082. Racun Berwujud Kekuasaan -2-
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
Song Fic : Love You Again
By : Yook Sung Jae
Ost. Scholar
Who Walks The Night
Isak tangis memilukan menggema di ruangan pengap yang hanya menampakkan setitik sinar mentari dari celah lubang yang menjadi satu-satunya jalan bagi udara masuk.
Wanita itu masih terus menangis dalam dekapan tubuh polos suaminya. Nagajuban putih kumal yang melekat di tubuhnya kini berganti kimono hitam yang sebelumnya dikenakan oleh suaminya.
Hinata, wanita yang masih menangisi keadaan jabang bayi dalam rahimnya yang tak kunjung bergerak. Sungguh Hinata lebih baik kehilangan nyawanya dari pada menerima kenyataan bahwa mahluk mungil yang bersemayam dalam rahimnya tak bernyawa lagi.
"Aku tak mau hidup lagi Naruto-kun, jika bayiku telah tiada..!!" Raung Hinata disela isakan memilukannya.
Naruto yang tak tahan mendengar ucapan sang istri yang terus ingin mengakhiri hidupnya, memegang kedua bahu Hinata. Menjauhkan kepala Hinata dari dada bidangnya. Hingga kepala sang istri mendongak dihadapannya. Membuat biru safir bak samudera miliknya beradu dengan mutiara lavender milik Hinata.
"Kau pikir hanya kau yang peduli padanya? Aku ayahnya Hime, darahku mengalir disini!" Tangan kecokelatan Naruto meraba sekilas permukaan perut buncit Hinata. Namun masih tak memperoleh respon dari penerusnya yang belum terlahir itu.
"Tidakkah kau pikirkan nasibku, ketika kau meninggalkanku bersamanya, masih banyak tanggung jawabku pada dinasti ini. Dan kau ingin meninggalkanku sendirian! Mana janji yang pernah kau tawarkan padaku?" Kali ini suara Naruto terdengar lebih lirih. Bukan hanya itu gendang telinga Hinata dapat mendengar suara Naruto yang bergetar menahan tangis.
"Hiks... Hiks..." Isakan kecil itu keluar dari bibir mungil Hinata. Hatinya bagai disayat-sayat dengan sembilu tajam melihat keadaan suaminya saat ini. Di tambah lagi keadaan bayinya yang tidak ia ketahui. "Bayi kita..., dia tak punya salah apapun..."
Kembali, tubuh kekar sang mantan Jenderal merengkuh lembut tubuh mungil istri tercintanya itu. Mengecup lembut pucuk kepala wanita tercintanya. Membagikan rasa aman pada orang yang telah bersedia menanggung dosa yang pernah ia perbuat. Telapak tangan besarnya meraba lembut permukaan perut buncit sang istri yang berisi benihnya.
'Bergerak lah nak, bergerak sayang..., ayah tahu kau kuat..., kau tahu... ibumu sangat mengkhawatirkanmu, kami tak dapat hidup tanpa dirimu... Bergerak nak... Bergeraklah Boruto...'
Dug.
Hinata tersentak, bangkit dari sandarannya pada dada bidang sang suami. Tendangan lembut mahluk mungil yang bersemayam dalam rahimnya membuat air mata haru menitik dari mutiara ungu pucatnya.
"Naruto-kun...." Tangan putih yang tampak pucat dan di hiasi bercak darah itu menggamit tangan kecokelatan yang di kotori bercak noda tanah liat. "Bayi kita bergerak...." Hinata menumpukan tangannya diatas tangan sang suami yang tengah membelai kandungannya. "Yokatta..., Kau merasakannya Anata.... Putera kita masih hidup...."
Safir biru bak lautan lepas miliknya mengalirkan air mata bening. Raut lega benar-benar kentara pada wajah yang dianugerahi rahang tegas itu. Puteranya, penerusnya, masih bernyawa dalam rahim sang istri. Naruto memeluk protektif perut besar dimana sang buah hati tengah bernaung. Seolah tak akan membiarkan hal buruk kembali terulang pada dua orang yang amat ia cintai.
"Anakku adalah anak yang kuat Hime, kau jangan meragukannya. Boruto kita tak akan semudah itu menyerah..." Kepala pirang Uzumaki Naruto tenggelam di perpotongan leher sang istri. Melepaskan rasa rindu dan penyesalan atas kesalahannya yang membiarkan mereka dalam keadaan di ujung maut.
"Boruto?" Beo Hinata seraya mengelus rahang tegas sang suami. "Kau sudah memberikannya nama?"
Naruto mengangguk di bahu sang istri. "Nama yang baguskan Hime?"
