107. Darah Lebih Kental Dari Air -1-
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
Song Fic : Only You
By : 4Men
Ost. Gu Family Book
Brukkkk
Tubuh kecil bocah pirang berusia delapan tahun itu jatuh menghantam tanah. Ia mendecih kesal sambil menatap nanar pohon pinus tinggi yang belum dapat ia taklukan. "Aku harus bisa menggoreskan wakizashi*) ini di ranting tertinggi itu, jika tak ada kemajuan dari kemarin aku adalah bocah yang payah."
Tangan kecil sewarna madu itu menghapus kasar keringat yang bercucuran di pelipisnya. Meraih kembali, wakizashi*)nya yang tergeletak di tanah. Naruto kecil tak putus asa. Keinginannya untuk memimpin pasukan militer elit dinasti Heian dan demi membalaskan dendam keluarganya yang terbantai secara keji, Naruto kembali bangkit, melompat dan memanjat pohon besar itu, agar bisa menorehkan goresan wakizashinya di ranting tertinggi.
Srakkkk Srakkkk...
Katana kecil yang dilapisi benang itu berhasil menggores kulit kayu di tempat lebih tinggi yang sebelumnya ia buat. "Huaaaa.... aku berhasil, ttebayo..!!!" Teriaknya kegirangan, hingga tanpa sadar kedua satu tangannya yang berpegangan pada batang pohon itu terlepas.
Brukkkkkk
"Au....." Tubuh Naruto kecil terjungkal menghantam tanah, beruntung dia adalah anak laki-laki yang kuat, ditambah lagi darah siluman rubah yang diwariskan oleh sang ibu, hingga ia tak mengalami luka yang serius. "Ah sial sekali...." Gerutunya sambil mendudukkan diri dan mengusap tengkuknya.
"Hihihihi..."
Tersentak sekilas, ketika mendengar suara kikikan yang begitu manis. Safir birunya membulat lebar, di tambah bulu romanya yang meremang. "Ada yang tertawa di tengah hutan seperti ini, ttebayo..." Gumamnya dengan wajah pucat pasi yang ketakukan. "Itu pasti Kuchisake onna*) penghuni hutan ini."
"Hihihihihi..."
Suara kikikan itu kembali terdengar, wajah ketakukan Naruto semakin pucat tak karuan karenanya. "Hei!!! Hantu!!!!" Teriak Naruto sok berani dengan suara yang bergetar. "Ji... ji.. jika berani, tun... tun...tunjukkan wujudmu..."
Srrrrrr...
Suara tiupan angin dan rasa dingin yang menerpa tengkuknya, kian membuat wajah Naruto makin pucat. 'Hantu itu meniup tengkukku...'
"Hihihihihi..." Dan kikikan itu kembali terdengar, setelah mengumpulkan segenap keteguhan hatinya, Naruto menolehkan kepalanya perlahan.
"Hi...Hi..Hinata..., kenapa kau menakutiku, ttebayo...." Wajah pucat pasi itu sirna seketika, berganti dengan raut merajuk dengan kedua pipi berkumis kucingnya yang di gembungkan.
"Siapa yang menakuti Naruto-kun..., aku hanya tertawa..." Hinata berjongkok hingga wajahnya dengan wajah mirip rubah manis itu saling berhadapan. "Naruto-kun saja yang terlalu penakut... hihihi..." Ucapnya pelan sambil mencubit gemas hidung mungil si bocah kitsune.
"Kau ini..." Menggeram kesal, dengan sangat cepat sepasang tangan berwarna tan itu menangkup kedua pipi gembulnya, dan...
Cup...
Hinata terdiam ketika merasakan benda kenyal menempel pada keningnya yang tertutup poni rata. Naruto dengan lancang mengecup keningnya. "Itu hukuman karena sudah menakutiku..." Naruto tercengir tanpa dosa, ia tak tahu, dibalik poni indigo yang menutupi wajahnya yang tertunduk, Hinata sudah merona hebat akibat kecupan yang dihadiahkan oleh si bocah rubah itu.
...
Keduanya duduk dibawah pohon cemara, tepat di depan pohon pinus yang telah di torehkan goresan wakizashi oleh Naruto. "Jadi Naruto-kun... sudah bisa mencapai setinggi itu...?" Hinata menyandarkan kepala indigonya pada bahu kecil Naruto, tangan putihnya menunjuk pada guratan yang di torehkan oleh Naruto.
