098. Dusta Untuk Kebahagiaanmu -2-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

Song Fic : Don't Forget Me
By : Suzzy
Ost. Gu Familly Book

Apa kau mendengar monolog sedih ini?

Rentetan kalimat yang menyalahkanmu

Satu nama yang mendatangkan kesakitan saat aku menyebutnya

Terkadang aku merasakan senyummu dalam benakku

Aku tidak ingin semua ini berlarut terjadi,

Jadi kumohon jangan lupakan ku

Tolong ingat selalu aku

Perpisahan yang datang sekali,
Tapi mengapa kerinduan datang bertubi - tubi?

Aku tidak akan pernah melupakanmu sedikitpun,
Karena aku mencintaimu

Apakah benar begitu?

Apa kau sekarang benar baik - baik saja?

Kau meninggalkanku tanpa meninggalkan janji bersamaku

Tapi, dirimu masih tertinggal lekat dalam diriku

Jadi kumohon jangan lupakanku

Tolong ingat selalu aku...

Perpisahan yang datang sekali

Tapi mengapa kerinduan datang bertubi - tubi?

Aku tidak akan pernah melupakanmu sedikitpun

Aku tidak meminta untuk mengembalikan cinta yang dulu

Aku hanya berharap kau selalu mengingat cintaku

Jadi kumohon jangan lupakan aku

Cintailah aku
Perpisahan yang datang sekali,

Tapi mengapa kerinduan datang bertubi - tubi?

Aku tidak akan pernah melupakanmu sedikitpun,

Aku mencintaimu...
Aku mencintaimu...

...

Tangan kekar sewarna madu itu dengan lembut membelai perut buncit yang terlapis nagajuban putih. Begitu lembut belaian itu hingga sang pemilik perut yang tengah bersandar di dada bidangnya, begitu menikmati tidurnya dalam dekapan suami tercintanya.

Terkikik geli, pria pirang yang tengah mengamati wanita tersayangnya yang begitu lelap tertidur dalam dekapannya, dengan sengaja menghentikan belaian lembut dimana benihnya tertanam. Dan hal itu sontak membuat kelopak mata seputih bunga lili si wanita mengerjap pelan, ketika sentuhan lembut sang suami yang tengah menenangkan buah hati mereka yang terus menendang, terhenti.

Hinata membuka pelan kelopak mata sayunya yang menyimpan iris bak mutiara berwarna keunguan. Pancaran mata teduh itu lalu beradu dengan safir jernih milik pria yang hampir menguasai seluruh hatinya. Uzumaki Naruto, pria yang mengikat janji suci dengannya dihadapan sang Pencipta. "Naruto-kun..... Naruto-kun kembali?" Iris lavender itu berkaca-kaca, menatap penuh harap pada biru samudera dihadapannya.

Mengangguk lembut, sang pemilik kilauan langit cerah dimatanya itu tersenyum hangat pada wanita yang mendongakkan wajah sebulat bulan padanya. "Kau pikir aku bisa meninggalkanmu?" Mengelus sayang pucuk kepala sekelam malam milik belahan jiwanya, Naruto tanpa sungkan menyandarkan kembali kepala sang istri di dada bidangnya.

Air mata meleleh dari iris teduh bak rembulan itu, pandangannya menyusuri pemandangan di sekitarnya, mereka berada di tengah hutan pinus rindang, bersandar nyaman pada pohon pinus besar yang menopang tubuh kekar sang suami yang tengah mendekapnya. "Hiks... hiksss.. aku pikir Naruto-kun akan meninggakan ku..., itu semua mimpi 'kan, Naruto-kun....?"

Wajah cantiknya menghadap pada dada bidang berbalut montsuki abu-abu milik sang suami, menumpahkan banyak air matanya disana. Kembali berada dalam pelukan sang suami yang begitu nyaman membuatnya mengingkari semua kenyataan yang pernah ia lalui.

Hingga dengan perlahan tangan kekar itu menjauhkan tubuh mungilnya dari sandaran ternyaman tersebut. Sang pemilik tubuh kekar yang menjadi sandarannya kini berpindah posisi, berjongkok disampingnya.

