067. Tahta Atau Cinta -1-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

🍀🍀🍀🍀

Song Fic : My Love
By : Lee Hi
Ost. Moon Lovers Scarlet
Heart Ryeo

🍀🍀🍀🍀

Gemericik air hangat yang mengalir dari pancuran bambu di kolam pemandian air hangat pribadi di istana Kamakura Bafuku, mampu merelaxaxi pikiran sang Jenderal yang baru saja memulihkan raganya. Sentuhan-sentuhan kaki sang istri yang tanpa sengaja bersinggungan dengan kakinya yang terendam di dalam kolam batu alam, membuat rasa hangat memenuhi sudut hatinya.

Sudah cukup lama Naruto tak menghabiskan waktunya secara intim di dalam onsen seperti ini. Hanya sekedar merendam kaki di tepian kolam sambil memangku sang istri yang tengah sibuk memainkan kaki jenjangnya di kolam air hangat.

Naruto mengeratkan pelukan pada sang istri yang berada dalam pangkuannya. Dan kembali....

Cup

Ia mencuri kecupan di pipi gembul sang istri.

Merasakan sang suami mencium pipinya dari belakang, pipi bulat itu memerah bak buah persik yang matang di pohonnya. Tangan putihnya terulur, meraba rahang tegas sang suami yang tengah menumpukan dagu lancipnya di pucuk helaian kelam miliknya. "Hari ini tidak usah ke Chodo-in ya..." Suara Hinata yang mengalun manja, membuat Naruto tergelitik, dan mengecup lembut pucuk kepala sang istri.

"Kenapa kau jadi manja begini, hm...?" Tangan Naruto kini meraba perut besar sang istri, tempat dimana darah dagingnya tengah bergelung nyaman. "Berapa lama lagi aku bisa melihatnya." Naruto mencoba mengalihkan arah pembicaraan sambil mengelus lembut dari atas ke bawah perut buncit Hinata.

Hinata menolehkan kepalanya, menghadapkan pandangan mutiara lavendernya pada safir biru sang suami. "Usianya hampir tujuh bulan..., tapi aku tak tahu akan melahirkan di usia kandungan sembilan bulan atau dua belas bulan seperti Kushina Okaa-chan..., Mito Baa-san belum bisa memprediksi..., bagaimanapun dia memiliki darah kitsune dan manusia..."

Hinata menunduk seraya menumpukan tangannya di atas tangan Naruto. "Aku hanya berharap dia lahir dengan selamat..." Tiba-tiba suara Hinata terdengar menyendu. Dan hal itu seketika membuat Naruto mengeratkan pelukannya.

"Dia anak yang kuat...., darahku mengalir padanya, kau jangan pernah meragukannya, ya..., Hime..." Naruto mengecup lembut bibir ranum sang istri, memberi ketenangan pada sang lotus ungu. Hinata akan berjuang keras saat mrelahirkan nanti, dengan tubuh manusianya ia akan melahirkan bayi berdarah siluman rubah.

"Ne..., jadi Naruto-kun tidak ke Chodo-in kan hari ini...?" Hinata mengerjapkan sepasang kelopak mata putihnya, menatap penuh harap pada safir biru sang suami.

Naruto menggeleng pelan, lalu tersenyum lembut di lanjutkan dengan mengecup sepasang kelopak mata yang sangat ia sayangi itu bergantian. "Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu hari ini..."

....

"Kau ingin masuk kedalam Buraku-in?"

"Apa aku salah membawa kembali istriku?"

"Hanya untuk Sakura, jangan lakukan hal ceroboh!"

"Terimakasih Sai, aku akan membalas bantuanmu kelak."

...

"Sasuke menyandera Hinata untuk menukarkannya dengan Sakura, kau pikir tindakan gegabah mu itu benar?, aku bicara disini bukan sebagai temanmu Shimura-san, tapi sebagai Saiteki. Apa yang kau lakukan itu bisa dikatakan tindakan pengkhianatan. Tak terpikirkah di akalmu jika Sasuke tiba-tiba membunuh Tenno-sama, aku tahu perbuatan Naruto pada Uchiha itu sudah sangat keterlaluan. Tapi kurasa dia punya alasan tersendiri. Menutup matalah atas permasalahan mereka. Jangan pernah ikut campur dalam masalah mereka, keselamatan keluargamu bisa jadi taruhannya. Sasuke atau Naruto bisa membantai keluargamu jika kau memihak salah satu dari mereka. Bersikaplah sebagai seorang Samurai Sai. Kita berjuang untuk dinasti ini dan keluarga Kaisar."

