105. Cinta Yang Kembali Dipersatukan -1-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

"Tunggu."

Baru saja Tenten hendak naik ke sebelah kursi kemudi yang akan diduduki oleh Neji. Tapi langkahnya terhenti ketika suara Naruto mencegahnya.

"Kau di dalam kereta saja. Menemani Hinata. Biar aku di luar sampai giliranku membawa kereta hingga ke Shinto Ryu."

"Tapi Hinata?" Tenten ragu. Pasalnya semenjak bertemu sang suami. Wanita yang tengah mengandung delapan bulan itu enggan di pisahkan dengan pria tercintanya. Bahkan Naruto harus menunggu Hinata tertidur dulu untuk mengantikan Neji membawa kereta dan membiarkan Tenten tidur di dalam kereta.

Naruto mendengus geli menanggapi keraguan Tenten. "Dia sudah cukup lama menghabiskan waktu dalam pelukanku sejak kemarin malam. Kurasa malam ini ia akan tidur nyenyak walau tak ku peluk. Lagi pula udara dingin tak baik untuk janinmu."

"Heh?!" Manik cokelat Tenten membulat. Ia bingung dengan penuturan mantan Jenderal Samurai ini.

"Dari mana kau tahu?" Kini Neji yang baru saja mengisi persediaan kantung air yang tak sengaja mendengar. Bahwa sang adik ipar juga tengah tahu berita kehamilan kekasihnya.

"Kalian lupa bahwa aku ini adalah keturunan kitsune walau kini energiku belum pulih sepenuhnya. Tapi jika untuk merasakan kehidupan kecil disana." Naruto menunjuk perut rata Tenten yang belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. "Aku masih bisa."

"Klan Hyuuga akhirnya memiliki penerus." Kakashi yang baru saja selesai mencapai punggung kudanya, turut bahagia atas berita kehamilan Tenten.

"Ku pikir kau manusia dingin yang tak tertarik pada wanita, Neji." Sai tersenyum tipis dari atas kudanya, ia tak sadar bahwa ucapan yang ia lontarkan dengan santai itu mampu membuat Neji menekuk wajahnya.

"Kita pergi sekarang! Kita harus tiba di Miyamoto sebelum malam." Putus Neji menyudahi dirinya yang akan segera menjadi bahan olokan.

...

"Kapan Sasu-ji akan mengajarkanku menggunakan katana?" Ishihara, bocah kecil salinan Uchiha Itachi itu bebicara dengan mulut yang di penuhi oleh nasi sambil mendongakkan kepalanya, mengerjapkan onix bulatnya menatap sang paman yang kini tengah memangkunya.

"Ishi-kun..., habiskan dulu makananmu..., baru berbicara pada Ji-san..." Sambil menuangkan ocha hangat ke cawan-cawan kecil Izumi menasihati putera semata wayangnya yang tengah bercengkrama dengan sang paman.

"Kau dengar apa kata ibumu...??" Sasuke mencubit gemas pipi tembam salinan kakaknya itu. Rasanya ia sedang mencubit versi mini Uchiha Itachi yang tak pernah ia lihat langsung selama ini. "Habiskan dulu makananmu.."

"Kau lihat itu Sakura...?" Izumi sedikit berbisik pada adik ipar perempuannya. "Sasuke sepertinya sudah tak sabar lagi menimang anak kalian..."

Tangan cekatan Sakura yang tadinya terulur untuk menggapai cangkir tanah liat yang berisi ocha kini tertuju pada perut buncitnya. Mengusap sayang sang buah hati yang bergelung nyaman disana. "Kami sudah tak sabar lagi..." Gumam Sakura pelan penuh harap.

"Seandainya saja..." Onix Hitam Izumi kini menatap kearah Sasuke yang tengah menyuapi makanan ke mulut putera semata wayangnya. "Seandainya saja Itachi-kun ada disini... pasti kebahagiaan kita akan terasa lebih lengkap." Izumi menundukkan kepalanya. Ia mati-matian menahan tangisnya yang hampir pecah. Semua tentang Itachi, suami tercintanya itu selalu mengundang kerinduan yang amat mendalam di relung hatinya.