"Namanya mirip dengan nama Naruto-kun...?" Satu tangan Hinata tak lepas dari rahang sang suami. Sementara tangannya yang lain, membelai lembut perutnya yang menggelembung besar.
"Hei, dia Puteraku, apa aku salah memberikannya nama yang mirip dengan namaku." Naruto mendongakkan kepalanya dan sontak membuat tangan Hinata yang mengelus rahang tegasnya menjauh.
Rahang sewarna madu milik Naruto lalu tertempel pada pipi tembam yang dihiasi lebam membiru. Kulit pipi keduanya bergesek lembut. Dan sontak membuat Hinata menyunggingkan senyun. Rasa nyeri diwajahnya hilang seketika saat pipi hangat milik Naruto tertempel di pipinya.
"Maafkan aku Hime...," Naruto mengeratkan pelukannya pada perut besar Hinata. Membuat sang lotus ungu merasa nyaman walau dalam keadaan yang sangat mencekam seperti saat ini.
"Maaf untuk apa Naruto-kun... Naruto-kun...?" Hinata menolehkan kepalanya, mengadu mutiara lavendernya dengan safir biru milik sang suami. "Naruto-kun tak salah apa-apa..." Cicitnya lembut sambil menempelkan pipinya di dada bidang sewarna madu itu.
"Kau dan dia hampir saja meninggalkanku karena keterlambatanku..." Suara sang suami kian lirih, bahkan hampir terdengar terisak. Sungguh Hinata benar-benar tak sanggup jika terus mendengar suaminya tenggelam dalam kesedihan seperti itu.
"Kumohon, jangan menangis lagi demi aku, Naruto-kun... kau sudah seperti ini karena aku." Tangan lembut Hinata menyentuh pelan rantai berkarat yang menjerat leher Naruto.
Mutiara lavendernya menatap miris keadaan sang suami yang di perlakukan bak hewan peliharaan. "Memangnya siapa diriku, hingga pantas mendapatkan pengorbanan sebesar ini darimu...?" Hinata tak dapat menahan air matanya kembali. Tangisnya pecah.
Air bening dari pelupuk sayunya mengalir deras membasahi pipi pualamnya yang sudah babak belur. Sementara itu, tangan Naruto tetap menyusuri helaian indigo lepek milik sang istri. Menumpukan dagunya di pucuk kepala Hinata sambil sesali mengecupinya lembut.
"Kau bertanya siapa dirimu Hime? Tak sadarkah kau bahwa kau adalah bagian dari detak jantungku. Kau ada untukku saat semua orang mengucilkanku..., kau masih mau berdiri disampingku setelah perbuatan keji yang kulakukan pada keluargamu-" Belum selesai Naruto melanjutkan ungkapan isi hatinya.
Namun telunjuk lentik Hinata terlanjur menempel pada bibir merah kecokelatannya. Sebuah isyarat bahwa sang istri memintanya untuk berhenti bicara.
"Ssstttt." Hinata berdesis pelan. "Apapun yang kulakukan, tak sebanding dengan perbuatan keji klanku pada keluargamu, Naruto-kun..., tapi perasaanku padamu.., bukan hanya sebagai perwujudan dari penebusan dosa klanku. Semua yang kulakukan untukmu adalah tulus dari dalam hatiku, kau adalah orang pertama yang mau menjadi teman gadis tak berdaya ini. Gadis yang tak punya tujuan hidup. Gadis yang di persiapkan sebagai alat politik oleh klannya sendiri. Kau satu-satunya orang yang berada disisiku, ketika keluargakupun membenciku.., hikkksss..."
Kriettt. Suara decitan pintu reot gudang itu membuat sepasang suami istri ini tersentak.
"Sudah selesai, sudah puas melepas rindu hmmm?"
Suara itu. Suara dengan nada merendahkan itu terdengar jelas di telinga Naruto dan Hinata. Siluet tubuh tegap berbalut haori hitam bersulam naga emas yang menjadi pakaian kebanggan Shogun perlahan mendekat.
Uchiha Sasuke. Pria yang menobatkan dirinya sendiri sebagai Jenderal Samurai dan dengan pengakuan kedaulatan dari Jenderal sebelumnya yang berada di bawah tekanan.
Hinata memejamkan matanya ketakutan. Ia mengarahkan pandangan dan tubuhnya ke arah sang suami. Memeluk erat tubuh kekar yang akan selalu melindunginya tersebut.
Naruto dengan sigap mendekap erat sang istri. Menyalurkan rasa aman pada calon ibu dari anaknya tersebut. "Ssssttt.., aku ada disini.." Tangan kekarnya mengusap lembut punggung sang istri. Menjamin bahwa wanita indigo itu aman di dalam dekapannya.