...

"Sai-kun..." Sai tersadar dari meditasinya ketika suara sang istri menyerukan namanya.

"Ohayou Ino-chan..." Senyuman tipis terpatri di wajah putera sang mantan menteri pertahanan dinasti Heian ini. Menatap tajam aquamarine sang istri yang memandangnya penuh kekhawatiran.

"Kau tampak gelisah selama meditasi, tak seperti biasanya...?" Tanya Ino sembari menata cawan kecil dan poci berisi teh hangat di atas rokka halaman samping kediaman mereka.

Sai lagi-lagi tersenyum tipis, tapi kali ini onixnya memandang sendu deretan pohon bonsai yang di tata rapi diatas meja yang terletak di taman kediamannya. "Entahlah, akhir-akhir ini aku merasa tak tenang." Sai meraih teh yang di suguhkan oleh sang istri, lalu menyeruputnya dengan perlahan. "Aku rasa aku perlu menemui Kakashi-sensei di Shinto Ryu...."

Ino tersenyum kecut menanggapi ucapan sang suami. Dia tahu persis apa yang menjadi beban pikiran suaminya selama ini.

Sejujurnya dia tak terlalu suka Sai terlalu ikut campur dalam masalah kedua sahabatnya itu. Sai sudah melepaskan tawaran jabatan sebagai Saiteki, agar tak memihak Naruto dan Sasuke.

Dan baru semalam dia menyelundupkan seorang buronan kedalam istana dengan alasan persaudaraan.

"Mau sampai kapan kau memikirkan mereka?" Tanya Ino dengan nada dingin. Perubahan sikapnya yang begitu cepat membuat Sai memahami bahwa istrinya itu sudah tahu alasannya untuk mendatangi perguruan Samurai tempat dia menuntut ilmu.

"Mereka saudaraku Ino..." Dengan senyum lembutnya Sai mencoba memberi pengertian.

"Naruto, membantai klan Uchiha demi mengambil tahta Shogun, dan yang jadi korban..., Izumi-nee dan Sakura-chan, lalu kemarin, Hinata dan bayinya hampir mati di tangan Sasuke yang ingin merebut kembali Kamakura Bafuku, lalu nanti, apa aku dan Inojin juga harus berkorban seperti mereka?, kumohon Sai-kun, hentikan persaudaraan kalian...." Kali ini Ino terisak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia takut, jika sampai sang Jenderal tahu, bahwa suaminya yang melengahkan pengawasan di puncak Tsukimi Matsuri, maka klan Yamanaka dan Shimura akan dibantai dengan tuduhan pemberontakan.

Sai beranjak dari duduk bersilanya, dan merengkuh istri pirangnya yang tengah terisak. Dikecupnya sekilas sisi kepala wanita yang baru tiga bulan lalu melahirkan buah hati mereka. "Aku tak akan mengulangi kebodohanku..."

"Janji....?" Tanya Ino sambil mendongakkan kepalanya.

"Ya.. aku janji, tapi tolong jangan memintaku berhenti memperdulikan dan berusaha menyatukan kembali saudara-saudaraku..." Jawab Sai sambil menggesekkan hidung mancungnya dengan hidung sang istri.

"Kau keras kepala Sai-kun..." Rajuk Ino sambil merenggangkan pelukan mereka.

"Tapi aku mencintaimu...." Kilah Sai yang malah mengeratkan pelukannya pada sang istri.

...

Safir birunya memandang lekat sosok cantik yang tengah di dandani oleh para dayang istana. Sudah kebiasaan Naruto setiap pagi semenjak menikah, ia akan menonton kegiatan para dayang yang tengah mempercantik sang istri di dalam kamarnya.

"Kami mohon diri Shogun-sama, Hidenka-sama..." Para dayang yang telah selesai mendandani istri sang Jenderal, membungkuk hormat sembilan puluh derajat dihadapan Naruto dan Hinata.

Naruto, sang Shogun hanya mengangguk sekilas, membiarkan para dayang penata rias itu meninggakannya berdua saja dengan sang istri. Ia berjalan mendekati Hinata yang duduk bersimpuh dihadapan cermin sambil melihat pantulan dirinya.

"Kau selalu terlihat cantik Hime..." Sepasang tangan kekar Naruto memeluk sang istri dari belakang, dagu lancipnya ia tumpukan pada bahu kecil sang istri yang tertutup Uchikake berwarna salmon.