Tangan Sakura menepuk lembut bahu Izumi. "Kami akan selalu ada untuk kalian Nee-sama, Sasuke-kun akan dengan senang hati menjadi figur ayah yang tak pernah di kenal oleh Ishihara..."

"Lalu bagaimana denganmu?"

Pertanyaan Izumi, sontak membuat Sakura mengerutkan dahinya. "Apa maksud Nee-sama?"

"Apa kau mau menggantikan ku menjadi sosok ibu bagi Ishihara, jika aku sudah tak bersamanya lagi...?"

"Apa yang Nee-sama bicarakan?" Sakura semakin kebingungan dengan arah pembicaraan janda Uchiha Itachi tersebut.

Diam. Izumi kemudian mengalihkan pandangannya pada sang putera yang kini berada di punggung Sasuke. Setelah menyelesaikan makan malam, keponakan dan paman itu menuju taman yang terhubung langsung dengan zanshiki. "Coba kau lihat mereka, lucu sekali." Izumi mengalihkan pembicaraan.

"Izumi-nee, katakan ada apa?" Sakura tak tertipu dengan cara Izumi mengalihkan pembicaraan. Ia masih berusaha mencari tahu tentang ucapan Izumi yang terdengar aneh di telinganya.

"Sakura... mau berjanji sesuatu padaku...?" Ucap Izumi lirih.

Anggukkan pelan Sakura menjadi jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Izumi.

"Jika terjadi sesuatu padaku... Kumohon rawat dan besarkanlah Ishihara..., anggap dia sebagai anakmu sendiri." Entah kenapa arah pembicaraanya yang aneh, lalu air mata yang mulai meleleh dari onix menantu sulung klan Uchiha ini, membuat Sakura diliputi tanda tanya luar biasa.

"Apa kau sakit? Izumi-nee..." Sakura mencoba memastikan, ia meraba kening Izumi yang tadinya di tutupi poni menyamping.

Menggeleng pelan, Uchiha Izumi lalu menggenggam tangan Sakura yang menempel pada keningnya. "Aku tidak sakit Sakura..., tapi entah kenapa malam ini aku merasakan gelisah... dan tiba-tiba aku merasa khawatir tentang nasib Ishihara jika aku tak bersamanya lagi.., dia akan menjadi yatim piatu..."

"Kau tak akan kemanapun Izumi-nee. Kau akan melihat Ishihara tumbuh besar dan menjadi seorang Jenderal yang tangguh." Sakura langsung memeluk kakak ipar yang sudah dia anggap lebih selama ini. Izumi sudah seperti kakak kandung bahkan ibunya sendiri.

'Entahlah Sakura... malam ini aku sangat merindukan Itachi-kun... dan kurasa dia juga sangat merindukanku... aku sangat ingin memeluknya malam ini... rasanya tak tertahankan lagi untuk melepaskan rindu dan memadu kasih dengannya...'

...

"Kita dimana...?" Suara serak khas bangun tidur ini kini mendominasi pria berkulit tan yang tengah melepaskan montsuki lusuhnya. Naruto langsung membalikkan tubuhnya yang bertelanjang dada kehadapan sang isri yang baru saja terbangun.

Duduk diatas futton lembut, Hinata sedikit mengerjapkan manik ovalnya sambil sesekali menggunakan tangan lentiknya untuk mengusap kelopak mata sewarna bunga lili miliknya yang masih terlihat sayu. Sesekali mulutnya menguap kecil. Menandakan bahwa ia belum sepenuhnya terjaga dari tidur nyamannya.

Tersenyum tipis, Naruto berjalan perlahan menghampiri sang istri. Duduk diatas futton yang sama dimana sang istri tengah berbaring menyamping. "Kita sudah tiba di Shinto Ryu..." Bisiknya lembut sambil mengecup lembut poni rata yang menutupi kening mulus sang istri.