"Khee, kalian benar-benar pasangan serasi, si suami adalah pembunuh keji dan pencuri takhta. Sementara si istri adalah jalang yang rela menjual tubuh dan mengkhianati keluarga demi sebuah gelar Hidenka."
"TUTUP MULUTMU SASUKE!!!!" Teriak Naruto murka. Mantan sahabatnya itu boleh menghina dan merendahkan dirinya. Tapi tidak dengan Hinata, istrinya. Wanita setia yang selalu berdiri disampingnya.
"Khe. Mau marah Dobe?" Ejek Sasuke. Langkahnya semakin dekat dengan sepasang suami istri yang kini menjadi tawanannya. Namun tepat di samping tiang penyangga ruangan langkahnya terhenti.
Tiang penyangga yang menjadi tempat diikatnya rantai panjang yang terhubung dengan leher Naruto. Dalam sekali sentakkan Sasuke menarik rantai itu, bagai majikan yang menarik rantai hewan peliharaannya. "Agh." Naruto tercekat sesak saat Sasuke menarik rantai yang menjerat lehernya.
"Kumohon hentikan.., Uchiha-san..," Jerit Hinata pilu sambil memenggangi rantai berkarat yang mencekik leher suaminya.
"Kau memanggilku apa? Jalang!"
"TUTUP, MULUTMU. AGH!!" Naruto tak terima sang istri dihina. Namun, tarikan Sasuke membuat nafasnya tercekat.
"Aku mohon hentikan, ini Uchiha-sama.." Hinata berbalik berlutut dihadapan Sasuke dan memanggil pria itu dengan suffix yang lebih terhormat lagi.
"Khe..., kau tak tahu?, Jika suamimu bukan seorang Shogun lagi?"
Hinata tersenyum tipis ia tentu tak lupa apa yang di korbankan sang suami demi keselamatannya dan bayi dalam kandungannya. Dengan perlahan karena keadaan perut besarnya Hinata menundukkan kepalanya lalu bersujud dihadapan Uchiha Sasuke.
"Kamakura bafuku e no keirei wa, umaku ikeba shōgun-sama. Wa shōgun no tame ni chōju, shōri o idai. IDAI, IDAI, IDAI-SA. *)"
(*Salam hormat pada Pimpinan Kamakura Bafuku yang baru. Semoga Shogun-sama diberkahi umur panjang. Kejayaan untuk Shogun-sama, jaya.., jaya..., jaya...*)
Kelopak mata kecokelatannya terpejam kasar, gigi-gigi putihnya beradu kuat meluapkan amarahnya yang tertahan. Tangan besarnya kian kuat meremas rantai berkarat, hingga cairan merah kental merembes dari sela-sela jarinya. Naruto merasakan menjadi pria paling tak berguna saat ini. Istrinya bersujud dihadapan pria lain untuk mengurangi penderitaannya.
"Bangun Hinata! Siapa yang mengijinkanmu bersujud padanya!!!" Teriak Naruto berang, Hinata tak boleh tunduk pada pria manapun selain dirinya. Hanya padanya Hinata boleh bertekuk lutut.
"Kenapa Dobe, merasa menjadi pria tak berguna sekarang?" Sasuke menyeringai penuh kemenangan. Ia seolah tak pernah puas untuk merobek harga diri mantan sahabatnya itu.
Telinga Hinata terasa perih mendengar ejekan Sasuke. Kepalanya mendongak, ia beranikan diri menatap onix pria Uchiha itu. "Kau boleh menilaiku sebagai wanita jalang. Aku saat ini berlutut dihadapanmu, kau boleh menganggapku menyerah padamu. Tapi aku melakukan semua ini demi suami dan anakku." Hinata menyentuh sekilas perut besarnya.
Sasuke memutar matanya bosan. Ia melepaskan tangannya dari rantai yang membelenggu leher Naruto, lalu berjongkok dihadapan wanita hamil itu. Safir biru Naruto sudah memancarkan waspada tinggi. Apapun resikonya, sekali saja pria Uchiha itu kembali menyakiti istri dan anaknya, ia pastikan walau nyawanya harus melayang ia tak akan tinggal diam.
"Yamato nadeshiko, ne...?" Tangan Sasuke menarik paksa tangan Hinata yang berada diatas perut besarnya.
"Akh..."
"LEPASKAN DIA TEME!!" Naruto murka saat mendendengar sang istri terpekik kesakitan.
Sasuke memelintir pergelangan tangan wanita hamil itu.
"Kenapa rubah, tak senang aku menyentuh betina mu...?"
