129. Sayap Yang Dipatahkan -2-
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
Istana Dairi, istana dalam yang terkenal akan kemewahan dan keindahannya. Tempat tinggal para permaisuri berparas cantik. Di istana ini lah para calon raja dibesarkan dan menghabiskan masa kecilnya. Istana ini tak pernah kehilangan pesonanya walau silih berganti penguasa istana ini berganti. Tidak sembarang wanita yang memegang kendali atas istana indah ini, tak hanya garis takdir mereka yang menempatkan para wanita itu menjadi penguasa Dairi, tapi keberanian mereka untuk mendampingi pria hebat yang melindungi dinasti Heian lah yang membuat mereka pantas atas takhta permaisuri Heian, sang penguasa istana Dairi.
...
"Paviliun Kokiden memang sangat mengagumkan..." Aquamarine Ino menatap takjub pada teras barat istana Dairi yang berada dalam Paviliun Kokiden, Paviliun para istri kaisar. Pemandangan menawan tersaji di sana, kolam ikan koi yang dihiasi dengan lotus ungu dengan ukuran besar, dan bebatuan alam membuatnya tak kuasa untuk menggumamkan pujian.
Danzo tersenyum miring melihat sikap menantunya itu. "Kau seolah tak pernah masuk ke dalam Dairi saja."
Ino menunduk sebagai ungkapan rasa bersalah, tapi sesungguhnya benar, ia memang sering masuk ke dalam Dairi untuk memenuhi undangan Mito, dulu. Tapi hanya sampai sebatas aula pertemuan, sungguh hanya saat Hinata memegang kendali Dairi lah, orang-orang selain keluarga kekaisaran yang diizinkan masuk lebih dalam di istana ini.
"Dulu...." Danzo menengadahkan kepalanya ke langit-langit teras paviliun Kokiden. Ia mulai mengenang masa-masa awal pemerintahan Heian ketika baru dipindahkan ke Kyoto. "Sebelum berpusat Kyoto, Heian memiliki dua ibu kota dengan fungsi yang berbeda dengan alasan keamanan, kota Narra merupakan tempat dimana istana para keluarga Kaisar tinggal, dulu di Kyoto hanya ada Buraku-in dan Chodo-in. Setelah pulau-pulau di Heian tunduk pada satu komando di tangan Senju, perlahan ibu kota di pindahkan ke Kyoto, dan istana Dairi dibangun. Di era Kaisar Tobirama, Paviliun Kokiden dihuni oleh para wanita, istri Kaisar Tobirama...." Danzo mulai berkisah tentang masa-masa awalnya sebagai menteri di Heian. "Saat itu kaisar Tobirama memiliki empat puluh istri yang tinggal di dalam istana Kokiden...."
Ino terperangah dengan kisah sang ayah mertua, yang ia tahu Paviliun Kokiden ini hanya menjadi semacam kantor untuk sang permaisuri melaksanakan tugasnya, mengawasi istana Dairi, dan mengumpulkan para istri Pejabat, serta membuat pesta kecil bersama teman-temannya.
Danzo tersenyum miring melihat reaksi anak menantunya itu. Ia berjalan ke bagian terdepan teras, lebih dekat dengan kolam lotus. "Kaisar Tobirama mempersatukan Heian, dengan menikahi setiap penguasa pulau di tanah Heian, dan sang permaisuri adalah putri dari penguasa pulau Hokkaido, pulau Honshu, pulau dimana Kyoto berdiri sekarang dikuasai mutlak oleh klan Senju, tapi beberapa pulau ingin memisahkan diri dari Heian, kaisar Tobirama tak menyukai menyelesaikan masalah dengan kekerasan, menyatukan Heian dengan jalan pernikahan adalah satu-satunya jalan damai."
"Lalu kemana para istri Kaisar itu...?" Ino kembali bertanya.
"Setelah Sang Permaisuri meninggal karena penyakit wabah besar yang disebarkan oleh Klan Haruno yang berkonspirasi dengan Uchiha dan Hyuuga, kondisi Kaisar Tobirama semakin memburuk, ditambah dengan dosis racun yang ditambahkan oleh Kepala Dewan Tabib pada obatnya, membuat penyakit kaisar Tobirama kian parah, beliau mangkat tanpa melihat putera satu-satunya. Istri-istri lain dari Kaisar Tobirama melahirkan anak perempuan. Dengan dalih mereka menyebarkan penyakit menular, setelah Namikaze Minato dihukum gantung, para istri dan putri Heian, di buang ke pulau terpencil yang dirahasiakan, kapal-kapal besar mengangkut mereka, menuju tempat yang sampai sekarang kami tidak tahu." Danzo mengakhiri ceritanya, tanpa sadar air matanya mulai mengalir, di pipi keriputnya. "Termasuk Ibu Sai dan Ibu mu..... Kaisar Hashirama hidup tanpa saudara, ia dinikahkan dengan Kaguya yang merupakan kroni dari Hyuuga dan Uchiha, mereka memaksa Mendiang Kaisar Hashirama tinggal satu atap dengan Kaguya di paviliun Jijūden, sejak saat itu Paviliun Kokiden beralih fungsi, menjadi istana resmi permaisuri. Hingga Permaisuri Agung Mito naik takhta, paviliun ini tak pernah lagi dihuni, karena Kaisar Hashirama hanya memiliki satu istri sampai akhir hayatnya."
