125. Permaisuri Hati -2-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

Kicau burung-burung nan merdu tak juga ia hiraukan, sang fajar yang menyingsing dari ufuk timur pun tak mampu membuatnya untuk membuka kelopak mata yang warnanya bagai madu itu. Hingga sebuah tepukan di rahang tegasnya, mampu membuat pria dengan setengah darah Kitsune ini menampakkan safirnya yang sebiru samudera itu. "Kau nakal...." Suara paraunya bergema, pertanda ia baru saja terjaga dari tidurnya.

"Naruto-kun tidur seperti sapi...., mou!!!" Hinata melengking keras saat hidung mungil mancungnya dicubit gemas oleh sang suami. Hinata sepagi itu sudah bangun, ia telah mandi walau masih mengenakan nagajuban putihnya lengkap dengan surai yang tergerai.

"Baru dua hari ku tinggal tidur sendiri, kau sudah berani memanggilku sapi..." Rajuk Naruto seraya mendudukkan dirinya, berhadapan dengan Hinata yang duduk di tepian ranjang.

"Minum dulu..." Hinata menyodorkan cawan kecil yang baru saja ia raih dari meja kecil di samping ranjang mereka.

"Apa ini?" Naruto mendelik curiga saat bibir cawan itu hampir bertemu dengan bibirnya.

"Teh jahe...." Jawab Hinata polos, sepasang mutiara lavendernya mengerjap pelan menanggapi pertanyaan sang suami. "Naruto-kun butuh stamina lebih..."

"Aku hanya tidur sambil memelukmu erat semalam... Mana mungkin aku kehilangan banyak tenaga..." Ucap Naruto dengan seringai tanpa dosanya.

"Cepat minum tehnya... Kita harus segera bersiap menuju Buraku-in... Hinata mengalihkan pembicaraan dengan tetap menyodorkan cawan teh itu pada sang suami.

"Aku tidak butuh ini, Hime..." Tangannya mengambil alih cawan itu lalu meletakkannya di meja di sisi ranjang. "Yang aku butuhkan ini..." Telunjuk Naruto tertempel di bibirnya.

Pandangan Hinata tertunduk bersamaan dengan kepalanya, namun dengan sigap Naruto meraih dagu lancip Hinata, lalu mendekatkan wajah cantik sang istri dengan wajahnya. Kian dekat dan dekat hingga bibir mereka hampir saling beradu lalu saling mengecup lembut.

"Oek... Oek...oek..."

Kecupan pagi itu berakhir tiba-tiba, bayi kecil yang tertidur pulas dalam ayunan rotan di sisi ranjang menangis kencang. Bayi itu sadar jika ayah dan ibunya sudah terjaga, dia menginginkan sebuah pelukan.

"Ssstttt.... Anak tampan, Kaa-chan datang..." Hinata berdiri mendekatkan dirinya pada ayunan bayi itu, membawa buah hatinya dalam gendongannya, lalu kembali duduk di tepian ranjang di sisi sang suami.

Safir biru Naruto begitu lekat menikmati pemandangan indah di hadapannya, Hinata yang menimang salinannya sambil bersenandung riang. Melihat Hinata tersenyum bersama bayi mereka adalah hal yang paling membahagiakan bagi Naruto.

Hinata berhenti menimang bayinya ketika bayi itu sudah lebih tenang, kini mutiara lavendernya terhenti pada satu fokus, Naruto yang memandang Boruto dan dirinya tanpa berkedip. "Naruto-kun ingin menggendongnya...."

"Eh..." Naruto sadar dari pikirannya yang terhanyut saat memandangi sang istri, tepat ketika istrinya mendengungkan namanya.

"Naruto-kun ingin menggendong Boruto kita?" Hinata mendekatkan tubuhnya ke arah Naruto, agar ketika memindahkan gendongan bayinya tak merasakan guncangan berarti.

"Apa boleh....?" Naruto masih ragu mengulurkan tangannya untuk menerima buah hatinya dari gendongan Hinata.

"Tentu saja boleh.... Kau adalah ayahnya..." Hinata menyodorkan tangannya yang menggendong Hinata.