"Aku akan selalu mengawasimu..., Hime, terkadang aku tak perlu selalu disampingmu untuk melindungimu. Aku berada di dekatmu walau kau tak sadar, bersabarah, akan datang waktu dimana kita tak akan pernah terpisahkan...."

...

"Tidak, Naruto-kun, jangan... kumohon jangan tinggalkan kami, tolong Naruto-kun..., aku sangat mencintaimu... aku tak akan bicara sembarangan lagi, aku akan menurut dan tak membangkang lagi padamu, kumohon jangan tinggalkan aku dan Boruto.., jangan Naruto-kun.."

Wanita dengan surainya yang disanggul cepol itu, tak sanggup menahan air mata dari mata karamelnya, saat wanita hamil yang tergolek lemah tak sadarkan diri yang tengah ia rawat itu, terus mengiba untuk tak di tinggalkan oleh suami tercintanya.

"Naruto-kun...." Panggilan lembut nan lirih itu kembali terdengar bersamaan dengan terbukanya kelopak mata sayu yang membengkak itu. Tak mampu lagi menahan aliran air bening dari iris teduhnya, saat ia menyadari bahwa keberadaan sang suami di dekatnya beberapa saat lalu adalah mimpi belaka.

Hinata mengerjapkan kembali iris ovalnya, saat menangkap sosok wanita yang ia temui terakhir kali. "Dimana suamiku...?" Bertanya lirih dengan suara paraunya, Hinata mampu membuat pertahanan hati Tenten yang teguh akhirnya runtuh.

Wanita yang berasal dari negeri tirai bambu itu, tak kuasa menceritakan bahwa suami wanita hamil itu, rela menukarkan kebebasannya demi keamanan wanita yang paling ia cintai. "Hinata.., berbaringlah, jika Neji-sama melihatmu duduk seperti ini-"

Plak.

Tepisan kasar Hinata, mendarat di punggung tangan Tenten ketika berusaha kembali membaringkan Hinata.

"Aku tanya dimana suamiku? Apa yang kakakku katakan padanya hingga dia meninggalkan ku disini." Walau berderai air mata, mutiara lavender Hinata menatap nyalang pada iris hazel milik Tenten. "Naruto-kun tak mungkin seegois itu padaku, dia pasti akan kembali menjemputku...."

"Hi-chan..."

Panggilan itu, panggilan kesayangan itu, panggilan yang sudah lama tak ia dengar, kini kembali mengalun lembut di telinganya. Bersamaan dengan terbukanya pintu besar kamar tamu Buraku-in. Neji muncul dari balik pintu itu, dengan senyuman tipis. Senyuman yang kali ini berasal dari dalam lubuk hati sang sulung Hyuuga.

"Neji Nii-san.." Berujar lirih, Hinata memundurkan tubuhnya kearah tembok dimana futton yang tadi ia baringi terbentang. Tubuhnya bergetar hebat, memancarkan ketakukan pada sosok pria yang kian berjalan mendekat kearahnya.

Memandang sedih, bahasa tubuh sang adik yang menandakan betapa takutnya sosok rapuh itu pada dirinya. Neji memperlambat langkahnya sambil tetap mengukir senyum di bibirnya.

"Apa Hi-chan takut pada Nii-san?"

Semakin dekat Neji, semakin lembut suaranya, justru membuat Hinata semakin meringkuk ketakutan. Terlebih kini Neji mampu menggapai kedua lengan mungil.

"Tolong Neji-nii, jangan sakiti aku dan bayiku lagi..." Bayang-bayang Neji yang menyiksanya saat ia tersekap di istana Kamakura Bafuku, masih terngiang di kepala kelam Uzumaki Hinata.

Tertawa miris, Neji yang kini berlutut disamping Hinata yang meringkuk ketakutan di sudut ruangan, memandangi telapak tangannya. 'Bagaimana bisa kedua tanganku yang dulu selalu aku pergunakan untuk melindungimu, malah tangan ini yang dengan kejinya menyiksamu kala itu.'

"Hi-chan takut pada Nii-san?" Selembut apapun Neji bertanya, Hinata tak mampu membuang rasa takutnya pada sosok sang kakak yang dulu begitu ia kagumi. Hingga sebuah pelukan hangat kini merengkuhnya. Mutiara lavender Hinata membulat kala mendapatkan kembali perlakuan lembut dari sang kakak. "Sekarang Hi-chan, percaya pada Nii-san?"