"Kenapa tak membangunkanku...?" Hinata merajuk. Ia mengubah arah berbaringnya hingga memunggungi sang suami. "Aku kan ingin mengucapkan salam untuk para Sensei disini..."

Tersenyum tipis melihat sikap manja sang istri. Naruto mengambil langkah ikut berbaring, masuk kedalam selimut yang sama yang menghangatkan sang istri. Tak lupa tangannya yang kini mendekap posesif sang istri, melingkar di perut besar Hinata dan sedikit mengelusnya.

"Hime...," mengabaikan Hinata yang sedang merajuk. Tangan Naruto malah dengan lincahnya menyibak surai kelam Hinata hingga menampakkan tengkuk putihnya yang menguarkan wangi memabukkan. Dan dalam sekejap kini wajah tampan keturunan kitsune ini tenggelam pada tengkuk menggairahkan sang istri. "Hime... Asuma sensei-"

Belum selesai Naruto berbicara, Hinata malah membalikkan tubuhnya hingga ia kembali saling berhadapan dengan sang istri. "Ada apa, Naruto-kun...?" Dari suara bergetar Naruto, Hinata mengerti bahwa suaminya itu tengah mati-matian menahan tangis. Mengabaikan rasa kesalnya pada Naruto, kini tangan lembutnya mengelus rahang tegas milik sang suami.

Dan tiba-tiba, tangan kekar itu kembali merengkuh tubuhnya lebih dalam, kepalanya ia tenggelamkan pada dada berisi sang istri. Dan tak lama Hinata yang membalas pelukan Naruto, merasakan punggung tegap sang suami bergetar. Naruto kembali menangis dalam diam. "Mereka membunuh Asuma sensei..."

Hinata menghela nafas panjang, tangannya yang tadi sibuk mengusap sayang bahu tegap sang suami, kini berpindah pada bagian belakang kepala kuning Naruto. "Menangislah Anata... menangislah... jangan ada satupun hal menyesakkan yang kau simpan."

Hinata sadar..., tak ada satupun hal berharga yang bisa ia berikan untuk membantu Naruto disaat tersulitnya. Kecuali rasa nyaman yang kini tengah ia berikan pada sang suami yang tengah menanggung beban kehidupan yang begitu berat.

...

Teruntuk gadis pemalu yang kutemui di dojo istana barat,

Hai... Izumi..., bagaimana? Apa suratku sampai di tanganmu tanpa ada tetua yang mengetahuinya? Jika iya kuharap kau sedang tersenyum ketika membaca suratku ini... Kau tahu siapa aku? Ya kau harus tahu... karena kelak kita akan menghabiskan sisa waktu bersama... hingga rambutmu dan rambutku sama-sama memutih...

Izu-chan..., bolehkah aku memanggilmu seperti itu? Aku tahu kita tak banyak bicara disaat pertemuan pertama kita... Tapi melihatmu yang tertunduk malu saat tanpa sengaja kita saling bertatapan, aku rasa kau berbeda dengan gadis-gadis Uchiha lain yang gemar bersolek dan bersikap seolah akan menerkamku ketika berjumpa di jalan.

Kau berbeda, pipimu yang memerah dan menunduk malu saat aku menatapmu, membuat jantungku berdetak cepat sejak malam itu dan aku mulai berharap kaulah yang di pilihkan tetua untuk mendampingi hidupku.

Izu-chan..., aku merasa Kami-sama terlalu baik padaku. Ketika Kaa-sama datang kekamarku dan memberitahu bahwa kaulah yang di pilihkan tetua untuk menjadi istriku..., aku ingin bicara banyak dan lebih mengenalmu..., untuk itu aku memohon, akhir pekan ini aku kembali dari Shinto Ryu..., ku harap kau sudi untuk bertemu denganku di tepian danau Seiho... aku akan menunggumu di pohon sakura terbesar disana...