Bocah lelaki itu tersenyum bangga sambil mengangguk. Ia lalu menumpukan kepala pirangnya pada kepala indigo Hinata yang bertumpu pada bahunya. "Hime..."
"Huummm.." Jawab Hinata pelan sambil memejamkan matanya.
"Aku sering menceritakan banyak mimpiku padamu... ne, bagaimana dengan dirimu, kau tak pernah bercerita apapun padaku..."
"Aku harus bercerita apa Naruto-kun...?" Hinata balik bertanya dan membuat Naruto mengerutkan dahinya.
"Heh? Tentu saja tentang impianmu, Hinata..." Jawab Naruto setengah kesal.
"Hummm, bagaimana ya...?" Masih enggan menampakkan mutiara lavendernya, Hinata justru kian nyaman bersandar pada bahu Naruto. "Bila impianku adalah melihat Naruto-kun mencapai semua mimpi-mimpimu..."
...
Kelopak mata seputih bunga lili itu terbuka pelan. Hari masih cukup dini untuk terjaga dari tidurnya, namun sang buah hati yang tengah mencari jalan lahir di dalam rahimnya, membuat tidur lelap Hinata terganggu.
"Cepat sekali kau bangun..."
Tangan hangat nan besar itu langsung menempel pada pipi tembamnya. Posisi tidurnya yang menyamping dan berhadapan dengan sang suami, membuat wajah tampan Naruto langsung terpampang dihadapannya ketika ia membuka mata. Pria bermata safir itu menghadiahinya dengan senyuman penuh cinta yang mampu menghangatkan hatinya.
"Naruto-kun tidak tidur semalaman...?" Tanyanya pelan dengan suara khas bangun tidur. Tak lupa tangannya yang senantiasa mengelus rahang tegas sang suami, sambil membalas senyuman tulus yang dihadiahkan Naruto untuknya.
"Aku terjaga ketika memimpikan masa kecil kita..., dan mataku enggan terpejam lagi saat melihat wajahmu yang terlelap damai..."
Dan di dini hari yang dingin itu, kedua insan itu kembali saling memeluk dibawah gumpalan selimut tebal yang menghangatkan mereka. Saling berbagi cinta dan kasih sayang yang selama ini terhalang oleh tembok dendam. Tanpa mereka tahu bahwa petaka terbesar kini tengah mengintai kebahagiaan mereka berdua.
...
Fajar belum sepenuhnya menyingsing. Namun istana yang terletak di sebelah selatan ibu kota dinasti Heian itu, sudah ramai di sambangi berbondong-bondong manusia yang mengenakan mofuku, kimono hitam untuk menghadiri upacara kematian dalam agama Shinto.
Hampir seluruh bangunan paviliun Istana yang dibangun oleh klan Uchiha itu rata dengan tanah. Kebakaran besar yang membumi hanguskan bangunan megah itu hanya menyisakan sebagian bangunan di bagian depan Istana Utama keshogunan tersebut. Kebakaran besar yang hanya merenggut satu nyawa, dan itu adalah nyawa orang yang paling berharga dari penguasa istana ini.
Ishihara, putera tunggal Uchiha Itachi itu masih menangis sesegukan di pangkuan Sakura. Netra hitam bulatnya yang berlinangan air mata menatap lekat peti jenazah yang berisikan tubuh sang ibunda yang tak bernyawa lagi.
Sementara Uchiha Sakura, wanita dengan surai bak bunga musim itu masih senantiasa mengelus sayang helaian kelam sang keponakanan yang bersandar pada pahanya. Air mata pilu tak kunjung berhenti dari emerald hijaunya. Ingatannya kembali pada beberapa saat sebelum kebakaran laknat itu menyerang. Ucapan Izumi yang menitipkan Ishihara padanya seolah pertanda bahwa ia tidak akan bisa lagi menjaga putera semata wayangnya itu.
"Sumimasen, Hidenka-sama..." Seorang dayang menghampiri Sakura yang tengah duduk bersimpuh sambil memangku kepala Ishihara. Kemudian dayang itu mendekat dan berbisik padanya. Mengingatkan bahwa upacara kremasi telah siap untuk dilaksanakan.