Mendapatkan kembali kehangatan yang ia rindukan dari kakak tercintanya, Hinata mengangguk pelan dalam pelukan sang kakak.

"Mulai hari ini, Nii-san yang akan melindungimu dan anakmu..."

"Naruto-kun?" Hinata mendongak, mengadu mutiara lavendernya dengan iris yang serupa dengan miliknya. Ia masih terus mempertanyakan keberadaan sang suami tercinta.

"Akan Nii-san jelaskan nanti...., sekarang yang lebih penting adalah membawamu keluar dari Istana sialan ini." Merengkuh tubuh lemah sang adik. Neji membawa Hinata ke dalam gendongannya. Diikuti dengan Tenten, mereka bergegas meninggalkan istana itu sebelum prosesi penobatan Toneri berlangsung.

'Dasar Naruto no Baka, kau hanya mementingkan keamanan adikku tanpa peduli akan kebahagiaannya. Kebahagiaan Hinata adalah dirimu. Apa kau pikir dengan menukarkan kebebasanmu Hinata akan bahagia. Tidak, aku tak akan membiarkanmu mendekam nyaman dalam penjara bawah tanah, dan melupakan janjimu untuk melindungi adikku dengan taruhan nyawamu, khe, seenaknya kau melimpahkan tanggung jawab mu padaku, khe, tak semudah itu.'

...

"Kau jaga Hinata, Tenten, jangan sampai dia keluar dari kereta, aku lupa mengambil mantel, di dalam."

Tenten mengangguk, menyanggupi amanat yang Neji titipkan padanya, namun baru saja menoleh kedalam kereta kencana kayu itu, wanita hamil yang tadi duduk menurut di dalamnya, kini sudah raib. "Hinata, pergi kemana dia?"

...

Kyoto, tak lagi menampakkan geliatnya sebagai ibu kota peradaban tertinggi di belahan bumi tertimur ini. Suasana porak poranda yang menjadi warisan sisa penyerangan beberapa waktu lalu terlihat di sepanjang jalan yang ia lalui dengan kaki mungilnya yang tertatih melangkah.

Namun sorot mutiara lavendernya teralih pada manusia yang mulai berjejer rapi di sepanjang tepian jalan. Hinata berjalan tertatih, bergabung dengan barisan manusia yang berjejer rapi tersebut.

"Sumimasen..." menyapa lembut salah satu penduduk yang tampak mengedarkan pandangannya seolah menanti sesuatu, Hinata mencoba mencari tahu, alasan para penduduk berbaris rapi di sepanjang tepian jalan yang menjadi jalur menuju Balai Kota Kyoto. Ia berharap menemukan petunjuk tentang keberadaan suaminya.

Salah seorang penduduk bertopi caping, menatapnya dengan seksama. Penampilannya yang lusuh dengan nagajuban lusuh dan surai sepinggang yang tak tertata rapi, membuat pria tua itu seolah tak mengenalinya yang pernah menyandang status sebagai istri dari pemimpin pasukan Samurai penjaga dinasti ini. "Hei, nyonya kau sedang hamil besar seperti itu, sebaiknya kau menjauh dari sini, akan ada arak-arakan pembunuh Kaisar. Dia akan di giring menuju penjara bawah tanah."

Deg. Jantung Hinata berdegup cepat mendengar ucapan pria tua itu. "Si... sia...pa... yang Anda maksud....?" Ucapnya terbata.

"Jadi kau belum mendengar rumor dari dalam istana Dairi?"

Menggeleng pelan menanggapi ucapan sang Pak Tua, yang ada di pikirannya kini adalah tentang siapa orang yang dimaksud oleh pak tua ini. Apa kepergian suaminya memiliki keterkaitan dengan kejadian ini.

"Kau tahu Uzumaki Naruto, Jenderal Samurai yang memimpin ribuan pasukan Heian?"

Tak perlu di tanyakan, Hinata lebih dari sekedar mengenal nama pria yang disebutkan oleh pak tua tadi. Bahkan nama pria itu telah terukir dalam di hatinya.

