133. Genderang Perang Tanpa Bunyi -2-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

"Khe..., Di banding Nawaki, kau yang lebih pantas menjadi Kaisar...." Permaisuri merah itu tertawa keras seraya kembali menuangkan sake di cawannya.

"Khe, kau gila Oba-san, dia itu anakmu, dan berhentilah minum, kau mulai mabuk. Sudah malam pulanglah ke Dairi." Jenderal samurai itu mencoba merangkul sang bibi, namun tangannya di tepis oleh Uzumaki Mito. Mito malah balik merangkul keponakannya itu.

"Kau pikir aku sepayah itu sampai mabuk dengan mudah, dengar, nak.." Mito merangkul kan tangannya di leher Naruto. "Kau percaya atau tidak, aku melihat aura seorang kaisar... Bagaimana kalau kita melakukan kudeta, seperti pada Uchiha..."

"Ba-san baru kemarin aku dilantik sebagai Shogun, dendamku pada Hyuuga bahkan belum terbalas, dan kau sekarang ingin melakukan kudeta atas suamimu sendiri, ayo pulang..." Naruto berusaha berdiri sambil memapah sang bibi, namun kembali terduduk, Mito mabuk berat malam itu. Mereka baru saja merayakan pembantaian klan Uchiha dan dilantiknya Naruto sebagai Shogun.

"Aku bercanda untuk mengkudeta suamiku sendiri, hahahaha...." Mito mengibask-ngibaskan tangannya. "Tapi untuk menjadi Kaisar, entahlah aku tak melihat hal itu pada Nawaki."

"Nawaki baru berusia dua tahun Ba-san, ayo..." Naruto kembali memapah sang bibi, namun kembali gagal, Mito malah tertidur di tatami kamar keponakannya.

"Berjanjilah padaku...." Meracau di tengah mabuk yang membuatnya tak sadarkan diri, Mito menggenggam tangan Naruto. "Kau harus menjaga Nawaki hingga dia sampai ke takhtanya, termasuk menjadi Kaisar, pengganti, karena Heian telah memilih takdirnya, memilihmu sebagai Kaisar, walau kau bukanlah senju."

...

Bibir merah nan kecokelatan Kaisar muda itu tersungging, tangannya berada di balik haori kebesarannya, dari balik jubah itu ia mengeluarkan beberapa kantong kain hitam. Abu kremasi keluarganya, termasuk abu Mito dan Hashirama.

Dengan sangat perlahan dan hati-hati Naruto meletakkan satu persatu kantong abu itu, dielusnya perlahan satu persatu abu itu.

"Maaf belum bisa meletakkan kalian di altar... Aku belum memiliki waktu.... Semua itu, karena...." Naruto kini memegang abu Mito, cukup lama ia menatap kantong abu Mito, ia tersenyum sambil menahan tangis. "Karena Oba-san mengatakan aku pantas menjadi Kaisar, dan sekarang ucapannya terjadi...."

Dengan sangat hati-hati Naruto meletakkan kantong abu itu di rak ruang kerjanya di istana Chodo in. Ia perhatikan satu persatu kantong abu itu. Kembali mengenang kenangan pahit bagaimana orang-orang yang ia sayangi mati dengan keji di depan matanya.

"Kalian harus bahagia disana...." Naruto mendongak agar air matanya tidak jatuh. "Naru sudah bahagia sekarang... Kalian tak perlu mencemaskan Naru lagi..." Air mata dari safir biru tak tertahan, mengalir di permukaan rahang tegas sewarna madu itu.

Naruto tersenyum getir, kenangan pahit itu kembali terulang dalam benaknya, sulit bukan hal mudah baginya untuk melupakan, bahkan memaafkan orang-orang yang telah merenggut kebahagiaan bersama keluarganya terdahulu.

"Kalian tak perlu khawatir, aku sudah tidak sendiri lagi sekarang..." Suaranya memarau, Naruto berlutut di hadapan rak dimana kantong abu itu diletakkan. "Ada Hinata dan Boruto..." Ia kembali bermonolog seolah tengah berbicara dengan keluarganya.