Uchiha Itachi
Pria yang telah kau curi hatinya

...

"Itachi-kun... aku sangat merindukanmu..." Memeluk erat surat cinta pertamanya yang dikirimkan oleh pria yang paling ia cintai di muka bumi ini. Izumi tak kuasa menahan isakan tangisnya. Entah mengapa tak seperti biasanya. Dirinya yang selalu tampak tegar dan mampu mengendalikan emosinya, malam ini ia tak dapat membendung lagi rasa rindunya yang ia pendam bertahun-tahun.

Iris kelamnya kini melirik sekilas putera semata wayang yang merupakan warisan berharga dari pria yang amat ia cintai. Uchiha Ishihara, bocah laki-laki salinan Uchiha Itachi itu tengah tertidur lelap sambil mengisap satu jempolnya.

Izumi, menyelimuti putera kecilnya dengan selimut tebal, lalu ia pun ikut masuk kedalam selimut itu, berbaring dan memeluk erat seseorang paling berharga yang membuatnya memiliki alasan hidup setelah kematian Uchiha Itachi. "Okaa-san sangat menyayangi Ishi-kun..." Memeluk erat sang putera seolah malam itu adalah pelukan terakhir mereka.

...

Hembusan angin musim semi yang menerbangkan helaian demi helaian kelopak bunga sakura. Pagi itu menjadi saksi betapa gugupnya seorang gadis yang berdiri di bawah pohon sakura sambil memegang erat payung merah muda yang menaunginya.

Izumi berdiri sendirian di pagi hari kala danau yang terkenal dengan kecantikan bunga sakura di halamannya tersebut masih sepi. Ia begitu bersemangat untuk bertemu sang pujaan hati, hingga datang lebih awal dari waktu yang mereka sepakati.

Sesekali iris bulat hitamnya melirik ke kanan dan kiri, memastikan orang yang dinantinya akankah sudah datang. Rasa takut bercampur bahagia memenuhi relung Uchiha Izumi.

Bahagia, karena ia akan menghabiskan waktu berdua secara intens dengan calon suaminya. Terlebih lagi ini bukanlah bagian dari ritual resmi perjodohan mereka.

Uchiha Itachi, sulung dari keluarga inti Uchiha itu, dengan sengaja dan secara khusus mengirimkan surat padanya yang di titipkan pada seorang samurai yang melintasi rumah sederhananya yang tak berjarak jauh dari Istana Kamakura Bakufu. Tempat tinggal bangsawan Uchiha yang menguasai mutlak militer dinasti Heian.

Pipi tembam Izumi tiba-tiba merona hebat, ketika mengingat kembali surat yang dikirimkan Itachi untuknya. Ia tak menyangka seorang calon Shogun seperti Itachi begitu bersemangat ketika mendapat perjodohan dari Uchiha golongan bawah yang asal usulnya tidak jelas seperti dirinya.

Ia sedikit menunduk memastikan pakaian yang ia kenakan saat ini. Izumi mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki untuk bertemu dengan pujaan hatinya. Furisode putih dengan motif bunga dandelion dan obi ungu muda, begitu pas melilit tubuh eloknya. Jemarinya lalu beralih ke surai cokelat panjangnya yang terurai, menyisir pelan agar rambutnya yang sedikit kusut karena terpaan angin.

Tersenyum tipis setelah merapikan rambutnya, kini Izumi mengalihkan rabaannya ke atas kepalanya. Setelah merasakan kanzashi bunga lilinya tak berpindah posisi, kini ia kembali melirik ke sekeliling, ia takut jika keberadaannya disini diketahui oleh para tetua klan Uchiha.

Izumi tahu ini salah. Tak seharusnya ia melanggar peraturan klan Uchiha. Sebelum hari pertunangan mereka tak diizinkan saling bertemu. Namun rasa rindunya pada Itachi membuat gadis penurut sepertinya mengenyampingkan peraturan yang selama ini ia taati.