"Akhhh..." Hinata kembali menjerit pilu, Sasuke sama sekali tak punya belas kasihan. Bukannya melepaskan pergelangan tangan yang memerah akibat perlakuan kasarnya. Sasuke malah memperkuat pelintirannya pada tangan Hinata.
"HADAPI AKU PENGECUT!!!!" Naruto berjerit dengan seluruh tenaganya. Tapi Sasuke hanya tersenyum remeh. Tak mengindahkan. Seolah kehadiran Naruto disana hanyalah seonggok daging tak berarti.
"Khe, aku sedang malas bermain-main dengan peliharaan ku sekarang." Jempol dan Telunjuk Sasuke dari tangannya yang tak memelintir tangan Hinata, bergerak kearah telunjuk putih Hinata yang dilingkari oleh cincin giok putih yang menjadi identitas kebangsawanannya saat ia menikah dengan Naruto.
Sambil tersenyum mengejek kearah Naruto, Sasuke melepaskan cincin giok putih itu dari telunjuk Hinata. "Istri jalangmu ini tak pantas lagi dipanggil Hidenka-sama." Cincin giok putih itu terlepas sempurna dari telunjuk Hinata. Ia sudah tak berhak lagi menerima panggilan Hidenka-sama.
"Selamat menikmati kemesraan kalian di gudang pengap ini. Gudang ini di kelilingi segel. Jika kalian masih sayang dengan janin itu." Sasuke melepaskan tangannya dari pergergelangan tangan Hinata, dan berdiri, lalu menunjuk perut besar Hinata. "Jangan coba-coba melarikan diri dari sini!" Ancamnya sambil meninggalkan sepasang suami istri yang menjadi tahanannya untuk memuluskan niat Toneri menguasai Daidairi.
Sasuke yakin, selama Hashirama masih menjadi Kaisar. Keshogunan yang kini berada di tangannya tak akan berjalan mulus.
Pintu kayu yang mengurung mereka kini kembali tertutup. Hinata beringsut mendekati Naruto. Dan si pria langsung membuka tangannya lebar membiarkan tubuh mungil Hinata masuk kedalam dekapan hangatnya. Bibir merah kecokelatanya tak henti mengecupi pucuk kepala indigo sang lotus ungu.
Berharap bisa menjadi obat dari kegundahan sang istri. Tangan besarnya mengelus lembut lengan mungil Hinata. Sambil terus mengucapkan kalimat yang dapat menenangkan wanita itu. "Hei.., kau pikir aku akan membiarkan puteraku lahir di tempat seperti ini...?"
Tangan Naruto meraih dagu lancip sang istri. Menariknya pelan untuk melihat wajah yang bersembunyi di dada bidangnya. "Kita akan keluar dari sini. Kau bisa pegang kata-kataku..." Naruto mengecup sekilas bibir Hinata yang memucat. Membuat wajah yang di penuhi lebam itu sedikit memerah.
"Naruto-kun...." Hinata menyandarkan kembali kepala indigonya pada dada bidang sang suami. Menikmati detak jantung seseorang yang mampu menenangkannya. Detak jantung Naruto yang selalu menjadi nyanyian pengantar tidur baginya.
"Tidurlah..., aku akan menjaga kalian....."
Mereka mengatakan bahwa semua orang di dunia ini,memiliki seseorang yang diciptakan untuknya
Aku bertemu denganmu itu adalah pertanda.
Percayalah aku diciptakan untukmu.
Kontak yang terhubung dengan mu
Hubungan yang terjalin denganmu
Bagaimana kau tahu apa yang aku tahu.
Kau adalah orang yang diciptakan untukku jadi mengapa aku harus khawatir?
Kau adalah alasan untuk hidup dan aku akan mati untuk ini.
...
Neji meletakkan sepotong daging asap di mangkuk berisi nasi milik Konohamaru. "Makan yang banyak. Besok Hanabi akan masuk ke Kyoto. Aku tak mau di benci olehnya jika kau sakit."
Onix hitam pewaris Shinto Ryu ini hanya memutar ke sekeliling zanshiki istana utama Kamakura Bafuku yang kini menjadi tempat para pemberontak ini merayakan keberhasilan mereka. Sejujurnya ia tak sudi berada satu meja dengan orang-orang tak bermoral yang telah melengserkan Naruto dengan cara pengecut.