"Okaa-chan..." Tangan Naruto menyentuh lembut kantong abu sang ibu. "Kau sudah jadi Obaa-chan sekarang... Tapi maaf..." Naruto menghapus kasar air mata yang membasahi rahang tegasnya. "Dia kembali bermata biru dan berambut kuning seperti aku dan Tou-chan..." Tangan Naruto lalu beralih ke kantong abu sang Ayah.

"Tou-chan... Aku sekarang mengemban beban berat..." Heian, berada di bawah perintahku sekarang."

Naruto menatap sendu kantong abu sang ayah. "Tou-chan... Kau pasti akan sangat bangga padaku, jika kau berada disini sekarang. Aku telah menjadi seorang Ayah... Aku akan mendidik puteraku seperti kau mendidikku, meluangkan waktu untuknya, seperti kau yang selalu menyempatkan kembali ke Kawaguchiko, untuk menghabiskan waktu bersamaku..." Nafas Naruto sedikit tersengal, ia merasa sesak saat harus berbicara sambil menangis, pun juga kenangan bersama orang tuanya kaki gunung Fuji yang masih terekam jelas.

"Oji-san..." Kini giliran abu sang paman yang ia sapa. "Kerajaanmu, aku berjanji, akan menjaga kerajaanmu, sampai nanti... Semampuku dengan seluruh yang aku bisa, karena hanya ini. Hanya ini yang ku bisa, untuk membalas budi baikmu, telah mengangkat derajat ku, dan memberiku kesempatan untuk membersihkan nama baik ayahku...."

Naruto menghela nafas sejenak, safir birunya menatap penuh sesak pada abu jenazah sang bibi. Mito, bagi Naruto bukanlah hanya sekedar adik dari sang ibu ataupun permaisuri. Bagi Naruto Mito sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri, siluman rubah berusia lebih dari seribu tahun itulah yang membuatnya sampai sekarang bisa bertahan hidup, menemukan kembali cinta sejatinya hingga membangun keluarga kecil.

"Aku akan menjaga Nawaki Ba-san... Menjaga dinasti ini.... Dan menjaga keluargaku.... Kau tak perlu mencemaskan ku, beristirahatlah dengan tenang. Semua yang kau perjuangkan untuk dinasti ini dan aku tak akan sia-sia. Aku berjanji untuk itu."

Naruto kembali mengalihkan pandangan safir birunya pada dua kantong abu yang merupakan abu kakek dan neneknya. Bibirnya kembali tersenyum simpul, "Baa-chan, Jii-chan.... Kalian pasti bangga padaku sekarang, bocah nakal yang sering kalian jitak kepalanya dulu, kini telah menjadi pemimpin negeri ini, kalian berbahagia lah disana..."

...

Kicau burung mengalun lembut fajar itu, udara sejuk nan damai khas musim semi membalut langit Kyoto masih nampak gelap. Termaram lampion satu persatu mulai meredup dari setiap bangunan di tanah ibu kota Heian itu. Pun di bangunan termegah di kota itu, istana Dairi tampak bersiap kendati sang surya belum menyapa. Beberapa dayang yang siap dengar yukata sederhana mereka berwarna biru muda dan Obi merah muda mulai berjalan di senjang lorong, mulai melaksanakan tugas mereka.

Kamar termegah di istana itu belum menampakkan geliatnya, terang lampion dari terasnya bahkan belum diredupkan oleh sang penghuninya. Di balik tirai kelambu kamar itu masih terbaring sesosok wanita mungil yang terlelap nyenyak dengan memeluk sosok bayi mungil yang juga terlelap nyaman dalam dekapannya.

Hingga tepuk tangan mungil yang menyapa pipi gembul kemerahan sang ibu, sentuhan yang mampu membuat kelopak bagai bunga lili itu terbuka. "Ohayou Boruto-kun..." Senyum manis tersugging dari bibir merah mudanya, saat safir biru sang putera yang menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Bayi berusia dua bulan itu tersenyum jenaka saat mutiara lavender malaikatnya hanya tertuju padanya.

