104. Serigala Berbulu Domba-2-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

🌸🌸🌸🌸

Song Fic : Star and Sun
By :Key (Lovelyz)
Ost. Master Of Mask

"Ayo kita kembali ke gerbang istana... Sebentar lagi Kou-san menjemputmu..." Tangan kecokelatan mungil itu terulur, mengajak gadis kecil yang tengah duduk sambil memeluk lutut di tangga kuil untuk ikut bersamanya.

Kepala indigo itu menggeleng pelan, mengerjapkan sekilas kelereng ungu oval yang tersimpan di balik kelopak mata sayunya. Kendati sang senja kian meredup, walau para burung telah bergegas kembali kesarangnya, tapi puteri bangsawan dengan julukan Tuan Puteri Lotus Ungu ini, nampak tak ingin meninggalkan sahabat tercintanya, kembali ke kediaman megahnya.

"Aku ingin lebih lama lagi bersama Naruto-kun...," mencicit pelan, kini Hinata kecil menautkan dua telunjuknya di depan dada, wajah tembamnya yang semula berwarna putih kini memerah bak buah persik yang tengah matang.

"Hehehehe..." Terkekeh pelan, bocah dengan surai kuningnya yang mencuat kesegala arah itu, menaiki kembali satu persatu anak tangga kuil yang sudah ia turuni beberapa waktu lalu. "Jadi Hime tak mau pulang?" Berjongkok dihadapan gadis kecil yang selalu di panggilnya Hime, Naruto kecil mengerjapkan safir birunya yang begitu meneduhkan.

Tersenyum tanpa dosa, Hinata kecil malah menggelengkan kepala indigonya dengan manja sambil menggembungkan pipi tembamnya. "Aku ingin selalu bersama Naruto-kun..."

Deretan gigi putihnya yang berbaris rapi, malah menjadi jawaban Naruto kecil, atas permintaan gadis kecil yang duduk di hadapannya. Dan seketika gadis kecil dengan marga Hyuuga itu terkesiap saat helaian kuning berantakkan itu menempel pada pahanya yang terlapisi Yukata biru muda. Naruto kecil menyandarkan kepala pirangnya pada pangkuan Hinata kecil. Satu-satunya perempuan yang menjadi tumpuan penderitaannya.

"Naru juga ingin selalu bersama Hime... tapi ini belum saatnya..." Wajah tannya ia tenggelamkan pada pangkuan sang Murashakiro no Hime, mencari kenyamanan disana dengan menggesekkan hidung mancungnya pada kain berbahan sutera tersebut.

Putihnya salju kembali menjadi saksi cinta dua insan yang telah terikat, bahkan sebelum mereka mengenal cinta.

...

'Apa ini sudah saatnya Naruto-kun...? Apa ini saatnya kita selalu bersama dan tak terpisahkan lagi? Apa ini saatnya kebahagiaan berpihak pada kita...? Apa ini akhir penderitaan yang harus kita jalani atas dosa-dosa kita...?'

Percikan air dingin yang sedikit membasahi wajahnya, membuat Hinata tersadar dari lamunannya. Pandangan mutiara ungu pucatnya yang sejak tadi terfokus pada tenangnya danau Biwako, kini tertuju pada sosok yang memercikkan air danau yang dingin pada wajahnya.

Naruto baru saja menyelesaikan meditasinya menyambut sang surya, lalu pandangannya teralih pada sosok mungil yang duduk bersimpuh di hamparan rumput yang dilapisi salju. Tatapan kosong mutiara kesayangannya itu membuat Naruto tergelitik mengganggu sang istri dengan menyipratkan air danau yang dingin ke wajah sang istri.

"Jangan terlalu sering melamunkanku...," ia berjongkok dihadapan sang istri, menyejajarkan wajah tampannya dengan wajah syahdu sang istri. Wajah polos penuh kedamaian yang selalu mampu meredakan emosinya kala terbakar.

"Percaya diri sekali..." Wajah cantik Hinata mematri senyuman teramat manis yang mengundang gelak tawa Naruto.

Tangan kekar sewarna madu itu lalu terulur membelai surai kelam Hinata yang di hinggapi butiran salju. "Memangnya apa yang ada di pikiranmu selain diriku...?"

Tanpa permisi Naruto langsung
mendaratkan kepala kuningnya pada pangkuan Hinata. Mencari titik nyaman disana dan memainkan surai kelam sang istri yang menjuntai hingga ke wajahnya.

