097. Dusta Untuk Kebahagiaanmu -1-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

Song Fic : Time Is Flows
By : Junsu
Ost. Six Flying Dragon

....

Tubuh mungil wanita hamil itu masuk dalam rangkulan pria tegap yang berdiri dihadapannya. Sepasang tangan kecilnya yang bergetar melingkar pada pinggang sang suami, menggambarkan betapa takutnya dia dengan pernyataan manis wanita asal Negeri Tirai Bambu yang berdiri di depan suaminya.

Mengelus lembut tangan seputih salju bergetar yang melingkar di pinggangnya, Naruto seolah tengah memberi ketenangan pada sang istri, bahwa tidak akan terjadi hal buruk apapun. Sementara safir birunya, menatap nyalang, wanita bersurai cokelat yang di kelilingi oleh para dayang.

"Kami tidak akan pergi." Pelukan pada pinggangnya kian mengerat, Naruto sadar, betapa takutnya sang istri, hingga meluapkan perasaan itu pada tubuhnya.

"Tidak akan pergi?" Tanya Tenten pelan sambil memicingkan matanya. "Lalu kalian akan kemana? Tinggal di Dairi, dalam hitungan jam Kaisar baru akan segera dilantik, dan akan segera menempati istana ini, kurasa Kaisar baru tak akan begitu berbaik hati menampung kalian." Memberi jeda pada ucapannya.

Tenten menghirup napas dan menghembuskannya pelan. Mencoba mengatur emosinya, sebisa mungkin ia tak boleh tersulut oleh sikap Naruto. Ia tak boleh kehilangan kendali dalam menghadapi Naruto.

"Tapi Hyuuga-sama," Tersenyum tipis, wanita bercepol dua dengan mata karamel itu menatap intens Hinata yang berlindung dalam pelukan suaminya. "Bagaimanapun ia masih mempunyai hubungan darah dengan istrimu, Uzumaki..." Tenten tersenyum penuh kemenangan saat wajah Hinata tertoleh menanggapi ucapannya yang menyinggung tentang sang kakak sulung.

"Neji Nii-san..." Menggumamkan lirih nama sang kakak, Hinata tak dapat memungkiri ikatan emosionalnya dengan sang sulung Hyuuga, kakak kandungnya. Ikatan darah memang tak dapat dihapus begitu saja. Wajar jika Hinata tersentak ketika Tenten menyebut satu-satunya Hyuuga yang tersisa.

"Hyuuga-sama, berbaik hati untuk menampung dan mengampuni kalian semua. Sebagai rasa bersalahnya karena sudah menyakiti adiknya. Tapi dengan satu syarat..., kalian harus meninggalkan Kyoto setelah menyepakati perjanjian perdamaian."

Mendongak pelan, pancaran pandangan mutiara bak cahaya rembulan itu mengiba pada sang pemilik safir.

Balas memandang wanita yang paling ia cintai didunia ini, safir biru Naruto yang tadi menatap tajam Tenten, kini melembut, memandang wajah putih bulat yang di bingkai helaian kelam indigo. Tangan kecokelatannya membelai lembut surai halus bak sutera itu dari pucuk kepala hingga ke leher, lalu merangkul leher jenjang itu, dan menyamankan kepala indigo itu di dada bidangnya yang berlapis montsuki abu-abu.

"Semuanya akan baik-baik saja..," mengecup lembut pucuk kepala wanita tercintanya, mengucapkan janji yang mampu meneteramkan benak wanita itu.

Menyembunyikan safir biru di balik kelopak kecokelatannya, Naruto diam beberapa saat untuk memutuskan jalan keluar bagi mereka.

"Aku akan menemui Neji." Keputusan Naruto sontak membuat para guru dan rekannya terkejut. Bagaimana bisa Naruto dengan mudah menerima undangan Neji. Kemungkinan perangkap telah di persiapkan untuk mereka sangatlah besar. "Tapi biarkan mereka keluar dari Kyoto."

Kalimat yang dilanjutkan Naruto, lebih memompa jantung mereka. Meninggalkan Naruto sendiri dalam benteng Kyoto yang di lapisi segel kitsune, dan bersama dengan orang-orang yang mengincar nyawanya? Tidak, mereka tak sepicik itu demi keselamatan pribadi.

"Naruto-kun..." Menggelengkan pelan kepala indigonya, Hinata kemudian meremas montsuki sang suami, menandakan kecemasan yang ia alami.