Kepala Hinata tertoleh sejenak pada jendela tertutup yang berada di jarak pandangnya, hari masih gelap bahkan sang Surya masih belum menyapa. "Kau harus tidur lagi sayang... Pagi belum datang..." Tangan lembut putihnya menepuk dengan lembut bokong si bayi. Dan tak butuh waktu lama, bayi gempal itu mulai merasakan kenyamanan dan perlahan matanya menyayu hingga mengantarkannya kembali ke alam mimpi.

Hinata tersenyum lembut ketika mendapati bayi kecilnya tertidur pulas, menatap sekelilingnya, hari telah berganti. Dengan perlahan ia menurunkan kakinya dari ranjang dan duduk. "Aku melupakan satu hal...." Gumamnya pelan, ingatannya melayang pada bunga tidur yang menyambanginya semalam. "Kemarin adalah hari kematian Otou-sama, dan aku tidak melakukan peringatan..." Kelopak mata sendunya menyayu, menatap kaki putihnya yang terekspos.

Senyum kecut terukir dari bibir mungil Hinata, ia bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju altar kecil dimana ia biasa berdoa. Ia duduk bersila, lalu menyelampirkan surai kelamnya ke punggung, mulai memejamkan mata dan menangkup kedua telapak tangannya.

...

"Hinata, hari ini kau harus menyelesaikan menyalin kitab sastra."

"Hinata kau tak boleh makan siang sebelum menyelesaikan ikebanamu."

"Kau ingin melihat Tou-sama bahagia, Hinata. Jadilah wanita tertinggi di dinasti ini. Tou-sama akan sangat bisa memiliki muka bertemu dengan para leluhur kelak, bila putriku yang dulu mereka anggap lemah, bisa berdiri di takhta tertinggi negeri ini."

"Hinata, turutilah semua perkataan Shogun-sama tetaplah berada disisinya dan mendampinginya apapun yang terjadi."

Kelopak mata Hinata terbuka, mutiara ungu mudanya memerah lengkap dengan air bening yang mengalir, dadanya terasa sesak. Tiap potongan demi potongan kenangan bersama sang ayah bermain dalam ingatannya.

Bagaimana ia didik untuk menjadi seorang permaisuri, ambisi sang ayah yang ingin menjadikannya wanita nomor satu di dinasti ini, dan pesan terakhir Hiashi sebelum menjemput mautnya di tiang gantungan, berada di sisi Naruto walau apapun yang menghalanginya.

"Tou-sama bahagia disana? Hinata sudah menjadi permaisuri sekarang..... Seperti yang Kau impikan. Tapi...." Suara Hinata tersengal, tangis mulai mengisak dari bibir mungilnya. "Hinata tidak bahagia, Tou-sama..." Tangan kanannya ia letakkan di atas dadanya yang terasa sesak. Hampa ia hanya merasakan hampa kini, walau telah hidup bersama Naruto dalam kedamaian, hanya sunyi yang ia rasakan ketika kini, Naruto melakukan segala cara untuk membahagiakannya.

...

"Apa begitu sesak?"

Tangis Hinata mereda, suara itu suara yang amat ia kenali, suara dari satu-satunya pria yang menjadi penjaganya kini. Kepala indigonya menoleh mencari asal suara itu.

"Naruto-kun..."

"Kenapa? Tak nyaman bila aku berada disini?" Tanya Naruto dengan tatapan matanya yang memandang tajam ke arah Hinata.

"Apa Naruto-kun masih marah padaku..." Tanya Hinata dengan tatapan penuh harapan, ia bangkit dari posisi duduk bersilanya dan berlutut di hadapan sang suami.

"Ya aku sangat marah padamu."

Kepala indigo itu tertunduk lesu mendengar jawaban sang suami.

"Aku marah karena kau tak menyambutku dengan pelukan hangat, saat aku pulang."

Kepala Hinata terangkat setelah mendengar sambungan kalimat yang diucapkan sang suami. Senyum lebar tersungging dari bibir mungilnya saat pandangannya menangkap Naruto yang tengah merentangkan tangannya.