Ino terdiam dan menunduk, ia tahu cerita itu, ia tahu awal dari dendam dinasti ini. Ketika Uchiha dan Hyuuga memberantas semua anggota keluarga Senju, Ibunya dan Ibu Sai adalah adik tiri dari Kaisar Hashirama yang dimusnahkan oleh Uchiha dan Hyuuga, dengan dalih yang tak lain dan tak bukan wabah yang disebarkan oleh klan Haruno.
"Ino, aku bersama ayahmu dan para menteri terdahulu, bekerjasama dengan Mendiang Permaisuri Agung Mito, untuk mengembalikan kedaulatan Senju, di era pemerintahan kaisar Hashirama, ibu kota sepenuhnya berpindah ke Kyoto, peran keluarga Uchiha di kota Nara yang semakin terdesak, menghapuskan dualisme pemerintahan dan menjadikan
Kyoto sebagai satu-satunya ibu kota, Senju merupakan satu-satunya klan yang berdaulat dengan ditopang oleh Uzumaki. Tapi kini, para keturunan pengkhianat itu ada di dalam lingkaran takhta tertinggi Heian."
"Ayah mertua, bukankah kau salah satu dari orang yang memilih Naruto-sama sebagai Kaisar... Lalu mengapa?"
"Hanya Naruto, karena di dalam tubuhnya mengalir darah klan Namikaze yang menjaga Heian dengan jiwa raganya, dan klan Uzumaki yang telah mengembalikan kejayaan Heian. Sementara wanita itu dalam dirinya mengalir darah kotor Hyuuga, kau lihat setelah wanita itu masuk dalam kehidupan Naruto. Selama permaisuri Mito masih hidup aku selalu diam dengan keberadaannya di sekitar istana ini, tapi saat Naruto meletakkan keturunan pengkhianat itu pada posisi tertinggi kembali...."
"Naruto dan Hinata tak akan pernah berpisah, Tou-sama..." Ino memelankan suaranya, mereka berada di Dairi sekarang, ada banyak telinga disini dan sang ayah mertua bicara sembarangan.
"Suminasen," suara lembut Tomoyo, membuat menantu dan mertua ini sadar bahwa ada orang lain di ruangan ini. Ino terpaku seribu bahasa, seperti kucing yang ketahuan mencuri ikan.
Sementara Danzo, menteri sepuh itu hanya tersenyum tipis, tak ada yang ia takuti. Ia adalah salah satuorang yang disegani oleh Mito, wajar ia merasa aman, Naruto tak akan pernah berani macam-macam padanya.
"Zabuton, sudah disiapkan, Shimura-sama dipersilahkan duduk dan menikmati hidangan sambil menunggu tamu yang lain." Tomoyo memasang senyum palsu, ia menunjuk dengan kelima jarinya pada bantal duduk kecil yang telah disusun rapi di teras itu.
"Kau Daidouji Tomoyo?" Danzo bertanya penuh selidik pada Tomoyo.
Tomoyo mengangguk sopan. Sementara Danzo tersenyum penuh makna, membiarkan Tomoyo berlalu.
Setelah meninggalkan teras paviliun Kokiden, Tomoyo berjalan pelan di lorong Paviliun itu, ia berjalan sembari menahan isakan, tangan putihnya tak terlepas untuk menutupi mulut kecilnya yang terisak pelan. Ia menangis, telinganya sakit, saat mendengar Danzo menghina Hinata sebagai wanita dari keturunan kotor. Hinata-nee adalah wanita yang baik... Berkat dialah aku dibatalkan menjadikan Maiko... Jika tidak aku akan dijual di Okiya, melayani nafsu para pria hidung belang itu. Hinata-nee telah banyak menelan pil pahit penderitaan... Lalu kenapa kalian tak bisa mempercayainya, Hinata-nee tak pernah menyimpan dendam dalam hatinya....
...
Hinata kembali menghela nafas panjang, mutiara lavendernya memandang lembut pada birunya langit Kyoto, seperti hari-hari sebelumnya, ia akan berdiri di sudut taman istana Dairi ini untuk memandang langit yang membuat hatinya tenang sedikit berpaling dari lelahnya beban pikiran yang ia alami.Tentang kehidupan istana yang kian menyiksanya, pun tentang ego sang suami yang begitu sulit untuk dikendalikan, Hinata menjadikan pemandangan langit biru yang sewarna mata pria tercintanya sebagai tempat pengaduan.