Elusan sayang pada surai pirang Naruto, menjadi balasan Hinata atas kelincahan tangan sang suami yang tengah memainkan helaian indigonya. "Tentu saja, ada pria lain yang kini selalu saja mengusik pikiranku..." Jawab Hinata dengan tatapan menantang pada safir biru pria tercintanya.

Jawaban Hinata sontak membuat Naruto mengerutkan dahinya. Tampak jelas bahwa pria dengan darah kitsune yang mengalir pada tubuhnya ini, tak senang dengan jawaban sang istri. Tangan tannya terulur, menggapai bagian belakang kepala sang istri. Hingga Hinata tertunduk dan kedua iris mereka beradu. "Katakan siapa pria yang sedang mencari mati itu?!"

Bukan menjawab, Hinata malah tersenyum tipis, lalu menundukkan kepalanya dan mengecup sayang kening suami tercinta yang tengah berbaring di pangkuannya. Tangan lembutnya lalu terulur dan menggapai tangan sang suami yang bertengger di tengkuknya.

Menuntun tangan yang terbiasa mengayunkan katana itu pada perut besarnya yang berisi buah hati mereka. Mengajak tangan sang suami mengelus penuh sayang buah cinta mereka yang tengah bergelung nyaman disana. "Tentu saja, Boruto kita... Apa Naruto-kun tidak selalu memikirkannya...?"

Naruto terkekeh pelan mendengar sang istri yang mulai pandai mengajaknya bercanda. "Tentu saja... mana ada seorang Ayah tak memikirkan darah dagingnya..."

Hinata tersenyum tipis, tangan seputih susunya masih senantiasa mengelus sayang surai kuning sang suami. "Naruto-kun tahu, apa yang ada di pikiranku saat ini...?"

Duduk untuk lebih jelas mendengarkan isi hati sang istri, Naruto memilih menyandarkan kepala Hinata pada dada bidangnya dan membiarkan wanita yang tengah mengandung benihnya itu, mencari kenyamanan pada tubuh kekarnya. "Kadang-kadang kaum kitsune dapat membaca pikiran manusia..., tapi karena ayahku seorang manusia, kemampuan itu sering hilang dan muncul."

"Aku sedang membayangkan wajah tampan jagoan kita..., kurasa dia tak akan mengambil sedikitpun ciri fisikku..." Ujar Hinata sambil menerawang ke langit musim dingin Heian.

"Apakah dia lebih mirip Naruto-kun atau aku... Bagaimana perangainya nanti...? Apa akan seperti Naruto-kun kecil... Akan sangat tampan bila dia memiliki surai yang tebal sepertiku tapi dengan warna kuning seperti surai Naruto-kun... Juga dengan guratan yang seperti punya Naruto-kun... Ah... dan jangan lupa matanya harus sebiru Naruto-kun dan Minato Otou-san.." Hinata terkekeh sendiri membayangkan angan-angannya tentang anak yang belum ia lahirkan kedunia. "Kalau menurut Naruto-kun bagaimana?"

Hinata mendongakkan kepalanya kala tak sepatah katapun keluar dari mulut suaminya. Dan beberapa saat kemudian wajah cantiknya mematri raut kekesalan, mendapati Uzumaki Naruto tengah asyik mengecupi pucuk kepalanya sambil memejamkan mata.

"Naruto-kun tak mendengarkan ku..." Rajuk Hinata sambil berusaha bangkit dari sandarannya.

Tapi Hinata kalah cepat. Naruto buru-buru menarik bahu Hinata, hingga wanita yang tengah hamil tua itu kembali bersandar pada dada bidangnya. "Bagaimanapun rupanya..." Pria itu menegadahkan pandangan pada langit yang sewarna dengan irisnya.

Rasa hangat menjalar di tubuh Hinata, kendati cuaca dingin bersalju mulai menyelimuti Heian. Sang suami melingkarkan tangan pada perut besarnya dan mengelusnya lembut.

"Aku hanya ingin dia hidup dengan bahagia, tanpa kekurangan cinta dan kasih sayang dari kita berdua..." Harap Naruto tulus sambil mengecup lembut pipi tembam kemerahan sang istri. "Karena aku sudah merasakan hidup tanpa orang tua disaat aku membutuhkan perlindungan dan kasih sayang mereka."