"Cepat peluk aku, aku sibuk hari ini. Kau tak akan mendapatkan kesempatan ini lagi."

Tubuh mungil yang terbalut nagajuban putih itu tanpa butuh waktu lama, bangkit. Hinata berlari menuju Naruto yang merentangkan tangannya, siap untuk memberi pelukan hangat untuknya. Narutonya, satu-satunya pria yang lebih dari sekedar bagi Hinata, kakak, ayah, sahabat, Naruto memiliki arti yang sangat penting bagi hidupnya tempat ia menyandarkan seluruh kelemahan dan tempat ia membagi semua kekuatan yang ia miliki.

"Gomenasai, Naruto-kun..." Bibir mungil nan mancung itu beradu dengan montsuki hitam yang melapisi dada bidang sang Kaisar. Begitu tulus permintaan yang terucap dari bibir sang Lotus ungu, hingga membuat sepasang tangan kekar yang membelenggunya kian mengerat.

"Kenapa harus kau yang meminta maaf... Aku lah yang salah..." Hidung mancung sewarna madu milik sang kaisar mengecup lembut pucuk kepala permaisurinya. "Maaf, aku terlalu kasar padamu...."

"Naruto-kun boleh menghukumku apapun, termasuk menjatuhkan hukuman mati padaku, tapi ku mohon, jangan pernah mengabaikanku... Itu jauh lebih menyakitkan dari pada cambukan ratusan kali-"

"Sssstttt......"

Ucapan Hinata terhenti, Naruto dengan cepat menangkup pipi gembul Hinata. "Hinata terimakasih, karena telah mencintai pria sepertiku.... Terimakasih tetap berada di sisiku..."

"Bahkan bila Naruto-kun mengusirku, aku tak akan pernah pergi dari sisi Naruto-kun..."

"Kau milikku, tak akan ku biarkan kau pergi dari sisiku, kau tak akan ku biarkan mati tanpa seizin ku...."

Dua hati kembali berpeluk, ketika terang dan gelap beradu di ufuk timur, ketika malam berpamitan pada sang fajar, benang merah itu tersimpul semakin erat.

...

Naruto tersenyum sumringah ketika duduk di singgasananya. Pagi itu ia akan membuka rapat rutin setiap pagi di Chodo-in sebelum para pejabat menjalankan tugasnya masing-masing.

Berbeda dari beberapa hari belakangan ini, rapat dimulai sedikit lebih terlambat dari biasanya. Tak heran, karena beberapa hari yang lalu sang kaisar tidur di ruangan kerjanya di istana Chodo-in, bahkan setiap pagi sang Kaisar lebih dahulu duduk di aula pertemuan dibandingkan dengan Kasim pembersih ruangan.

"Semoga Yang Mulia di berkahi umur panjang...." Para pejabat itu memberi hormat seraya menundukkan tubuh mereka seratus delapan puluh derajat.

"Berdiri." Ucap Naruto santai, seraya meraih amplop cokelat yang berada paling atas di tumpukkan mejanya. Dahinya berkerut, segel perguruan Shinto Ryu terbubuh disana. "Kapan surat ini sampai?" Tanyanya tanpa menyebut nama yang ia tanyakan.

Tapi Shikamaru yang memiliki inisiatif tinggi sadar betul bahwa ia lah yang sedang diajak bicara oleh sang Kaisar. "Tadi malam Yang Mulia." Shikamaru bangkit dari tempat duduknya yang berada tepat dibawah singgasana sambil ber-ojigi. "Saya tidak ingin mengganggu waktu Yang Mulia, jadi saya putuskan untuk meletakkannya di meja rapat pagi ini." Bagaimana Shikamaru bisa memberikan sang Kaisar surat usai kejadian tidak menyenangkan kemarin sore, saat sang permaisuri tak sadarkan diri akibat guyuran hujan.

Naruto mengangguk mengerti ia meletakkan surat itu, menunda membacanya, "Surat dari Shinto Ryu pasti sangat berkaitan erat dengan pernikahan Hanabi, ada baiknya aku membahas ini di akhir rapat, debat kusir tak dapat dihindari bila membahas keluarga Hinata, mereka tidak akan fokus menyampaikan kinerja mereka bila surat ini aku bahas di awal rapat."