Mengangguk sekilas, mengerti apa yang di ucapkan sang dayang, Sakura lalu meraih zabuton yang berada disisinya. Menyangga kepala Ishihara dengan bantal tipis tersebut untuk menggantikan pahanya. "Ishi-kun tunggu disini sebentar, ya..." Pinta Sakura lembut seraya mengelus sayang kepala keponakannya yang tengah berkabung tersebut.
...
Srakkk
Sakura membuka pintu geser bagian samping ruang tamu istana keshogunan yang terhubung dengan taman utama. Pandangan permata hijaunya langsung menangkap keberadaan sosok sang suami yang tengah duduk di rokka sambil menunduk dan menggenggam erat katana salju miliknya.
"Sasuke-kun..., sudah waktunya untuk mengkremasi jenazah Izumi-nee..."
Walau namanya dipanggil, namun sosok tegap yang tampak menyimpan kesedihan yang amat mendalam itu, tak sedikitpun bergeming. Sasuke masih sangat terpukul dengan kematian Izumi, ia merasa telah gagal menjalankan amanat dari kakak sulungnya.
"Bukan salahmu..." Sebuah tepukan yang mendarat di bahu tegapnya, akhirnya mampu membuat Sasuke tersadar dari lamunannya.
Tersenyum miris, Sasuke menoleh sekilas ketika ia akhirnya menyadari keberadaan sang istri yang tengah duduk di sebelahnya. Tapi sesaat kemudian ia kembali menunduk dan tenggelam dalam kesedihannya.
"Hanya kau yang kami miliki saat ini, Sasuke-kun..."
Ucapan sang istri dengan nada isakan yang kentara membuat Sasuke tertegun. "Mereka itu..." Akhirnya Sasuke membuka mulutnya setelah cukup lama bungkam. "Suami istri itu suka sekali menyusahkanku, dengan permintaan terakhir dan tanggung jawab..., lalu dengan mudah meninggalkan dunia ini...."
Sakura sadar, air mata hampir menetes dari onix hitam pria Uchiha itu. Ia tahu Sasuke tak akan mungkin menolak ketika ia meraih kepala kelam itu dan menyandarkan pada dadanya. Dan beberapa saat kemudian ia merasakan bagian dada mofuku hitamnya yang basah, Sasuke menangis tanpa mengeluarkan suara. Punggung tegapnya bergetar hebat, ketika ia mengeratkan pelukannya pada wanita musim semi yang telah menemani masa-masa tersulit bersamanya.
...
"Jadi kau tidak ingin ikut bersama kami..." Mutiara ungu Hyuuga Neji menatap lekat sosok remaja yang duduk berhadapan dengannya. Dari sorot matanya, sulung Hyuuga itu tampak tak begitu suka dengan keputusan yang baru saja di utarakan oleh adik bungsunya.
"Konohamaru tak dapat meninggalkan jauh Shinto Ryu sekarang..., dia harus belajar banyak agar dapat menjadi guru besar disini kelak." Jawab Hanabi sambil menunduk dan meremas bagian paha yukata kuning yang ia kenakan. Sejujurnya ia tak tahu setan apa yang merasuki dirinya. Selama ini jika perintah Neji itu tidak bertentangan dengan norma kemanusian, ia pasti akan takut untuk membantah.
Dan permintaan Neji agar dirinya ikut bersama Tenten ke negeri Tang, bukanlah permintaan yang salah. Sebagai seorang adik, apalagi dan statusnya yang belum menikah, sudah sepatutnya ia ikut bersama, Neji, kakak sulungnya yang kini mengantikan posisi sang ayah sebagai orang tuanya.
Namun hati kecilnya berkata lain. Hatinya berkata bahwa ia harus menetap di perguruan samurai tertua ini. Menemani pria yang telah banyak berkorban untuknya. Sarutobi Konohamaru yang kini mengemban amanat sebagai calon pemimpin perguruan ini.
"Khe... sudah ku duga pasti bocah tengik itu..." Neji mendengus kesal sambil membuang pandangannya.