Tangan Naruto terulur dengan bergetar, saat Hinata meletakkan bayi kecil itu pada uluran tangannya. Dengan sangat lembut ia rengkuh bayi kecil itu, seolah ia begitu takut jika mahluk mungil itu akan hancur dalam rengkuhannya, sangat lembut.... Seolah bayi itu adalah gelas kaca yang amat rapuh.

Hinata yang menyadari bahwa sang suami masih terlalu kaku dalam menggendong bayi dengan sigap menahan tangan Naruto yang merengkuh buah hati mereka.

"Dia menatapku...." Naruto memandang takjub cetak salinan dirinya dalam buaiannya, safir biru salinannya menatap tanpa kedip pada safirnya.

"Dia belum mengenalmu...." Hinata terkikik kecil sambil menjauhkan tangannya dari lengan bawah Naruto, setelah memastikan gendongan pria itu stabil. "Coba timang dia... Mungkin dia akan merasa senang...."

"Timang?" Beo Naruto.

"Goyangkan tangan Naruto-kun seperti ini..." Hinata memperagakan cara menimang bayi, dan langsung diikuti oleh Naruto walau masih terkesan kaku.

"Seperti ini..." Naruto menimang pelan cetak versi mini dirinya itu dengan sangat pelan, sesekali ia menatap Hinata memastikan bahwa yang ia lakukan benar.

Hinata beringsut duduk di sisi Naruto, ia sandarkan pipinya pada bahu tegap itu.

"Hime!"

Baru sebentar ia bersandar pada bahu sang suami, tiba-tiba suara suaminya itu membuatnya kembali duduk tegak.

"Kau lihat dia membuka matanya dan, oh.... Dia tersenyum, dia tersenyum padaku...." Seketika Naruto berteriak histeris. "Hei.... Nak kau tahu siapa aku? Aku Tou-chanmu.... katakan Tou-chan..." Pria itu menikmati senyuman sang putera yang mampu membuat hatinya menghangat.

Seluruh beban dan penat akan dinasti ini yang ia rasakan seketika berkurang saat melihat wajah lucu sang putera yang juga dihiasi guratan kumis rubah miliknya, bercengkrama dengan bayi berusia satu minggu menjadi terapi tersendiri bagi Naruto, ia menemukan kembali alasannya untuk tersenyum selain Hinata. 'Tou-chan, Kaa-chan, Baa-chan, Jii-chan, Hashirama Ji-san, Mito-Ba-san. Apa kalian lihat dari sana... Aku punya keluarga kembali....'

Senyum Hinata mengembang melihat interaksi dua lelaki tersayangnya itu, ia benar-benar bahagia hari ini. Setelah kejadian menegangkan yang terjadi semalam, melihat Naruto dan Boruto bercengkrama begitu hangat membuatnya mampu untuk melupakan, penolakan dirinya sebagai Permaisuri oleh para tetua.

'Naruto-kun aku hanya ingin seperti ini selamanya bersama mu....'

...

"Kenapa belum bersiap?"

Hinata mendongak, menjeda sebentar aktivitasnya dengan kerah haori hitam milik Hashirama yang kini tengah dipakai oleh suaminya. Bibir mungil merah mudanya tersenyum tipis. "Bagaimana bisa aku dengan segera bersiap bila ada dua bayi yang harus ku urus.....?"

"Kau menganggap ku bayi, Hime...?" Naruto memicingkan satu mata birunya.

"Kau tidak mau orang lain menyentuh tubuhmu selain aku hmmm?" Hinata balik bertanya seraya memicingkan satu matanya mengikuti gaya Naruto.

"Khe...," Naruto terkekeh gemas sambil mengusak surai Hinata yang masih tergerai dan basah seusai mandi bersama suaminya. "Kau pandai bicara sekarang, Kogo-sama..."

Hinata tertegun, jemarinya berhenti beraktivas saat sang suami memanggilnya dengan sebutan yang terasa asing. "Naruto-kun..." Ujarnya lirih seraya menunduk, menatap dada bidang sang suami yang tertutup montsuki merah. "Aku takut...."

