108. Darah Lebih Kental Dari Air -2-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

Dendam, kebencian, ambisi dan takhta. Tak pernah ada tempat untuk cinta dalam tujuanku, setelah mengenal satu persatu mereka yang telah merenggut paksa nyawa keluargaku. Tangan ini, dengan mudah mengayunkan katana hingga kubangan darah terbentuk. Dengan mudah aku melayangkan banyak nyawa yang menjadi penghalang ambisi dan dendamku.

Aku menuntup pintu dan mata hatiku untuk dendam dan ambisiku. Hingga ketulusan sosok manis yang selalu menatapku dari jauhpun, aku abaikan seolah tak ada harganya. Hanya karena di dalam tubuhnya mengalir darah para pembunuh orang tua dan kakek nenekku, aku memperlakukannya bak budak nafsuku, menjadikannya hewan seperti hewan peliharaan yang tunduk di bawah kakiku...

Namun bidadari itu kembali padaku, mencintaiku setelah aku membuatnya menjadi orang yang paling membenci diriku. Hinata... gadis bangsawan yang di juluki seluruh Heian sebagai Tuan Puteri Lotus Ungu, satu-satunya harta yang ku miliki saat ini. Dia tetap berada disisiku walau nyawanya yang menjadi taruhan.

Tumpuan kenyamananku...
Tumpuanku berbagi penderitaan...
Pelita hatiku...
Hinata, tak lama lagi aku akan menepati janjiku...
Kita akan hidup bahagia, tanpa dendam, tanpa ada ambisi, hidup bebas di luar Kyoto...
Hanya ada kau, aku, buah hati dan cinta kita...

...

Pria itu tersenyum tipis, sudut matanya di hiasi setitik air mata haru. Perlahan kelopak mata berwarna cokelat itu terbuka sempurna, sepasang iris sebiru langit yang kini tengah menaungi mereka, menatap teduh wajah cantik sang pemilik kepala indigo yang bersandar di bahu kekarnya.

Sungguh, tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan Naruto saat ini. Duduk di hamparan padang rumput berlapis salju tipis, sambil merangkul Hinatanya, tanpa memikirkan kebencian yang selama ini mengisi separuh hatinya, membuat Naruto tak ingin waktu berjalan lebih cepat.

"Hime..."

Kepala indigo yang bersandar pada bahu tegap berlapis montsuki hitam itu, kini menengadah, dengan sepasang mutiara ungu mudanya yang memancar banyak kasih sayang. Hinata menatap lembut safir biru yang berhadapan dengannya.

"Apa kau bahagia bersamaku...?"

Bibir tipis merah muda itu membentuk kurva melengkung keatas. Senyuman manis yang dihadiahi Naruto dengan elusan lembut di pipi tembam putih kemerahan tersebut.

"Hei..." Tegurnya lembut sambil tetap memandang lekat sepasang mutiara lavender yang mampu membuatnya terbebas dari api balas dendam yang selama ini membakar benaknya. "Aku bertanya... kenapa hanya tersenyum...hm?" Sambung Naruto sambil mencubit gemas pipi tembam kesayangannya itu.

Bibir tipis nan mungil itu kemudian mengerucut, disertai kepala indigonya yang menggeleng cepat. Hingga poni rata yang membingkai wajah putihnya bergerak-gerak mengikuti gelengannya.

Tangan sewarna madu itu hampir turun dari pipi tembam si wanita. Dari raut wajahnya, sangat nampak bahwa Naruto menyimpan kekecewaan ketika pertanyaannya di jawab gelengan oleh sang istri. 'Aku cukup tahu diri, untuk menjadi alasan kebahagiaanmu. Setelah yang selama ini ku berikan padamu hanya air mata.'

Sebelum sepenuhnya tangan cokelat itu turun dari pipinya. Hinata sudah lebih dahulu menumpu tangan sang suami dengan tangan putihnya. "Aku tidak perlu menjawabnya bukan, Naruto-kun...?"

Cup.

Raut wajah Naruto kaku seketika. Ada benda kenyal yang kini tengah menempel pada bibirnya. Hinata..., istri manisnya itu, tak ia sangka berani memulai ciuman. Tak perlu pikir panjang, tangan kekar itu kini melingkar pada tengkuk yang tertutupi surai kelam Hinata.

