069. Menghitung Hari Menuju Perang -1-
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
...
Iris Hazelnya memandang sendu pada tubuh polos pria kekar yang terbaring disampingnya. Tak pernah terlintas di benak wanita berstatus budak ini, bahwa pada akhirnya ia menyerahkan tubuhnya pada sang Tuan. Air mata merembes dari kelereng hazelnya. Ia tak ubahnya seperti pelacur sekarang.
Dulu saat Toneri pertama kali membawanya ke Heian. Ia bersumpah tak akan membiarkan satu orangpun di Negeri matahari terbit ini menyentuhnya. Tenten berkali-kali lolos dari buasnya nafsu Toneri. Hingga pria itu sendiri sudah kehilangan selera padanya, dan mulai bermain-main dengan geisha yang silih berganti datang ke istana Naniwa.
Tapi hari ini dia menelan ludahnya sendiri. Bahkan dia dengan rela menyerahkan tubuhnya sendiri pada pria bersurai panjang coklat ini. Bibir tipisnya tertarik seulas senyuman tersungging. Tangan putihnya mengelus lembut rahang tegas sang pangeran Hyuuga yang tengah tertidur pulas. "Aku akan turun ke medan perang untukmu Hyuuga-sama..."
...
Hinata membuka perlahan kelopak mata sendunya. Rasa kecewa menyerang hatinya ketika pandangan yang pertama ia tangkap bukanlah suami yang ia cintai. Mito, sang permaisuri dengan helaian sewarna darah duduk disampingnya.
Permaisuri siluman rubah itu melemparkan senyum tipisnya. Tapi di balas Hinata dengan senyuman miris. "Apa yang kau pikirkan hmmmm, bayimu mengeluarkan energi yang sangat besar. Sepertinya kau membuatnya marah dan tak nyaman berada di perutmu...?"
Hinata menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah dari mutiara lavendernya. Tangannya mengelus lembut perut besar yang menampung buah hatinya. Menyalurkan kasih sayang pada harta paling berharganya itu
"Apa ini tentang si Baka itu?" Ucapan yang dilontarkan Mito seolah perwakilan dari isi hatinya. Tapi Hinata hanya menggeleng pelan. Ia tak mau menambah masalah Naruto dengan melaporkan masalah rumah tangga mereka pada sang permaisuri.
"Kau tak perlu membohongiku Hinata, Ayame menemukanmu pingsan di rokka, perutmu membentur lantai, dan kau pendarahan hebat. Seorang kasim datang tergesa-gesa ke Dairi untuk mengabari keadaanmu, dan sampai aku selesai memulihkan keadaanmu dan janinmu, aku tak melihat suamimu, bahkan sampai pagi ini." Cecar Mito sambil menatap tajam istri sang Jenderal.
Tapi Hinata masih bungkam seribu bahasa. Ia menutup matanya menahan air mata.
"Ck...." Mito berdecak kesal melihat Hinata yang masih menyembunyikan perilaku Naruto. "Suamimu mabuk di rumah Shikamaru, dan tak ada yang berani yang membawanya pulang. Aku tak mau ikut campur dalam masalah kalian. Tapi perilakunya yang mencampakanmu dengan kondisi sekarang ini, membuatku tak dapat berpangku tangan..."
"Sumimasen, ini hamba Tomoyo."
Mito menghentikan ceramahnya ketika mendengar suara seseorang dari balik pintu geser. "Tomoyo sudah datang, aku akan membuat sedikit pelajaran pada bocah itu. Ingat jangan terlalu memikirkan banyak hal, dan berhentilah memikirkan Naruto. Cukup dia saja yang memikirkanmu."
Mutiara lavender Hinata menatap sendu, Mito yang berjalan dengan anggun menuju pintu geser. Dirinya yang terbaring lemah diatas futton tak mampu menghalangi niatan sang permai suri untuk memberi pelajaran pada suaminya.
Ia hanya menghela nafas kasar dengan tangannya yang mengelus lembut sang buah hati yang belum terlahir. Terimakasih ' sudah baik-baik sayang.., maafkan Okaa-chanmu ini nak."
...
"Dimana bocah itu!" Suara itu menggema saat kakinya menapaki genkan kediaman klan Nara.
Temari, sang nyonya rumah tersenyum sambil bergidik ngeri, sesekali ia menahan senyum, ketika mendengar suara itu menyebut bocah pada orang yang menjadi tujuannya datang ke tempat itu.