Nyuttt

Hinata mendongak saat tangan Naruto meremas sepasang lengannya. "Jangan pernah pedulikan mereka!" Naruto tahu kemana arah pembicaraan ini, penolakan para tetua atas Hinata, hal itulah yang tengah mengusik hati istri tercintanya.

"Naruto-kun atau lebih baik aku..."

Cup

Kecupan bibir merah kecokelatan Naruto berhasil membungkam mulut Hinata, para dayang di sekitar mereka yang menyaksikan adegan itu hanya bisa menunduk sambil tersipu malu. "Jangan pernah berkata kau menyerah untuk selalu berdiri di sampingku..." Tangan tan Naruto mengelus bibir mungil yang baru dikecupnya.

Hinata mengangguk tak berdaya, ucapan Naruto menjadi titah bagi dirinya.

"Kau adalah milikku, bahkan kau tak boleh mati tanpa seizin ku. Cam kan itu!" Bisik Naruto seduktif, dan berhasil membuat Hinata tertegun, Naruto bukan hanya mencintainya dengan sangat, pria itu terobsesi padanya. "Sekarang berdandan lah yang cantik, semua mata akan tertuju padamu...."

...

"Selesai..." Tomoyo memandang wajah yang baru saja ia dandani, "aku selalu bahagia saat mendandanimu, Hinata-sama... Kau memiliki wajah bak Dewi... Tak sulit bagiku untuk mendandani mu..."

Tomoyo membantu Hinata berdiri, dan menggiringnya ke cermin yang lebih besar untuk memperhatikan hasil pekerjaannya. Hari ini Tomoyo diliburkan dari kegiatan belajarnya, ia sengaja datang ke Dairi untuk mendandani Hinata yang akan dilantik menjadi permaisuri.

Hinata tertegun melihat pantulan dirinya di cermin, uchikake merah dengan bordiran emas milik Mito membalut tubuh indahnya. Rasanya ada yang aneh, pakaian ini terlalu berlebihan menurutnya, Hinata merasa yang ada di pantulan cermin itu bukan dirinya. Tusuk konde dan kanzashi emas serta selendang tipis berwarna merah yang menghias kepalanya sungguh kontras dengan surai gelapnya.

Pakaian ini adalah citra Uzumaki Mito, bukan Hyuuga Hinata, ia merasakan dipaksakan menjadi Mito. Warna merah uchikake ini berpadu begitu indah dengan surai merah Mito, mata tanzanite Mito begitu berbinar dengan perhiasan emas ini, berbanding terbalik dengan mata lavendernya yang sendu.

Kogo-sama, apa aku pantas memakai semua ini, aku merasa semua ini bukan diriku...? Hinata memejamkan matanya, mencoba mengendalikan penolakan dalam batinnya. Hati kecilnya menolak untuk menerima takhta ini, menerima takdirnya sebagai wanita nomor satu di dinasti besar ini.


"Tomoyo, apa aku harus memakai pakaian ini?" Hinata menoleh ke arah gadis berusia lima belas tahun yang berdiri di sisinya.

"Anda sangat cantik..." Jawab Tomoyo jujur, namun bukan jawaban ini yang Hinata ingin dengar, ia merasa benar-benar tidak pantas dengan pakaian ini. Pakaian ini tidak dibuat untuk dirinya.

"Ini bukan diriku, Tomoyo..." Tambah Hinata dengan nada sendu.

Tomoyo tersenyum tipis, ia tahu Hinata tak nyaman dengan pakaian kebesaran permaisuri ini. Pakaian ini benar-benar menggambarkan Uzumaki Mito, bukan Hyuuga Hinata. Tomoyo sudah sering mendandani dan menata pakaian yang akan dikenakan oleh Hinata, ia tahu betul, tatanan rambut dan pakaian ini bukanlah Hinata. "Ini adalah pakaian temurun Permaisuri, seluruh permaisuri dinasti ini akan memakai pakaian dan perhiasan ini saat dinobatkan..." Tomoyo tahu, Hinata jauh lebih mengenal sejarah dan tradisi istana, dibandingkan dirinya yang hanya rakyat jelata. Namun ia mengucapkan itu hanya untuk membesarkan hati Hinata.