Telinganya seolah panas saat mendengar gurauan mereka yang membahas bagaimana Naruto bersujud dan merangkak kearah Sasuke. Jika bukan karena ingin mengorek informasi tempat Naruto dan Hinata di sekap. Ia tak sudi ikut menikmati hidangan satu meja dengan anjing-anjing rakus kekuasaan seperti Toneri dan Yahiko. Juga calon kakak iparnya yang disebut sebagai salah satu bangsawan tercerdas di Kyoto. Bagi Konohamaru, Neji sekarang tak jauh beda dengan kerbau yang di lubagi hidungnya.
"Neji kenapa adik iparmu ini diam saja. Apa dia terlalu merindukan gadisnya?" Tanya Toneri sambil menuangkan sake di cawan kecilnya.
Pertanyaan Toneri hanya di tanggapi senyum simpul oleh samurai muda keturunan Sarutobi ini. Konohamaru menenggak sedikit ocha yang ada dalam cawan kecilnya. "Singa di takuti karena dia lebih sering diam. Sementara anjing dilempari karena terlalu banyak menggonggong."
Toneri tersenyum kecut saat mendengar jawaban ketus Konohamaru. Ia tak menyangka bocah konyol yang selalu di tegur Shikamaru karena kecerobohannya, sekarang menjelma menjadi manusia cerdas. Mungkin Neji telah menularkan sifat dinginnya. Itulah yang di pikiran Toneri.
Sreeekkkkk. Empat pasang iris beraneka warna itu teralih dari perhatiannya masing-masing saat shoji itu begeser. Sosok pria tegap yang tadi sore baru saja mengakui dirinya sendiri sebagai penguasa Kamakura Bafuku, kini berdiri dengan penuh congkak diambang pintu.
"Anda dari mana saja Shogun-sama?" Pertanyaan basa-basi dari Toneri menjadi kalimat sambutan bagi orang yang kedatangannya di tunggu-tunggu dalam perayaan kemenangan para pemberontak ini.
Konohamaru mendengus geli melihat betapa penjilatnya Toneri. Setelah mendengar tanpa sengaja pembicaraan empat mata anak haram permaisuri terdahulu ini dengan ketua Akatsuki, ia seolah ingin menertawakan Hyuuga dan Uchiha yang berlagak congkak dihadapannya ini.
'Kalian tak sadar kalian lah yang dijadikan mereka sebagai tumbal demi tercapainya tujuan mereka.'
Sasuke tersenyum tipis sambil melangkah masuk kedalam zanshiki. "Sedang membuatku senang hm? Tenno-sama? Kau ingin dipanggil seperti itu kan? Ejek Sasuke sambil mendudukkan dirinya diatas zabutton empuk.
Toneri tersenyum simpul menanggapi reaksi Sasuke yang seolah tengah merendahkan dirinya. 'Kau boleh bersombong diri Uchiha. Lihat setelah aku mendepakmu dari Keshogunan. Kita lihat apa kesombonganmu itu masih akan tersisa.'
"Pasukan tambahan dari luar ibu kota akan masuk ke Kyoto dari gerbang selatan besok pagi bersamaan dengan Hidenka-sama." Ucap Toneri mengalihkan perhatian. Ia tak ingin dirinya terus menjadi bulan-bulanan Sasuke dalam acara perayaan ini.
Sasuke menuangkan sake dari poci tanah liat ke cawan kecilnya. Menyesapi minuman memabukkan fermentasi beras itu perlahan sambil memikirkan kata-kata kasar apa lagi yang akan ia lontarkan pada Toneri.
Dengan Toneri yang menjadi Kaisar Heian. Maka kejayaan Uchiha di keshogunan akan terulang kembali. Dimana Kaisar hanya menjadi simbol dari pemerintahan. Sementara kendali sepenuhnya berada di tangan Uchiha yang bersembunyi dibalik Kamakura Bafuku.
"Sedang mengalihkan perhatianku atau sedang mengingatkanku untuk melanjutkan penyerangan ke Dairi. Sudah tak sabar menggulingkan Ayah tirimu, ne?" Senyum penuh ejekan pun terpatri di wajah Sasuke.
Toneri tersenyum tipis. Ia harus bersabar dengan kesombongan Uchiha dihadapannya ini jika ingin ambisinya menguasai seluruh dinasti ini tercapai.
Toneri tersenyum tipis sambil menundukkan kepalanya sekilas. "Anda tentu tahu bagaimana nasib keshogunan yang Anda pimpin jika sepasang orang tua itu masih berdiri memimpin Heian?"
Sasuke meletakkan cawan kecilnya diatas meja pendek. Ucapan Toneri tadi telah merasuk kedalam pikirannya yang mulai di penuhi ketakutan akan kehilangan takhta.
"Lalu bagaimana dengan pengadilan tinggi Heian?" Kini Neji yang tak mau kalah dengan ranah yang pernah dikuasai Klan terhormatnya.
