124. Permaisuri Hati -1-
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
Angin lembut pembuka musim semi itu menerpa lembut kulit putihnya, diikuti dengan berdenyutnya kelopak mata selembut bunga lili itu. Hinata menampakkan mutiara lavender nan meneduhkan yang ia sembunyikan selama mengarungi alam mimpi. Bibir lembut berwarna merah muda miliknya tersenyum tipis, namun raut wajahnya tak tersirat kebahagiaan sebagaimana senyumnya, Hinata tersenyum miris.
Seperti yang terjadi beberapa hari belakangan ini sejak ia terlelap di atas ranjang kebesaran yang pernah ditiduri oleh Uzumaki Mito, selama itu pula ia terbangun tanpa melihat wajah suami tersayangnya Telapak tangan lembut itu menyentuh futton lembut di sampingnya, kosong. Ia paksakan tersenyum, ia tahu Naruto tak tidur bersamanya semalam, namun berpura-pura melupakan, seolah bahwa kejadian setelah melepas lampion lotus di tepian sungai Kamogawa itu adalah mimpi. Baginya yang merupakan kenyataan adalah hal-hal indah yang ia lewati bersama dengan Naruto semalaman.
Hinata lupa, bahwa dalam perjalanan yang terindah sekalipun kerikil kecil akan selalu menjadi rintangan. Kebahagiaan selalu memiliki celah untuk rasa sedih menyusup di antaranya.
Genggaman tangan yang sejak tadi saling bertautan erat seolah tak akan terpisahkan lagi itu, tiba-tiba terlepas.
Hinata menoleh kearah pria pirang berdiri di sisinya, kini mereka berdua berada di antara dua gerbang kompleks istana Dairi yang merupakan istana dalam, tempat tinggal Kaisar dan para keluarganya, dan Chodo-in yang merupakan istana pemerintahan, tempat dimana roda pemerintahan Dinasti Heian dikendalikan.
"Kau masuklah ke Dairi." Perintah Naruto lembut, satu telapak tangan lebarnya terangkat, dan membelai pipi tembam yang merona bagai buah persik.
Hinata mengangguk patuh seraya menumpukan tangannya di atas telapak tangan Naruto yang menempel pada pipinya. Ia tersenyum tipis memaklumi kesibukan pria yang telah ia jadikan pemimpin atas dirinya, baik dalam negerinya maupun dalam hatinya.
Tangan sewarna madu itu lebih dahulu terlepas dari pipi persik sang istri. Naruto menepuk pucuk kepala indigo Hinata sekilas, lalu berbalik ke arah gerbang istana Chodo-in.
"Naruto-kun..."
Langkah kaki Sang Kaisar yang kian menjauh kini terhenti, ia menoleh sekilas, lalu tersenyum pada permaisuri hatinya yang berjarak tak lebih satu meter darinya.
"Boruto kita.... Dia sudah tak serapuh saat baru dilahirkan.... Gendong lah dia jika Naruto-kun punya waktu...." Hinata mengigit pelan bibirnya takut jika ia salah bicara, sekaligus berharap sang suami mengurungkan niatnya menghabiskan malam dengan tanggung jawab barunya.
Tak sepatah katapun yang keluar dari bibir merah nan kecokelatan milik sang Kaisar, ia hanya tersenyum tipis seraya mengangguk pada Hinata, lalu berbalik melanjutkan perjalanannya menuju istana pemerintahan itu.
Hinata mengurungkan niatnya untuk melambaikan tangan pada sang suami, punggung tegap itu kian jauh dan hilang dibalik megahnya gerbang. Ia menghabiskan malam ini begitu indah bersama Naruto, namun satu harapannya tak terwujud, ia rindu, ia sangat rindu terlelap dalam dekapan pria tersayangnya.
'Maafkan Okaa-chan Boruto... Kaa-chan tak bisa membawa Otou-chan tidur bersama kita....'
...
Hinata memeluk lututnya pilu, ia tumpukan dagu lancip nan mungilnya pada puncak lututnya yang tertekuk, surai indigo kelamnya terjuntai menyamping hingga menutupi lengan sampai terhampar di futton sutera putih. Bersama dengan itu, air mata mulai membasahi pipi persiknya, Naruto-kun... Rindu....
Tok Tok Tok
"Masuk..." Hinata buru-buru menghapus jejak air mata yang beranak pihak di pipi mulusnya, ketika ia sadar ada orang lain yang dapat melihat piluannya.
Pintu besar itu terbuka, Hinata memasang senyum termanis yang ia paksakan kala sang adik masuk ke dalam kamarnya sambil menggendong buah hatinya. Tangan putihnya terbuka lebar, menerima buntalan selimut putih yang diserahkan oleh sang adik.