"Apa sudah selesai?"

Hinata dan Tomoyo  secara serentak menoleh ke arah tirai pembatas ruang hiasnya, Naruto berdiri disana sedang menyingkap tirai itu. Mutiara lavender Hinata menatap takjub penampilan Naruto hari ini, ia memang yang mempersiapkan Naruto hari ini, namun ia baru sadar suaminya begitu berbeda hari ini.

Surai pendek Naruto yang biasanya mencuat kesehatan arah, hari ini tersisir kelimis kebelakang. Naruto, suaminya benar-benar memancarkan aura seorang kaisar yang begitu kuat. Pria itu benar-benar gagah dengan haori hitam bersulam naga emas itu. Apa aku pantas mendampingi Naruto-kun...? Tanya Hinata dalam hati.


"Apa yang kau tunggu, hmmm...?"

Hinata tersadar dari pikirannya sendiri, ia bahkan tak menyadari jika sang suami kini berdiri di hadapannya jika pipi hembulnya tidak ditepuk pelan dan suara Naruto yang menembus ke indera pendengarannya. Ia tersenyum lembut menatap wajah tegas sang suami, lalu menatap sedikit kebawah, Naruto mengulurkan tangan kepadanya.

"Mari kita melewati ini bersama...."

Hinata menghela nafasnya lembut, tangannya menyambut uluran tangan  Naruto, mereka berjalan beriringan keluar dari Dairi, menuju kereta yang akan mengantarkan mereka ke istana resepsi, Buraku-in.

...

Hinata menatap tajam kereta kencana yang berada dihadapannya, ia akan masuk ke dalam kereta itu bersama dengan Naruto, mereka akan berkeliling Kyoto sebelum berhenti di istana Buraku-in untuk melangsungkan prosesi penobatan. Sebelum menapakkan kakinya di kereta, ia menoleh sekilas wajah tenang Naruto yang berdiri di sampingnya, pria itu balas menoleh dan melemparkan senyum padanya, senyuman yang begitu hangat dan menenangkan. Jauh berbeda dengan senyuman Naruto semalam, senyuman menakutkan ketika mempertahankan posisi Hinata dari tentangan para tetuah.

...

"Jika aku tak mau kalian mau apa?" Bibir Naruto tersenyum miring, menakutkan, seolah ia mampu melenyapkan siapapun yang menghalangi kehendaknya.

Sasuke yang berdiri disisi Naruto hanya tersenyum simpul penuh makna. Ia tahu, Naruto tak bisa dikendalikan oleh siapapun, dia tidak punya kepentingan klan dalam posisinya ini. Ia bebas bertindak apapun, apalagi dengan posisinya sekarang sebagai kaisar dinasti ini.

"Teruslah membenturkan kepala kalian, Hinata akan tetap menjadi permaisuri dinasti ini." Naruto tersenyum simpul tanpa dosa ia sama sekali tidak peduli dengan nyawa para tetuah itu, mereka menyakiti diri mereka sendiri, lalu apa peduli Naruto dengan nyawa mereka.

"Mendokusai!!!" Shikamaru berniat maju, menghentikan tingkah sang ayah yang membuatnya malu.

"Tahan!" Sasuke merentangkan tangan di hadapan Shikamaru agar perdana menteri baru itu dapat menjaga sikap. "Kau orang cerdas, jangan bertindak gegabah."

SAAATT

"Akhhhhh...." Para wanita yang hadir di lapangan itu berteriak ketakutan saat Naruto menarik katana dari sarungnya.

Kaisar baru itu menghunuskan katana api miliknya pada leher Danzo, dan berhasil membuat menteri sepuh itu berkeringat dingin karena ketakutan. "Kalian ingin mati, bukan? Aku akan mempermudahnya." Naruto memiringkan kepalanya dengan senyuman bagai iblis yang selama ini disimpannya.