"Neji-nii, Konohamaru bukan bocah tengik..., dia itu pahlawan, tau!!! Sama seperti Naruto-nii..!!!" Protes Hanabi sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Hinata yang duduk disamping Hanabi hanya terkikik kecil sambil mengelus bahu adik bungsunya. "Sudahlah Neji-nii," ucap Hinata lembut, pada sang kakak sulung. "Hanabi sudah bukan anak-anak lagi..., dia tahu apa yang terbaik untuk dirinya... dan lagi pula..., bila Hanabi ikut bersamamu, dia hanya akan menjadi pengganggu kau dengan Tenten-nee, lagi pula Tenten-nee sedang hamil muda, dia pasti akan kelelahan bila harus meladeni anak nakal ini..." Ujar Hinata sambil mengusak helaian cokelat Hanabi.
"Heh? Kau sudah menghamilinya, hebat juga kau Nii-san..." Goda Hanabi sambil tersenyum meledek pada sang kakak sulung.
Wajah Neji seketika memerah ketika kedua adik perempuannya itu memperolok-olok dirinya. Ia memilih bangkit dari tatami ruang tamu Shinto Ryu tersebut, menuju pintu keluar, sebelum gadis dan wanita hamil itu kian memperolok-oloknya.
"Hei!!! Neji-nii kau mau kemana? Aku mau tahu bagaimana bisa kau menghamili seorang wanita?" Teriak Hanabi frontal.
Sulung Hyuuga itu tak begeming ketika adik bungsunya berteriak merusak reputasi dinginnya. Ia tetap memantapkan langkahnya keluar dari lingkaran nista dua saudarinya.
"Aku tetap disini ya???!!!" Teriak Hanabi lagi meminta kepastian.
"Terserah kau saja." Kali ini sebelum meninggalkan zanshiki, Neji berteriak menjawab pertanyaan sang adik, ia tersenyum sekilas kala menyadari hubungan persaudaraan mereka yang sempat merenggang kini kembali hangat. 'Mereka kini sudah besar.. dan memiliki pria lain yang sanggup menjaga mereka selain aku.' Tanpa sadar setitik air mata menetes di ekor mata seorang Hyuuga Neji. Seorang kakak yang akan selalu menyayangi adik-adiknya.
Kendati ia pernah di butakan oleh dendam, hingga hampir menghabisi adik kesayangannya yang tengah mengandung. Namun Hyuuga Neji kembali menjadi sosok hangat. Tempat perlindungan ternyaman bagi kedua adiknya yang telah memilih masing-masing lelaki untuk melengkapi hidup mereka.
...
Ia tersenyum kecil ketika menatap dari kejauhan, pria yang paling ia cintai tengah berbicara serius dengan sang guru di dalam sebuah gazebo. Hinata mengelus sayang perut besarnya. Mencoba berinteraksi dengan sang buah hati. Dan respon berupa tendangan kecil mampu menggelitik relung hatinya.
"Hi-chan..." Kepala bermahkotakan helaian kelam itu tertoleh kebelakang. Tersenyum tipis mendapati sang kakak yang berdiri diambang pintu geser dan menyusulnya ke rokka tempat ia tengah berdiri.
"Neji-nii..."
"Sedang menatap rubah kuning itu?"
Hinata mengulum senyum, lalu meninju pelan lengan sang kakak. "Dia itu suamiku, Nii-san..." Rajuk Hinata sambil sedikit mengerucutkan bibirnya.
Terkekeh pelan, Neji merasakan hatinya menghangat ketika melihat Hinata kembali bersikap manja padanya. Tangannya tanpa sadar menepuk pelan puncak kepala sang adik. "Hinata..."
Wanita yang tengah hamil tua itu kembali menoleh dan menatap lekat sang kakak. Seolah tatapan itu mengisyaratkan pertanyaan, 'ada apa?'
"Aku minta maaf, ya..." Hati sulung Hyuuga itu merasakan kelegaan luar biasa, ketika sebaris kalimat yang tertahan di lidahnya kini ia ungkap dengan mudah.
"Untuk apa Neji-nii...?" Tanya Hinata lembut.
"Kau jangan pura-pura lupa, kau semakin membuatku merasa bersalah..., kau tentu masih ingat bagaimana aku menyiksamu sampai kau dan dia..." Iris rembulan Neji tertuju pada perut buncit Hinata. "Hampir kehilangan nyawa...," sambungnya lirih.
"Neji-nii..." Tangan lembut Hinata mengelus sekilas lengan kekar Neji yang terlapis montsuki putih gading. "Semua sudah berlalu..., lagi pula..." Hinata mengelus sayang perut besarnya yang berisi nyawa itu. "Boruto sangat senang jika Neji-ji mau membelainya."