"Hinata-nee..."
Mutiara lavendernya bergulir saat suara yang menyerukan namanya bergema di telinga, Hinata melemparkan senyum pada Tomoyo, calon permaisuri masa depan itu berdiri cukup jauh darinya, dia membawakan payung untuk Hinata mengingat hari cukup terik siang itu.
Hinata memperhatikan penampilan dayang kesayangannya itu, Tomoyo benar-benar berbeda dari saat pertama kali mereka berjumpa. Tubuh gadis itu yang dulu tampak kurus kering, kini sedikit berisi, juga kulitnya yang semakin mulus dan surai kelamnya yang berkilau.
"Kau tidak belajar hari ini?" Tanya Hinata saat Tomoyo telah sampai di hadapannya.
Tomoyo menggeleng pelan, "bukankah hari ini anda memanggi Anko Sensei ke sini, Kogo-sama...?"
Hinata tersenyum tipis, bagaimana bisa ia melupakan janji yang telah ia buat sendiri.
"Tadi saya melewati teras paviliun Kokiden, dan melihat banyak tamu disana..."
"Apa mereka sudah berkumpul disana?" Hinata memastikan.
"Sepertinya sudah..." Jawab Tomoyo lembut, ia membentangkan payung yang dibawa nya. "Mari ku antar, Kogo-sama.." tawar Tomoyo lembut.
"Gadis bodoh..." Hinata terkekeh pelan. "Kau itu bukan lagi dayangku...." Hinata berdiri di bawah payung yang dibentangkan oleh Tomoyo.
"Hinata-nee, bolehkah, setelah Hanabi-sama menikah aku menjadi dayang kepala untuk membantumu..."
Dahi Hinata berkerut. "Kau sedang dipersiapkan menjadi Permaisuri, Tomoyo..."
"Aku mohon..."
Hinata kembali menghela nafas, belum selesai permasalahannya dengan Naruto akibat kamar itu, kini Tomoyo meminta sebuah permintaan yang akan sulit untuk ia kabulkan. "Akan ku pikirkan..." Jawab Hinata seraya berjalan menuju tujuannya.
Hanabi akan segera menikah, dan Tomoyo tak ingin Hinata sendirian menghadapi para tetuah itu.
...
"Ada lagi yang ingin kalian sampaikan?" Naruto mengakhiri rapat pagi yang ia pimpin di aula utama Chodo-in, mendengar setiap keluh kesah dari para menteri yang membantunya mengendalikan pemerintahan.
"Izin berbicara Yang Mulia..." Yamanaka Inoichi, salah satu menteri sepuh itu berdiri memohon izin pada sang Kaisar. "Tentang pembangunan istana Hyuuga-"
"Shikamaru tutup rapatnya." Belum selesai Inoichi mengutarakan pendapatnya, Naruto lebih dahulu memerintahkan Shikamaru untuk menutup rapat.
"Rapat terbuka pagi ini telah usai, harap para Hadirin Sekalian kembali ke ruangan masing-masing." Dan bersamaan dengan pengumuman dari Shikamaru, para Pejabat di dalam ruangan itu mulai berhamburan menuju pintu keluar.
Kecuali Yamanaka Inoichi, ia masih berdiri di tempatnya, kendati didalam ruangan itu hanya menyisakan Naruto, Shikamaru dan dirinya.
"Tenno-sama..."
Suara Inoichi kembali bergema dalam aula itu.
"Yamanaka-sama, rapat telah usai." Naruto bangkit dari singgasananya, bersama dengan Shikamaru yang mengekornya dari belakang.
Inoichi, tetap berdiri di tempat yang sama, ia tersenyum simpul. Menunggu saat Naruto melintas di hadapannya, dan saat itu terjadi. "Tenno-sama, anda sepertinya lupa... Siapa orang-orang yang baru saja anda kembalikan kekuasaannya. Berhati-hatilah, aku dan para pendukung Permaisuri Agung Mito, masih tetap berada di pihakmu..." Bisik Inoichi pelan di hadapan Naruto.
Jemari Naruto mengepalkan tinju yang kuat, namun berbanding terbalik dengan senyuman yang tersungging di bibirnya. "Terimakasih atas perhatian anda, Inoichi Ji-san."
...
"Hinata-nee..."
Hinata mengurungkan niatnya membuka pintu keluar Paviliun Kokiden yang terhubung dengan teras pertemuan, panggilan Tomoyo menghentikannya. Ia menatap Tomoyo lembut seolah bertanya ada apa?.
"Hinata-nee, berhati-hatilah...."
...