Memperdalam ciuman mereka yang memabukkan. Tanpa peduli bahwa Neji, tengah sibuk memperbaiki roda kereta seorang diri. "Kenapa kau tertawa Tenten?" Tanya Neji kesal yang masih disibukkan dengan roda kereta yang bergeser dari tempatnya itu karena masuk kedalam lubang.

"Mereka manis sekali..." Ucap Tenten kagum.

Neji menolehkan kepalanya kearah padang rumput yang di duduki oleh sepasang manusia yang tengah menikmati kemanisan bibir pasangan masing-masing. Hampir saja emosinya meledak dan hendak mengusik ciuman keduanya, jika saja Tenten tidak menahan lengannya.

"Biarkan saja..." Ucap Tenten sambil tersenyum lembut.

...

"Sudah cukup..." Bisiknya lembut. Naruto tersenyum tipis ketika bibir mereka terpisah. Tangannya dengan amat lembut menghapusi sisa salivanya yang tersisa di bibir Hinata. "Tampaknya kakakmu sedang naik darah..." Sambung Naruto sambil terkekeh pelan.

Sementara Hinata, ia tak ikut tersenyum. Mutiara lavendernya malah menatap penuh harap pada sang suami.

"Hei... kenapa memandangku seperti itu, mau ku cium lagi, heh?" Tanya Naruto sambil menyeringai.

"Naruto-kun... ada yang ingin ku tanyakan..." Tangan putih Hinata menggamit lembut, kemudian menggenggam erat telapak tangan Naruto yang pernah menampar pipi mulusnya.

"Hei... ada apa...?" Mengurungkan niatannya untuk beranjak, Naruto malah menatap Hinata dengan tatapan khawatir, sambil kembali mengelus pipi lembut nan tembam milik istrinya.

"Apa Naruto-kun masih menaruh dendam terhadap Hyuuga..., terutama, Otou-sama...?" Buru-buru ia menundukkan kepalanya, takut jika sang suami akan kembali marah ketika di ungkit tentang kejadian masa lalu yang melukainya.

Bukannya menjawab. Naruto malah mengecup lembut kening sang istri yang tertutup poni rata tersebut. Tangannya lalu menarik dagu Hinata, hingga mutiara dan safir itu saling menatap.

"Kita telah menyeberangi jurang yang amat dalam, dengan menggunakan jembatan yang amat rapuh, dan sekarang jembatan itu telah ku bakar..., agar kita tak bisa kembali kemasa lalu yang telah kita arungi dengan sulit... Aku berusaha keras untuk melupakan semua itu, kendati sulit. Karena dengan membenci mereka yang telah tiada, tak mampu membawa kedua orang tua dan kakek nenekku kembali hidup...."

...

Lantunan mantra pelepasan itu telah berhenti di dengungkan, guci tempat menyimpan abu jenazah menantu pertama klan Uchiha inti itu telah di letakan di rak khusus di dekat altar penyembahan. Akan tetapi derai air mata masih membasahi pipi tembam salinan Uchiha Itachi versi kecil ini. Bocah kecil itu, masih tampak sesegukan menatap guci yang menyimpan abu sang ibu.

"Kaa-san akan sedih jika Ishi-kun terus menangis seperti itu..."

Usapan halus di punggung kecilnya membuat Ishihara menatap lekat pada sang pemilik tangan. Uchiha Sakura..., menantu bungsu Klan Uchiha ini, memberikan senyum termanisnya, pada anak yang kini telah menjadi yatim piatu itu.

"Kemari," Sakura menepuk pelan pahanya. Ia seolah mempersilakan pewaris klan Uchiha itu duduk di pangkuannya.

Ishihara menurut patuh.., bangkit dari duduk bersilanya, dan duduk di pangkuan sang bibi.

"Dengarkan Ba-san..." Sakura menunduk, mendekatkan bibirnya pada telinga sang keponakan. "Ishi-kun ingin Kaa-san bahagia bukan...?"

Ishihara mengangguk cepat menjawab pertanyaan Sakura. Ia mengerjapkan mata besar hitamnya, memandang penuh tanda tanya pada bibinya. Uchiha kecil ini seolah ingin tahu apa maksud dari pertanyaan bibinya. Tak perlu di tanya, ia tentu sangat ingin ibunya bahagia.

"Kaa-sannya Ishi-kun sekarang sudah bahagia..., karena Kaa-san sudah bersama Tou-san sekarang.." Jelas Sakura sambil menepuk pelan pucuk kepala hitam tersebut.

"Hiks... hiks..."

