096. Fitnah Keji -2-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
..
....

Petang itu, ketika langit Kyoto mulai menampakkan sisi gelapnya, dengan dinginnya angin menyertai salju yang turun, membuat udara terasa amat dingin. Namun, kobaran api upacara kremasi tiga orang yang pernah menaruh pengaruh besar pada dinasti Matahari Terbit ini, mampu menggantikan udara dingin khas musim salju yang kini menguasai alam.

Dibalut dengan mofuku hitam pertanda upacara duka, mereka yang larut dalam kesedihan atas mangkatnya Kaisar, Permaisuri dan Perdana Menteri, menundukkan kepala, melantunkan doa tulus dari dalam hati, sebagai penghormatan bagi orang-orang yang sangat berharga untuk mereka. Bukan hanya untuk tiga jenazah yang di kremasi secara khusus ini.

Doa tersebut juga dihaturkan untuk para ksatria yang telah gugur dalam mempertahankan dinasti ini, juga untuk dua kitsune yang gugur dengan keji demi melindungi nyawa tak berdosa, Uzumaki Sasori dan Uzumaki Saara.

Kepala kuning pria itu terangkat, membuka kelopak mata kecokelatannya hingga birunya lautan jernih dapat dilihat pada netranya. Pandangannya mengarah ke kiri, menatap lembut wanitanya yang masih hanyut dalam doa.

Berjalan pelan ke belakang tubuh mungil yang tengah membawa benihnya itu, tangan-tangan kekar Naruto dengan piawai melingkar di pinggang Hinata yang melebar akibat kehamilannya. Memeluk buntalan besar bundar tempat benihnya tengah tumbuh. Rasa sesak dan rapuh yang menggerogoti benaknya, sontak membuat Naruto meletakkan dagu lancipnya pada bahu kecil sang istri.

Tersentak, kelopak mata seputih bunga lili itu mengerjap dan terbuka, saat sentuhan lembut nan hangat menghinggapi kandungannya. Di tambah lagi aroma citrus yang menguar di indera penciumannya, membuat Hinata sadar bahwa sosok sang suami berada dalam jarak sangat dekat dengan tubuhnya.

Kendati sadar keberadaan mereka tak hanya berdua saja. Hinata mengerti, Naruto suaminya yang selalu tampak kuat itu, kini tengah memerlukan sandaran ternyamannya. Pria itu tak biasanya mengumbar kemesraan seperti ini di hadapan banyak orang.

Ia dapat merasakan getaran bahu sang suami yang kini tengah menenggelamkan wajah tampan di ceruk leher jenjangnya. Naruto kembali menangis tanpa suara. Tentu, ialah yang paling terpukul saat ini, dengan kedua mata kepalanya sendiri, pria yang di lengserkan dari jabatan Jenderal Samurai itu, menyaksikan dengan jarak yang amat dekat bagaimana pasangan penguasa Dinasti Matahari Terbit ini meregang nyawa dengan cara tidak manusiawi.

Tangan lembutnya, membelai halus, tangan kekar sang suami yang melingkar di perut buncitnya. Sentuhan kecil yang mampu memberikan rasa nyaman yang amat hangat dalam benak Naruto.

Tak lepas memberikan rasa nyaman pada bayi besar yang menempel pada punggungnya, ekor mata Hinata mencuri pandang pada bocah berusia sepuluh tahun yang tengah mengais abu jenazah orang tuanya, dan meletakkannya di sebuah kantung hitam, kantung yang berbeda dengan tempat menyimpan abu keluarga Namikaze yang kini tergantung di obinya.

Sambil mengais-ngais abu jenazah kedua orang tuanya, bocah yang seharusnya menjadi pewaris dinasti Heian ini menyeka air mata dengan menggunakan bagian lengan mofuku hitamnya.

Hingga seorang pria bersurai perak yang mengenakan masker datang menghampirinya. Berjongkok di hadapan bocah yang sudah tak lagi menyandang gelar Putera Mahkota itu.

Mendongak dengan iris karamelnya yang berkaca-kaca, Nawaki tak dapat lagi bertingkah sok tegar. Ia menerjang Hatake Kakashi yang ada dihadapannya. Meraung keras dalam pelukan guru Samurai terkuat di dinasti ini. Bagai seorang ayah, tangan kokoh Kakashi mengusap sayang punggung bergetar bocah yang kini telah menjadi yatim piatu.

Senju dan Uzumaki, tak lagi berhak atas dinasti Negeri Matahari Terbit ini, para pewaris mereka kini bahkan terkurung dalam istananya sendiri bersama para samurai setia yang tersisa. Menanti hukuman keji rezim baru yang kini kembali bangkit. Dua klan yang menjalankan Politik Heian dengan cara kotor, Uchiha dan Hyuuga, dan kini ditambah lagi satu Ootsutsuki.