"Naruto-kun...." Wajah Hinata sudah pucat pasi, air mata beranak pinak di pipi persiknya. Ia takut jika pertumpahan darah kembali terjadi karena dirinya. Ia menentang tangan sang suami yang tidak memegang katana, berharap dengan mengiba Naruto akan mengurungkan niatnya untuk membantai kembali.

Tak tinggal diam kali ini Shikamaru, Sai, Ino, Temari dan Gaara bersiap untuk melakukan perlawanan, tapi Sasuke selaku Jenderal militer Dinasti ini mengambil sikap. Ia memberi isyarat pada samurainya untuk menahan pergerakkan dari anak para tetuah itu.

"Naruto kendalikan dirimu!!!" Tanpa segan memanggil nama sang kaisar, Sasuke maju mendekat pada Naruto.

"Kita sudah sama-sama tidak memilki anggota klan, Teme, selain keluarga kecil kita, ku rasa kau tahu apa yang sedang ku lakukan ini." Naruto menoleh pada Sasuke dengan tatapan yang sama, tatapan yang sama ketika ia hendak membantai klan Uchiha.

Sasuke tersenyum sinis, "lalu kau ingin menghancurkan klan mana lagi?"

Genggaman tangan Hinata pada tangan Naruto yang tak memegang katana kian mengerat, "Naruto-kun ku mohon, jangan ada pertumpahan darah lagi...."

Naruto menoleh ke arah Hinata, menatap wajah wanita yang dengan senang hati menemaninya, bahkan dalam keadaan hina sekali. Tangannya yang memegang katana bergetar, hampir saja katana itu terlepas dari genggamannya, namun kali ini egonya memang, Hinata adalah harga diri Naruto, siapapun yang menginjak harga diri Hinata sama saja dengan menginjak harga dirinya.

Naruto menepis kasar tangan Hinata yang memegang tangannya. "Berhenti menangis, Hinata!" Bisiknya menusuk, "kau tak mengerti apapun!"

Tangan Hinata saling meremas, rasa takut itu kembali menyelimuti dirinya, ia tundukkan pandangannya dari safir biru Naruto yang memanas.

"Dengar!" Teriakan Naruto kembali menggema, pria itu mengurungkan niatnya untuk menebas leher para tetuah pembangkang itu, katana apinya terhunus ke udara. "Siapapun yang menentang semua keputusanku, termasuk menentang Hinata! Maka pembantaian di tanah Heian akan kembali terulang!"

Langit seketika bergemuruh bersamaan dengan titah Naruto, nyali para tetuah pembangkang itu seketika menciut, saat Naruto mengucap titahnya.

"Uzumaki Naruto no Tenno, Idai... idai... Idai... Idai-sa...." Uchiha Sasuke adalah orang pertama yang menjadi berpihak pada keputusan Naruto.

Disusul oleh Shikamaru yang merupakan perdana menteri, baru. Ia terlalu cerdas untuk memahami semua alasan tak masuk akal disuarakan para tetuah walau sang ayah berada dalam golongan itu. Lalu Temari, Gaara , Sai, dan Ino.

Para tetuah itu kian terpojok, bahkan anak dan menantu yang mereka harapkan untuk mendukung mereka kini, berada di pihak orang yang mereka tentang.

"Uzumaki Naruto no Tenno Idai... Idai... Idai... Idai-sa..." Para menteri sepuh itu akhirnya memberikan dukungan untuk titah Naruto, untuk sementara tak ada pilihan lain. Mereka harus menjadi pendukung Naruto, jika mereka tidak mau keluarga mereka terbantai, ah tidak mereka sendiri yang telah tua itu lah yang akan dibantai, mengingat keluarga mereka berada di pihak yang berseberangan dengan mereka.

Gerimis pembuka musim semi mengguyur Kyoto, pun dengan lapangan Buraku-in yang dipenuhi oleh para petinggi dinasti ini. Usai pertikaian hebat yang hampir menumpahkan darah itu, para hadirin yang berada di lapangan itu kocar-kacir mencari tempat berteduh. Acara gladi resik malam itu tanpa aba-aba dibubarkan begitu saja.