Yahiko dan Toneri saling berpandangan. Seolah puas melihat ekspresi berpikir keras Sasuke dan raut wajah penuh ambisi milik Neji.
Konohamaru pada akhirnya memilih meninggalkan zanshiki itu. Ia tampaknya mulai melihat dua orang yang pernah diakui sebagai manusia tercerdas di dinasti ini, tampak bodoh karena di perbudak oleh kekuasaan.
Baginya melepaskan Naruto dan Hinata jauh lebih penting. Karena serangan menuju Dairi tak dapat dihindari lagi. Terlalu banyak pasukan yang mendukung pemberontakkan ini akibat mulut manis Toneri yang menjual kisah pilunya pada para gubenur di luar Kyoto. Pria bersurai perak itu rela menjual martabatnya agar dikasihani dan mendapat bantuan pasukan dari para Samurai di luar ibu kota.
...
Pagi itu surya seolah enggan menyinari bumi Kyoto. Setelah derasnya hujan yang membasahi negeri matahari terbit ini semalaman penuh, nampaknya membuat sinar mentari seolah takut pada mendung yang tengah merajai Kyoto. Langit yang tampak sendu menjadi pemandangan yang amat dominan bagi ibu kota dinasti itu. Seolah tengah merasakan kegundahan yang dirasakan oleh para penghuninya.
Hembusan angin yang menusuk hingga ketulang, membuat suasana makin mencekam di kota yang tengah terjadi konflik ini. Di salah satu ruangan yang tak bisa dikatakan layak untuk menjadi tempat istirahat di penghujung musim gugur nan menusuk ini. Sepasang manusia tengah terlelap beralaskan jerami kasar.
Seolah melepaskan semua ketakutan dan hal buruk yang mereka alami kemarin. Pasangan suami istri ini saling mendekap erat menyalurkan kehangatan pada diri masing-masing.
"Nghhhhh..." Hingga lenguhan kecil sang istri mengusik lelapnya tidur sang suami yang tengah mendekap hangat tubuh mungil si istri.
Kelopak mata kecokelatan itu bekedut saat tubuh kecil dalam pelukannya menggeliat pelan. Perlahan safir sebiru langit musim semi itu muncul dari persembunyiannya. Melirik sendu lebam biru yang masih menghiasi seluruh wajah putih tembam itu.
Satu tangan besarnya membelai lembut pipi bulat yang terluka itu. Sementara tangannya yang lain mempererat dekapan hangatnya di tubuh rapuh itu. "Apa masih dingin, hm?" Bisik Naruto lembut sambil menyembunyikan wajahnya di pucuk helaian kelam nan lebat milik sang istri.
Bisikan lembut memenuhi gendang telinganya membuat kelopak sewarna bunga lili itu mengerjap pelan. Tak butuh waktu lama bagi Hinata untuk menampakkan mutiara keunguannya yang tampak letih.
Senyum tipis namun tulus tersungging di bibir pucatnya. Tangannya mengelus lembut lengan berotot milik sang suami yang tak di tutupi sehelai benang pun. Tiba-tiba senyum itu memudar ketika telapak tangan halusnya merasakan hawa dingin yang menguap dari permukaan kulit tan suaminya. Pria yang menjadi selimut hidupnya semalaman penuh di tengah hawa dingin akhir musim gugur.
Naruto tidur semalaman hanya dengan mengenakan hakama selutut. Sementara kimono dan hakama panjangnya ia kenakan pada tubuh sang istri. Naruto tak mungkin setega itu membiarkan istrinya mengenakan nagajuban kumal yang sudah basah akibat di siram air dingin oleh para orang keji tak berperasaan itu.
"Sampai kapan Naruto-kun terus berkorban untukku...? Harusnya tak seperti ini. Harusnya kau membenciku, harusnya kau membiarkan ku sendiri disini. Aku seorang Hyuuga, Naruto-kun, klan yang telah membinasakan keluargamu... hikssss..."
"Kau seorang Uzumaki, Hinata. Kau bagian dari diriku, jika aku ingin berkata sepertimu, kau lah yang seharusnya meninggalkanku, kembali bersama kakakmu dan mengkhianatiku-"
"Aku tak sekeji itu." Hinata memotong ucapan sang suami.
Naruto membalasnya dengan senyuman tipis. Lalu mengecup sekilas bibir mungil sang istri. "Mereka menganggapku binatang buas, siluman, bahkan iblis. Tapi..." Naruto menjeda perkataannya, tangan tannya menghapus air mata yang membasahi pipi sang istri. "Aku tak pernah bisa meninggalkan seseorang yang selalu berdiri di belakangku, menopangku ketika orang-orang berada dihadapanku untuk menentang.., jadi..., jangan pernah memintaku meninggalkanmu atau berniat meninggalkanku."