...

"Yokatta...., Shizune-sama, Hanabi-sama... sudah sadar..." Dayang setia yang memiliki perawakan seperti Hinata itu bangkit dari duduk bersilanya, setelah semalaman menjaga Hanabi yang tak sadarkan diri akibat bogem mentah Konan yang mendarat di kepalanya.

Berlari kecil di sepanjang rokka yang menghubungkan satu persatu paviliun di perguruan Samurai ini, Tomoyo terus menyerukan nama Shizune, hingga sang pemilik nama keluar dari salah satu ruangan, bersama wanita bersurai hitam sepunggung. Sarutobi Kurenai, istri dari guru besar pemimpin perguruan ini yang kini tengah berada di medan perang ibu kota.

"Ada apa Tomoyo...?" Shizune nama yang sejak tadi di serukan oleh dayang itu, kini melemparkan pertanyaan dengan nada pelan.

"Hanabi-sama....." Jawab sang dayang sambil menunjuk ke kamar tempat Hanabi terbaring.

Tak membuang waktu, dua wanita dewasa itu berlari kecil mengikuti langkah sang dayang.

...

Kendati udara di Negeri Matahari Terbit ini begitu dingin hingga menusuk ke tulang, tetapi tak mampu menghalangi sang surya memancarkan kilauan emasnya. Pagi itu cahaya mentari melesak lembut dari celah-celah jendela kamar utama di istana utama Kamakura Bafuku. Kelopak mata Uchiha Sasuke yang tengah terpejam nyenyak itu pun mengerjap pelan saat sinar keemasan itu menembus hingga ke netra obsidiannya.

Terbuka pelan, hingga tampak iris obsidiannya. Pandangan pertama yang ia tangkap adalah raut wajah khawatir yang dibingkai dengan surai sewarna bunga musim semi itu.

Senyum tipis terpatri di wajah tenang seorang Uchiha Sasuke, kala mendapati sang istri masih setia berada disampingnya, merawat dirinya yang jatuh tersungkur. Semua itu terbukti dari tangannya yang terasa lembab ketika menyentuh dahi. Selembar sapu tangan lembab tengah menempel di dahinya.

Wanita itu mengompresnya, merawatnya sekalipun kata-kata kejam pernah terlontar dari mulut laknatnya. Kata-kata yang tak pantas keluar dari mulut seorang suami apalagi ayah. Sebuah kata-kata keraguan atas janin yang tengah berkembang dalam kandungan istrinya sendiri.

"Kau sudah sadar." Suara wanita musim semi itu masih terdengar ketus, sama seperti ketika Sasuke hampir pingsan di halaman istana kemarin sore. "Akan ada dayang yang mengurusmu." Wanita yang tengah hamil lima bulan itu kepayahan untuk berdiri. Sehingga dengan mudah tangan kekar suaminya menggagalkan niatannya untuk meninggalkan peraduan itu.

"Tetaplah disini. Kumohon."

Mengerjapkan kelopak matanya ketika untuk pertamakalinya mendengar seorang Pria Uchiha dewasa memohon pada seorang wanita.

"Untuk apa?" Sakura berujar lirih sambil menundukkan pandangannya. "Untuk mendengar hinaanmu pada anakku lagi...?" Tangan putihnya mengelus sayang perutnya yang membesar.

"Anak kita Sakura, anak kita." Duduk dan menumpukan tangan kekarnya pada tangan mungil sang istri ditempat dimana buah hati mereka tengah tumbuh, Sasuke kembali melontarkan kata-kata ampuhnya yang mampu meluluhkan lubuk hati sang istri. "Maafkan aku, Sakura."

Dan seperti yang sudah-sudah, hati lembut wanita musim semi ini selalu luluh pada pandangan mengiba pria dingin yang berstatus suaminya ini.

...

Air mata sedih tak tertahankan lagi mengalir dari pelupuk mata dua wanita satu gadis ini, ketika Hanabi menyelesaikan ceritanya tentang apa yang ia dan Hinata alami hingga dirinya terikat di pohon besar dalam keadaan tak sadarkan diri.

"Jadi bagaimana nasib Hinata-nee...?" Tomoyo terisak sambil menutup mulut dengan kedua tangan putihnya.

Hanabi yang masih terduduk diatas futton menggeleng pelan, dengan isakan yang tak kalah paraunya.

"Padahal tak lama lagi dia akan melahirkan..." Kurenai guru yang pernah mengajarkan berbagai ilmu seni pada Hinata, tak kuasa menahan pilunya kala mendengar dari Hanabi bahwa nasib muridnya itu tak di ketahui.