"Kogo-sama mohon tenang dulu..." Temari mencoba menenangkan sang permaisuri. Ya, sang pembuat keributan pagi buta di kediaman klan Nara itu tak lain dan tak bukan adalah istri sah dari Kaisar Senju Hashirama.
Siapa lagi di negeri Heian ini yang berani memanggil sang Shogun dengan sebutan baka. Hanya Mito yang berani dan mampu melakukan hal itu. Karena di seluruh Heian, Mito lah orang yang paling disegani oleh Naruto. Bahkan menentang sang Kaisarpun pernah dilakukan Naruto, ketika dia memutuskan memelihara geisha. Tapi untuk Mito, Naruto tahu benar bagaimana watak keras sang bibi.
"Jangan menutup-nutupi keberadaannya Temari!" Mito mengabaikan semua pelayan dirumah Shikamaru yang tertunduk memberi hormat padanya. Ia berjalan terburu-buru menyusuri rokka kediaman klan Nara. Bahkan sapaan dan salam dari Temari pun seolah angin lalu di telinganya.
"Selamat datang Kogo-sama..." Shikamaru keluar dari salah satu ruangannya sambil tersenyum sopan. Dia berdiri tepat dihadapan sang permaisuri lalu membungkuk sopan.
Mito tersenyum tipis. "Dimana Naruto?" Tanyanya tanpa basa-basi, bahkan ia tak mempersilahkan sang Saiteki untuk kembali tegak lebih dahulu. Shikamaru mengambil inisiatif tegak dari membungkuk. Ia tahu permaisuri cantik itu tengah mempermainkannya.
"Silahkan Kogo-sama..." Shikamaru mengarahkan tangannya ke arah pintu ruangan tempat ia keluar. Disanalah Naruto terkapar diatas futton dalam keadaan mabuk..
Mito mengangkat satu tangannya. Mengisyaratkan bahwa dayang-dayang yang selalu berada di dekatnya itu tak perlu ikut masuk. Kakinya langsung melangkah cepat menuju kamar tamu kediaman Nara.
Temari menggelengkan kepalanya pasrah setelah menyaksikan rumahnya yang selalu damai, pagi itu menjadi heboh seketika. "Jangan biarkan dia menginap lagi." Bisik Temari ditelinga suaminya sebelum meninggalkan Shikamaru di rokka.
"Kau ingin aku di tebas?" Ujar Shikamaru ketika sang istri menjauh dan dipastikan tak mendengar umpatannya.
...
Mito menarik nafasnya teratur. Sebisa mungkin ia tidak ingin mengamuk di kediamana Nara. Reputasinya sebagai permaisuri nan anggun bisa rusak seketika jika ia memilih memberi pelajaran pada Naruto seperti saat dia masih remaja.
Naruto sekarang adalah seorang Jenderal Samurai. Ia bahkan akan menjadi seorang ayah sekarang. Tak mungkin ia memperlakukan putera adiknya itu seperti saat Naruto menjadi remaja belasan tahun. Ia bisa mengamuk, jika Mito meninju atau menamparnya sekarang. Lebih dari itu Mito tak mau rasa segan pasukan Samurai terhadap sang keponakan menjadi luntur.
Prang.....
Piring antik dari Negeri Han milik Temari hancur berkeping-keping. Pelakunya siapa lagi jika bukan sang Permaisuri jelmaan siluman rubah. Mito sengaja melempar piring kesayangan istri sang Saiteki yang terpajang di kamar tamu hanya untuk memberi sensasi terkejut pada sang keponakan yang tidur terlentang seperti babi.
"Siapa yang membuat keributan!" Naruto menggeram marah seraya mendudukkan tubuhnya yang masih sempoyongan.
Mito hanya terdiam. Ia terus berjalan mendekati Naruto yang belum sempurna tersadar dari mabuknya.
Naruto mengerjapkan matanya, hingga pandangannya benar-benar jelas pada wanita anggun yang berdiri di hadapannya. "Ba-san?" Naruto sedikit gelagapan saat safirnya dapat melihat jelas sang bibi yang berdiri dihadapannya.
Mito tersenyum tipis, ia menatap Naruto dengan tatapan yang sulit diartikan. Lalu berjongkok dihadapan sang keponakanan. "Apa malammu menyenangkan Shogun-sama...?" Sindir Mito sambil memiringkan kepalanya.