Satu persatu menteri dan para pejabat memberikan laporan kepada lisan kepada Sang Kaisar, Naruto menyimak dengan seksama setiap perkembangan yang terjadi di Kyoto pasca perang saudara yang terjadi. Sesekali iris birunya menatap ke meja dimana selembar kertas terbuka disana.

Bukan laporan tertulis para pejabat yang tengah ia buka, melainkan secarik kertas dari perguruan yang mendidiknya sebagai seorang samurai. Surat dari sang guru, Hatake Kakashi.

...

Laporan lisan Sasuke menjadi penutup rapat terbuka pagi itu, setelah sang Jenderal kembali ke tempat duduknya, Naruto tak langsung menutup rapat. Ia tersenyum miring seraya menatap tiga menteri sepuh yang kini seolah tengah menjadi pengintai bagi hidupnya. Pagi ini ia akan kembali membuat jenggot tiga orang sepuh itu terbakar. Entah mengapa, Naruto sangat suka sekali mengambil keputusan yang bertentangan dengan sudut pandang ketiga orang tua tersebut.

"Yugao-san..." Naruto memanggil nama kepala dayang utama istana kerajaan.

Wanita dengan surai ungu itu bangkit dari tempat duduknya di barisan belakang, ia ber-ojigi singkat di hadapan sang Kaisar.

"Mulai pekan depan kau tak perlu melaporkan hasil pekerjaanmu padaku, laporanmu setiap hari pada Permaisuri sudah lebih dari cukup." Titah Naruto pada Sang kepala dayang.

"Hai' Tenno-sama..." Jawabnya sambil kembali ber-ojigi.

Ketiga menteri sepuh itu menggelengkan kepala mereka. Naruto kini telah memberi kekuasan penuh pada Hinata atas seluruh urusan rumah tangga kerajaan.

"Dan satu lagi, ini untukmu Yugao dan seluruh pejabat yang ada disini."

Tiga menteri sepuh itu saling menatap bergantian, menunggu titah bertentangan apa lagi yang akan keluar dari mulut Naruto.

"Dalam beberapa pekan ke depan Buraku-in akan kembali dibuka untuk perhelatan besar kita, pesta pernikahan Hyuuga Hanabi akan dilaksanakan di aula Buraku-in. Aku harap kalian semua akan bersuka cita menyambut pernikahan agung ini.

"Pernikahan agung?" Telinga Danzo seketika memanas saat Naruto menyebut pernikahan Hanabi sebagai pernikahan agung. Ia berdiri, dan karena posisi duduknya berada di bagian depan, maka dengan jelas Naruto dapat melihat tindakan Danzo.

Ia hanya tersenyum miring, Naruto tahu bahwa menteri senior itu akan kembali membantahnya.

"Mohon maaf Yang Mulia. Yang bisa disebut dengan pernikahan agung adalah pernikahan kerabat kekaisaran. Dalam hal ini melalui jalur si pria." Naruto hanya mengangguk-angguk memberikan kesempatan pada Danzo menyelesaikan protesnya.

"Dalam hal ini Hyuuga Hanabi adalah kerabat dari pihak Permaisuri." Sambung Danzo kembali, "jadi mohon yang mulia mempertimbangkan kembali keputusan Yang Mulia." Danzo ber-ojigi menutup protesnya.

Naruto tersenyum tipis, ia mengangkat telapak tangannya seraya mengangguk, mempersilahkan Danzo kembali duduk di tempatnya.

"Shimura-san, nampaknya faktor usia sudah sangat mempengaruhi anda, hingga anda lupa asal usul ku."

Sasuke tersenyum geli mendengar jawaban Naruto, sementara Sai menepuk keningnya pelan, meratapi betapa pikunnya sang Ayah.