"Kau harus mengenakan haori dan hakamamu dulu Naruto-kun.." Jawab Hinata sembari mengelus rahang tegas sang suami. Prianya itu masih mengenakan kimono abu-abu yang ia pakai setelah selesai berendam tadi pagi. Semenjak menikah Naruto tak mau lagi diurus oleh para dayang. Hanya Hinata yang ia izinkan untuk menyentuh dirinya.

Itulah yang menjadi alasannya menonton para dayang yang mendandani istrinya. Demi menunggu sang istri selesai berdandan lalu mengurus dirinya.

Jemari lentik Hinata dengan sangat telaten mengikat tiap simpul kimono putih yang menjadi bagian dalam dari haori hitam yang akan dikenakan oleh suaminya. "Ne..., apa lukamu masih terasa sakit Naruto-kun...?"

"Sedikit..." Jawab Naruto singkat, tatapannya sibuk memandang gerak gerik sang istri yang tengah asyik dengan pekerjaan tangannya.

"Aku sudah meminta Ayame-nee memasak bubur dengan tambahan ikan tuna di dalamnya, itu akan cepat membantu penyembuhanmu..." Celoteh Hinata yang masih enggan berpaling dari pekerjaannya.

Naruto tersenyum jahil melihat sang istri yang terus mengoceh tanpa menatap wajahnya. Ia tarik dengan gemas dagu lancip sang istri hingga wanita hamil itu mendongak menatapnya.

Hinata terperanjat, bola matanya membulat sempurna ketika tanpa aba-aba bibir Naruto melahap ganas bibir mungilnya. Pria itu bahkan mengajukan lidahnya untuk meminta jalan agar Hinata membuka mulutnya. Mengikuti permainan sang suami, Hinata membiarkan isi mulutnya di jelajahi oleh sang suami. Ini bukan ciuman panas mereka yang pertama, tapi rasanya selalu sama, manis dan memabukkan seperti ciuman pertama.

...

"Sepertinya aku sudah pulih sekarang..." Desahan nafas hangat sang Jenderal berhembus di telinganya yang memerah. Hinata masih terpaku ketika ciuman panas mereka baru saja usai.

"Bibirmu selalu memabukkan..., kau mililku, Hime..." Tangan besar dan hangat itu menyentuh sudut bibir ranumnya. Naruto tengah membersihkan sisa-sisa salivanya yang sedikit menghiasi pipi pualam istrinya. "Dan aku menginginkannya lagi."

Hinata memejamkan matanya perlahan saat sang suami kembali mengangkat dagu lancipnya. Naruto akan kembali menyerang bibirnya, dan kali ini ia sudah siap untuk menerimanya.

"Sumimasen...., Hidenka-sama sarapannya sudah siap..."

Hinata terkesiap menjauhkan bibirnya yang hampir menempel dengan bibir suaminya ketika suara Ayame terdengar jelas dari balik pintu geser. "A...ano..., sarapannya sudah datang..." Hinata gelagapan dan berjalan menuju shoji.

"Ck..., mengganggu saja..." Naruto berdecak kesal sambil menyeka sekilas bibirnya.

...

Naruto masih berusaha, menangkap potongan ikan tuna dengan sumpitnya. Namun lagi-lagi, makanan bergizi itu gagal sampai kemulutnya. Ia kembali berdecak kesal karena potongan lauk yang sangat ia suka kembali terjatuh dari sumpitnya. Tampaknya luka di punggungnya itu cukup menganggu pergerakan tangannya.

Hinata tersenyum tipis, sudah sejak awal dia menawarkan diri untuk menyuapi suaminya itu. Tapi sang Jenderal berkali-kali menolak dan menyuruhnya menghabiskan makanannya sendiri. Dan kini setelah perut buncitnya terasa kenyang, justru sang suamilah yang tak kunjung menyantap sarapannya.

"Kemari..." Hinata dengan senyum tipisnya menyodorkan sumpit yang menjepit potongan ikan tuna yang sejak tadi gagal dilahap oleh suaminya.

Naruto tersenyum simpul melihat sang istri yang menyodorkan sumpit dihadapannya. Ternyata benar. Ia sangat membutuhkan wanita itu disisinya. Kepalanya sedikit menunduk sambil membuka mulutnya. Dan dengan sangat lembut Hinata menyuapkan potongan daging ikan kaya manfaat itu kemulut suaminya.