"Boruto?" Tanya Neji heran mendengar nama yang asing baginya.
"Boruto..., nama putera kami...," Jawab Hinata antusias, hingga sepasang mutiara ungunya berkedip.
"Kenapa namanya seperti rubah kuning itu?"
"Neji-nii, Naruto-kun itu 'kan ayah kandungnya..." Rajuk Hinata manja, ketika sang suami kembali di ejek oleh kakaknya.
Dan pada akhirnya, tangan Neji yang pernah menyakiti bayi dalam rahim adiknya yang tak berdosa itu. Kini dengan sayang mengelus gundukan besar yang berisi nyawa itu.
Baru sejenak menempelkan telapak tangan pada perut besar itu, tangan Neji mendapat respon berupa tendangan kecil dari mahluk mungil yang bersemayam di dalam sana. "Hei..., Boruto, ini aku Ji-sanmu, cepatlah lahir dan jaga ibumu dari kelakuan mesum ayahmu..." Pesan Neji pada sang keponakan sambil terkekeh pelan. Tak kuasa menahan harunya, Neji akhirnya tak dapat menutupi, ketika air bening merembes dari mutiara lavendernya.
"Eh? Neji-nii...???" Hinata terkesiap ketika melihat air mata sang kakak yang langka tersebut.
"Sialan..., air ini kenapa keluar..." Neji mengumpat seraya menghapus air matanya yang terus mengalir.
"Neji-nii..." Pandangan Hinata menyendu dan mulai melangkah kearah sang kakak.
"Kemari Hi-chan..." Neji merentangkan tangannya, meminta sang adik kesayangan masuk kedalam pelukannya.
Dan tanpa menunggu Hinata beringsut masuk kedalam pelukan hangat sang kakak tercinta. Neji yang selalu menyayangi dan memanjakannya. Ikatannya dengan kakak sulungnya itu tak akan pernah terputus. Sama seperti hubungannya dengan sang suami yang sempat diliputi oleh kebencian dan berujung dengan penyiksaan.
Neji hanyalah korban dendamnya sendiri, sama halnya dengan Naruto yang pernah melampiaskan dendamnya pada Hyuuga kepada Hinata. Begitulah yang pernah dilakukan Neji, dendam akibat kehancuran Hyuuga di tangan Naruto dilampiaskan Neji pada Hinata yang berstatus sebagai sebagai istri pembantai klannya.
Namun sama halnya kasih Naruto pada Hinata yang tak dapat terputuskan, begitulah rasa sayang Neji pada Hinata, pun sebaliknya. Dan pada akhirnya hubungan persaudaraan itu kini kembali terikat erat ketika semua dendam itu telah terselesaikan.
Srakkk
Pintu geser itu terbuka, tampak Hanabi berdiri diambangnya dengan wajah tertekuk. "Hei aku ini adik kalian." Protes Hanabi sambil menunjuk wajahnya sendiri. "Kenapa tidak memelukku juga?!"
Neji dan Hinata terkekeh renyah melihat Hanabi merajuk. Menghapus air mata di sudut ekor matanya, Neji lalu merentangkan tangannya, mengajak sang adik bungsu kedalam pelukannya. Mengecupi satu persatu pucuk kepala adik-adiknya yang sebentar lagi akan tinggal jauh darinya demi mengikuti pria tercinta masing-masing. Ini adalah pelukan terakhir mereka sebelum akan melanjutkan hidup secara terpisah.
Ia akan pergi ke negeri Tang, kampung halaman Tenten, menikah dan membangun keluarga di negeri tirai bambu itu. Sementara Hinata akan ikut bersama Naruto ke Kawaguchiko, desa di bawah kaki gunung Fuji. Dan Hanabi adik bungsunya ini sudah memilih hidup di perguruan Shinto Ryu, dan menikah dengan calon pewaris perguruan samurai tertua di dinasti Heian.
"Katakan padaku jika rubah kuning dan bocah tengik itu menyakiti kalian, akan ku buat mereka merana seumur hidup dan tak dapat menikmati surga dunia lagi." Ancam Neji disela-sela tangisnya sambil terkekeh.
"Neji-nii!!!!" Pekik Hinata dan Hanabi bersamaan ketika pria tecinta mereka diancam oleh sang kakak.