Tapi Sakura sepertinya salah bicara karena justru ucapan itu membuat Ishihara semakin terisak. "Kaa-san dan Tou-san jahat..." Ishihara mulai menangis sambil mengucek kelopak matanya, dan Sakura buru-buru mendekap bocah kecil itu kedalam pelukannya.

"Kenapa Ishi-kun berkata begitu..?" Tanya Sakura sambil mengusap-usap lengan kecil Ishihara.

"Mereka pergi, tanpa mengajak Ishi... Padahal Ishi 'kan sangat sayang mereka, hiksss, mereka meninggalkan Ishi sendirian..., hiksss..."

"Tidak...tidak...," kini Sakuralah yang menangis mendengarkan rintihan pilu bocah itu. "Mereka tidak jahat..., Kaa-san dan Tou-san ingin Ishi-kun tetap disini... karena jika Ishi-kun pergi, maka Sasu-ji dan Ba-san akan sangat bersedih..."

"Hiks... Hikss..." Bocah kecil itu tak berkata lagi, hanya isakan yang lolos dari mulut kecilnya.

"Jika Ishi-kun sudah dewasa, Ishi-kun akan mengerti kenapa Tou-san dan Kaa-san harus pergi..."

Uchiha Ishihara mengangguk kecil dalam dekapan Sakura. Memang ia tak mengerti mengapa kedua orang tuanya harus pergi meninggalkannya. Tapi suatu saat, ia harus tahu tentang itu. Dan memperbaiki semua kesalahan yang membuat ia terpisah dengan orang tua yang amat ia cintai.

"Sudah selesai...?"

Pertanyaan dari suara baritone itu sontak memecahkan perhatian Sakura dan Ishihara. Pandangan dua pasang iris kontras itu kini beralih pada sosok tinggi tegap yang berdiri di depan pintu kuil.

"Kita harus segera pulang."

"Sasuke-kun, kau tak ingin mendoakan Nee-sama...?" Tanya Sakura, seraya mencoba bangkit dibantu oleh Ishihara.

Melihat sang istri kepayahan berdiri, Sasuke yang tadinya enggan masuk kedalam kuil, sontak berlari kecil menghampiri Sakura. Membantu sang istri yang tengah hamil lima bulan itu untuk berdiri.

"Kita pulang..., kau dan Ishihara harus istriahat." Perintah Sasuke mutlak. "Lagi pula...," pandangan onix Sasuke kini tertuju pada rak yang menyimpan abu Izumi, yang letaknya tepat disamping abu Uchiha Itachi. "Dia sudah bahagia di sana bersama baka Anikiku..." Sambungnya sambil tersenyum tipis. Dan mereka bertigapun memutuskan untuk melangkah keluar kuil. Namun belum satu langkah mereka meninggalkan pintu kuil itu, tiba-tiba...

"Aggghhhh..." Sasuke mengerang hebat sambil memegangi bahunya.

"Sasuke-kun...!!!" Sakura berteriak histeris seraya berlari kecil menghampiri sang suami.

"Sial!!! Kenapa luka ini begitu sakit..!!!" Erang Sasuke sambil memegang bahunya yang terluka akibat tertimpa bagian pintu yang terbakar.

Sakura bertindak cepat, insting tabibnya membuatnya langsung membuka bagian pumggung mofuku hitam yang dikenakan sang suami. "Kami-sama!!!" Sakura terperanjat sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Luka kecil dipunggung sang suami yang sudah ia obati semalam, kini berubah menjadi lubang hitam menganga.

"Katakan ada apa di tubuhku Sakura!!!!"

...

Langkah kakinya begitu cepat menapaki tiap anak tangga kuil Kiyomizu-dera yang terbuat dari batu alam yang di pahat sedemikian rupa itu. Panggilan sang istri yang memanggilnya kepayahan dengan beban di perut besarnya serta bocah kecil yang memegang erat pergelangan tangannya.

"Tunggu aku disini Sakura!!!" Teriak Sasuke geram melihat Sakura yang bersikeras mengejarnya.

"Tapi... kau mau kemana, Sasuke-kun...?" Tanya Sakura di liputi ke khawatiran.

"Tunggu aku disini bersama Ishihara, Sakura. Sampai aku kembali, jangan kemanapun. Kau mengerti."

Sakura terdiam, ia hanya mengangguk sambil menatap punggung sang suami yang mulai menjauh dari pandangannya. 'Semoga ini bukan pertanda buruk...'