Naruto tersenyum lega, ia tak perlu membunuh siapa pun malam ini untuk mempertahankan harga dirinya, mempertahankan Hinatanya. Ia tolehkan kepalanya kesisi kanannya, tak ada siapapun, kemana Hinata yang sejak tadi berada di sisinya.

...

"Hinata!!!!" Ia terus berlari di sepanjang lorong yang menghubungkan antara satu paviliun dengan paviliun lain di istana Dairi, ia mengabaikan suara pria yang berlari mengejarnya. Tak ada arah dan tujuan, Hinata terus berlari menghindari suaminya. Ia lupa bahwa Naruto memiliki stamina berkali lipat dari tubuhnya.

GREB

Lari Hinata tercekal, sepasang tangan besar merengkuh semua tubuh mungilnya dari belakang, Hinata mengabaikan tubuhnya yang menggigil akibat guyuran hujan. Ia hanya ingin menjauh dari Naruto, dari Naruto yang berniat kembali membantai klan dinasti ini. Otaknya masih merekam dengan jelas bagaimana Naruto membantai klannya, ia berusaha melupakan semua itu, mencintai Naruto dengan tulus dan sepenuh hati, semua itu karena sikap lembut dan Naruto yang begitu mencintainya, karena ia mengetahui seperti apa penderitaan Naruto ketika keluarganya juga dibantai.

Namun, saat Naruto kembali mengeluarkan kata 'bantai' rasa trauma itu kembali menghantui Hinata, ia seolah melihat Naruto yang dengan keji menghabisi semua anggota klannya.

"Lepaskan...." Suara bergetar Hinata tak membuat pelukan itu melonggar, Naruto kian erat memeluknya dari belakang.

"Maaf..." Naruto sadar kesalahannya, ia tahu apa yang ia ucapkan di depan banyak orang tadi, membuka luka lama Hinata.

"Kau pembantai...." Suara Hinata kembali bergetar lirih, membuat Naruto malah menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Hinata. Ia menggeleng pelan disana, seperti anak kecil yang merasa bersalah telah membentak ibunya.

"Gomenasai..." Kembali suara Naruto terdengar lirih, kemana perginya Naruto dengan katananya yang terhunus ke udara dan dengan lantang menyuarakan pembantaian. Pria itu memeluknya erat dari belakang, menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher kecil Hinata. Ia begitu bergantung pada wanita ini, wanita yang selalu berada di sampingnya.

Hinata dapat merasakan, air hujan dingin yang membasahi uchikake putihnya kini berganti hangat, hangat air mata seorang pria liar pembantai yang menangis hanya padanya, seorang pria yang pernah memimpin tiga puluh ribu pasukan dinasti besar matahari terbit ini, namun hanya akan tersenyum ceria di hadapannya.

Pria yang mencintainya tanpa syarat, pria yang menghabisi seluruh keluarganya, namun pria inilah yang memberi keluarga baru padanya. Hinata takut larut dalam tangis Naruto, karena matanya sendiri pun sudah meneteskan air bening. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan tangan kekar Naruto yang melilit lembut namun kuat pada pinggang sintalnya.

"Lepaskan aku!!!" Hinata memukul-mukul lengan kekar Naruto, namun tak berarti apapun.

Sesuatu keajaiban terjadi Naruto akhirnya melepaskan pelukannya pada Hinata, Hinata mengambil kesempatan untuk berlari, namun tangannya ditarik, Naruto membawa Hinata dalam pelukannya, menyandarkan kepala basah Hinata pada dada bidangnya. Hinata salah, Naruto tak akan pernah memberi kesempatan untuk Hinata lepas dari jangakauannya.

"Hanya kau... Hanya kau dan Boruto yang aku miliki Hime... Kau adalah harga diriku, siapapun yang menginjak harga dirimu, sama saja dengan menginjak harga diriku.... Kau tahu apa yang bisa aku lakukan tanpa dirimu... Bukankah kau berjanji tidak akan meninggalkanku sekalipun aku mengusirmu...