"Kami tidak tahu pasti apa yang terjadi didalam istana, tapi rumor yang menyebar di kalangan rakyat jelata, bahwa dialah penyebab pemberontakkan yang terjadi, para pemberontak itu mengincar dirinya dan bibinya yaitu Permaisuri Mito yang merencanakan kudeta dari dalam istana. Dan demi melindungi dirinya sendiri setelah kematian bibinya di tangan calon Kaisar baru, mantan Shogun itu rela menebas pamannya sendiri. Aku tidak menyangka Naruto-sama, setega itu, padahal di hari pemberontak itu menyerang benteng Kyoto dialah yang sibuk mengungsikan kami, ah aku sungguh tak percaya jika dirinyalah akar dari pemberontakan ini, apa lagi sampai tega membunuh orang yang telah membesarkan dan mengangkat derajatnya."

Sepanjang cerita pak tua itu Hinata terus menggelengkan kepalanya, menyangkal semua rumor yang di sebarkan oleh Toneri dan para Kroninya. Sejujurnya ia ingin sekali buka mulut, namun keselamatan janin dalam kandungannya di pertaruhkan jika sampai kehadirannya di tempat terbuka sampai di ketahui oleh Toneri dan kroninya.

'Tega sekali mereka, menfitnah Naruto-kun sekeji itu, tidak... Naruto-kun tak seserakah itu untuk melakukan kudeta, posisi kamilah yang di persulit dan terdesak saat itu...'

"Nah itu dia, pembunuh Kaisar sudah hampir tiba, Nyonya sebaiknya Anda minggir, jika tak mau terkena lemparan batu, kami sudah di beri beras oleh para orang-orang istana itu, untuk melemparinya dengan kerikil. Kau tahu 'kan, setelah perang ladang dan sawah kami rusak, bahkan untuk makan pun sulit."

"Pembunuh!"

"Pembunuh!"

"Pengkhianat!"

"Pembunuh!"

"Pengkhianat!"

Seketika gemuruh teriakan itu memenuhi jalanan yang di penuhi manusa tersebut. Mutiara lavender Hinata terbelalak ketika dari ujung jalan terdengar suara seretan langkah berat yang tertahan karena beban bola besi yang mengikat pada kakinya.

"Naruto-kun!!!!" Kesedihan membuncah di benaknya, saat sosok yang tubuhnya terlilit rantai itu berjalan terseok akibat seretan seorang algojo.

Demi apapun, Naruto bahkan mampu, melepaskan rantai-rantai yang melilit tubuhnya itu dengan mudah lalu, memukul sampai mati, algojo yang menyeretnya. Namun demi menjamin keselamatan sang istri ia pasrah menerima lemparan batu dari rakyat yang selama ini ia lindungi. Naruto mengerti bahwa para rakyat jelata itu tak punya pilihan lain. Jika mereka tidak menuruti penguasa yang tengah berkuasa, maka nasib keluarga merekalah yang menjadi taruhan.

Bugh.

Kerikil cukup besar membentur pelipisnya, darah segar mengalir dari pelipis kecokelatan itu, ia tetap tersenyum saat rasa nyeri disertai perih menyerang kepalanya. Karena setelah itu lemaparan kerikil semakin menjadi mendera tubuhnya tak mampu berbuat apapun dalam keadaan terantai. Atau lebih tepatnya dirinya sendirilah yang membiarkan tubuhnya tak berkutik.

Tersenyum tipis, sambil melangkah pelan karena kakinya yang dibebani bola batu yang begitu berat, Naruto membayangkan wajah cantik istrinya yang terlelap nyaman di futton lembut istana.

"Naruto-kun...."

Suara lembut itu mengalun damai ditelinganya, hingga membuat dirinya terkekeh geli disela siksaan yang diterimanya. "Bahkan aku berhalusinasi mendengar suaramu, Hime..."

"Naruto-kun..." Suara itu kian jelas mengalun di indera pendengarannya bahkan di sertai isakan memilukan. Menoleh kesegala arah mencari asal suara. Pandangan Naruto akhirnya menangkap sosok mungil yang tengah berusaha keluar dari kerumunan orang-orang yang melemparinya batu. Hinata, istri tercintanya yang tengah hamil besar itu tengah kesusahan berjalan mendekat kearahnya.