Perasaan Neji kini benar-benar lega, hubungan ia dan adik-adiknya kini telah kembali membaik. Mereka berbahagia, walau kelak mereka bertiga akan hidup secara terpisah.
'Tou-sama... kuharap Kami-sama telah mengampuni dosa-dosamu..., kuharap pengorbanan Hinata disini sudah cukup untuk menebus dosamu dan membuatmu tenang disana... kau tak perlu risau, karena kini dua puteri kecilmu sudah menemukan kebahagiaan mereka masing-masing, begitu pula aku..., kami telah terbebas dari lingkaran hitam dendam itu..."
...
Pagi itu di gerbang Shinto Ryu begitu ramai, tampak para guru berdiri di depan gerbang, ini bukanlah hari dimana perguruan samurai itu melepaskan para murid mereka yang telah menyelesaikan pendidikan. Hari ini mereka akan melepaskan salah satu murid terbaik perguruan ini, untuk memulai kehidupan baru di tempat yang baru. Uzumaki Naruto, murid perguruan ini yang sempat menyandang posisi Jenderal Samurai
"Ini katana apimu. Sasuke mengembalikannya melaluiku sebelum membebaskanmu..." Kakashi, guru samurai legendaris itu, menyerahkan sebilah pedang panjang yang pernah ia berikan pada sang murid ketika menyelesaikan pendidikan di perguruan samurai.
"Teme, dia terlalu gengsi untuk mengembalikan ini." Naruto tersenyum tipis sambil menerima katana miliknya yang sempat dirampas ketika ia menyerahkan diri sebagai tahanan atas tuduhan pembunuhan pamannya sendiri.
"Kau yakin tak perlu kami kawal." Shikamaru, samurai mantan Saiteki dimasa keshogunannya tampak kembali memastikan tawarannya yang di tolak oleh manusia setengah kitsune itu.
Naruto menggeleng pelan sambil menyelipkan katananya disisi pinggang. "Kembalilah ke Kyoto, aku rasa Sasuke lebih membutuhkan kalian. Aku punya firasat dia mendapatkan masalah, karena membebaskan aku dan Hinata."
"Akan banyak kemungkinan bila mereka mengejar kalian." Ujar Sai tampak khawatir.
"Ada aku." Tukas Neji yakin.
"Lagi pula..." Kini Naruto menerawang ke langit biru Heian. "Jika si Teme itu tak ikut mengejarku, kurasa itu bukan masalah. Bukankah hanya dia lawan yang sepadan denganku, ne, Kakashi sensei?" Naruto meminta keyakinan pada guru yang mendidiknya sebagai samurai tangguh tersebut.
Kakashi tersenyum tipis dari balik maskernya sambil mengangguk pelan
...
"Jangan menyusahkan orang disini, Hanabi, urus kebutuhanmu sendiri dan jangan seenaknya menyuruh orang." Oceh Hinata memberikan nasihat pada adik bungsunya itu. "Kurenai sensei, Shizune sensei mohon bantuannya dan tegur Hanabi jika bertindak tak tahu diri."
Neji dan Naruto yang tengah mengemasi barang bawaan kedalam kereta, hanya mampu menahan tawa ketika melihat sikap cerewet Hinata.
Sementara Hanabi hanya dapat memutar matanya bosan mendengar ceramah sang kakak tentang bagaimana harus bersikap sebagai wanita. "Naruto-nii..." Teriak Hanabi pada sang kakak ipar.
Naruto menoleh sekilas ketika hendak turun dari kereta.
"Tolong kau bungkam mulut istrimu ini, dari tadi ia mengoceh terus. Bukankah itu tak baik bagi bayi kalian."
"Dengan senang hati..." Jawab Naruto dengan menyeringai tipis sambil mengusap sudut bibirnya. Baginya ucapan sang adik ipar adalah sebuah persetujuan untuknya. Persetujan untuk....
Cup....
Bola mata ungu Hinata membulat lebar. Suaminya di depan banyak orang membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman buas. "Mhhhhhhhh..." Hinata mengerang kuat sambil memukul-mukul dada bidang sang suami.
Pletakkkkkk
Sebuah geta kayu mendarat sempurna di kepala kuning Naruto. Dan pelakunya adalah...
"Woy... rubah mesum!!!! Berhenti mencumbu adikku dengan buas seperti itu!!!" Siapa lagi jika bukan Hyuuga Neji.