Hinata mendongakkan kepalanya, menatap wajah Naruto yang menyendu, kemana perginya seringai pembantai itu, kemana perginya mata tajam menusuk yang menghujam tiap objek pandangannya, kemana perginya sang kaisar yang menghunuskan katananya di tengah pertemuan terbuka para petinggi istana, kemana perginya Naruto dengan naluri pembunuhnya.

"Kau akan membunuh siapapun yang menentangmu...?" Hinata mengeluarkan suara paraunya yang habis menangis.

Naruto menggeleng dan menghapus bulir-bulir air mata yang menetes dari mata ungu Hinata. "Siapapun yang menyakitimu dialah yang akan ku bunuh..."

Hinata tersenyum putus asa, ia mendorong pelan dada Naruto. "Kau bisa membunuhku dengan perlahan karena sikapmu itu, Naruto-kun..." Hinata berjalan mundur menjauhi Naruto.

"Tidak... Tidak... Jangan berkata seperti itu...." Naruto meracau ketakutan saat Hinata mengatakan hal itu, Naruto tak akan pernah bisa membunuh Hinata, wanita itu amat berharga baginya. Ia berlari dan kembali membawa Hinata dalam pelukannya. "Jangan pernah mengatakan hal itu lagi... Hime... Aku...." Naruto tergugu ia hampir terisak.

Hinata tak mampu melihat kedustaan dari mata Naruto, pria itu menyimpan banyak cinta untuknya kendati dengan cara yang salah. "Naruto-kun berjanjilah, kau tak akan pernah menumpahkan darah siapa pun lagi..."

...

Kompleks istana resepsi yang disebut dengan Buraku-in itu menapakkan kemegahannya. Bunga sakura yang bermekaran di tamannya seolah siap untuk menyambut kedatangan Kaisar dan Permaisuri di hari bersejarah itu.

Dua genderang besar di dua sudut lapangan Buraku-in telah siap di gaungkan untuk memberi pertanda pada seluruh negeri bahwa dinasti ini telah memiliki pemimpin baru, bahwa negeri ini akan membuka lembaran baru pasca serangan besar dan berbagai konspirasi yang menerpanya. Heian telah siap menyambut Kaisar terakhirnya.

...

Mutiara lavender Hinata menatap jauh pada bangunan besar yang dibangun di atas puluhan anak tangga yang menjulang ke langit. Buraku-in, istana resepsi ini telah menjadi saksi dari banyak peristiwa penting yang terjadi di negeri ini. Sudah puluhan kaisar dari Klan Senju yang menapaki anak-anak tangga itu menjemput takhta mereka, puluhan wanita yang mendampingi suami mereka dengan penuh kesetiaan meniti tiap anak tangga yang membawa takdir mereka menjadi wanita nomor satu di dinasti ini.

Di tempat ini pula, puluhan pesta pernikahan agung anggota keluarga kekaisaran dilangsungkan, Buraku-in bagi Hinata adalah saksi bisu sebagaimana perjalanan hidupnya. Di tempat ini ia melihat Naruto yang kala itu bersikap acuh padanya di hari pernikahan Mito sekaligus hari penobatan Hashirama sebagai kaisar. Di tempat ini pesta pernikahan megahnya dengan Naruto dilangsungkan, dan hari ini ia akan menjemput takdirnya sebagai wanita nomor satu di dinasti ini.

Takdir yang selama ini dipersiapkan Hyuuga Hiashi untuk dirinya, Hinata dibesarkan sebagai calon permaisuri demi kepentingan politik ayahnya. Dan hari ini ambisi Hyuuga Hiashi terwujud walau ia tak dapat melihat sang Puteri mengenakan uchikake merah kebesaran sang permaisuri.

Hinata mendongakkan kepalanya kelangit, ia tersenyum tipis. Otou-sama... Apa kau bahagia... Aku akan menjadi seperti yang kau inginkan... Permaisuri dinasti Heian.... Mito Oba-san... Aku tak akan pernah bisa menggantikan posisimu... Kau adalah ibu dari negeri ini, kau permaisuri tangguh yang rela mengorbankan nyawamu demi berakhirnya pertikaian. Kau adalah permaisuri, istri dan ibu yang menjaga seluruh rakyat dan keluargamu dari liciknya kehidupan politik. Mito Oba-san, apa aku pantas dipanggil Kogo-sama...?