"Dua bulan lagi Hanabi akan menikah, upacara pemurnian pernikahannya akan dilaksanakan di kuil Ginkaku-ji." Naruto masih terfokus pada kertas dan kuasnya, ia sama sekali tak memperhatikan wajah tak percaya yang tersirat dari Shikamaru yang tengah berada di depan rak penyimpanan gulungan. "Hinata yang akan melakukan semua persiapannya, kau ku perintahkan untuk membantunya."
"Naruto, kau yakin?" Tanya Shikamaru penuh keragu-raguan.
Naruto tersenyum simpul. Ia mendongak menatap tajam pada Perdana Menterinya itu, "kau meragukan ku, Shika?" Tanya Naruto dengan senyuman penuh maknanya.
"Kau baru saja membuat dekrit untuk pembangunan istana Klan Hyuuga, lalu akan melaksanakan pemurnian pernikahan Hanabi, di Ginkaku-ji, kau tentu tahu bagaimana klan Hyuuga di mata para tetua. Tidak sembarangan orang bisa menikah di kuil itu."
"Lalu?" Naruto bertanya dengan nada menantang. "Hanabi tak memiliki siapapun lagi sebagai keluarganya, selain aku dan Hinata."
"Sarutobi telah menawarkan semua upacara pernikahan dilakukan di Shinto Ryu. Bukankah seharusnya begitu." Shikamaru kembali berkilah, "Naruto yang terbaik sekarang adalah menghindari konflik."
Naruto kembali menampilkan senyuman miringnya, senyuman yang begitu Shikamaru kenal. Senyuman yang berarti ia dapat membunuh siapapun. "Semua orang harus tahu bahwa Hinata memiliki posisi penting di Heian, tak ada yang berhak menentangnya."
"Kau sengaja menantang para tetua, hmm...?" Shikamaru memastikan, ia meletakkan gulungan yang sejak tadi bertengger di tangannya, ia mulai tertarik dengan topik ini.
"Hinata adalah harga diriku, siapapun yang menentangnya berarti menentangku." Safir biru itu menatap penuh kebencian, kebencian yang sama saat dendamnya pada Sasuke membara.
"Kau akan mempersulit posisi Hinata." Kali ini Shikamaru balas menatap Naruto.
"Aku akan mempermudah semua yang mempersulitnya." Ucap Naruto ambigu, ia melirik congkak ke arah Shikamaru lalu kembali terfokus pada kertas dan kuasnya.
...
"Apa ada usul lain....?" Hinata meletakkan kuasnya di sisi kertas, ia tersenyum manis seraya menatap para tamu undangannya.
"Kami rasa cukup Kogo-sama...." Sakura menjadi orang pertama yang buka suara, ia ingin diskusi ini cepat selesai. Wanita musim semi itu mengkhawatirkan bayinya yang pasti sudah saat menunggu untuk disusui oleh dirinya.
Hinata mengangguk sambil tersenyum. "Ada baiknya bila kita mendengar pendapat Danzo-sama... Bagaimanapun beliau adalah orang yang patut untuk kita hormati...." Hinata mempersilahkan tetua itu untuk angkat bicara, ia sama sekali tidak keberatan dengan keberadaan Danzo disana, sejatinya hanya kaisarlah satu-satunya pria yang diizinkan masuk dalam paviliun Kokiden. Namun sejak Mito menjabat sebagai permaisuri, dan banyak berdiskusi dengan beberapa pejabat, membuat peraturan Dairi diperlonggar, beberapa pejabat pria penting dengan pangkat tertentu diizinkan masuk dalam Dairi.
Lebih dari itu, Hinata juga menghormati Danzo sebagai orang tua. Setelah Hashirama dan Mito mangkat, Hinata kehilangan sosok orang tua yang dihormati, dan kehadiran Danzo di paviliun Kokiden siang ini merupakan kehormatan bagi Hinata, walau ia tak tahu niat sebenarnya dari kedatangan Danzo.
"Hanya satu pertanyaanku Kogo-sama..." Danzo menundukkan kepalanya sopan, menyembunyikan niat sebenarnya dari pertanyaan yang akan ia lontarkan.
"Silahkan Danzo-sama..." Hinata mempersilahkan seraya tersenyum dan mengangguk sopan.
Bibir keriput Danzo mengukir senyuman penuh makna. "Baru-baru ini para wanita dari klan Hyuuga dan Uchiha, telah dibebaskan Tenno-sama dari kerja paksa, apa hal ini yang menjadi latar belakang anda untuk melanjutkan rencana pendidikan rakyat untuk anak-anak dan para wanita?"
Kening Hinata berkerut, ia sadar pertanyaan Danzo ini memojokkan dirinya, Hinata tak habis pikir mengapa terlintas di otak Danzo mengaitkan rencana baiknya dengan para pekerja paksa dari klan Hyuuga yang telah dibebaskan oleh Naruto. "Saya akan memprioritaskan rakyat Kyoto dari kalangan umum dulu, jika memungkinkan, para wanita dari klan Hyuuga dan Uchiha akan saya ikut sertakan..." Jawab Hinata bijak.