"Terimakasih, aku mencintaimu.." Ucap Naruto tulus dengan senyum tipis sambil menatap lekat mutiara lavender sang istri. Tatapan tajam yang selalu mampu membuat pipi Hinata merona.

...

Dengan sangat telaten suap demi suap bubur beserta lauk yang disajikan untuk sang Shogun kini tak bersisa lagi. Naruto makan dengan lahap sarapannya pagi ini dari tangan sang istri.

"Minum tehnya dulu..." Dengan sangat lembut Hinata membantu sang suami meminum teh obat yang telah diracik oleh tabib istana.

"Sekali lagi terimakasih, Hime.." Naruto mengelus lembut pipi gembul sang istri dan di balas Hinata dengan mengelus rahang tegas suaminya.

"Jangan berterima kasih terus..., ini tugasku..." Jawab Hinata sambil tetap mengelus rahang tegas Naruto. "Hmmm, Naruto-kun...." Hinata mulai mengubah ekspresi wajahnya. Ia ingin memulai pembicaraan yang serius dengan suaminya.

"Kau ingin meminta apa hmm..?" Naruto makin lembut mengelus pipi tembam sang istri. Di tambah dengan tatapan memuja dari safir birunya.

Hinata tersenyum tipis ia tetap memberi rasa nyaman pada sang suami dengan terus mengelus rahang tegasnya. "Begini..., kau dan Sasuke sudah lama berteman, dan sudah seperti saudara."

Dahi Naruto berkerut. Ia tak suka jika sang istri mengungkit tentang Sasuke di tengah kemesraan mereka. Tangan besar nan hangat itu terlepas dari pipi gembul sang istri. Seketika rona merah dari pipi Hinata berganti dengan warna pucat pasi. Rasa takut mulai menyambangi batin Hinata untuk menyampaikan maksud hatinya pada sang suami.

"Aku tahu kau tak suka kita membicarakan ini." Jawab Hinata menahan gugupnya. Tapi Naruto malah menjauhkan tangannya dari rahang tegas yang tengah di belainya. Naruto menghentikan belaian sang istri pada rahang tegasnya.

"Tak usah berbasa-basi." Suara Naruto yang tadi terdengar hangat kini terdengar begitu dingin di telinga Hinata. Suara yang sama persis saat Naruto membantai klannya.

Hinata mencoba menarik nafas, mencoba mengajak bicara suaminya dengan kepala dingin. "Naruto-kun..., apa tak sebaiknya tahta Kamakura Bafuku di kembalikan pada Sasuke, lagi pula dia sama sekali tidak tahu menahu tentang yang dilakukan klannya pada keluargamu..." Penjelasan Hinata terhenti. Naruto sudah lebih dahulu berdiri dan menatapnya dengan tatapan yang amat dingin.

Hinata tahu Naruto tak suka jika ia ikut campur tentang masalah Sasuke. Tapi kejadian di bukit Fushimi membuatnya merasa tahta yang sang suami duduki akan membawa petaka.

Ia bangkit dari duduknya. Naruto tak membantunya sama sekali. Pria itu hanya menatap dingin dirinya yang tengah kepayahan berdiri dengan perut besarnya. Dan ketika Hinata berdiri. Pria itu membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan Hinata.

"Naruto-kun tunggu...." Hinata berlari mengejar sang suami yang berjalan menuju pintu geser, mencoba meraih tangan Naruto dan ketika ia berhasil Naruto malah menepisnya kasar.

Safir birunya menatap sang istri dengan tatapan tajam yang amat menusuk. Hingga bulir air mata dari mutiara lavender sang istri. "Naruto-kun..." Hinata memohon sebuah kesempatan pada suaminya agar dia dapat menjelaskan. Tapi Naruto berlalu.

Dan sebelum benar-benar keluar dari kamarnya, Naruto menghentikan langkahnya, tanpa berbalik menatap sang istri. "Aku pikir kau berbeda dari mereka, aku pikir kau memahami ku, ternyata kau sama saja. Hyuuga tetaplah Hyuuga. Kendati aku sudah mengubah nama klanmu. Sampai kapanpun aku tak akan menyerahkan tahtaku, kecuali pada puteraku."

Naruto meninggalkan Hinata sendirian di kamar. Wanita hamil itu menangis sambil terduduk. Ia menutup mulutnya menahan isakan. "Aku memahamimu Anata..., aku memahamimu..., kau lebih mencintai tahtamu dibanding kami."

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top