...

Brakkkkk

Pintu besar kamar mewah Kaisar itu terbuka kasar. Beberapa dayang yang tengah membersihkan kamar itu terperanjat ketika melihat siapa yang masuk tanpa permisi. Benar, Sasuke memang tak perlu permisi untuk  masuk, karena para samurai penjaga istana Dairi ini tahu apa resiko yang akan mereka tanggung jika menghalangi sang Jenderal.

Apalagi, kini Sasuke tengah diliputi amarah yang membuncah. Tampak dari onixnya yang menatap nyalang. Menjelajahi tiap jengkal kamar megah itu.

"Dimana Toneri????!!!!" Tanya Sasuke dengan berteriak.

Seorang dayang maju takut-takut mendekat pada Sasuke. "Ano... Shogun-sama..." Si dayang berojigi memberi hormat. "Tenno-sama berpesan jika Shogun-sama bertanya Beliau pergi kemana. Kami di perintahkan menjawab bahwa Tenno-sama sedang berburu..."

Menggeram murka, Sasuke bahkan mengepalkan tinjunya hingga kuku-kukunya memutih. Ia bukan bodoh. Ia tahu yang dimaksud dari kata berburu tersebut. Yang menjadi buruan mereka sekarang adalah, bayi di dalam kandungan Hinata, bersama hoshi no tama yang tertanam pada tubuh kedua orang tua bayi tersebut. Naruto dan Hinata.

...

"Hufff..." Pria paruh baya yang menutupi sebagian wajahnya dengan masker itu menarik nafas dalam, ketika netranya mengamati pusaran hitam yang melekat pada leher salah satu muridnya. "Mereka menyegel sebagian kekuatanmu, dan memindahkannya pada tubuh salah mereka." Sambung Kakashi, sambil kembali menutup bagian leher montsuki yang di kenakan murid Uchihanya itu.

Sasuke menerawang menatap langit-langit beratap jerami tersebut. "Mereka membakar bangkai ayam hitam bersamaan dengan istana itu. Tiap kobaran api yang menyentuh kulitku, menjadi jalan bagi mereka untuk menyerap kekuatanku. Di tambah lagi, mereka memegang hoshi no tama Mito-sama yang telah berkali-kali bertapa, juga milik Saara dan Sasori."

Kakashi mencoba untuk tenang. Mengangguk sekilas agar tak menimbulkan kepanikan pada murid-muridnya. "Naruto dan Hinata sekarang dalam bahaya."

...

"Mereka mengejar?"

Yahiko membuka kelopak matanya, menghentikan pandangan mata batinnya. "Bukan masalah besar bagiku." Ucapnya sambil tersenyum liciknya. Tangannya dengan telapak yang terbuka ia angkat tinggi-tinggi keudara. Dan dalam sekejap tembok bersegel tak kasat mata telah hadir dihadapan mereka. "Orang-orang itu tak akan mencapai tempat ini."

"Seandainya, kita bisa membuka peti peninggalan Obito itu tanpa segel darah Uchiha. Kita tak perlu berurusan dengan Sasuke keparat itu." Umpat Toneri sambil tersenyum licik.

"Jangan buang waktu." Kini Konan angkat bicara. "Sebagian kekuatan Sasuke sudah berada pada Yahiko. Dan selama segel hitam di bahu Sasuke masih ada, kekuatannya akan terus kita serap."

"Rasanya aku sudah tak sabar lagi berburu." Sambung Hidan dengan wajahnya yang tampak begitu menantikan kemenangan.

...

Duakkkkk

"Akh..." Hinata meringis pelan sambil memegang perut besarnya, menahan rasa sakit karena guncangan kereta yang rodanya kembali memasuki lubang.

"Sial....!!!" Neji menggeram kesal dari luar kereta. "Kenapa sejak tadi banyak lubang di sekitar sini?"

Safir biru Naruto melirik kesegala arah. 'Bagaimana, ada dua lubang sangat besar hanya di jalur ini.' Pandangan iris sewarna langit itu beredar kearah hutan yang di dominasi dengan pohon bambu ini. "Neji, tolong turunkan Hinata dan yang lainnya dari kereta." Ucapnya dengan pandangan yang tetap bersiaga. Entah kenapa, setelah memasuki area hutan bambu ini perasaannya diliputi rasa gelisah yang amat hebat. "Biar aku yang memperbaiki roda."