Hinata mengangguk pelan dalam dekapan sang suami. 'Aku tak pernah tahu, hidup disampingmu adalah sebuah dosa atau sebuah anugerah yang Kami-sama berikan padaku...'
Krietttt
Pintu besar yang sebelumnya terkunci rapat itu berdecit. Pertanda ada seseorang yang tengah berusaha membukanya.
Hinata mempererat pelukannya pada tubuh kekar sang suami. Salah satu dari pemberontak itu pastilah orang yang membuat pintu tersebut berdecit.
"Aku disini..." Bisik Naruto lembut menenangkan sang istri. Telapak tangan besarnya mengelus lembut bahu Hinata.
"Mau apa kau kesini, mentertawakan keadaan kami?"
Hinata mendongakkan kepalanya saat mendengar ucapan ketus sang suami tak dibalas oleh orang yang berdiri di ambang pintu. Ia menoleh pelan dan cukup terkejut saat netranya menangkap sosok tegap yang berdiri diambang pintu.
"Konohamaru? Apa yang kau lakukan disini? Dimana Hanabi?" Tanya Hinata polos, dengan tatapan berbinar seolah remaja yang ada dihadapannya ada sosok dewa penyelamat.
"Kenapa kau diam saja bocah, tak bisa menjawab, khe, tak berani menunjukkan bahwa kau adalah anjing mereka? Atau kau tak punya nyali mengakui bahwa dirimu adalah pemberontak?!" Tantang Naruto saat pemuda Sarutobi itu hanya tertunduk menanggapi pertanyaan Hinata.
Naruto dapat melihat jelas sosok Konohamaru diantara pasukan pemberontak saat ia berada di atas benteng Kyoto. Seperti semua petinggi Heian lainnya. Ia juga menganggap Konohamaru sebagai pengkhianat.
Konohamaru berjalan masuk, lalu kembali menutup pintu yang memenjarakan sepasang suami istri tersebut, seolah tak membiarkan siapapun melihat interaksinya bersama Naruto dan Hinata. Ia berjalan pelan mendekati Naruto dan Hinata, hingga berdiri tepat dihadapan sepasang suami istri itu.
Ia menekuk lututnya. Berlutut dihadapan pria yang masih ia anggap sebagai Jenderal.
Uzumaki Naruto no Shogun keirei wa. Idai, idai, idai-sa'
...
*Salam hormat pada Jenderal Uzumaki Naruto. Jaya, jaya, jaya.*
...
"Seluruh selatan Kyoto telah dikuasai pemberontak. Mereka menggunakan gerbang selatan sebagai akses untuk memasukkan pasukan dari provinsi." Shikamaru menyampaikan hasil pengintaiannya di rapat terbuka balai istana Kekaisaran pagi itu.
"Ootsutsuki punya pengaruh besar dalam pemerintahan gubenur di provinsi kecil. Kita lengah, selama ini dia menjalin koneksi dan menghasut para gubenur. Kita di tikam dari belakang."
Hashirama memejamkan matanya saat mendengar tambahan informasi dari Sarutobi Asuma, pimpinan Shinto Ryu yang memutuskan untuk menetap di Kyoto selama perang terjadi. Sungguh, Hashirama benar-benar menyesali tindakannya yang masih menaruh belas kasihan pada anak haram mantan istrinya itu.
Seharusnya ia mendengarkan Mito untuk mengurung Toneri sebagai tahanan kota di dalam Kyoto. Bukan memberinya kebebasan di Naniwa. Kini nasi sudah menjadi bubur. Anjing yang selama ini ia pelihara kini mengigit tangan majikannya bahkan berniat menguasai rumah sang majikan.
"Target mereka selanjutnya adalah Dairi." Tambah Kakashi.
Dahi sang Kaisar berkerut. Otaknya terus berpikir bagaimana cara mempertahankan dinasti yang diwariskan oleh leluhurnya. Bukan hanya itu, keberadaan keponakannya yang di tawan oleh pihak musuh, dan belum lagi kondisi sang istri yang kian memburuk membuatnya tak mampu berpikir jernih saat ini.
"Kakashi, perkuat penjagaan di Dairi, bawa sebagian pasukan untuk membuka kembali jalur bawah tanah menuju istana Kamakura."
...
Kereta kencana itu berhenti tepat di gerbang megah istana kemiliteran Negeri Heian, Kamakura Bafuku. Seorang kasim tampak sibuk membuka pintu salah satu dari dua kereta mewah itu. Kereta yang berada pada barisan paling depan adalah yang pertama kali dibuka.