Hinata bangkit dari sandaran pada dada bidang suaminya. Berbalik dan menatap lembut wajah suaminya yang menyendu. Perlahan tangannya terulur dan mengusap sayang rahang tegas yang dilapisi kulit kecokelatan tersebut. "Kita akan membesarkan dan merawatnya bersama Naruto-kun... Boruto kita tak akan pernah mengalami nasib yang sama seperti mu."

Mengeratkan pelukan dari belakangnya pada sang istri. Naruto lalu menenggelamkan wajahnya pada bahu kecil Hinata. Mencari tumpuan kenyamannya disana.

...

"Mereka mau sampai kapan begitu? Hari semakin siang kita harus tiba di Shinto Ryu sebelum malam." Sepasang mata onix itu menatap bosan dua insan yang tengah membagi kemesraan di tengah dinginnya udara yang menyelimuti tanah Heian.

"Kau sepertinya sudah tak sabar ingin bertemu dengan istrimu, Sensei..." Sai tersenyum tipis sambil menyandarkan tubuhnya kepohon mahoni besar. Ia geli melihat kelakuan sang guru yang menggerutu kesal menyaksikan kemesraan Naruto dan Hinata. "Tenang saja Shizune-sensei masih setia menanti pria tua sepertimu di Shinto Ryu..." Tambah Sai tanpa dosa.

Kakashi, guru samurai yang selalu menutupi sebagian wajahnya dengan masker itu, hanya dapat menghela nafas pasrah mendengar ucapan tajam dari muridnya tersebut. "Tapi...," ia mulai buka suara. "Aku merasa cukup lega sekarang. Rasa gagalku dalam mendidik kalian kini sedikit terobati." Kini Kakashi duduk bersila di bawah pohon pinus disusul dengan Sai.

"Walau mereka berkata tak akan kembali seperti dulu lagi..." Melingkarkan tangan di kedua lututnya, Sai lalu mendongakkan kepalanya ke langit biru. "Tapi aku yakin ikatan persaudaraan yang terjalin antara Sasuke dan Naruto tak mungkin terputus begitu saja."

Kakashi mengangguk setuju dengan pendapat Sai. Sasuke dan Naruto sama-sama korban dari kelicikan politik. Sama-sama kehilangan keluarga karena kekuasaan. Dan sama-sama keluar dari lembah dendam yang menyelimuti mereka karena sebuah ikatan persaudaraan yang terjalin tulus.

"Intinya kau tak perlu khawatir Sensei, aku, Naruto dan Sasuke pasti akan datang bersama untuk membakar jenazahmu kelak..." Sai tersenyum bodoh tanpa tahu persis bahwa pernyataannya sudah mengganti suasana haru biru yang kini ia bangun menjadi emosi jiwa yang membuncah.

...

"Rubah bodoh itu!" Neji mengumpat kesal melihat adiknya tengah di cumbui oleh pria pirang yang berstatus adik iparnya dibawah pohon pinus. "Masih sempat-sempatnya bercumbu di suasana mengancam seperti ini."

"Tenanglah Neji-sama..." Tenten mengelus lembut lengan kekar Neji. "Mereka berdua sedang melepas rindu setelah banyak hal buruk yang mereka alami... lagi pula wajar mereka ingin berinteraksi dengan jabang bayi mereka... kau juga akan merasanyakan kelak..."

Dahi sulung Hyuuga itu mengernyit mendengar penuturan ganjil Tenten, ditambah lagi gerakan tangan Tenten yang mengelus perut ratanya. Dan iris mutiara Neji membulat seketika Tenten kembali menyuarakan pernyataannya. "Kau akan menjadi ayah Neji-sama..."

...

"Kalau kau kembali menaikkan pajak, kau akan membuat petani-petani itu tak memiliki modal untuk mengurus kebun dan sawahnya. Heian akan di landa kekeringan di musim panas tahun depan, karena tak memiliki stok bahan pangan."

Toneri lagi-lagi mendengus kesal. Bayangkan ia adalah seorang Kaisar, tapi untuk memutuskan suatu hal saja, Uchiha Sasuke yang seharusnya hanya mengatur militer dan kemanan Diansti ini juga turut ikut campur dalam urusan perpajakan. Dan yang lebih parahnya lagi, dewan pemerintahan yang merupakan warisan dari Hashirama, justru lebih mendengarkan pendapat seorang Jenderal Samurai, dibandingkan dirinya yang seorang Kaisar.