"Hinata menjauh!!!"

Tak mengindahkan peringatan suaminya, Hinata terus berusaha mencapai sang suami, kendati keadaannya yang tengah hamil tua memperlamban gerakannya, sama sekali tak menghalangi niatnya untuk menggapai sang suami. Hingga jarak diantara mereka tak berpengaruh lagi, Hinata memeluk erat tubuh kekar Naruto yang di liliti rantai.

"Kenapa...?" tanyanya lirih, sambil mengikuti langkah sang suami yang terseok akibat tarikan rantai si Algojo.

"Dimana Neji?!" Kilat kemarahan tampak di safir biru Naruto ketika tak menemukan orang yang seharusnya menjamin keselamatan Hinata.

Menggeleng pelan, Hinata bahkan sempat mengecupi luka lebam yang menghiasi hampir tiap jengkal wajah tampan suaminya. "Kenapa Naruto-kun melakukan ini..?"

"Kumohon menyingkirlah Hime, dan kembalilah pada Neji...."

"Tak akan pernah, kenapa Naruto-kun, kenapa kau selalu memikul bebanmu sendirian? Begitu tak bergunanyakah istrimu ini hingga kau memikul semuanya sendirian? Hiksss..." Berjalan pelan mengikuti langkah terseret sang suami, Hinata bahkan sempat untuk memeluk sayang kepala kuning pria tercintanya ini.

"Menjauhlah Hime... Kumohon...." Suara parau itu berbisik berat diiringi lelehan air mata dari safir birunya. Ia melakukan hal ini agar Hinata tak terluka seujung kukupun. Namun jika begini jadinya maka pengorbanannya akan sia-sia.

Menggeleng pelan, kini lelehan air mata Hinata mendarat mulus di pipi tannya. Air mata keduanya bercampur, menyatu dengan darah yang mengalir deras dari pelipis Naruto. "Biarkan sekali saja aku merasakan deritamu Anata...."

...

Srak...

Suara pergeseran shoji itu sontak membuat kepala ravennya menoleh. Terlelap cukup lama akibat sakit kepala hebat yang menderanya bertubi-tubi, membuat pria ini bahkan harus melewatkan pemandangan dimana musuh sekaligus mantan saudara angkatnya tengah teseret-seret menuju penjara bawah tanah.

"Kau terlalu banyak tidur Sasuke-kun, sampai kau melewatkan tontonan kesukaanmu..." Menyindir sang suami, wanita musim semi yang tengah mengandung lima bulan itu dengan santai menuangkan obat racikannya dari teko keramik ke dalam cawan kecil untuk di suguhkan pada sang suami.

Mendengus kesal, mendengar sindiran sang istri Sasuke lalu melemparkan pandangannya ke jendela. Menatap dari jauh kuncup lotus ungu yang tergenang dalam pot kecil, membuat ingatannya tertuju pada harta berharga mantan sahabatnya itu. "Bagaimana keadaan Hinata?"

Tak peduli karena ingin mengalihkan pembicaraan akibat sindirannya atau hanya basa-basi. Sakura cukup merasa senang ketika suaminya bertanya tentang sahabat kecilnya itu. "Kudengar setelah Naruto menyerahkan diri dia tinggal bersama Neji."

"Sakura."

Menghentikan aktivitasnya dengan poci dan cawan, Sakura mendongakkan kepalanya menanggapi panggilan sang suami. "Hummmmm..."

"Masih mau mendengarkanku?"

Tersenyum tipis, dari pertanyaan dingin suaminya itu, Sakura tahu jika Sasuke masih menyimpan rasa bersalah padanya, akibat mulut kejam Sasuke yang beberapa waktu lalu meragukan bayi dalam kandungannya. Hanya saja pria Uchiha itu masih sangat gengsi untuk menunjukkan rasa bersalah padanya.

"Kau suamiku, Sasuke-kun, sekeji apapun dan seberengsek apapun dirimu, sudah kewajibanku untuk mengikuti perintahmu..."

"Khe, tapi nyatanya kau masih sering melanggar laranganku...."