"Itu berarti anda tidak melaksanakan keadilan seperti yang anda sampaikan tadi, anda membedakan antara mantan pekerja paksa dengan rakyat lainnya. Atau anda punya rencana lain dengan wanita dari dua klan itu, mendidik mereka menjadi pasukan pemberontak?"
Hinata meremas bagian paha uchikake miliknya, mata mutiaranya memanas. Ia tak pernah memiliki niatan busuk semacam itu. Lalu mengapa Danzo begitu kejam menduganya mempersiapkan pasukan pemberontak. Bibirnya kelu tak bisa mengucap satu katapun.
"Anda terlalu berlebihan Danzo-sama..." Hanabi angkat bicara, telinganya panas mendengar kakaknya dipojokkan, ia tak sesabar Hinata untuk diam saja melihat penghinaan ini.
Danzo kembali tersenyum miring melihat perlawanan Hanabi. "Bagaimanapun kalian adalah klan yang sakit hati atas sebuah hukuman, seperti yang terjadi pada Toneri, kemungkinan kalian akan menuntut balas, apa lagi salah satu dari anggota klan kalian berada paling dekat dengan Tenno-sama." Lirikan mata Danzo yang mengarah pada Hinata, secara tak langsung menunjukkan bahwa orang yang dia maksud adalah Hinata.
"Anda tidak punya dasar yang kuat untuk menuduh Kogo-sama seperti itu." Sakura juga angkat bicara, isi diskusi ini mulai melenceng jauh dari yang seharusnya. "Dia adalah pendamping resmi Kaisar, meragukannya sama saja dengan meragukan kedaulatan Kaisar."
"Hidenka-sama, anda berbicara seperti itu seolah tak menyadari posisi diri anda. Seperti Kogo-sama, dan Shogun-sama, anda pun adalah anggota klan terbuang yang kembali masuk dalam istana."
"Kau!!!" Hanabi naik pitam, ia berdiri dan hampir kehilangan kendalinya.
"Hanabi!!! Duduk kembali!" Hinata akhirnya buka suara setelah sekian lama bungkam, ia menguatkan hatinya untuk berbicara.
"Tapi Nee-sama...." Hanabi membantah.
"Ini perintah...."
Dua kata itu membuat Hanabi kembali duduk di bantalnya.
"Gomenasai atas kelakuan adik saya, Danzo-sama....," Hinata menundukkan kepalanya sopan pada Danzo. "Hanabi..." Hinata menolehkan kepalanya kearah Hanabi, "minta maaf pada Danzo-sama..."
Hanabi membolakan mutiara lavendernya mendengar kalimat Hinata. Apa ia tak salah dengar, dia disuruh meminta maaf pada Danzo. Dia membela Hinata, tapi malah dia disuruh meminta maaf pada orang yang telah mencela kakak dan klannya. "Aku tidak mau." Harga diri Hanabi terluka, ia membuang muka dari hadapan Hinata, dan meninggalkan teras itu tanpa permisi.
Sementara di sisi lain, emerald Sakura menangkap pancaran dari cahaya mutiara lavender Hinata meredup, ia terlihat hancur, harga dirinya terkoyak. Sebagai seorang permaisuri ia seolah tak memiliki wibawa apapun, seorang menteri senior memojokkannya di hadapan banyak orang dan adiknya sendiri mempermalukan dirinya dengan menolak perintahnya di depan banyak orang. Suasana teras itu cukup hening, hingga suara pintu yang terbuka memberikan perhatian lain.
Tomoyo hadir di teras itu, dia membawa nampan berisi poci dan cawan teh putih yang merupakan teh termahal dan terlangka. "Suminasen Kogo-sama..., Sudah waktunya untuk minum teh...."
Hinata tersadar dari lamunan putus asanya. Suara Tomoyo kembali menyadarkannya bahwa pertemuan ini masih harus ia selesaikan. Hinata kembali mengangguk, ia tersenyum dan menunjuk kearah para tamu dengan kelima jarinya, memberi izin pada Tomoyo untuk menuangkan teh itu.
Gadis berusia lima belas tahun itu, berjalan dari satu meja ke meja yang lain, satu persatu cawan kecil yang diletakkan di meja pendek itu ia isi tuangkan dengan teh dari cawan yang ia bawa. Hingga akhirnya kaki mungil gadis itu berhenti di samping meja Danzo, pria sepuh yang telah memiliki seorang cucu itu menatap dengan seksama gadis itu, bibirnya tersenyum miring, menandakan sebuah rencana yang terlintas di kepala berubahnya.