Hingga, seorang pelayan dengan sopan menggeser shoji kamar itu.

"Sumimasen Kurenai-sama, ada Dekrit resmi dari Kyoto." Ujar sang pelayan sambil menyerahkan sebuah gulungan.

Dengan hati berdebar-debar istri pimpinan perguruan samurai itu, menerima gulungan resmi itu. Begitupun dengan Hanabi, Tomoyo dan Shizune yang juga dengan perasaan cemas menanti Kurenai membaca dekrit itu.

"Dinasti Heian telah jatuh ke tangan Ootsutsuki Toneri, setelah mangkatnya Kaisar Senju Hashirama atas serangan mantan Shogun. Uzumaki Naruto bersamaan dengan Mangkatnya Permaisuri Uzumaki Mito. Atas bantuan pasukan yang dibawa Uchiha Sasuke, keadaan Kyoto sudah dapat di kendalikan."

Brukkkk

Tak sanggup lagi membaca dekrit dusta itu. Kurenai menjatuhkan gulungan tersebut keatas tatami.

"Naruto tak mungkin melakukan itu." Isak Shizune yang diikuti oleh Tomoyo dan Hanabi. Sampai matipun mereka tak akan percaya jika Naruto yang telah melenyapkan Kaisar.

"Di depan sudah ada beberapa Samurai yang menunggu pengakuan kedaulatan Kaisar dan Jenderal baru dari seluruh penghuni Shinto Ryu." Tambah sang pelayan ketakutan. "Jika kita tidak bersedia, mereka akan membakar Shinto Ryu."

...

Duduk tenang di zanshiki istana leluhurnya, Uchiha Sasuke menikmati aroma teh hijau hangat yang kini tengah diseruputnya. Pandangannya terfokus pada bulir-bulir salju yang jatuh menutupi dahan-dahan pohon sakura yang tumbuh di pekarangan Istana Utama Kamakura Bafuku. Hingga sebuah suara geseran pintu mengalihkan perhatiannya.

"Aku ingin istirahat hari ini. Jangan ganggu." Belum sempat tamu-tamu itu menginjak tatami yang melapisi lantai kayu ruang tamu istana utama keshogunan itu, sang tuan rumah sudah mengutarakan penolakan.

'Cih, sombong sekali dia, lihat saja jika kau sudah aku depak dari istana ini.' Umpat Yahiko dalam hati. Ia lalu memasang senyum palsu dan melancangkan kakinya masuk kedalam ruang tamu megah istana yang dibangun oleh klan Uchiha ini.

Toneri yang juga ikut serta, membuntuti dibelakang, dengan senyuman dustanya.

"Cepat katakan maksud kalian." Tanpa mempersilahkan masuk, Uchiha Sasuke seolah menginginkan kroni-kroninya untuk cepat angkat kaki dari istananya.

"Neji akan diangkat menjadi hakim agung hari ini. Lalu di lanjutkan dengan Penobatan Toneri." Yahiko membuka pembicaraan. Jangankan di tawari menikmati mochi dan matcha yang tersuguh di depannya, Sasuke bahkan tidak mempersilahkan kedua orang ini duduk.

"Hn." Kembali menenggak matchanya yang tersaji.

"Kami bermaksud menjatuhkan tuduhan pembunuhan Kaisar pada Naruto." Toneri melanjutkan.

"Ada lagi yang perlu disampaikan?" Sasuke kini malah sibuk dengan mochinya.

Diam. Hening. Hanya suara hembusan angin yang mendominasi.

"Jika tidak ada lagi yang ingin disampaikan. Silahkan keluar. Aku ingin beristirahat hari ini." Sambung Sasuke, yang lalu melanjutkan mengunyah mochi tanpa gulanya.

...

Pintu geser ruang tamu Istana Utama keshogunan itu kembali terbuka. Namun kali ini Uchiha Sasuke tidak berang seperti tadi, ketika sosok wanita dengan surai merah muda itu yang mengganggu waktu santainya.

"Aku sudah membuatkanmu ramuan, untuk mengurangi sakit kepalamu." Ujar Sakura sekenanya.

Diam, dan terpaku. Yang dilakukan Sasuke hanya menatap dalam wajah cantik istrinya itu.

"Aku akan mencicipinya jika kau tak percaya ini tak ku beri racun." Ujar Sakura yang merasa tersinggung karena obat yang dibuatnya tak disentuh.

Kepala raven Sasuke menggeleng ia tersenyum tipis melihat sikap Sakura yang masih perhatian terhadapnya. Ia beringsut maju mendekati sang istri yang duduk menjaga jarak darinya, dan tanpa aling-aling mendaratkan kepala ravennya dipangkuan sang istri.