"Maaf sudah lama menunggu..."

Kepala cokelat Izumi yang menunduk, akhirnya terangkat ketika mendengar seseorang berbicara dihadapannya. Manik onixnya membulat sempurna ketika menyadari siapa yang ada dihadapannya. Jatungnya berdetak cepat ketika onixnya dengan onix pria tampan yang berhadapan dengannya saling beradu.

Izumi lancang menatap tiap jengkal wajah tampan Uchiha Itachi. Terakhir kali mereka saling menatap seperti ini adalah tiga tahun lalu, saat malam dimana Izumi menghadap tetua untuk mengikuti seleksi pemilihan calon istri calon Jenderal Samurai ini. Dan setelah malam itu, Itachi harus di kirim ke Shinto Ryu, untuk menjalani pendidikan sebagai seorang samurai.

"Kau semakin cantik dari terakhir aku melihatmu malam itu."

Sadar dari pandangan lancangnya ketika Itachi kembali berbicara padanya, Izumi buru-buru kembali menundukkan pandangannya. Namun sebelum kepala cokelatnya kembali menunduk sempurna, tangan kekar Uchiha Itachi menopang dagunya.

"Kumohon biarkan aku menatap wajah cantikmu..."

Guratan merah kembali menghiasi pipi tembam Uchiha Izumi, ketika Itachi melemparkan pujiannya. Terlebih lagi Itachi meraih dan menggenggam tangannya yang tidak memegang gagang payung. "Ayo jalan-jalan..."

...

Sesekali onix hitam Uchiha Itachi memandang dari samping gadis yang berjalan berdampingan dengannya. Cukup lama mereka berjalan mengitari tepian danau itu, namun tak sepatah katapun yang terucap dari mulut kedua insan ini. Hingga Itachi memutuskan untuk mengakhiri keheningan tersebut.

"Izu-chan..."

Kepala Izumi yang tertunduk sontak mendongak, ketika namanya dipanggil begitu lembut oleh sang pujaan hati.

"Ha... ha... hai' Uchiha-sama..." Ucapnya terbata karena rasa gugup yang mengisi hatinya.

'Heh? Uchiha-sama, panggilan macam apa itu?' Itachi merutuk dalam hati, wajahnya juga merengut. Tidak sesuai ekspektasinya ketika pertama kali Izumi memanggilnya. Ia sangat berharap bisa lebih akrab dengan calon istrinya ini. Tidak, ia tak mau memiliki hubungan pernikahan seperti orang tuanya.

Hubungan Fugaku dan Mikoto lebih terlihat seperti hubungan seorang daimyo dengan tangan kanannya dibandingkan sepasang suami istri. Itachi menarik nafas pelan, ia mengerti bahwa calon istrinya itu sudah di cekoki aturan kaku dari tetua klannya.

"Kau seorang Uchiha juga... rasanya aneh jika kau memanggilku seperti itu. Kau boleh memanggil nama kecilku..."

"Apa boleh?" Tanya Izumi ketakutan.

Itachi mengangguk semangat, menggamit tangan putih Izumi yang sempat ia lepaskan. "Nah sekarang coba panggil nama kecilku..."

"I... ita...chi-sama..."

"Ck... bukan begitu..." Berdecak kesal karena panggilan itu tak sesuai dengan harapannya.

"Ita...chi-san?"

Kembali Itachi menggeleng seraya menuntun gadisnya duduk di perahu yang akan membawa mereka ke tengah danau.

"Itachi-kun..." Bisik Itachi lembut tepat ditelinga Izumi ketika mereka telah duduk berdua di atas perahu.

"Bagaimana bila para tetua marah...?" Tanya Izumi ragu.

"Mereka akan marah jika kau memanggilku seperti itu dihadapan mereka." Kembali bisikan Itachi membuat darah Izumi berdesir.