"Semua akan baik-baik saja..." Mengadu pandangan lembutnya dengan mutiara lavender teduh yang begitu ia cintai, Naruto berharap bahwa dengan cara itu dapat mengurangi kegundahan sang istri.

Nyatanya tidak, hal itu terbukti dari lelehan air bening yang kini membasahi pelupuk seputih bunga lili itu.

Tenten, mendengus geli melihat interaksi sepasang manusia yang masih sempat beradu kasih sekalipun dalam posisi sulit seperti ini. "Perlu anda ingat Uzumaki, Hyuuga-sama ingin menemui adiknya sebelum kalian keluar dari Kyoto. Jadi, kau tetap harus membawa istrimu dalam perjamuan yang sudah kami persiapkan."

Jangan ditanya tentang perasaan Naruto saat ini. Kondisinya yang tengah di kepung seperti ini membuatnya tak punya pilihan selain menuruti keinginan Neji. Tapi Hinata, Neji bersikeras untuk menemui Hinata. Terlalu berbahaya untuk membawa Hinata ke dekat orang-orang munafik itu.

Tersenyum tipis, Naruto mengalihkan pandangannya pada Tenten. "Kami akan pergi menemui Neji."

"Naruto!!!" Kakashi, orang pertama yang buka suara atas keputusan muridnya itu. Ia tak habis pikir Naruto sebodoh itu dalam membuat keputusan.

Sementara Sai, Asuma, dan Yamato memandang dengan penuh tanda tanya. Shikamaru justru tersenyum simpul menangkap pernyataan dari mantan Jenderal tersebut. 'Kau merencanakan sesuatu Naruto, dan merahasiakannya dari kami.'

...

"Kenapa Naruto-nii setuju dengan permintaan mereka?" Nawaki, putera Kaisar yang telah mangkat itu terus bertanya hal yang sama sepanjang perjalanan dari istana Dairi ke Buraku-in pada Konohamaru yang menggendongnya di punggung.

Konohamaru menggeleng, lalu menengadahkan pandangannya kelangit hingga butiran salju menerpa hidungnya. "Naruto-nii pasti memikirkan kebaikan untuk kita." Ucapnya lirih, mengingat keadaan mereka yang di kepung saat ini, tak ada hal yang dapat dilakukan selain pasrah, jika sewaktu-waktu mereka akan dibantai bersama-sama.

...

Balai utama istana resepsi, yang menjadi saksi pernikahan agung para penguasa dinasti Heian, hari ini tertata begitu rapi. Aneka rangkaian bunga menghiasi tiap sisinya. Pilar-pilar yang menjulang tinggi di balut dengan kain warna-warni. Hari ini dinasti Heian akan merayakan perhelatan besar. Dilantiknya Kaisar baru, Kaisar yang sama sekali tak berhak atas takhta itu.

Kaisar yang menyingkirkan Kaisar terdahulu dengan cara keji. Dan demi membersihkan nama Sang Kaisar baru, para kroni-kroninya sudah menyiapkan fitnah keji untuk menumbalkan salah seorang yang tak bersalah. Seseorang yang merupakan lawan terberatnya.

"Masuklah adik ipar."

Langkah Naruto yang tengah memapah sang istri menapak satu persatu anak tangga menuju teras Buraku-in, terhenti di anak tangga tertinggi. Diambang pintu bercat emas dengan ukiran naga, Neji telah bersiap menyambut mereka.

Mencoba menggamit tangan mulus sang adik, namun gagal, Hinata lebih memilih masuk dalam rangkulan sang suami ketimbang menerina uluran tangan kakak kandungnya sendiri.

"Tenang, aku disini.." Berbisik lembut, telapak tangan Naruto senantiasa mengelus pelan punggung kecil sang istri.

Menatap dalam iris sebiru lautan milik belahan jiwanya, Hinata menaruh kepercayaan besar pada pria tegap yang tengah merengkuh tubuhnya.

"Kau masuk saja duluan bersama yang lain..." Naruto melirik teman-teman dan para gurunya yang sudah melangkah duluan ke dalam ruangan utama istana resepsi itu.

Dengan enggan Hinata melepaskan rangkulannya pada sang suami. Sorot matanya seolah berat terlepas dari tatapan lembut biru safir yang selalu mampu menghangatkan batinnya.