Tamoto dari Uchikake berwarna maron nan mewah itu terjuntai turun lebih dahulu dari tubuh pemiliknya. Kaki berbalut kaos kaki putih yang dilapisi geta kayu berukir indah menapaki pelan hamparan rumput rata yang membentang.
Uchiha Sakura turun dari kereta kencana yang membawanya dari pinggiran kota Naniwa. Seorang utusan dari ibu kota kemarin datang menjemputnya di gubuk kecil yang ia tinggali di sudut kota Naniwa bersama Izumi dan puteranya.
Sang utusan menyerahkan sebuah kotak beludru merah yang berisikan uchikake mewah dan beraneka perhiasan yang kini ia kenakan. Semua itu atas perintah suaminya.
Sakura tak pernah tahu apa maksud suaminya menjemput ia dan Izumi dengan kereta kencana dan menghadiahkan pakaian serta perhiasan mewah yang harus ia pakai saat ini.
Hingga gemuruh teriakan orang-orang disekitarnya mengeluh-eluhkan sebuah panggilan yang di tujukan pada dirinya. Sebuah gelar kehormatan yang tak seharusnya ia sandang.
"Umaku ikeba Hidenka-sama. Wa Hidenka-sama no tame ni chōju, shōri o idai. IDAI, IDAI, IDAI-SA.*)"
Emeraldnya terbelalak lebar saat gendang telinganya menangkap sorak-sorai yang ditujukan padanya. Memandang satu persatu orang-orang di sekitar yang terus memanggilnya dengan sebutan Hidenka-sama.
"Okaerinasai, Hidenka-sama..."
Kepala sewarna permen kapasnya mendongak, ketika suara lembut kembali memanggilnya Hidenka-sama. Uchiha Sasuke, suaminya, berdiri di anak tangga tertinggi istana Kamakura Bafuku. Lengkap dengan memakai haori hitam bersulam naga emas, pakaian kebesaran seorang Shogun.
Perlahan kaki-kaki jenjang Uchiha Sasuke menuruni satu demi satu anak tangga istana Kamakura Bafuku. Senyum simpul terukir di bibirnya saat melihat sang istri bersama kakak ipar dan keponakannya menginjakkan kaki di istana dimana ia di besarkan, secara terhormat. Impiannya menjadikan dua wanita yang paling berharga dalam hidupnya kembali memperoleh gelar bangsawan.
'Oka-sama, Aniki apa kalian melihat dari atas sana? Aku telah menempatkan Sakura dan Izumi sebagai wanita terhormat di dalam istana kita...., Aniki, kelak anakmu lah yang akan mewarisi takhta Kamakura Bafuku.'
...
"Shogun-sama to Hidenka-sama idai, idai, idai-sa."
Sorakan salam penghormatan itu terus bergemuruh di halaman istana Kamakura Bafuku, bersamaan dengan langkah kaki Sasuke yang menuruni anak tangga. Tiba dihadapan sang istri Sasuke melempar senyum tulusnya lalu menggamit tangan kanan Sakura. Menyematkan cincin giok putih yang telah ia rampas dari Hinata ke telunjuk mulus istrinya.
Tangan kekar Sasuke langsung menggenggam tangan putih sang istri, menuntun Sakura menapaki satu demi satu anak tangga menuju teras istana Kamakura Bafuku. Giok hijau sang istri tak henti memandangi wajah penuh bangga milik suaminya. Sakura seolah menuntut penjelasan atas semua yang tengah terjadi.
Namun ketika sampai di teras istana Sasuke malah mengajaknya melambaikan tangan kepada para pengikutnya. Sakura mengelus sekilas kandungannya yang berusia lima bulan itu. Hatinya mulai diliputi kecemasan pada sang sahabat yang tengah hamil tua itu.
'Jika Sasuke-kun diangkat menjadi Shogun, berarti Naruto?, Lalu Hinata? Apa yang Tou-san mu lakukan pada bibi Hinata nak?'
つづく
Tsudzuku
...
Gimana feelnya masih terasa kah?
Oh ya Nana mau minta maaf, sepertinya 120 chap tidak cukup untuk menampung semua konsep Fox and Flower jadi mohon maaf ya jika fic ini di perpanjang kenbali.
Dan untuk judul chap ini dan sebelumnya mengalami perubahan judul. Karena kurang pas dengan isi cerita. 😊😊😊
Sekali lagi Nana ucapkan terimakasih ya sudah setia menunggu fic ini.
#pelukcium
NanaAnayi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top