"Mendokusai...." Umpat Shikamaru pelan, merasa waktunya terbuang dengan sanggahan bodoh ayah Sai. Danzo seolah lupa bahwa Naruto adalah kerabat dari pihak wanita istana. Kaisar muda itu adalah keponakan dari permaisuri dan menyelenggarakan pernikahan agung di kompleks istana kekaisaran. Sial pekerjaanku tertunda karena ucapan bodoh tua Bangka itu, waktu kerjaku bisa-bisa bertambah hari ini, umpat Shikamaru dalam hatinya.

Wajah Danzo pucat pasi, ia malu akan ucapannya sendiri, melihat ke sekeliling aula, tak ada satupun orang yang mau membantunya. Bahkan kedua rekan sepuhnya. Tak lama suara cekikikan kecil mulai menggema di aula luas itu, para pejabat lain mulai menertawakan kepikunannya sambil menutup mereka demi menjaga kesopanan, jika saja mereka sedang tidak berada di rapat resmi bisa dipastikan tawa mereka sudah meledak.

"Gomenasai Tenno-sama...." Danzo seharusnya bersyukur masih memiliki putera berbakti seperti Sai. Wakil dari Jenderal itu bersedia menebalkan wajahnya, berdiri dari posisi duduknya untuk menyelamatkan wajah sang ayah.

"Kesehatan ayah saya menurun beberapa hari ini. Saya harap Yang Mulia dapat memahaminya.

Sai berjalan meninggalkan tempat ia berdiri menuju tempat sang yang ayah mematung. Ia sudah tidak tahu lagi dimana harus ia meletakkan harga dirinya akibat kekacauan yang ayahnya buat beberapa bulan kebelakang ini.

Tiba di tempat Danzo berdiri, Sai langsung merangkul dan menuntun Danzo keluar dari aula. Danzo benar-benar harus berterimakasih pada sang anak yang rela menepis harga dirinya demi menyelamatkan reputasinya.

"Yugao, kembalilah ke istana Dairi, dan sampaikan surat ini pada permaisuri." Naruto kembali menyambung titahnya usai Sai membawa pulang ayahnya. "Pekan depan kita akan menyambut tamu agung dari Shinto Ryu. Aku harap kau mempersiapkan Buraku-in dengan baik, Hatake-sama bersama keluarga Sarutobi akan datang ke Kyoto untuk persiapan pernikahan Hyuuga Hanabi dan mereka akan menginap di Buraku-in. Persiapkan kamar-kamar tamu dengan sebaik-baiknya."

Beberapa pejabat nampak gusar dengan keputusan Naruto mengizinkan pihak calon suami Hanabi menginap di istana resepsi. Hasut para menteri sepuh itu nampaknya mulai berdampak, sebagian dari pejabat itu mulai merasa ketakutan akan bangkitnya kembali kekuasaan klan pengkhianat.

...

"Apa Tenno-sama sibuk?"

Shikamaru meletakkan kotak kayu berisikan bekal buatan sang istri di meja marmer, saat sang ayah bertanya padanya. Mereka berdua kini berada di gazebo istana Chodo-in untuk menikmati bekal buatan Temari.

"Apa kau ingin menemuinya? Jangan berbuat yang tidak-tidak, Tou-sama." Curiga Shikamaru sambil mendudukkan dirinya.

"Kau tak perlu takut, aku hanya ingin mengundangnya makan malam. Malam ini, tadi pagi aku sudah meminta Temari, menyuruh dayang untuk berbelanja, sebuah makan malam kecil untuk mensyukuri berakhirnya perang saudara."

Onix Shikamaru memicing penuh curiga, menatap sang ayah yang tengah menyiapkan brokoli tumis ke mulutnya dengan menggunakan sumpit.

"Kau curiga padaku?"

Tanpa ragu Shikamaru mengangguk menjawab pertanyaan sang ayah.

"Ikutlah satu meja bersama kami, kecurigaanmu pasti hilang."

"Ya tentu saja." Jawab Shikamaru singkat. Otaknya kini sedang bekerja untuk membaca siasat sang ayah.

...

Tok tok tok

Hinata baru saja selesai meletakkan Boruto di ayunannya ketika pintu kamar istana itu diketuk.

"Masuk..." Jawabnya singkat.