"Kau Daidouji Tomoyo?" Danzo membuka pembicaraan seraya Tomoyo sibuk menuangkan teh di cawan yang ia bawa.
Tomoyo menganggukkan kepalanya pelan, ia tersenyum manis dengan fokus masih tetap pada teh yang tengah ia tuangkan. Dengan seksama gadis itu mengangkat poci yang ia turunkan untuk menuangkan teh, ia telah selesai mengisi cawan Danzo, kepala kelamnya menunduk sebagai tanda permisi, ia berjalan menuju tamu lain yang akan ia berikan teh.
"Daidouji Tomoyo, Ouji-sama Senju Nawaki telah memilihmu sebagai calon pendampingnya."
Langkah Tomoyo terhenti saat suara Danzo menggema di ruangan itu, bukan tentang suara lantang Danzo. Mendengar suara lantang seorang pejabat istana buka suara, sudah menjadi hal biasa untuknya. Tapi kali ini namanya disebut, ia hanya seorang gadis miskin yang dijual di Okiya dan dibeli Naruto yang kala itu masih menjadi Jenderal, untuk melayani Hinata, Tomoyo tak terbiasa, bila namanya disebut dalam forum besar seperti ini.
"Dan hari ini kau berada di forum ini hanya untuk menuangkan teh, apa Kogo-sama sedang merendahkan calon permaisuri masa depan? Apa anda takut kehilangan posisi anda sekarang, hingga merendahkan gadis pilihan putera mahkota, dengan menjadikannya pelayan di acara seperti ini?" Bibir keriput Danzo kembali mengukir senyum kelicikan, ia tahu mental Hinata begitu lemah bila disudutkan, ia bisa melihat bahwa tubuh mungil Hinata bergetar walau hanya sedikit kentara.
Bibir Hinata bergetar, ia harus memaksakan diri berbicara. Ia harus menunjukkan wibawanya sebagai Permaisuri, karena bila ia gentar, itu sama saja mencoreng harga diri Naruto. "Tomoyo, sendiri yang ingin membantu disini hari ini, dia sedang tidak belajar, selama ini aku menempatkan dia di paviliun Reikeiden..."
"Paviliun Reikeiden? Anda menempatkan permaisuri masa depan di Reikeiden, bukankah pavilun Jijūden memiliki dua kamar?"
Hinata terdiam, memang di paviliun Jijūden terdapat dua kamar, tapi Tomoyo lebih memilih paviliun Reikeiden, dan dia mempersilahkan Hanabi yang merupakan adik kandung Hinata untuk tinggal di paviliun terbesar di istana itu.
"Kogo-sama? Anda memberikan kamar itu untuk adik kandung anda?" Tanya Danzo dengan nada licik. Ia benar-benar menyukai Hinata yang dalam posisi terjepit seperti ini.
"Gomenasai..." Tomoyo angkat bicara, tangannya yang memegang nampan bergetar bersamaan dengan bibirnya. Ia sesungguhnya tak berani angkat bicara, namun ia tak bisa diam saja saat Hinata yang telah ia anggap sebagai kakaknya sendiri diperlakukan seperti itu dihadapan banyak orang. "Sa... saya... sendiri lah..., yang meminta tinggal di Reikeiden agar lebih fokus untuk belajar......... Saya... Berada disini, ka... karena.... hari ini Anko Sensei datang ke acara ini dan.... saya.... ingin membantu, Kogo-sama karena saya..... saya... berhutang budi padanya...." Tomoyo dengan susah payah menyuarakan isi hatinya walau terbata.
"Kau dengar sendiri, Danzo-sama?" Sakura tak mau kalah angkat bicara. Ia sudah muak dengan perilaku Danzo yang sejak tadi memojokkan Hinata.
Danzo tersenyum miring, ia tak menghiraukan ekspresi sang menantu yang menunduk malu akibat kelakuannya. "Jadi anda sedang memanfaatkan budi jasa anda pada Tomoyo, agar dengan mudah menguasai Dairi? Kogo-sama satu hal yang perlu anda ingat, bahwa anda adalah permaisuri sementara di istana ini..."
Hinata menggeleng pelan, air mata mulai menumpuk pada pelupuknya dan siap membasahi pipi pualamnya.
"Danzo-sama!!!" Sakura tak tinggal diam, suara lantangnya menghardik menteri sepuh. "Anda yang harusnya tahu diri, bahwa Kogo-sama hanya mengundang menantu anda, apakah bermartabat seorang bangsawan seperti anda datang tampa diundang?"
"Sakura!!!" Hinata meninggikan nada bicaranya. "Tolong jangan memperkeruh suasana..." Lalu suara sang Lotus Ungu kembali merendah.