...
"Hei... jangan menangis lagi... bukankah ada aku disini..." Konohamaru, calon guru besar perguruan samurai itu merangkul gemas tubuh mungil bungsu Hyuuga itu. Para guru dan samurai yang tadi melepas kepergian rombongan Naruto, sudah sejak lama masuk kedalam perguruan, namun Hanabi masih saja berdiri di depan gerbang sambil terus melambaikan tangan.
"Aku hanya mengkhawatirkan Hinata-nee... dia sebentar lagi akan melahirkan dan Tenten-nee sedang hamil muda, nanti siapa yang akan membantunya." Isak Hanabi sambil menghapus air matanya dengan bagian lengan yukatanya.
"Kau ini..." Konohamaru mendengus geli. "Bukankah Tomoyo ikut bersama mereka."
"Tomoyo akhir-akhir ini sibuk mengurus Nawaki..., aku takut dia tak peduli pada Hinata-nee lagi."
"Kau ini, kalau kau begitu khawatir kenapa tidak ikut saja bersama mereka." Kini Konohamaru yang ikut merajuk.
"Baka!!! Aku tidak ikut karena aku ingin bersamamu!!!" Kesal Hanabi sambil mengentakkan kakinya ke tanah.
"Memangnya kenapa kau ingin disini bersamaku...?" Konohamaru tersenyum geli, ia menundukkan kepalanya hingga wajahnya kini sejajar dengan wajah Hanabi.
"Karena aku mencintaimu..." Jawab Hanabi malu-malu.
Cup.
Bola mata Hanabi membulat sempurna ketika, ada benda kenyal yang menempel di bibirnya. Dan tak lama kemudian benda yang disinyalir adalah bibir Konohamaru itu terlepas dari bibirnya. Ia megurucutkan bibirnya kesal karena ciuman yang begitu singkat.
"Jangan lama-lama..." Ujar Konohamaru sambil menggoyangkan telunjuknya. "Kita lanjutkan lagi setelah menikah... aku takut kau hamil."
...
"Kalian akan berangkat sekarang." Kakashi menarik nafas cukup dalam. Baru saja tadi pagi ia melepaskan Naruto dan Neji, kini di siang harinya Shikamaru dan Sai pun akan kembali ke Kyoto untuk membantu Sasuke.
Sai dan Shikamaru mengangguk bersamaan. Di ikuti dengan Kakashi. Tak lama kemudian Kakashi membuka pintu utama bangunan perguruan tersebut.
"Sasuke!!" Ucap ketiganya bersamaan saat melihat sang Jenderal sudah berdiri di depan pintu perguruan, bersama istrinya yang tengah hamil besar dan seorang bocah kecil salinan Uchiha Itachi.
"Dimana Naruto?" Bahkan kakinya belum masuk dalam bangunan itu, namun hal yang pertama ia tanyakan adalah sahabat yang telah ia anggap sebagai saudara.
"Dia baru saja pergi tadi pagi." Jawab Sai dengan penuh rasa tanda tanya dibenaknya.
"Toneri dan Akatsuki mengejar Naruto." Ujar Sakura dengan wajah yang diliputi ketakutan.
"Mereka menarik sebagian kekuatanku untuk menaklukkan kitsune ketika aku disibukkan dengan kebakaran di istana Kamakura Bakufu." Sasuke yang biasanya hanya berekspresi datar. Kini tampak begitu ketakutan ketika mengungkapkan kejadian yang baru saja ia alami.
つづく
Tsudzuku
*) Wakizashi adalah versi mini katana yang umumnya digunakan para calon samurai untuk berlatih, bagian tajamnya di liliti benang agar tidak melukai manusia.
*)Kuchisake onna :adalah hantu yang sudah di percayai sejak zaman Heian, di Jepang. Menurut beberapa cerita rakyat hantu ini semasa hidupnya adalah wanita muda dan cantik yang hidup diawal dinasti Heian, ia adalah istri seorang samurai yang amat cantik namun sombong dan suka berselingkuh, suatu hari suami sang suami mengetahui bahwa telah di khianati, dan akhirnya menyerang istrinya dengan merobek bibir hingga ketelinga sang istri dengan menggunakan katana. Hantu ini selalu berkeliaran dan bertanya pada orang melihat wujudnya dengan pertanyaan 'apa aku cantik?'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top