Terlebih lagi senyuman tipis nan lembut yang tersungging di bibir merah kecokelatan milik pria tercintanya itu, ia dapat melihat kepiluan di balik senyum itu. Namun anggukan kepala kuning Naruto, membuat sedikit keyakinan di hatinya untuk melangkah lebih dahulu ke istana resepsi itu. Meninggalkan sang suami berdua dengan kakak kandungnya.

...

"Katakan niatmu?" Safir biru itu meyiratkan tak butuh kebasa-basian. Naruto sadar semua rencana busuk Neji. Dan dia tak ingin melibatkan siapapun dalam hal ini.

"Kau ingin menyingkirkanku bukan? Kau ingin membuat Hinata membenciku. Aku penuhi keinginanmu. Tapi lepaskan mereka, terutama Hinata. Bagaimanapun dia adalah adikmu. Dendammu adalah padaku. Hinata sama sekali tak bersalah padamu. Jika kau membencinya, karena dia mencintaiku, maka akan ku buat dia membenciku."

Neji tersenyum tipis mendengar ucapan panjang lebar dari Naruto. "Kau bersedia menanggung tuduhan atas pembunuhan Kaisar?"

"Apapun, asal kau menjamin Hinata dan anak kami." Tak ada keraguan dari ucapan Naruto.

"Kau percaya padaku?" Mutiara lavender Neji menyipit, menandakan bahwa ia tengah menantang sang adik ipar dihadapannya.

"Tentu saja." Jawab Naruto tak kalah yakinnya. Pria bersurai pirang ini sama sekali tak kehilangan kharisma dan wibawanya walau kini takhta keshogunan tak berada di tangannya lagi.

"Khe, kau tidak takut aku akan mengingkarinya?" Neji tersenyum licik. Mencoba menghadirkan rasa cemas di dalam benak Naruto. Mengingat tinggal Hinatalah yang ia miliki saat ini.

"Kau tak mungkin mengingkarinya Neji, kau kakaknya dan aku tahu bagaimana kau menyayangi Hinata." Terpaku, dada Neji terasa diremas kala Naruto mengingatkan bagaimana ia dulu menyayangi adik-adik perempuannya. Bahkan nasib dan keberadaan Hanabi sekarang ia pun sama sekali tidak tahu.

"Aku tak bisa membawa Hinata keluar dari Kyoto. Sekalipun aku serahkan kepalaku kau tak akan melepaskan adikmu, aku tahu kau sangat menyayanginya. Kau menutupi perasaanmu pada Hinata hanya karena dia mencintaiku dan mengandung benihku. Aku akan melupakan mereka dan bersikap seolah tak pernah mengenal mereka. Asal kau menjamin keselamatan mereka. Hinata dan bayi itu sama sekali tak bersalah. Aku percaya masih ada sisi baik di hatimu. Asal kau tahu, Hanabi hampir saja membunuh Hinata dan bayi kami, tapi saat dia melihat Hinata terkapar tak berdaya, hati nuraninya masih bisa berfungsi dengan baik."

Diam, tertegun. Tak dapat ia pungkiri, bahwa bicara panjang lebar dengan Naruto dengan kepala dingin mampu mengubah pandangannya. Entah setan apa yang merasukinya. Dendam itu seolah sirna, ketika Naruto mengingatkan betapa ia mencintai adik-adiknya, seketika gambaran kenangan masa-masa indah yang ia lalui bersama Hanabi dan Hinata terlintas jelas dipikirannya.

"Naruto."

Naruto baru saja berniat menyudahi pembicaraan dengan kakak iparnya dan melenggang pergi, namun Neji yang menyerukan namanya membuat langkahnya terhenti. "Tentang yang di katakan Sai di hari penyerangan Dairi, Hyuuga..."

Naruto menoleh dan tersenyum tipis. "Jika hati nuranimu mempercayainya, silahkah kau percaya. Tidak jugapun tak apa, semua itu sudah berlalu, dan tak akan mengubah apapun jika kau mengetahuinya. Aku hanya meminta satu permintaan padamu, tolong jaga Hinata dan anak kami. Jangan lihat bayang-bayang diriku dalam diri mereka."

Entah kenapa, setelah perkataan terakhir Naruro, dada sang sulung Hyuuga ini seperti tertohok dalam. Hingga untuk menghirup udarapun dadanya terasa begitu sesak.

...