Neji segera turun dari kemudi kereta. "Apa kau merasa ada yang aneh Naruto?"

Kepala kuning itu mengangguk. Safir birunya masih bergulir bersiaga menarik katana dari sisi tubuhnya. "Kau jaga mereka, biar aku yang bersiaga disini." Jawab Naruto penuh keyakinan.

"Aku akan membuat arwahmu tidak tenang jika kau mati dan membuat adikku menjadi janda." Ancam Neji dengan pandangan menusuk pada Naruto.

"Khe..." Naruto tersenyum remeh. "Tampaknya kau belum mengenal dengan baik adik iparmu ini, Nii-san."

"Terserah kau saja." Jawab Neji acuh sambil berlalu.

...

"Neji-nii, semua baik-baik saja bukan...?" Tanya Hinata takut. Tubuh lemahnya yang tengah membawa nyawa itu kini berada dalam gendongan sang kakak.

"Kau istrahat disini saja." Neji menurunkan tubuh sang adik di bawah pohon bambu yang tertutup salju tipis.

"Neji-sama, sebenarnya ada apa?" Tanya Tenten khawatir.

Neji menghela nafas panjang. Lalu melirik sang adik yang tampak cemas, Hinata nampak sedang di usap keringatnya dengan saputangan oleh Tomoyo. "Tak akan terjadi apa-apa. Lagi pula selain aku dan Naruto, kita juga memiliki pangeran hebat disini, ne, Ouji-sama...? Kudengar kau menghabisi salah satu anggota Akatsuki dengan tangan kosong." Tanya Neji sambil melirik Nawaki.

"Apa kita diburu Akatsuki lagi?" Hinata adalah orang yang sangat peka terhadap orang yang amat ia sayangi. Dalam keadaam genting seperti ini sangat mudah baginya untuk membaca eksperesi wajah Neji.

Neji tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Hinata. Ia tahu, ia tak dapat menyembunyikan kecemasannnya dari adik kandungnya tersebut. "Kami akan melindungi mu dengan taruhan nyawa, Hi-chan."

"Kenapa hanya aku?" Tanya Hinata dengan raut ketidaksukaan yang amat ketara. "Tenten juga sedang hamil sama sepertiku... dan Tomoyo... dia tak memiliki kekuatan ataupun bisa menggunakan katana, kenapa hanya aku yang akan kalian lindungi? Kalian juga harus melindungi mereka."

Pertanyaan Hinata itu seolah menyadarkan Tenten tentang ucapan Neji. Betapa pria Hyuuga itu begitu menyayangi adiknya. Bahkan sampai mengabaikan anak kandungnya sendiri. Ia mengelus lembut perutnya yang masih datar itu."Maaf aku ingin pergi mencari air."

"Tenten, tetap disitu!" Perintah Neji mutlak.

Tapi peringatan itu sama sekali tak di gubris oleh Tenten. Wanita keturunan negeri tirai bambu itu tampak begitu kecewa dengan sikap sang kekasih yang tak mengkhawatirkan ia dan janinnya. "Tak perlu Neji-sama, kau awasi saja Hinata-sama, bukankah dia prioritasmu..." Sindir Tenten dengan nada kecewa yang amat kentara.

"Tenten...!!!"

Srakkkk

Settttt

Bola mata mereka membulat sempurna. Satu anak panah melesat dan hampir menancap di perut buncit Hinata, jika saja Nawaki tidak sigap dan menangkap anak panah tersebut.

"Apa kabar Neji?"

Suara itu, seketika membuat Neji dan rombongannya menegang seketika. Seolah suara itu adalah lantunan lagu pengantar kematian bagi mereka.

"Dei..Dei.. Dara...," Ucap Neji terbata.

Sementara Hinata, mutiara lavendernya memandang takut pada wanita yang muncul dari balik tubuh Deidara. Konan, wanita yang pernah meraba perutnya dengan sangat kasar saat ia tertawan dalam serangan Dairi. Tangannya sontak melingkar pada perut buncitnya untuk menenangkan mahluk kecil disana yang ia rasa juga sangat ketakutan. 'Tenang Boruto... Kaa-chan akan mempertahankanmu...'

...

"Mau apa kalian?" Safir birunya menatap tajam pada tiga orang yang berdiri dihadapannya. Dua diantara mereka sudah sangat ia kenal. Ootsutsuki Toneri, pria licik nan serakah yang menginginkan takhta tertinggi dinasti Heian. Dan satu lagi pria itu, satu-satunya pelaku pemerkosaan Kushina yang belum ia habisi. Yahiko.

