah, ditambah lagi Hanabi yang akan segera menikah dan Tomoyo yang harus belajar menjadi permaisuri, Kogo-sama tentu akan sangat kesepian. Hmm andai saja Neji masih hidup mungkin istrinya bisa menemani Kogo-sama..."
Dahi Naruto berkerut mendengar ucapan panjang lebar Shikaku.
"Bukan apa-apa Tenno-sama, saya tahu anda sedang berseberangan dengan Inoichi dan Danzo, tapi percayalah, kendati saya adalah rekan mereka, akan tetapi saya tidak sepaham dengan mereka, dan oh ya... Tentang Neji, bukankah ia sempat menjalin hubungan dengan seorang budak dari Tang, dan bukankah budak itu ikut bersama anda bersama Kogo-sama menuju desa Kawaguchiko saat itu. Tapi saat anda kembali ke Kyoto dia tidak ada dalam rombongan sampai sekarang.
Ingatan Naruto kembali pada malam petaka dimana Hinata yang saat itu akan melahirkan diculik oleh Akatsuki, malam itu ia meninggalkan Hinata bersama Tenten tapi wanita itu kini hilang bagai ditelan bumi.
"Dan saya juga tidak meragukan kecerdasan anda Tenno-sama, anda sangat ahli dalam strategi perang. Anda pernah menyelamatkan ribuan nyawa pasukan di perbatasan dalam persembunyian, bagaimana mungkin anda salah memilih tempat persembunyian, padahal hanya dua orang wanita yang anda lindungi."
Kembali, ucapan provokatif Shikaku membuat otak Naruto kembali bekerja. Siapa yang membocorkan tempat persembunyiannya malam itu. Hanya ada Tenten sendiri malam itu disana, dan Tenten adalah budak Toneri. Batin Naruto bergemuruh, bagaimana mungkin ia luput memikirkan hal itu, orang yang menjadi dalang utama yang membuat Hinata dan bayinya meregang nyawa, orang yang mengantarkan Akatsuki dan Toneri pada Hinata. Orang yang secara tidak langsung ingin membunuh Hinata. Ia luput mencari tahu hal itu.
...
"Mungkinkah dia sudah mati, saat mereka menculik Hinata, atau mungkin dia yang mengambil keuntungan dari kondisi Hinata saat itu." Naruto bergumam sendiri, ucapan Shikaku saat perjamuan makan malam di rumah klan Nara. Beberapa pekan lalu masih terngiang di benaknya.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu ruang kerjanya di paviliun Jijuden menggema. Naruto tahu benar siapa itu, tengah malam seperti ini, tak ada siapapun yang berani mengganggunya di ruang kerja pribadinya selain istri tercintanya, Hinatanya.
"Masuk." Jawab Naruto seraya beranjak dari kursi kerjanya.
"Aku bawakan teh ginseng untuk Naruto-kun..." Hinata masuk dengan mangkuk marmer di tangannya.
Naruto menghampirinya, mengambil mangkuk itu dari tangan sang istri lalu meletakkannya di meja terdekat. "Ini yang paling aku butuhkan...." Ujarnya seraya menarik Hinata dalam pelukannya.
Hinata balas memeluk sang suami, ia tersenyum lembut seraya menempelkan pipi gembulnya pada rahang tegas Naruto, lengkap dengan tangannya yang mengelus punggung tegap sang kaisar. Membuat kenyamanan itu semakin memuncak. "Jangan terlalu memaksakan diri, Anata...." Bisiknya lembut.
...
"Gosip tentang Hinata-nee akan semakin meluas, jika setelah menikah kita tetap tinggal di istana...."
Hanabi mengalihkan pandangannya dari rembulan yang menaungi mereka, mengangkat kepalanya yang bersandar pada bahu bidang Konohamaru, lalu mengadu mutiara lavendernya dengan onix Konohamaru. "Kau benar..."
"Hinata-nee akan baik-baik saja berada disini, Naruto-nii pasti akan menjaganya." Konohamaru meyakinkan seraya menggenggam tangan Hanabi.
"Entahlah setelah semua yang terjadi di istana pada Nee-sama, aku jadi tak yakin pada Naruto-nii." Jawab Hanabi ragu.
"Lalu bagaiman dengan perjuangan Naruto-nii selama ini untuk melindunginya, apa itu belum cukup menjadi bukti." Kilah Konohamaru.
"Entahlah... Tapi firasatku mengatakan akan terjadi hal besar pada Naruto-nii."
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top