"Arigatou... Ita..chi-kun..." Gumam Izumi pelan sambil menundukkan wajahnya yang memerah.

"Ai shiteru, Uchiha Izumi..."

Sepasang onix Uchiha Izumi terbelalak seketika. Seorang Uchiha Itachi menyatakan cinta padanya. Ia tak pernah sedikitpun berharap bisa mendapatkan cinta dari seseorang terhormat seperti Uchiha Itachi.

'Kami-sama terlalu baik padaku hingga mengirimkan kau untuk mencintaiku...'

...

Wataboshi yang menutupi kepala dan sebagian wajahnya yang tertunduk malu, kini telah tersingkap sempurna. Surai cokelatnya yang tadinya disanggul tinggi dan dihiasi banyak kanzashi, kini terurai sempurna hingga mencapai pinggul.

Wajah malu-malu keduanya, menandakan bahwa pasangan pengantin baru ini masih belum menyangka bahwa keduanya kini telah terikat dalam jalinan ikatan suci pernikahan.

"Ne, Izu-chan..."

Sang istri menatap wajah tampan suaminya, ketika namanya diserukan. "Hai' Itachi-kun..."

Temaram rembulan malam itu menerpa wajah cantik Izumi. Membuat pria yang baru tadi sore menjadi suaminya itu, kian berhasrat untuk mendekat.

Itachi hanya perlu sedikit memajukan posisi duduknya, karena kini mereka sudah duduk saling berhadapan. Dengan lembut ia kecup kening gadis yang kini telah resmi menjadi istrinya.

"Mulai hari ini tak ada lagi aku ataupun kau, mulai hari ini yang ada adalah kita..." Tangan kekar Uchiha Itachi merengkuh lembut tubuh sintal sang istri, membawa Izumi kedalam dekapan hangatnya.

"Aku milikmu Itachi-kun..." Jawab Izumi seraya menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang suami. Ia tiba-tiba terkesiap ketika Itachi sontak menjauhkan tubuhnya dari dekapan yang begitu nyaman. Terlebih lagi Itachi mencengkram kedua lengannya dengan tatapan tajam.

"Jangan berkata seolah-olah kau budak yang berada dalam genggamanku."

Izumi tertunduk takut melihat sorot tajam tatapan Itachi. Sebenarnya ia sudah sering diingatkan Itachi untuk tidak menganggapnya sebagai Uchiha dari keluarga utama.

"Kau dan aku saling memiliki Izu-chan... sekarang tak ada lagi perbedaan strata diantara kita, aku adalah suamimu dan kau adalah istriku..., kau tak boleh membangun jarak diantara kita..." Itachi kembali membawa kepala Izumi bersandar pada dada bidangnya. Ia dapat merasakan montsuki pernikahannya basah karena air mata gadis yang berada dalam dekapannya tersebut.

"Arigatou... arigatou Itachi-kun... terima kasih karena membalas cintaku yang sederhana ini..."

...

Iris biru pucatnya menatap pantulan tubuhnya di cermin. Ootsutsuki Toneri, malam ini mengenakan pakaian zirahnya. Bukan untuk berperang. Kaisar baru yang naik takhta atas sebuah pengkhiatan itu mengenakan pakaian perang untuk sebuah niatan keji yang telah ia rencanakan rapi. Berburu Hoshi no tama yang kini tersimpan dalam rahim wanita yang tengah mengandung benih siluman rubah ekor sembilan.

"Kau tampak suda siap?" Suara seseorang yang baru saja membuka pintu geser, membuat Toneri terkesiap. Menolehkan pandangannya pada Yahiko yang kini juga telah siap dengan pakaian perangnya.

"Aku sudah tak sabar lagi menangkap perempuan hamil itu bersama si rubah busuk, Naruto." Toneri tersenyum tipis sembari menyematkan katananya di sisi tubuhnya. "Bagaimana dengan rencana di istana Kamakura Bakufu?" Kembali Toneri bertanya dengan seringai liciknya.