Naruto terdiam ia mencoba menunduk dan menggaruk tengkuknya untuk berpikir mencari alasan. Ia tahu ia salah, ia meninggalkan istrinya yang sedang hamil besar dan mabuk-mabukan dirumah Saitekinya.
Pria tinggi besar itu tiba-tiba tersentak, saat bagian kerah kimono hitam dalaman yang ia kenakan tertarik kencang oleh tangan gemulai sang bibi. Naruto dapat merasakan aura kemarahan sang bibi. Mito sedang menggunakan kekuatan kitsunenya. Jika tidak, bagaimana mungkin dengan tubuhnya yang langsing semampai. Ia mampu membuat Naruto yang tinggi besar itu mendongak dalam sekali tarikan.
"Aku paling benci dengan pria pecundang yang menyakiti perasaan istrinya. Apalagi jika sang istri sedang mengandung anaknya." Mito melepaskan cepat cengkramannya hingga tubuh Naruto terhempas dan hampir terjungkal kebelakang. "Apa lagi jika keluargaku si pecundang itu."
Mito berdiri dan menjauhi Naruto. Berjalan menuju pintu geser. Tapi sebelum benar-benar keluar ia menoleh sekilas kearah keponakannya, "Hinata pendarahan dan belum sadarkan diri sampai sekarang." Mito sedikit melebih-lebihkan situasi.
Dan ucapannya sukses mengubah raut wajah sang Jenderal menjadi ketakutan. Naruto boleh jadi kesal dengan ucapan Hinata kemarin. Tapi mendengar keadaan istri anaknya dalam keadaan bahaya, cukup membuatnya beranjak dari futton berantakan yang ia tiduri semalaman.
...
Sakura menatap nanar dari balik jendela zanshiki istana Naniwa, para samurai yang tengah berlatih dan mempersiapkan diri untuk pemberontakan. Hatinya semakin miris, saat melihat sang suamilah yang memimpin latihan itu. Sasuke bahkan mewajibkan semua samurai di Naniwa untuk memanggilnya Shogun-sama dan Sakura Hidenka-sama.
Ia tak pernah menyangka jika pria yang sangat ia cintai itu menjelma bak iblis yang gila akan kekuasaan.
"Hidup Shogun-sama Uchiha Sasuke, Hidup Hidenka-sama Uchiha Sakura."
Sakura jijik bukan main saat mendengar para samurai itu mengelu-ngelukan namanya dan Sasuke dengan panggilan Shogun-sama dan Hidenka-sama. Entah kenapa ia merasa dirinya dan Sasuke tak berhak memperoleh gelar itu.
"Dia banyak berubah." Sakura mengalihkan padangannya saat mendengar suara lembut yang tak asing di telinganya.
"Dia tak seperti dulu lagi Izu-nee.." Sakura mendesah pelan menanggapi ucapan kakak iparnya.
"Seperti bukan dirinya saja, ya kan Ishi-kun....." Izumi mengajak bicara bocah berusia hampir empat tahun yang merupakan salinan sang suami. Uchiha Itachi.
"Sasu-ji mengerikan sekarang, Ishi takut...." Jawab bocah bermata onix itu dengan polosnya.
...
"Kau baru kembali dari Istana Naruto?" Hashirama meletakkan kuas di tangannya saat sang istri masuk kedalam balai utama Istana Chodo-in. Tempat dimana singgasananya bertahta.
Mito tersenyum tipis, sambil terus berjalan menaiki anak tangga tahta sang suami. Uchikake merah keemasannya terseret di tangga, menggambarkan betapa anggunnya dia berjalan.
"Kau tampak lelah, kemarilah..." Hashirama merentangkan tangannya. Mengajak sang istri duduk satu kursi di singgasananya.
Mito tersenyum tipis. Dan menuruti perkataan sang suami. Ia duduk disamping Sang Kaisar, di singgasana sang penguasa dinasti Heian. "Aku merasa sangat tua akhir-akhir ini..., benar-benar mudah lelah." Mito menyandarkan kepalanya di bahu sang suami yang masih tegap di usia paruh bayanya.
Hashirama, Kaisar itu bahkan rela meninggalkan tumpukan tugasnya saat sang istri bertandang ke singgasananya di istana pusat pemeritahan. Tangannya mengelus sayang kepala merah yang bersandar pada bahunya. "Jangan terlalu memikirkan Naruto, dia seorang Jenderal dan calon ayah sekarang.. aku yakin dia semakin bijak..." Hashirama mengecup sekilas sisi kepala permaisurinya untuk memberi ketenangan.