"Sebaiknya kita fokus, membangun kembali Kyoto yang rusak akibat penyerangan tempo hari." Santai. Sasuke bahkan mengemukakan pendapatnya setelah menenggak teh hijau hangat tanpa gula kesukaannya. "Dan untuk biayanya dari pada mengharapkan pajak, bagaimana bila menggunakan harta pribadi istana Dairi dan Kamakura Bakufu?"

"Mana bisa begitu!" Toneri naik pitam. Ia berdiri dari singgasananya ketika Sasuke mengusulkan harta pribadi keluarga kekaiasaran warisan Hashirama di keluarkan untuk membangun kembali Kyoto.

"Kami setuju dengan usulan Shogun-sama..."

Sasuke tersenyum tipis, saat para menteri peninggalan era Hashirama jauh lebih tunduk padanya.

"Kalian!!!" Toneri bahkan hampir turun dari tangga singgasananya untuk menghabisi semua menteri tersebut, jika saja Yahiko tak menghalaunnya.

"Khe...," Sasuke mendengus remeh, "kau mau membunuh mereka semua? Lalu siapa lagi yang akan menjadi menteri? Jangan kekanakan Toneri."

Toneri mengepal tinjunya, saat Sasuke dengan lancang hanya memanggil namanya dihadapan dewan menteri.

"Aku tak mau hidup di kota mati. Kyoto harus kembali bergeliat seperti sedia kala. Jika kau hanya ingin berfoya-foya disini, sebaiknya kembali ke Naniwa dan jadilah Kaisar boneka yang memantau roda pemerintahan dari jauh, susah payah ku rebut kota ini bukan untuk di jadikan kota mati." Tanpa rasa hormat dan menatap wajah sang Kaisar baru. Jenderal Uchiha itu melenggang santai keluar dari balai pertemuan Istana Chodo-in.

...

"AGGHHHHHHH!!!!"

Brukkk

Prangggg

Para dayang yang bertugas menyajikan makanan untuk sang Kaisar baru itu, berlari terbirit-birit meninggalkan Kaisar mereka yang tengah mengamuk

Toneri menggeram murka, menarik taplak meja yang diatasnya tersaji hidangan mewah, hingga peralatan makan yang terbuat dari keramik negeri Tang itu, pecah, hancur dan porak-poranda.

"Kemana Toneri yang selalu bersikap tenang dan licik mengatur strategi?" Yahiko yang berada diambang pintu geser itu tampak mendengus remeh melihat hasil amukan sang Kaisar.

"Habisi seluruh Uchiha itu, agar dia menangis darah dikakiku!"

Yahiko kembali tertawa, mendengar rencana gegabah Toneri. Tampaknya takhta membuat pria itu kehilangan kelicikan cerdasnya. "Itu akan menjadi hal mudah bila kita telah mendapatkan hoshi no tama dan janin rubah itu." Yahiko menyeringai seraya menggoyang-goyangkan gulungan di tangannya.

"Apa itu?" Kini perhatian Toneri justru tertuju pada gulungan di tangan Yahiko.

"Pesan dari Hidan, ia menemukan rombongan itu tengah bersantai di tepi danau Biwako. Mereka akan mampir ke Shinto Ryu setelahnya."

Mendengar penuturan Yahiko, seketika rasa kesalnya pada Sasuke sedikit mereda. Ada hal yang saat ini lebih penting dari kata-kata pedang Sasuke.

"Kita bergerak malam ini. Pastikan kita juga mendapat Hoshi no Tama Nawaki dan janin itu. Setelah itu, kita buat Uchiha punah dari peradaban Heian." Gumam Toneri dengan seringai bak iblisnya.

...

"Yang mulia, makanannya sudah siap hamba mohon makan sedikit saja..." Dayang cantik itu, sudah berulang kali mengganti makanan yang disajikan untuk sang Putera Mahkota. Namun bocah berusia sepuluh tahun keturunan Senju itu masih diam tak bergeming.

"Tinggalkan aku sendiri Tomoyo." Iris Karamel Nawaki, masih memandang kosong. Bayang-bayang kematian keji yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Mereka yang telah pergi tak akan kembali, Ouji-sama. Tenno-sama dan Kogo-sama pasti akan sangat sedih, bila harapan mereka terus berlarut dalam kesedihan, hidup masih tetap berlanjut, Yang Mulia...." Usai mengutarakan isi hatinya dengan lirih, Tomoyo berjalan menyusuri rokka, membiarkan sang pangeran kecil untuk merenungi keterpurukannya dan kembali bangkit.