"Ingin berbicara soal martabat, tanyakan pada suamimu yang telah membawa pemberontak masuk dalam istana ini, lalu sekarang menjadi Jenderal.... Dan kau selalu saja bicara sejak tadi, apa kalian bertiga Hyuuga, Uchiha dan Haruno, berniat memonopoli pemerintahan kembali, hanya karena Tenno-sama terlalu mencintai wanita ini?" Telunjuk lancang Danzo menunjuk langsung ke wajah sendu Hinata.
"Siapa yang Anda panggil dengan 'wanita ini' Danzo-sama....?"
Suara yang menggema di teras itu seketika membuat suasana mengheningkan, pandangan para tamu dan sang permaisuri terfokus pada satu titik di pintu teras. Uzumaki Naruto, Kaisar mereka berdiri tegap disana sana, seolah tak ada siapapun yang dapat menggoyahkannya. Mata birunya yang biasanya meneduhkan, berganti warna dengan merah yang penuh akan emosi. Energi Kitsune Naruto tak sebesar dulu lagi, semenjak kitsune-bi dikeluarkan dari tubuhnya, tapi ia tetap manusia dengan setengah darah siluman rubah yang mengalir dalam tubuhnya.
Di belakangnya Shikamaru berdiri sambil menunduk, sekarang ia tahu alasannya kenapa Naruto bersikeras kembali Dairi di tengah hari dan meninggalkan tanggung jawabnya yang menggunung.
...
Krekkk
Kepala nanas Shikamaru menoleh cepat, bunyi retakan sesuatu yang dipatahkan dengan sengaja menggema di telinganya. Ia berada di ruangan yang tidak terlalu besar bersama Sang Kaisar, tentu suara semacam itu akan dengan mudah terdengar, hanya ada mereka berdua di sana. Tak ada orang lain Naruto satu-satunya orang yang berpotensi menghasilkan suara itu. Onix hitamnya sedikit menyipit saat menangkap tangan tan sewarna madu milik Naruto menggenggam kuat sebatang kuas di tangannya.
Naruto tanpa sengaja menggunakan mata batinnya untuk mengintai pergerakkan Hinata, ia meninggalkan Hinata pagi ini dalam keadaan emosi dan Hinata akan membuka pertemuan di Dairi hari ini. Rasa bersalah sekaligus kekhawatirannya semakin menjadi ia tak mendapati Danzo dalam aula utama Chodo-in saat rapat terbuka tadi pagi.
Namun apa yang ia dapati, ia melihat bagaimana sang istri terus mendapat cecaran dari orang yang merupakan rekan politik bibi tercintanya.
Brak
Naruto menggebrak meja rendah itu dan berdiri, diikuti dengan tatapan khawatir Shikamaru. "Ada apa?" Tanya perdana menteri itu datar, namun raut penasaran tergambar jelas di wajahnya yang seakan tak peduli itu.
"Ikut aku ke Dairi." Perintah Naruto seraya menyibakkan haori hitamnya.
...
Bagi Danzo, Naruto adalah tetap bocah kecil yang dibawa Mito ke istana dan dididik sebagai alat untuk menumbangkan Uchiha dan Hyuuga beserta para kroninya. Tatapan nyalang safir biru Naruto sama sekali tak berpengaruh baginya, Naruto yang seorang Jenderal ataupun seorang kaisar tak akan pernah membuat nyali Danzo surut. Pengaruh besar klannya yang mendukung Mito dalam menumbangkan Hyuuga dan Uchiha seolah menjadi jaminan baginya untuk berbuat semaunya di istana ini. Terlebih lagi Sai yang merupakan putera kandungnya yang merupakan saudara seperguruan Naruto, membuatnya seolah memiliki hak penuh untuk mengatur kehidupan Naruto.
Hanya Naruto, Uzumaki yang masih tersisa di tanah Heian ini, dan itu menimbulkan ketakutan tersendiri pada diri Danzo. Naruto tentu akan menunjuk koalisi untuk dirinya, dan dia tak rela bila harus Hyuuga dan Uchiha yang menjadi yang menjadi penopang Naruto, pengaruh dua klan itu akan terus ia pikirkan, dimulai dari Hinata.
"Kau tahu siapa yang kau sebut dengan Wanita ini, Danzo-sama..." Lembut, suara Naruto begitu lembut menekankan tiap katanya namun begitu menusuk.
Kembali, Danzo tersenyum tanpa rasa berdosa. "Dia adalah wanita yang Anda nikahi secara sah, dan mau tidak mau, secara otomatis dia menjadi permaisuri negeri ini."
"Baguslah bila anda masih mengingat hal itu.." Naruto melangkah ke arah Hinata yang duduk di depan barisan meja para tamu undangan, namun langkahnya terhenti.
"Tapi...." Suara Danzo menggema di ruangan itu. "Bukankah Ootsutsuki Kaguya juga merupakan istri pertama Mendiang Kaisar Hashirama, dan merupakan satu-satunya kandidat permaisuri, namun kebusukan hatinya yang berniat memanfaatkan mendiang Kaisar, membuatnya dengan terpaksa harus disingkirkan."