"Tak usah membela, aku tahu Jenderal kesayanganmu. Kemarin dia berengkar dengan Hinata. Meninggalkan rumah dalam keadan terluka dan mabuk-mabukan di rumah Shikamaru, dia bahkan tak perduli Hinata pendarahan dan tak sadarkan diri." Mito menjauhkan kepalanya dari bahu tegap sang suami dan menatap kesal iris obisidan sang Kaisar.
"Dia belum tahu Hinata begitu, makanya dia tidak bertindak apapun..., ya kan...?" Hashirama kembali merangkul Mito kedalam dekapannya.
Mito hanya terdiam. Benar perkataan sang suami. Ia tak melihat dari sisi Naruto. Suaminya itu memang selalu memiliki pikiran jernih dan bijak untuk menyejukkan hatinya.
"Aku pastikan dia sekarang berada disamping Hinata dan menggenggam erat tangannya." Bisikan hangat sang Kaisar mampu menyejukkan hati sang Permaisuri yang membara. Hashirama selalu menjadi tempatnya bersandar di titik terlemahnya.
...
"Kanpaku-sama, sampai kapan rapat terbukanya akan di tunda. Kami sudah lama menunggu disini, memangnya apa yang dilakukan Tenno-sama di dalam sana?" Seorang Meteri tampak menggerutu karena kesal menunggu sang Kaisar mengizinkan mereka masuk. Padahal hari itu adalah agenda rutin untuk melaporkan pekerjaan mereka pada sang Kaisar.
Belasan Menteri sedang berdiri di depan pintu balai pertemuan. Namun sang Perdana Menteri menghadang mereka masuk dengan alasan Kaisar belum memberi izin.
Nagato, sang Perdana Menteri hanya dapat tersenyum tipis tanpa bisa menjawab. Ia melihat sendiri Mito masuk ke balai pertemuan tadi pagi.
Dan Perdana Menteri ini sangat tahu, Hashirama mampu mengenyampingkan semua hal selagi tidak mengganggu kepentingan rakyat, untuk menghabiskan waktu bersama Permaisurinya. Apalagi beberapa waktu ini mereka jarang menghabiskan waktu bersama karena kesibukan sang Kaisar, sehingga untuk mengusir rasa rindunya Mito lebih sering menghabiskan waktu melatih kemampuan kitsune sang putera dipuncak Fuji.
...
Kakashi memejamkan matanya sejenak. Menarik nafas sebelum menjawab permintaan sang murid yang duduk dihadapannya. "Aku sudah pernah bicara padanya, tapi dia tak mau mendengarkannya." Ucap sang guru samurai sambil tersenyum putus asa.
"Kau belum pernah datang ke istananya. Dia sering mengundangmu ke Kyoto tapi kau tak pernah memenuhi datang, mungkin dia kecewa padamu, ku mohon Sensei datang dan hargailah undangannya. Mungkin dia mau mendengarkanmu kali ini." Iris obisidan Sai menatap penuh harap pada sang guru. Kakashi adalah harapan terkhirnya untuk mendamaikan kedua saudaranya. "Kau mengatakan kami saudarakan Sensei...?"
Pentanyaan Sai sontak mengantam batin Kakashi. Ia lah yang menobatkan Sasuke, Naruto dan Sai dalam ikatan persaudaraan.
"Sensei tega membiarkan saudara saling membunuh?"
Lagi-lagi Kakashi merasakan dadanya bergemuruh saat Sai kembali mencecarnya dengan pertanyaan yang sulit. 'Aku yang menjadikan mereka saudara. Lalu aku lepas tangan ketika mereka berniat saling membunuh.'
Sreeekkkk.
Suara pergeseran shoji mengalihkan pandangan guru dan murid ini. Sai menunduk sopan pada wanita yang bejalan masuk kedalam zanshiki, sambil membawa nampan.
Wanita yang selalu dengan lembut mengobatinya dan teman-temannya yang terluka saat sedang latihan. Sang tabib perguruan yang lemah lembut yang kini menjadi istri gurunya.
"Shizu-chan..."