"Aku tahu kau bermaksud menyuruhku melakukan sesuatu, jadi tak perlu berbasa-basi." Sakura merengut sebal karena sindiran sang suami.

"Ajak Neji dan Hinata tinggal disini."

Emerald Sakura terbelalak mendengar ucapan suaminya. Ia mendekat kearah sang suami yang duduk bersila di atas futton. "Maksudmu kau mau menyekap Hinata disini lagi?"

Tuk.

Jitakan di jidat lebar sang istri, cukup menunjukkan betapa gemasnya ia melihat, ekspresi istrinya kali ini. "Aku katakan ajak Neji dan Hinata tinggal disini, siapkan kamar untuk mereka."

Senyum sumringah mengembang dari bibir merah muda Sakura. Katakanlah ia durhaka ketika berpikiran bahwa suaminya itu kerasukan arwah mendiang kakak iparnya Uchiha Itachi yang terkenal bijak. Yang ia tahu sekarang adalah Hinata mendapatkan perlindungan yang aman. "Kau tidak merencanakan hal buruk pada Hinata 'kan, Sasuke-kun?"

Dan Sasuke hanya menjawab pertanyaan penuh curiga sang istri dengan senyuman tipisnya yang sulit diartikan.

...

"Kita harus masuk lagi kedalam Kyoto." Onix bulat pria dari klan Nara itu, memancarkan aura kemarahan, tak seperti biasanya. Shikamaru yang selalu tampak tenang itu, kali ini benar-benar tampak gelisah.

Kakashi, guru dari dua samurai tangguh yang kini tengah bertikai itu justru tampak santai bersandar pada pohon pinus besar. "Tidak semua dari kita yang akan kembali masuk Shikamaru. Naruto mengeluarkan kita dari Kyoto bukan tanpa tujuan, jangan kita sia-siakan pengorbanannya."

"Anak dan istri kalian sedang berlindung di Shinto Ryu, tempat itu bisa menjadi sasaran empuk bagi mereka." Kali ini Asuma sang guru besarlah yang angkat bicara.

Shikamaru menghirup napas dalam dan mulai mengendalikan emosinya. "Sebagian dari kita akan menuju Shinto Ryu, bersama Putera Mahkota." Merlirik sekilas bocah sepuluh tahun yang tertidur pulas di bahu Konohamaru.

"Aku akan masuk ke Kyoto, urusanku dengan Sasuke belum selesai." Sai menawarkan diri lebih dahulu.

"Aku akan kembali ke Shinto Ryu, aku bertanggung jawab atas warisan Sarutobi. Konohamaru kau ikut denganku bersama Pangeran."

Konohamaru mengangguk menuruti sang paman.

"Kalau begitu, aku yang masuk ke Kyoto." Sahut Kakashi, sambil beranjak dari sandarannya.

"Aku dan Yamato-sensei akan mengawal Ouji-sama hingga setengah perjalanan dan menyusul Kakashi-sensei dan Sai kembali ke Kyoto."

Semuanya setuju dengan usulan terakhir yang disampaikan Shikamaru.

"Karena Samurai yang meninggalkan temannya jauh lebih busuk dari pada sampah."

...

"Apa mereka masih berada di gerbang?" Wajah Nyonya Hatake itu begitu tampak pucat pasi saat, istri guru besar perguruan Samurai ini kembali ke kamar Hanabi.

Kurenai menggeleng pelan. "Shizune, mereka tak akan pergi dari sini sebelum kita menyatakan kedaulatan pada Toneri. Dan bila kita menolak, maka mereka akan membakar habis perguruan ini..."

"Mereka benar-benar keji...." Sahut Hanabi sambil menenggelamkan wajahnya di lutut.

"Karena mereka semua tahu, kami mengungsi disini." Sebuah suara baru terdengar dari ambang pintu.

"Tempat ini menampung banyak anak-anak dan wanita yang melarikan diri dari Kyoto." Suara lain menyusul.

"Ino dan Temari benar..." Kurenai menghela nafas. "Shinto Ryu tak hanya menanggung nyawa para calon penjaga dinasti ini. Banyak anak-anak tak berdosa yang kita tampung disini...."

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top