"Sesuatu yang bersinar di dalam tubuhmu dan istrimu..." Jawab Toneri dengan santai. "Oh dan satu lagi... kau pasti belum mengenal dia..." Toneri menepuk bahu Hidan. "Dia adalah guru istri keduamu. Dia yang mengajarinya bagaimana memasukkan iblis kedalam tubuh istri hamilmu itu."

Gigi-gigi putihnya beradu satu sama lain. Tangan Naruto mengepalkan tinju hingga kuku-kukunya memutih.

...

"Sasuke, kau yakin masih sanggup melanjutkan perjalanan?"

Pria Uchiha itu menggeleng pelan. Walau keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya sambil menahan sakit di bahunya, Sasuke masih berusaha untuk menyelamatkan Naruto bersama keluarga kecilnya. Baginya, apa yang ia lakukan saat ini adalah sebuah penebusan dosa klannya dan dirinya sendiri.

"Mereka menyegel dari tempat ini." Shikamaru meraba-raba udara dan merasakan ada tembok kasat mata yang membatasi langkah mereka.

"Omong kosong!!!" Sasuke yang sempat jatuh berlutut, memaksakan diri untuk bangkit. Tangan-tangan putihnya yang mulai memucat berusaha mengarah ke tanah. Perlahan tanah di sekitar mereka mulai retak. Kakashi, Shikamaru, dan Sai mundur beberapa langkah menghindari retakan tersebut. Dan dari celah retakan itu muncullah rantai-rantai emas pusaka yang selalu di gunakan Sasuke.

Krakkkk

Suara retakan itu terdengar jelas. Walau tak dapat terlihat wujudnya, namun tangan Sasuke yang mengarahkan rantai-rantai itu menandakan bahwa tembok segel itu perlahan mulai di hancurkan.

...

"Khe... kalian pikir aku akan takut dengan kalian. Kalian bukan apa-apa tanpa Sasuke." Remeh Naruto sambil menatap tajam. Tubuh tegapnya mulai di liputi cahaya keemasan. Sembilan ekor lengkap dengan taring rubahnya perlahan mulai nampak.

Yahiko tersenyum remeh. Tangannya mulai mengarah ke tanah, memanggil rantai-rantai emas yang kini tengah di gunakan Sasuke. Namun gagal, baru saja rantai-rantai itu akan keluar...

Crasss

Ekor emas Naruto mencambuk tangan Yahiko. Rantai emas itu kembali terlepas dan masuk kedalam tanah.

"Sial!!" Yahiko menggeram marah. Ia kembali berusaha. Dan ketika Naruto kembali mencoba mengagalkannya...

Crasss

Toneri menyerang Naruto dari belakang. Tak berpengaruh apapun, salah satu ekor emas Naruto kembali menebas tubuh Toneri hingga tubuhnya menghantam tanah.

Tak tinggal diam, Hidan yang melihat Toneri terkapar dan Yahiko yang masih berusaha memanggil rantai-rantai emas itu, kini mengambil perannya. Ia merapalkan mantra-manta terkutuk pemanggil iblis.

"Aghhhhh" Naruto mengerang kuat, dan dalam sekejap tubuhnya kembali ke wujud manusia.

"Berhasil." Yahiko menyeringai penuh kemenangan. Rantai-rantai emas itu kini telah sepenuhnya ia kuasai.

...

"Uhukkk.."

"Sasuke!!!" Kakashi reflek berteriak saat melihat Sasuke terbatuk dengan mulut yang mengeluarkan darah segar.

"Sial!!!" Menggeram kesal, Sasuke memukul tanah namun tak membuahkan hasil. Tubuhnya malah limbung dan di tangkap oleh Sai dari belakang.

"Yahiko sudah mengusai seluruh kekuatannya. Jika di paksakan ia bisa mati." Simpul Kakashi yang kini di liputi kegelisahan.

...

Wushhhh

Asap mengepul pekat. Pandangan Toneri, Yahiko dan Hidan, mendadak menjadi gelap. Dan ketika asap itu telah sirna. Objek buruan mereka malah menghilang. Naruto tak ingin terjebak lagi. Ia tahu apa yang akan di lakukan Yahiko.