"Apa dia menangis semalam?" Tanya Hinata pada sang adik, namun pandangan mutiara ungu mudanya tak berpaling dari samudera biru milik salinan pria tercintanya.
"Tidak Nee-sama..." Jawab Hanabi seraya mendelik pada tubuh mungil yang dibalut dalam buntalan selimut itu.
"Terimakasih Hanabi..." Akhirnya Hinata menatap sang adik yang berdiri di hadapannya setelah puas memandang wajah meneduhkan sang putera.
Semenjak Tomoyo mengikuti pendidikkan tata Krama bangsawan istana bersama guru yang dipanggil oleh Hinata, membuatnya harus bergantian dengan Hanabi untuk merawat bayi pirang salinan Kaisar baru itu.
"Bukan masalah besar Nee-sama puteramu sangat penurut dan mudah ditenangkan, dia seperti Neji-nii, kurasa. Ngomong-ngomong..." Hanabi menjeda ucapannya, kepala cokelatnya menoleh ke kanan dan ke kiri, "dimana Tenno-sama...?" Tanya Hanabi seraya mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan orang yang sedang ia cari.
Hinata mendesahkan nafasnya pelan seraya meletakkan si bayi di ayunan kayu di samping ranjangnya.
"Dia tidak pulang, lagi?" Tebak Hanabi ketika mendapati wajah murung sang kakak.
Hinata menggeleng pelan, mempertegas tebakan Hanabi. "Besok adalah hari penobatan, malam ini akan diadakan gladi resik." Tambahnya singkat.
"Bagaimana dengan dirimu?" Hanabi duduk di tepian ranjang, tepat di samping sang kakak. Ia genggam tangan putih pucat milik Hinata yang berada di pangkuan. "Kau sudah membuat keputusanmu?"
Hinata kembali mendesah nafasnya pelan. "Apa aku punya pilihan lain...?"
...
Sepasang onix itu memperhatikan gerak-gerik wanita yang duduk di hadapannya. Ia memicingkan matanya tak suka ketika wanita yang tak lain adalah istrinya sendiri itu tengah menggunakan sumpit hanya untuk mengaduk-aduk nasi tak jelas. "Makan dengan benar, Sakura." Ia tak kuasa lagi untuk diam dan tak menegur istrinya itu.
"Apa aku boleh mengunjungi Hinata, di Dairi Sasuke-kun..." Sakura akhirnya buka suara.
"Duduk diamlah di rumah, besok kita harus menghadiri penobatan Naruto, pulihkan dirimu, kau baru saja melahirkan." Jawab Sasuke tenang, lalu melanjutkan santapannya.
"Apa Hinata bersedia menjadi permaisuri?" Sakura masih enggan makan, ia kembali bertanya pada sang suami.
"Aku tidak tahu pastinya." Sasuke kembali menjawab datar. "Kau lihat saja besok. Makanlah, kau sedang menyusui, jika kau makan sedikit, Sarada bisa kelaparan."
Sakura mengambil nasi menggunakan sumpit dengan malas, menyuapkannya ke mulut lalu mengunyahnya singkat. "Sasuke-kun..., Tentang penyakit Hinata... Apa kau tak bisa memberi tahu pada Naruto, maksudku, Tenno-sama?"
Sasuke meletakkan sumpitnya di meja, ia menghela nafasnya, lalu menenggak sepoci teh. "Jangan pernah ikut campur dalam masalah antara mereka berdua, Sakura. Kita tidak ada sangkut pautnya dalam masalah ini." Sasuke kehilangan selera makannya, ia beranjak dari meja makan, dan pergi menuju istana Chodo-in.
Emerald hijau Sakura mengikuti punggung tegap Sasuke yang menghilang di balik pintu geser, ia tersenyum miris. "Kau memiliki hubungan dengan semua ini, Sasuke-kun... Karena kau bekerja sama dengan mereka, kau memberikan mereka kemampuan dan fasilitas sehingga mereka dengan leluasa menculik dan menyiksa Hinata, hingga dia menderita penyakit mengerikan itu."
...
Safir birunya mengitari langit Heian yang telah menjingga, sang senja tengah menyapa, perlahan tapi pasti mentari bergerak ke barat, memberikan kesempatan pada sang malam untuk merajai langit negeri matahari terbit ini. Naruto masih berdiri tegap di depan gerbang istana Buraku-in, istana resepsi yang digunakan dinasti Heian untuk melakukan berbagai prosesi, salah satunya prosesi terpenting, pelantikan seorang kaisar.
Para petinggi dan tetua negeri matahari terbit itu, kini tengah melakukan gladi resik pelantikan pemimpin tertinggi dinasti mereka. Puluhan pasang mata tertuju pada satu titik, pria dengan haori biru gelap bersulam naga emas itu, kini menjadi pusat tatapan puluhan pasang mata itu, mereka para tetua dan petinggi Heian tengah menunggu sang kaisar bersedia berjalan menuju altar di pintu masuk gedung Buraku-in untuk berlatih sumpah pada dinasti ini yang telah ia hafalkan diluar kepala.