Shizune mendongak, menghentikan kegiatannya menata cawan-cawan kecil dan poci berisi teh di meja pendek persegi itu. Ketika suaminya memanggilnya dengan sangat manis.
"Bereskan pakaian kita. Nanti sore kita akan berangkat ke Kyoto dan menginap di Istana Kamakura Bafuku."
Shizune mengangguk patuh serta tersenyum tipis menuruti perintah suaminya. Sementara Sai, pria bersurai kelam itu tampak tersenyum lega karena sang guru mulai turun tangan lebih serius.
...
Naruto melangkah masuk kedalam kamarnya sendiri. Mito membohonginya. Ia tahu itu. Sebelum masuk kedalam kamarnya, ia sudah bertanya pada Ayame tentang keadaan istri dan anaknya itu.
Hinata sudah membaik, wanita hamil itu sudah sadar, dan sempat sarapan serta meminum teh obatnya, lalu kembali tertidur setelah menjahit popok untuk calon buah hati mereka.
Kaki jenjangnya ia tekuk, duduk bersila disamping sang istri yang terbaring diatas futton. Terlelap dengan nyenyaknya. Tangan sewarna madunya terulur. Meraih tangan bak susu milik sang istri dan mendekatkan kerahang tegasnya. Mengeluskan tangan lembut itu kerahang tegas sewarna madu itu.
"Maaf..." Satu kata terlontar dari mulut Naruto dengan nada parau. Jujur ia menyesal dengan perlakuannya pada sang istri. Tapi bayang-bayang ketika keluarganya di bantai oleh klan penguasa membuat Naruto cukup kecewa dengan Hinata yang memintanya melepaskan tahta Kamakura Bafuku.
Tahta yang membuat keluarganya di perlakukan semena-mena. Haruskah ia kembalikan tahta itu pada keturunan yang telah memperlakukan ibunya bak pelacur murahan bahkan seperti binatang. Haruskah ia hidup tanpa tahta dan kembali di injak-injak. Hinata telah melukai kepercayaan Naruto. Bagi Naruto secinta apapun dia pada Hinata. Hinata tetap memiliki darah Hyuuga.
Tak menutup kemungkinan bagi Naruto setelah mendengar ucapan Hinata yang memintanya turun dari tahta, suatu saat Hinata mungkin akan menjadi pengkhianat layaknya para Hyuuga.
Bibirnya mengecup sekilas dahi Hinata yang tertutup poni rata. Ia jauhkan wajahnya dari sang istri perlahan. Meletakkan kembali tangan lembut itu diatas perut buncit sang istri. Kepalanya tertunduk mencium lembut perut besar tempat dimana sang buah hati tengah hidup.
Ia elus sekilas tangan putih Hinata yang tertumpu pada perut besarnya. Lalu ketika akan berbalik sebuah tarikan halus menarik tangannya. Menahan pergerakannya yang akan menjauh. "Jangan pergi...," suara Hinata mengiba pada sang suami. Memohon agar Naruto tak meninggalkannya saat ini. Dia benar-benar membutuhkan ayah dari janin mereka.
Naruto berbalik. Menyunggingkan senyuman tipis terpaksa. Tangannya yang lain melepaskan satu tangan yang digenggam Hinata. Cukup mudah, karena wanita hamil itu dalam keadaan lemah dan tak terlalu menggenggam erat tangannya. Ia letakan kembali tangan lemah itu diatas perut yang besar yang menampung anaknya. Kali ini Naruto dengan cepat berbalik. Dan berdiri. "Beristirahatlah."
"Apa Naruto-kun tak peduli padaku dan bayi ini lagi..? apa Naruto-kun membenciku? apa Naruto-kun tak ingin berada di dekatku lagi? apa Naruto-kun sudah tak mencintaiku lagi...?" Suara Hinata terdengar memilukan.
Bahkan isakan halus keluar dari bibirnya. Ia tak sanggup jika Naruto kembali bersikap dingin padanya, seperti ketika mereka Naruto tak mengakui mengenalnya sebelum kejadian perjodohan palsu mereka.
"Entahlah."
Jawaban singkat nan menusuk yang lolos dari bibir Naruto mampu membuat hati Hinata hancur berkeping-keping. Mutiara ungunya menatap pilu sang suami yang melangkah tanpa pamit padanya, perlahan berjalan menjauhinya hingga hilang di balik pintu geser.
"Kumohon maafkan aku Naruto-kun.... tolong jangan seperti ini.."
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top