Sekalipun ia tak tahu bagaimana Yahiko mampu mengendalikan rantai yang sama seperti yang di kendalikan oleh Sasuke. Ia lebih memilih di sebut pengecut lalu kabur. Jika ia mati atau bertambah parah terluka, siapa lagi yang melindungi anak dan istrinya.

...

"Jangan mengambil langkah gegabah Deidara." Tahan Konan yang ingin membalas serangan yang di lancarkan Neji. "Bocah itu pernah membuyarkan isi perut Kakuzu." Larang Konan sambil melirik Nawaki

"Sial!" Deidara menggeram kesal mendengar peringatan Konan.

Konan tersenyum tipis, ia mengulurkan tamoto yukata ungunya. Dan tamoto itu seketika memanjang berkali-kali lipat dan bergerak sangat cepat, melilit leher Tomoyo, hingga gadis kecil itu jatuh ketangan Konan.

"Mungkin kehilangan nyawa dayang tak berharga seperti ini bukan masalah untuk kalian." Tantang Konan, lalu berlari sangat cepat sambil membawa tubuh Tomoyo yang ia cekik.

"Hyuuga-san." Ujar Nawaki dengan suara parau. Tubuhnya mulai di liputi cahaya kemerahan lengkap dengan taringnya. "Kau bawa Hinata-nee ketempat yang aman. Aku akan menyelamatkan Tomoyo."

...

Naruto terengah, ia bersembunyi di balik pohon bambu besar. Energinya mulai melemah, sementara ia belum menemukan keberadaan Hinata. Ditambah lagi Yahiko, Toneri dan Hidan terus memburunya.

Pandangannya terarah ke langit biru. Menengadah kesana sambil berharap untuk keselamatan orang yang paling ia cintai. 'Kami-sama... lindungilah istri dan anakku...'

...

"Hinata... kau masih sanggup berlari?"

Wanita hamil itu pucat pasi, ia berlari bermeter-meter dengan membawa beban di perutnya. Sementara Neji, sang kakak bukan tak ingin menggendongnya. Tapi cercaan anak panah yang melayang ke arah mereka tanpa henti, membuat Neji harus menjadi penghalang dengan katananya.

"Aku baik-baik saja Nii-san... kau dan Tenten lanjutkan saja perjalanan, biarkan aku disini menanti Naruto-kun..." Ucap Hinata lemah dengan nafas yang terengah, terlebih lagi janin dalam rahimnya berkontraksi hebat.

"Tak akan pernah Hi-chan, kami tak akan pernah meninggalkanmu..." Tolak Neji, sambil membungkuk, mencoba menggendong Hinata. Namun satu tangan menahan bahunya.

"Sudah cukup Neji-sama..." Suara Tenten mengintrupsi. "Biarkan saja dia menunggu suaminya disini. Lagi pula ada Naruto yang akan melindunginya. Sudah waktunya kau memperhatikan dirimu sendiri. Memperjuangkan kebahagiaanmu, dan kebahagiaan kita!!! Hinata... Hinata..., sudah terlalu sering aku mendengarmu mengkhawatirkannya, bahkan saat kau masih di liputi dendam dalam tidurpun kau mengigaukan namanya. Aku sudah muak dengan semua ini, tak berhak kah aku mendapat keutamaan darimu!!"

Plak

Neji naik pitam, tanpa sadar tangannya melayang dan mendarat mulus di pipi Tenten. "Jaga batasanmu, jangan karena aku selalu memanjakanmu, kau bisa menyetarakan dirimu dengan Hinata. Kau harus tahu latar belakangmu!!!"

Tenten tersenyum tipis. Batasan, latar belakang, saat Neji sepertinya tengah mengingatkan tentang statusnya sebagai budak. "Baiklah, aku cukup tahu dimana batasanku... darahku tak lebih berharga bila dibandingkan Hinata." Tenten berbalik arah dan hendak pergi menjauh.

"Neji-nii, kejar Tenten...." Hinata berusaha bangkit, dan menarik sang kakak untuk mengejar kekasihnya.

"Biarkan dia Hinata. Wanita egois sepertinya tak memiliki tempat di hidupku." Neji tak bergeming.

"Jika kau tak mau mengejarnya, aku yang akan-." Ucapan Hinata terhenti saat ia melihat rentetan anak panah yang tertuju ketubuh Tenten. "Tenten awas!!!!"

Hinata mempercepat larinya yang terengah, memeluk tubuh Tenten dari belakang dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng wanita yang paling di cintai oleh kakaknya itu.

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top