"Tolong pijat kepalaku, rasanya sakit sekali."

Tersenyum sekedarnya, Sakura mulai merasa geli dengan tingkah manja sang suami. Dengan telaten ia mulai menyisir lembut surai raven sang suami diiringi pijatan-pijatan lembut dari jemari halusnya. Berusaha kembali merebut hati Sasuke, dan meminta pembebasan untuk Hinata. Sahabatnya yang juga sama-sama tengah hamil seperti dirinya.

Terbuai dengan sentuhan lembut sang istri. Sasuke memejamkan matanya, menyamankan posisinya dipangkuan sang istri hingga larut dalam alam bawah sadarnya.

...

"Aku tak pernah tahu, jika kau punya istri secantik ini, Namikaze-san." Obito melenggangkan kakinya mencoba lebih dekat dengan Kushina. Tapi suami sang wanita menghadang secara halus dengan berdiri dihadapannya.

"Apa kau masih tidak perduli jika ibu dari Namikaze sialan itu adalah tuan putri Senju Tsunade." Onix hitam Fugaku membulat , ia tersentak saat mendengarkan penuturan adiknya.

"Dan istrinya adalah seekor Kitsune." Ucapan setengah berbisik dari bibir sang adik memahat senyuman menjijikkan dari bibir sang jendral samurai.

"Tambah dosis racun pada ramuan obat kaisar malang itu. Kakak tercintanya tak mungkin tega meninggalkan sang adik saat sekarat." Fugaku mulai mengeluarkan ide kejinya. "Buat Namikaze sialan itu disibukkan dengan tugas kementeriannya hingga meninggalkan istrinya sendiri di rumah.."

"Dan aku akan siapkan pasukkan akatsuki dan para pria perkasa klan kita." Sambung Obito dengan seringai penuh kemenangan nan licik.

...

Baru saja terlelap menikmati belaian tangan sang istri pada kepalanya yang semalam ingin pecah. Kelopak matanya kembali terbuka, denyut sakit itu kembali menghantam tengkorak kepalanya ketika sebuah mimpi buruk yang semalaman menyiksanya kini terulang. Mimpi tentang ocehan-ocehan keji mendiang Ayah dan pamannya yang sama sekali ia tak mengerti.

"Sasuke-kun, minum dulu ramuannya.." Sakura menyodorkan obat racikannya pada sang suami yang kini duduk dengan gelisah sambil meremas surai ravennya.

'Minato, Kushina, Namikaze..., keluarga pemberontak yang dibantai bertahun-tahun lalu, apa Uchiha yang merancang semuanya? Dobe? Lalu Itachi-nii, mereka... AAGGGGGGGGGGGGG.'

...

Di teras istana Dairi, bagai sekelompok gelandangan para Samurai setia bersama seorang anak kecil dan seorang wanita hamil menduduki, tangga-tangga istana kediaman keluarga Kaisar itu. Tampak beberapa orang suruhan yang dibawa oleh Toneri tengah membersihkan lantai marmer dari genangan darah.

Sebagian lagi tengah membersihkan bagian dalam istana. Hal inilah yang membuat orang-orang yang dulunya merupakan tamu penting dan keluarga Kaisar tak dapat masuk ke istana itu.

Seolah sudah pasrah akan haknya yang dapat mereka lakukan hanyalah menanti, melakukan perlawanan atau berusaha melarikan diripun percuma, tembok istana ini sudah dipasangi segel dan dijaga ketat oleh ratusan Samurai dan Pasukan Bantuan para pengkhianat yang tengah berkuasa itu.

Pintu gerbang istana Dairi terbuka. Naruto, Sai, Asuma, Yamato dan Kakashi sontak berdiri menjadi tameng Hinata dan Nawaki yang kini berada di bawah pengawasan Konohamaru.
Bersiaga melindungi kedua orang ini jika hal buruk kembali terjadi.

Dari balik punggung kekar sang suami, Hinata mencoba mencuri pandang, siapa orang yang masuk kedalam istana ini setelah pembantaian yang terjadi kemarin.

Sosok asing wanita dengan surai cokelat, yang di cepol datang memasuki gerbang istana itu. Tak ada yang menyangka bahwa wanita yang berjalan dengan diiringi oleh para dayang itu sebelumnya adalah budak dan kini berstatus sebagai simpanan Neji.

Membungkuk sembilan puluh derajat, wanita bercepol yang menyandang nama Tenten itu, tampak begitu sopan memperlakukan mereka.

"Anda-anda sekalian di undang ke Chodo-in, untuk menandatangani dekrit kesepakatan damai." Ucap Tenten dengan senyumnya yang begitu manis.

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top