"Uchiha keparat itu nampak tengah menikmati hari-hari senggangnya. Ia bahkan tak menyadari salah satu samurai yang berjaga di istananya adalah pengkhianat." Yahiko menapakkan satu langkahnya di atas tatami.

"Aku yakin dia tak akan mati dalam kebakaran itu." Toneri membalikkan tubuhnya dan menghadapkan wajahnya di depan wajah Toneri.

"Setidaknya jika satu Uchiha lemah yang tersisa itu mati, Sasuke akan di sibukkan dengan keterpurukan kehilangan keluarga berharganya." Ujar Yahiko licik. "Apa lagi jika istri hamilnya yang mati."

"Khe..." Toneri tertawa remeh. "Siapapun diantara Uchiha sisa itu yang mati. Pasti akan membuat hidup Sasuke bagai di neraka. Tapi akan lebih baik bila mereka semua mati dan hanya menyisakannya sebatang kara. Kupastikan dia akan melakukan seppuku*)" Toneri menyeringai tipis membayangkan klan Uchiha yang benar-benar binasa sesuai rencananya.

"Sebenarnya aku sangat berharap bisa menyetubuhi janda Uchiha Itachi itu sebelum kita membinasakan mereka. Namun sepertinya memakan janin kitsune itu nampaknya jauh lebih menyenangkan. Terlebih lagi menyetubuhi sang Murasakiiro no Hime sebelum mengeluarkan janinnya." Yahiko menjilat bagian atas bibirnya membayangkan betapa elok dan berisi tubuh Hinata yang tengah hamil tua itu.

"Kita akan pikirkan itu nanti. Sekarang kita harus begegas menuju desa Miyamoto. Begitu mereka keluar dari Shinto Ryu. Dan satu lagi pastikan Kabuto menemui kita di Naniwa setelah memastikan istana Kamakura Bakufu habis terbakar."

Yahiko mengangguk disertai seringai penuh kemenangan atas perintah Toneri tersebut. "Kita akan mengeluarkan janin busuk itu di Naniwa?" Tanya Yahiko memastikan rencana keji mereka tersusun rapi.

"Kita akan menggunakan goa dimana kita menyembah Jashin-sama dan melakukan penyembelihan pada rubah betina dan bayi-bayi rubah itu." Jawab Toneri tersenyum tipis mengingat kehidupan abadi yang akan segera di perolehnya.

"Sekarang waktunya bergerak. Karena Hidan tengah mengikuti mereka sekarang." Ucap Yahiko sembari meninggalkan kamar megah yang pernah di huni oleh Kaisar Hashirama dan Permaisuri Mito itu.

Tengah malam ketika Kyoto tengah terlelap dalam belaian angin malam musim dingin. Rombongan Kaisar bersama anggota Akatsuki yang tersisa dan beberapa pasukan Samurai pengkhianat, bergerak ke arah desa Miyamoto. Desa kecil yang terletak di sebelah barat daya ibu kota Dinasti Heian. Desa kecil dimana berdirinya perguruan samurai tertua yang telah mendidik samurai tangguh yang menjaga dinasti ini.

つづく
Tsudzuku

Seppuku (切腹?, arti harfiah: "potong perut") adalah suatu bentuk ritual bunuh diri yang dilakukan oleh samurai di Jepang dengan cara merobek perut dan mengeluarkan usus untuk memulihkan nama baik setelah kegagalan saat melaksanakan tugas dan/atau kesalahan untuk kepentingan rakyat dan tanggung jawab atas keluarganya.

Seiho-ike (danau Seiho) adalah danau buatan yang terletak di tengah Kyoto. Danau ini sejak zaman dinasti Heian sudah menjadi taman di karenakan banyak pohon bunga termasuk sakura yang tumbuh di tepian danaunya. Di dekat danau juga terdapat kuil Heian Jingu yang merupakan warisan budaya dari dinasti Heian. Berikut penampakannya :

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top