Naruto enggan beranjak safir birunya masih tertuju pada bagian luar gerbang, ia tengah menanti seseorang masuk ke dalam kompleks istana resepsi ini. 'Hime, aku masih disini untuk menunggumu...'
...
"Naruto..." Kepala kuning kaisar terpilih itu tertoleh, tangan lebar sang Jenderal Samurai menepuk pelan bahunya. "Matahari sudah tenggelam."
"Hinata akan datang... Dia tak pernah mengingkari janjinya... Dia akan mendampingiku memimpin dinasti ini..." Sorot mata biru Naruto masih tertuju pada pintu gerbang.
"Dia tak bersedia Naruto..., dengan atau tanpa dirinya kau harus tetap memimpin dinasti ini..." Sai berdiri di samping Naruto, menambahkan.
Kepala kuning Naruto tertunduk, ia tersenyum miris menatap lantai semen yang ia pijak. 'Selembut apapun dirimu, Hime, darah Hyuuga mengalir deras dalam tubuhmu.., kenapa begitu sulit bagimu untuk menuruti ku kali ini...'
Langkah demi langkah kaki berlapis sepatu besi itu menapak menuju bagian tengah lapangan, Naruto berjalan kian dekat dengan takdirnya, sebagai Kaisar penutup dinasti Heian, sendiri tanpa sang Lotus Ungu yang telah berjanji akan selalu berada di sampingnya.
"Anata..."
Langkah kaki berlapis sepatu besi itu terhenti, alunan suara lembut mengalun di telinganya. Kepala kuning Naruto menoleh, safir birunya memancarkan berjuta cahaya, senyum terukir di bibir merah nan kecokelatannya.
Keyakinannya terwujud, orang yang ia harapkan untuk mendampinginya berbagi beban atas dinasti ini, Hinata berdiri di hadapannya. Wanita itu memancarkan aura permaisuri yang begitu kuat, uchikake sutera putih berlapis selimut satin merah membalut tubuh sintalnya. Dengan sebagian surainya yang digelung dan dihiasi kanzashi mawar merah, Hinata berjalan perlahan menghampiri sang kaisar, Kaisar yang bertakhta di hatinya.
Sang kaisar membalik langkahnya, berjalan perlahan menghampiri belahan jiwanya, tangan lebarnya terulur menawarkan sebuah genggaman hangat pada tangan putih dihadapannya.
"Terimakasih, Hime... Sudah menepati janjimu...." Bisik Naruto lembut, ketika ia sudah berada di sisi sang lotus ungu.
Hinata tersenyum lembut, sambil berjalan mengiringi langkah sang suami. "Bukankah aku pernah berjanji, aku akan selalu berada di sisi Naruto-kun sekalipun Naruto-kun mengusirku..."
...
Puluhan pasang mata di lapangan istana Buraku-in menatap pasangan calon Kaisar dan Permaisuri ini dengan tatapan yang beragam. Sasuke, Sai, Shikamaru, bersama dengan para Samurai yang pernah mengemban pendidikan di Shinto Ryu tak kuasa menahan senyum bahkan tangis haru mereka.
Keberadaan Hinata di lapangan Buraku-in sudah cukup untuk menjawab pertanyaan mereka, tentang siapa yang akan duduk di samping takhta Naruto. Hyuuga Hinata, adalah wanita yang dibesarkan sebagai seorang calon permaisuri, sang ayah menjadikannya pion untuk mencapai posisi Perdana Menteri, tidak ada satu wanita pun di negeri matahari terbit ini yang pantas untuk mencapai posisi wanita nomor satu dinasti ini, sebagai pengganti Uzumaki Mito.
Langkah demi langkah, Naruto dan Hinata kian dekat dengan tangga yang mengantarkan mereka pada puncak Buraku-in. Tangga yang akan membawa mereka pada posisi tertinggi di dinasti ini, posisi yang akan mempertaruhkan hubungan mereka sebagai suami istri.
...
Berbeda dengan para samurai rekan seperjuangan Naruto, yang kini memiliki posisi sebagai menteri muda di pemerintah Heian. Sebagian besar tetuah dinasti ini yang merupakan menteri sepuh di masa pemerintahan Hashirama, nampak terkejut dengan kehadiran Hinata di lapangan istana Buraku-in. Rasa takut, konspirasi dalam istana kaisar akan kembali terulang memicu para tetuah ini menjadi penentang atas keputusan Hinata untuk mendampingi sang suami memimpin dinasti besar ini, bagaimanapun Hinata adalah seorang Hyuuga.