"Naruto-kun...." Wanita hamil itu berdiri dari duduk bersilanya dengan susah payah, sedikit berlari kecil kala sosok sang suami muncul dari pintu raksasa berukiran naga itu.

Dingin. Naruto berlalu begitu saja melewatinya, menepis kasar tangannya yang mencoba menyentuh rahang tegas sang suami. Mutiara lavendernya mengikuti langkah Naruto yang menghampiri para rekan dan gurunya. Acuh. Itulah yang Hinata tangkap dari raut wajah Naruto. Padahal baru beberapa saat lalu pria itu begitu hangat dan tersenyum lembut padanya.

"Kita harus meninggalkan Kyoto malam ini juga!" Ujar Naruto pada guru dan rekannya.

Hinata mengikuti langkah sang suami. Tapi Naruto sama sekali tak menggubrisnya. "Naruto-kun, kita akan pergi dari sini.?" Hinata kembali berbicara untuk menarin perhatian sang suami pada dirinya. Namun jangankan menggubris, Naruto bahkan enggan menatap kearah dirinya.

Diam, Naruto terus melangkahkan kakinya sambil menarik tangan Nawaki. Tatapan matanya tertuju lurus kedepan. Tak sedikitpun melirik pada istrinya yang tertatih menyamakan langkah besarnya.

"Biar Nawaki bersamaku Naruto-nii, kau papah saja Hinata-nee.." Konohamaru berusaha menarik Nawaki, namun Naruto bersikeras.

"Hinata akan tetap disini sebagai jaminan kebebasan kita." Ucap Naruto dingin tanpa sedikitpun melirik wajah sang istri yang telah dibasahi air mata.

Tidak. Hinata mampu menahan rasa sakit apapun. Kecuali sikap dingin Naruto. Setelah banyak masa sulit yang mereka lalui bersama, bagaimana bisa Naruto masih mementingkan ego dan bersikap dingin pada dirinya hanya karena darah Hyuuga yang mengalir pada tubuhnya.

Bagai disambar petir. Tubuh Hinata kaku seketika, ketika sang suami mengucapkan kata-kata tak berperasaan itu pada Konohamaru dihadapan dirinya. "Apa maksud Naruto-kun?"

"Naruto kau gila?!" Teriak Shikamaru tak mengerti dengan keputusan sahabatnya ini.

"Naruto, kau sadar apa yang kau katakan?" Kakashi angkat bicara.

Belum lagi tatapan mengecam dari Sai, Yamato, Asuma, Konohamaru bahkan Nawaki. Mereka tak habis pikir, beberapa saat lalu Naruto yang begitu menyayangi dan enggan melepaskan Hinata, kini malah dengan mudahnya, akan meninggalkan Hinata disarang pemberontak seperti ini.

Berusaha sekeras mungkin menahan air mata yang hampir menggenang. Naruto kembali memasang wajah dingin nan angkuh dihadapan Hinata. Wajah angkuh nan menakutkan yang sudah lama tak ia tampakkan lagi dihadapan Hinata.

"Ini tidak benar 'kan Naruto-kun..?" Mencicit pelan saat sorot mata menakutkan sang suami kembali hadir dalam pandangannya.

"Sudah cukup Hinata. Sudah cukup aku kehilangan orang-orang yang ku sayangi, karena klanmu dan kroninya... Membawamu pergi sama saja mendatangkan maut bagi mereka." Naruto menunjuk ke arah teman-teman dan gurunya. "Kau tak ingin akan ada banyak nyawa lagi yang melayang bukan? Kau tak ingin melihatku mati pelan-pelan disini bukan?"

Diam, Hinata hanya bisa menangis tergugu ketika sang suami dengan mudah meninggalkannya diantara para pemberontak ini. Hinata tak mampu lagi hidup berjauhan dengan Naruto, bukankah sebelumnya Naruto berjanji akan membawanya kemanapun ia pergi .

"Sudah cukup Hinata," Menepis kasar tangan sang istri yang menggapai bahunya. Ia tahu ini adalah keputusan sulit. Tapi hal terbesar yang membuat Neji membenci istrinya itu adalah karena Hinata mencintainya. Jika Hinata kembali membencinya seperti saat dia membantai klan Hyuuga, maka Neji akan menerima Hinata untuk hidup berbahagia diistana.