Telapak tangan Naruto mengepal, bunyi gertakan tulang jemarinya terdengar keras, sang kaisar muda itu tengah menahan emosinya. Hinata, ia satu-satunya orang yang mampu meredam emosi Naruto, wanita dengan perawakan lembut itu menghampiri sang suami, tangan lembutnya menyentuh lembut punggung tegap berlapis sutera hitam itu.
Namun, berbanding terbalik dengan harapan, kali ini sentuhan lembut tangan Hinata tak mampu meredam emosi sang kaisar. Seperti tadi pagi, saat Naruto meremas kuat sepasang lengan mungilnya, kali ini Naruto kembali menolak sentuhan lembutnya. Telapak tangan Hinata yang bertengger nyaman di bahu tegap itu ditepis kasar oleh Naruto. Danzo telah melukai harga diri Naruto, membandingkan ucapannya yang menyiratkan Hinata sama dengan Kaguya seolah kotoran yang dilempari ke wajahnya.
Mutiara lavender Hinata menangkap itu, tatapan itu, tatapan membunuh Naruto, tangannya yang bergetar menahan emosi, Hinata tahu itu, suaminya bisa membunuh siapapun saat ini juga.
Bruk
Hinata berlutut dihadapan Danzo, ia tak ingin pertumpahan darah kembali terulang, dan sebelum hal itu terjadi, Hinata harus dapat menggagalkannya. "Danzo-sama.... dengan kerendahan hati.... Saya mohon tolong tinggalkan tempat ini....."
Senyum penuh kemenangan terukir di bibir Danzo, ia memang, Hinata berlutut di hadapannya, ia masih memiliki pengaruh penting di istana, hingga seorang permaisuri harus memohon padanya. Sementara Naruto, pria itu kian meredam emosinya.
Setelah Danzo pergi dari teras itu bersama dengan menantunya, para tamu di teras itu perlahan meninggalkan Naruto dan Hinata berdua saja disana.
Sang kaisar masih berdiri di tempat sebelumnya. Kepalanya tertunduk dengan tangannya yang mengepalkan tinju kuat. Tak ada suara apapun yang terdengar disana selain suara kicauan burung.
"Naruto-kun...." Suara Hinata bergumam pelan, namun Naruto sama sekali tak menggubris. Ia mengangkat kepala kuningnya. Ruby merah di pandangan Naruto kini kembali menjadi safir, namun tak sehangat pandangan biasanya. Safir biru Naruto memancarkan kegelapan.
"Bahkan berlutut di hadapanku sekalipun, kau tak ku izinkan." Langkah Naruto kian mendekat pada Hinata, namun pandangannya yang benar-benar menusuk, membuat Hinata mundur satu langkah ketika Naruto mendekat padanya. Tangan Naruto dengan perlahan mulai membelai lehernya, namun tak seperti biasanya, kali ini belaian Naruto begitu menakutkan baginya.
"Naruto-kun, aku-, akkkhhhhhhh..." Belum selesai Hinata melanjutkan kalimatnya, tangan besar yang tadinya membelai lehernya, kini dengan tega mencekik batang lehernya. Naruto diliputi kemarahan yang teramat sangat, harga dirinya hancur saat Hinata berlutut pada orang lain dihadapannya. Hinata menghalanginya memberikan ganjaran pada Danzo, dan kini Hinata lah yang menjadi pelampiasan kemarahan Naruto atas Danzo.
"Hati-hati... Mempergunakan tenggorokanmu untuk mengeluarkan suara, Hime...." Bisikan Naruto masih begitu tajam, tangannya pun seolah enggan terlepas dari batang leher ibu satu anak itu.
Safir dan mutiara itu beradu, safir biru yang dipenuhi kegelapan itu menangkap tatapan mengiba dari sang mutiara lavender. Air mata mengalir dari kelopak mata putih yang setiap pagi ia kecupi itu.
Raut wajah cantik Hinata menggambarkan sejuta ketakutan, akankah nyawanya akan berakhir di tangan sang suami yang begitu ia cintai? Akankah karena kelancangan sikapnya, Naruto sang pembantai akan kembali lagi, cekikan itu kian mengencang, Hinata hampir kehabisan nafas. Akankah Bayi kecilnya tak akan pernah mengenal sosok ibunya.
つづく
Tsudzuku
Selamat kepada pemenang give away chapter sebelumnya : Han_Leo06 harap pm no hpnya ya......
Ditunggu vote dan comment yang paling berkesan ya (akan ada hadiah pulsa lagi)
Oh ya boleh sedikit tanya, kalian lebih suka fox n flower yang versi ini atau sebelumnya yang belum di remake, di tunggu jawabannya ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top