Tak butuh waktu lama, pintu besar itu terbuka, bersama seorang wanita dengan surai ungu yang disanggul rapi.

"Ada berita apa Yugao?" Tanya Hinata seraya berjalan mendekat ke arah Yugao.

"Salam hormat Yang Mulia Permaisuri." Yugao ber-ojigi memberi salam.

"Berdiri." Jawab Hinata dengan anggun, batinnya bertanya-tanya. Hari ini adalah jadwal Yugao melapor ke Chodo-in, dan kepala dayang itu langsung menyambanginya sepulang dari istana pemerintahan itu.

"Lapor Kogo-sama, Tenno-sama memerintahkan saya untuk tidak perlu lagi melapor ke Chodo-in setiap pekan. Saya cukup hanya melaporkan pekerjaan saya pada Anda."

Hinata menghela nafas lega.

"Dan satu lagi..." Dahi Hinata berkerut, saat Yugao melanjutkan laporannya. "Akan ada tamu agung yang menginap di kamar tamu Buraku-in, saya mohon pentunjuk anda untuk mempersiapkannya." Tutup Yugao seraya mengulurkan sepucuk surat.

Shinto Ryu, batin Hinata saat membaca segel di amplop surat tersebut. Ia seorang wanita yang cerdas, rencana pernikahan Hanabi pasti menjadi inti dari surat tersebut, "Yugao, tolong kau panggilkan Hanabi untuk menghadapku."

...

"Ada apa Nee-sama...." Hanabi masuk kedalam kamar sang kakak tanpa mengetuk, tanpa memberi salam.

Hinata yang duduk di kursi marmer di depan meja rias, meraih sepucuk surat yang tela ia baca di atas meja riasnya dan menyerahkannya pada Hanabi.

Hanabi mengambil surat tanpa amplop itu dengan cepat dan langsung membacanya. Dengan cepat, dan wajahnya seketika memerah setelah menyelesaikan surat itu.

"Baka... Dia benar-benar akan mengajak mereka ke Kyoto lebih awal."

"Kau sudah tahu itu...." Hinata mendengar umpatan pelan adiknya.

"Sebenarnya Konohamaru, sudah mengirimkan surat pribadi kepadaku..." Jawab Hanabi sambil menunduk malu.

"Naruto-kun sudah memutuskan, rombongan dari Shinto Ryu akan menginap di Buraku-in." Hinata memijat dahinya pelan.

"Para tetuah pasti menentang...." Hanabi merasa tak enak hati, ia duduk berlutut di hadapan sang kakak, menggamit tangan Hinata dan menggenggamnya erat. "Maaf Nee-sama jika pernikahanku membuatmu susah...."

Hinata menggeleng pelan seraya mengusap pipi sang adik. "Naruto-kun hanya ingin menebus kesalahan pada kita.... Dan jika dia sudah berkehendak, tak ada yang dapat menghalanginya lagi....."

Hanabi mengangguk lesu, ia sandarkan kepalanya pada paha sang kakak. "Onee-sama, tak lama lagi aku tak bisa menemanimu di istana yang kejam ini ..... Semoga kau baik-baik saja tanpa aku disini."

"Jika saja Neji-nii dan Otou-sama masih hidup.... Mereka pasti sangat berbahagia bisa melihatmu menikah dengan samurai seperti Konohamaru....." Mutiara ungu Hinata menerawang ke langit-langit seraya mengenang kematian sang kakak dan ayahnya.

"Tapi mereka juga akan mungkin sangat sedih, Hyuuga tak lagi dapat diteruskan.... Padahal hampir saja Neji-nii memilik seorang anak dari Tenten, tapi wanita itu sekarang entah dimana keberadaannya, hidup atau mati...."

Batin Hinata tersentak saat mendengar ucapan Hanabi. Tenten budak dari negeri Tang yang menghilang saat di malam petaka dimana ia diculik Akatsuki dalam keadaan hamil besar. Dia menghilang setelah aku diculik, dia membawa benih Neji-nii, penerus Hyuuga, aku harus mencari tahu keberadaannya, hidup atau mati.

つづく

Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top