Tanpa harus merasakan hidup keras sebagai pelarian jika ia memaksakan kehendaknya kabur bersama Hinata. 'Istana adalah tempatmu Hime.... sementara penjara adalah tempat iblis sepertiku.... aku mencintaimu... dengan cara seperti ini Neji akan menerimamu kembali.'

"Naruto-kun... mau kemana? Kumohon jangan tinggalkan aku..." Menghiraukan keadaan perutnya yang membesar Hinata berlari mengejar Naruto yang kian dekat dengan pintu Buraku-in. "Naruto-kun.... kumohon jangan tinggalkan aku....." Jatuh berlutut, kakinya yang begitu lemas tak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri. Hingga tergolek lemah tak berdaya diatas marmer jingga, mutiara lavendernya menatap pilu punggung tegap sang suami yang tiba-tiba mengecil menjauhinya.

'Apa kematian lebih baik bagiku.. Kami-sama..., apa kau tak pernah mengizinkanku bersatu bersamanya...? Terlalu terjal jalan yang kami tempuh bersama..., terlalu banyak yang kami lalui... pinta ku tak banyak... aku hanya ingin berakhir di pelukannya, apa aku salah....'

...

Tiba di gerbang Kyoto langkah mereka yang semula mulus kini di cegat oleh sekelompok Samurai yang berjaga di pintu gerbang. Shikamaru, Sai, Yamato Kakashi dan Asuma memasang kuda-kuda melindungi Nawaki. Sementara Naruto, tak melakukan perlawanan apapun dia hanya berdiri dengan tenang.

"Biarkan mereka pergi." Suara Neji, yang memberikan titah, seketika di turuti oleh para samurai itu. "Sesuai janjimu Naruto, kau akan tetap disini bukan, menjadi tahanan atas tuduhan pembunuhan Kaisar?"

"Aku titipkan Nawaki pada kalian...." Berucap lirih pada rekan-rekan dan gurunya, Naruto seolah mengucap kata perpisahan pada mereka.

Naruto tersenyum tipis, membiarkan sekujur tubuhnya di lilit rantai, dan diseret lagi masuk ke dalam kota Kyoto. Belum sempat teman-temannya melakukan perlawan, tubuh mereka di dorong keluar dari gerbang. Pintu besar yang terbuat dari kayu jati itu tertutup rapat.

Dari celah gerbang yang mulai tertutup itu mereka melihat Naruto menitikkan air matanya. Air mata bahagia ketika ia dapat berkorban untuk orang-orang yang ia cintai.

'Akulah yang menyebabkan kehancuran negeri ini... Karena ambisi dan dendamkulah kalian harus hidup terpisah dengan keluarga kalian, semoga dengan pengorbanan kecil ini, kalian bisa berbahagia bersama keluarga kalian. Hime... aku tak pernah mengingkari janjiku padamu, kau akan selalu berada di dekatku..., hanya saja kau hidup di istana, sementara aku di penjara bawah tanah.... Aku mencintaimu Hime.., maaf harus kembali melelehkan air matamu karena cara ku salah membuktikannya, tapi suatu saat kau akan mengerti..."

...

"Kau sudah menangkap rubah bodoh itu?" Pandangan Toneri masih terfokus pada cermin besar yang memantulkan bayangannya yang mengenakan haori merah bersulam naga emas. Pakaian kebesaran Kaisar yang selama ini menjadi ambisinya.

Neji mengangguk sambil tersenyum tipis. Ada rasa ngilu di dadanya kala mengingat betapa terpukulnya Hinata saat di tinggalkan oleh Naruto.

"Bagus. Setelah pelantikan, bawa adik jalangmu itu padaku."

Darah sulung Hyuuga itu kini mendidih ketika adik kesayangannya di sebut jalang oleh calon Kaisar baru ini. Entah kenapa ia yang biasanya akan diam saja saat kroni-kroninya dengan mudah memanggil Hinata jalang, hari ini tak terima jika panggilan hina itu di sematkan pada sang adik.

"Adikku bukan Jalang, Ootsutsuki, dan satu lagi, Hinata tak akan kemanapun. Ia akan tetap tinggal bersamaku." Tanpa pamit Neji meninggalkan Toneri di kamar megah yang pernah di tempati oleh Hashirama dan Mito. Ia bahkan sudah tak berminat lagi untuk datang dalam acara penobatan Toneri. Kini kondisi sang adik yang tengah dirawat oleh Tentenlah yang menjadi prioritasnya.


つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top