...

"Hime..."

Hinata tersadar dari lamunan pandangnya, ia tatap sang suami yang tengah mengulurkan tangannya. Tersenyum tulus, ia terima uluran tangan Naruto, yang akan mengubah seluruh hidupnya. Mulai hari ini ia dan Naruto bukanlah pasangan suami istri biasa, bukan pula pasangan suami istri Shogun dan Hidenka dimana hanya sepak terjangnya suaminya dalam memimpin militer yang akan disorot.

Mulai saat ini setiap tindak tanduk dan keputusan mereka akan berkaitan dengan harkat hidup orang banyak. Mulai hari ini apa yang mereka lakukan akan menjadi buah bibir masyarakat, mulai hari ratusan ribu pasang mata rakyat Heian akan menyoroti mereka.

Mutiara lavender Hinata menatapi satu persatu orang yang berbaris rapi disisinya, menyaksikan dirinya bersama sang suami meniti tiap anak tangga menuju bangunan utama istana Dairi. Ia tersenyum melihat kehadiran Hanabi, adik satu-satunya itu memberi dukungan penuh atas keputusannya, di sisi lain ada Konohamaru yang datang dari Shinto Ryu, samurai muda itu akan kembali mendapat kehormatannya sebagai penjaga dinasti ini, setelah pelantikan Naruto, pemuda itu terlihat begitu mencintai adiknya hal yang membuat Hinata bisa bernafas sedikit lega.

Disisi Naruto, pria yang sebentar lagi akan mencapai posisi tertinggi di dinasti ini nampak begitu tenang dengan senyuman ala kadarnya. Safir birunya tak dapat berdusta kala ia melewati Kakashi yang berdiri berdampingan dengan istrinya Shizune, kebanggan yang tidak ia rasakan saat pelantikannya sebagai sebagai Shogun, hari ini dapat ia rasakan. Gurunya hadir, orang yang telah menempanya menjadi samurai tangguh di dinasti ini, hari ini sudi datang untuk menyaksikannya mencapai puncak takhta tertinggi di dinasti ini.

Safir biru Naruto lalu beralih pada Sasuke dan Sakura yang berdiri berdampingan, tak ada lagi dendam, Naruto mendapat takhta ini dengan cara yang benar. Ia dapat merasakan kehangatan kala onix Sasuke menatap hangat dirinya layaknya seorang saudara.

Kendati tak menginginkan posisi ini, Naruto dapat bernafas lega karena apa yang ia capai saat ini tak menzalimi banyak nyawa, seperti saat ia menduduki Kamakura Bakufu. Namun masih ada satu hal yang mengganjal hatinya, hubungan yang terjalin baik dengan klan Nara, Sabaku, Yamanaka dan Shimura, sempat tercoreng karena tingkah membangkang para tetua mereka.

Para tetua itu tak mungkin tinggal diam, mereka pasti memikirkan banyak hal demi memojokkan Hinata dari posisinya sebagai permaisuri, dan Naruto tak bisa segegabah seperti semalam. Shikamaru, Sai dan Gaara adalah orang kepercayaannya yang menempati posisi penting di dinasti ini, dan mereka memiliki hubungan darah dan pernikahan dengan para tetua pembangkang itu.

...

"Uzumaki Naruto idai... Idai... Idai.. idai-sa.... Uzumaki Hinata no Kogo, idai... Idai... Idai... Idai-sa...."

Seruan kejayaan itu terus berkumandang dari halaman istana Buraku-in, Naruto dan Hinata kini telah berhasil mencapai puncak istana itu, tangan mereka terus saling menggenggam erat, saling menyemangati dalam mencapai takdir baru yang akan mereka hadapi, takdir yang akan menentukan akhir dari kisah cinta mereka....

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top