"Bukankah kita sudah memasang mata-mata di istana Dairi?" Shikaku, ayah dari Shikamaru itu berbisik pada Inoichi yang berdiri di sampingnya.
"Dia tak memiliki kesempatan untuk menemui Naruto." Sahut Inoichi dengan berbisik juga. " Aku sudah memerintahkan para Samurai penjaga Istana Chodo-in untuk menghalanginya masuk.
"Aku bahkan menambah banyak daftar dekrit yang belum diselesaikan Mendiang Kaisar untuk dikaji oleh Naruto, sebisa mungkin aku sudah membuat Shikamaru percaya agar dekrit itu harus dikaji oleh Naruto agar dia tak punya waktu untuk wanita itu." Shikaku kembali berbisik.
"Dia akan menjadi Permaisuri, dan itu adalah malapetaka dinasti ini. Wanita itu pembawa sial, sudah berapa banyak kehancuran akibat dirinya." Danzo turut bergabung dalam obrolan pelan disela perjalanan Naruto dan Hinata mencapai tangga Buraku-in. "Keluarganya dibantai di hari lamarannya, Naruto turun dari Kamakura Bakufu, Serangan Dairi, dan pemberontakan Toneri terjadi setelah dia masuk dalam Istana Kamakura Bakufu, dan sekarang dia akan kembali membawa kesialan yang lebih besar lagi dengan masuk kedalam istana Dairi."
Ucapan Danzo berhasil memprovokasi para tetua itu, bagi mereka yang pernah melihat langsung dan merasakan kelicikkan Hyuuga dalam pemerintahan, tentu dengan Hinata yang di dalam tubuhnya mengalir deras darah Hyuuga, akan menjadi ketakutan besar bagi mereka.
...
Naruto dan Hinata telah sampai di anak tangga terendah istana Buraku-in, sebelum ia menapak pada anak tangga pertama itu, tangan hangat nan lebarnya memperat genggamannya pada tangan putih Hinata. Ia ajak Hinata untuk berbalik berhadapan pada para petinggi dan tetuah negeri ini. Jika Kaisar bisa harus diakui oleh seluruh rakyat, maka seorang permaisuri cukup menerima pengakuan dari Sang Kaisar dan para petinggi dan tetuah dinasti ini.
"Umaku ikeba, kōtei wa chōju ni megumarete iru, Uzumaki Hinata no Kogo, Idai... Idai... Idai, Idai-sa...*)" Naruto menarik genggaman tangan Hinata ke udara, mengakui Hinata sebagai permaisuri dinasti ini.
*)Semoga permaisuri Uzumaki Hinata diberkahi umur panjang, Jaya... Jaya... Jaya...
"Umaku ikeba, kōtei wa chōju ni megumarete iru, Uzumaki Hinata no Kogo, Idai... Idai, Idai, Idai-sa...*)" Tanpa perlu diperintah lagi, para samurai dan menteri muda dinasti ini bersama para istri mereka, berlutut mengakui Hinata sebagai ibu dari dinasti ini, kecuali-
Safir biru Naruto memicing tajam, para tetuah yang berada di barisan belakang enggan berlutut atau sekedar membungkuk untuk memberi penghormatan pada sang permaisuri baru. Mereka malah berjalan beringasnya di barisan depan, lalu bersujud sembari membenturkan kening mereka di lantai semen itu.
"Mohon pikirkan kembali, Tenno-sama..." Ucap mereka serempak sembari kembali membenturkan kening mereka di lantai.
"Hentikan!" Naruto berteriak dan membuat para tetuah itu berhenti membenturkan kening mereka pada lantai semen.
"Otou-sama!!!" Shikamaru, Sai, Gaara, Ino, dan Temari, berteriak tidak mengerti. Ayah mereka ada dalam barisan penentang suara terbanyak.
"Aku katakan berhenti!!!" Naruto kembali berteriak, suaranya menggema memecah keheningan di lapangan itu.
Hinata menggenggam erat tangan suaminya, rasa takut meliputi relung hatinya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat seseorang yang menyakiti dirinya sendiri agar Kaisar mereka membatalkan keputusannya.
"Khe.." Naruto mendengus remeh, "apa yang harus ku pikirkan kembali? Jika aku akan menjadikannya permaisuri, aku akan melakukannya."
"Yang Mulia, mohon pikirkan kembali menjadikan Hinata permaisuri dinasti ini..." Danzo kembali bersujud diikuti oleh para tetua lainnya. "Kami akan terus bersujud di sini." Mereka kembali ke posisi duduk lalu kembali bersujud seraya membenturkan dahi mereka ke lantai.
Naruto menaikkan satu alisnya, mengabaikan wajah mengiba Hinata yang memintanya membatalkan keputusannya.
"Jika aku tidak bersedia?" Tantangan Naruto itu seketika membuat semua orang yang berada disana terkejut, kecuali Sasuke.
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top