"Tunggu..."

Langkah Tomoyo terhenti, ia sangat yakin bahwa suara yang memanggilnya itu adalah suara sang pangeran kecil.

...

Dua orang dengan perbedaan usia terpaut lima tahun itu, menatap sendu mentari Kyoto yang tak begitu menyengat siang ini. Ya..., musim dingin membuat udara teduh walau sudah mencapai tengah hari.

"Yang Mulia, masih cukup beruntung... Walau kedua orang tua Anda sudah tiada, akan tetapi..., masih banyak orang yang peduli pada Anda..."

Kepala Nawaki kini tertoleh, iris karamelnya menatap intens Tomoyo yang mulai bercerita sambil mengayunkan kedua kakinya yang tergantung di rokka. Gadis berusia lima belas tahun yang ia ketahui adalah seorang dayang yang penurut ternyata menyimpan banyak kesedihan di balik kesetiaannya merawat Hinata selama ini.

"Setelah Okaa-san meninggal..." Kelopak mata putih Tomoyo terpejam dan kemudian meneteskan air mata. "Otou-san menjualku ke Okiya..., jika bukan karena kemurahan hati Naruto-sama yang membeliku untuk melayani Hinata-sama mungkin aku sudah menjalani kehidupan sebagai geisha sekarang. Anda tahu Yang Mulia, bagaimana perasaan saya ketika Ayah kandung saya menjual saya untuk modal berjudinya? Rasanya saya ingin mati menyusul Okaa-san..., tapi saya ingat. Okaa-san pasti akan bersedih disana ketika saya berputus asa..." Tomoyo tersenyum tipis mengakhiri ceritanya.

Tanpa ia tahu, bahwa kini sang pangeran kecil tengah tertegun setelah mendengar ceritanya. Dan ketika Tomoyo menurunkan sepasang kakinya dari rokka. Tangan sang pangeran mencekal lengannya. "Temani aku makan..." Tampaknya sang pangeran kecil kini tak hanya memandang Tomoyo hanya sebagai dayang semata.

...

"Hei..., manja... Mau sampai kapan berada dalam pelukanku seperti ini...? Kita harus segera melanjutkan perjalanan..."

Hinata menggembungkan pipinya ketika sang suami menggoyang-goyangkan tubuhnya yang tengah bersandar pada tubuh tegap Naruto. "Gendong..." Pinta Hinata sambil mendongakkan wajah manjanya dihadapan sang suami.

Terkekeh pelan, Naruto melingkarkan tangannya ke punggung dan lipatan dibawah dengkul Hinata. "Oh..., Kami-sama...!!" Naruto tercekat tertahan ketika akan mengangkat tubuh Hinata. "Kau lebih berat dari terakhir aku menggendongmu..." Keluh Naruto ketika berusaha berdiri sambil membawa tubuh Hinata.

"Mou!!! Naruto-kun jahat sekali... aku kan jadi berat begini karena ulah Naruto-kun..." Rajuk Hinata tak terima di katai berat oleh sang suami.

Naruto kembali terkekeh pelah melihat tingkah manja sang istri. Sebenarnya yang ia katakan itu sama sekali tidak benar. Tubuh mungil Hinata yang membawa janin itu tak terasa berat sama sekali bagi tubuh kekarnya yang telah terlatih itu.

"Kami-sama...akh..." Hinata terpekik kencang ketika Naruto melempar kecil lalu menangkap kembali tubuh tubuhnya kedalam gendongan.

"Kau sekarang jadi cepat merajuk dan manja sekali, ya...?"

"Itu karena aku sedang hamil Naruto-kun..." Ujar Hinata tak mau kalah.

"Kau juga pandai bicara sekarang..."

...

Tersenyum licik, lelaki bersurai perak klimis itu menatap remeh interaksi pasangan suami istri yang tak lama lagi akan ia usik bersama komplotannya. Hidan orang yang pernah menjadi guru spritual Shion ini, ternyata adalah mata-mata Akatsuki yang di tempatkan Yahiko untuk mengintai Kota Kyoto.

"Terus saja kalian tertawa sebelum kesedihan abadi akan mendera kalian..."

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top