040. Air Mata Sang Jendral -2-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

Song Fict : Love Is Not A Crime
By : Baek Ji Young

Grebbbbb....

Tangan kekar sewarna madu itu terkesiap merengkuh pinggul ramping Hinata. Jika saja Naruto terlambat sedikit saja, wanita hamil itu bisa saja jatuh terjunkal kebelakang dan nyawa janin yang dikandungnya bisa di pertaruhkan.

Tubuh keduanya begitu dekat. Safir dan mutiara itu saling berpandangan satu sama lain. Seolah sedang tersihir dengan pandangan masing-masing. Waktu seolah berhenti ketika dua insan ini sedang beradu pandang.

Safir dan mutiara itu saling mengadu pandangan memuja. Angin penghujung musim semi yang terasa sejuk berhembus pelan, menerpa helaian halus milik sang lotus ungu hingga menggapai pipi mulus seputih saljunya.

Merasa helaian indigo tipis itu menghalangi pandangannya atas wajah sendu seputih susu milik lotus ungunya, tangan kecoklatan sang jendral terulur dan menyelipkan helaian tipis itu ke belakang telinga Hinata.

Pipi seputih salju milik wanita itu bersemu merah saat jemari kekar sang jendral menyentuh lembut pipi mulusnya. Wajah sewarna madu itu kian dekat dengan wajah susunya hingga kedua hidung mancung mereka saling bergesekkan. Tubuh Hinata kian menengang. Kepalanya indigonya mulai berspekulasi bahwa sang Shogun akan menempelkan bibir merah kecoklatan miliknya pada bibir ranum merah muda miliknya sendiri.

Tapi Hinata salah, Naruto malah mendekatkan bibirnya pada telinga Hinata yang juga sama merah dengan wajahnya.

"Berhati-hatilah..., ada nyawa kecil yang sedang kau tanggung sekarang. Walaupun darah kitsuneku mengalir padanya, dan ada hoshi no tama milik Oka-chan yang melindunginya, kita tetap bisa kehilangannya jika kau mengalami hal yang membahayakan. Bagaimanapun dia tetap janin kecil yang bergantung padamu."

Raut wajah Hinata langsung berubah penuh kekhawatiran. Ia tak bisa membayangkan bila harus kehilangan buah hatinya. Baru beberapa hari ia merasakan memiliki kehidupan lain di dalam tubuhnya, wanita indigo ini seperti menemukan kembali semangat hidupnya. Ada nyawa kecil dalam tubuhnya yang memiliki ikatan darah dengannya darah dagingnya, anak yang kelak akan mengasihinya dengan sepenuh hati. Seperti yang ia rasakan pada mendiang ibunya, dan hubungan Naruto bersama Kushina yang ia lihat dalam mimpi panjangnya.

"Gomenasai..." Ucap Hinata lirih dengan matanya yang berkaca-kaca. Hinata sempat menyesali keadaan saat dia memukuli perutnya yang mulai membuncit ketika ia tahu dia hamil. Dan hari ini ia kembali menyesali perbuatannya yang membahayakan buah hatinya.

Sebuah usapan halus dirasakan kepalanya indigonya, hingga tiba-tiba ia merasakan tubuhnya mulai melayang. Akibat perbuatan tangan kekar yang tanpa permisi menggendongnya.

"Kita kembali ke rumah, terlalu berbahaya bagimu berada disini." Ujar Naruto sambil mulai berjalan dengan Hinata dalam gendongannya.

"Bukankah, anda ingin latihan Shogun-sama..., aku tak apa.., sungguh..." Sejujurnya Hinata mulai merasakan nyaman dalam gendongan tubuh kekar pria tampan yang menjabat sebagi jendral samurai ini. Tapi ia cukup tau diri untuk tidak mengambil kesempatan berdua saja dengan ayah buah hatinya ini.

"Kalungkan tanganmu pada leherku..." Perintah Naruto tanpa mau menatap mutiara lavender Hinata. Naruto lebih memilih tak menatap mata sayu yang memabukkan itu, dari pada ia kembali terhipnotis dalam tatapan lotus ungunya.

"Uhummm..." Hinata menurut. Ia mengalungkan tangan lentiknya pada leher tegap sang Shogun.

Sepanjang perjalanan menuju rumah hanya diisi keheningan. Tak sepatah katapun terucap dari keduanya. Hinata menyandarkan kepalanya dengan sangat nyaman di dada bidang Naruto.

Sementara sang Jendral samurai. Ia hanya menapaki jalanan yang berlapis rerumputan itu dengan tatapan lurus kedepan. Ekspresi wajahnya yang begitu tenang sungguh sangat bertolak belakang dengan jantungnya yang berdegup kencang dibalik dada bidangnya yang disandari kepala indigo pemilik hatinya.

"A..no..., Shogun-sama...," Naruto menghentikan langkahnya, dan menatap lekat kelereng lavender wanita dalam gendongannya.

"Ada apa...?"

"Sebenarnya tak apa jika anda ingin latihan..., sungguh, aku dan dia tidak apa-apa..." Cicit Hinata pelan.

Naruto tersenyum jahil. Tiba-tiba muncul ide jahil di benaknya ketika melihat raut wajah merasa bersalah Hinata. Raut wajah yang sama saat mereka masih kecil selalu ditampakkan Hinata ketika datang terlambat menemuinya di bawah pohon ginko.

"Ya.., tapi mau bagaimana lagi, semangatku untuk latihan sudah sirna karena kecerobohanmu." Jawab Naruto dingin.

Hinata menunduk sambil menggigit bibirnya. Ia tahu Naruto pasti marah padanya. Ia sudah bertindak ceroboh hingga membahayakan buah hati mereka.

"Hontou ni gomenasai...."

"Dari tadi kau minta maaf terus padaku. Kau pikir meminta maaf saja cukup." Naruto kembali melanjutkan langkahnya. Ia kembali menatap lurus kedepan.

Dari gerak-gerik Naruto, Hinata paham bahwa pria itu marah padanya. 'Padahal aku berencana memulai semuanya dari awal, tapi justru aku yang membuat semuanya menjadi kacau.' Rutuk Hinata dalam hatinya.

Hinata kembali mendongakkan kepalanya saat lagi-lagi langkah Naruto terhenti. "Jadi kau sudah siap menerima hukumanmu?"

Wanita hamil itu tersentak saat mendengar kata hukum dari mulut sang jendral. Berbagai makna hukuman dalam persepsi Naruto kini melayang dipikirannya.

'Hukuman..., Apa Naruto-kun ingin menyiksaku lagi..., lalu bagaimana dengan bayi kami? Atau Naruto-kun ingin mandi bersamaku? Atau Naruto-kun ingin bercinta denganku?, Oh Kami-sama..., kenapa aku jadi berpikiran mesum seperti ini.' Hinata menggelengkan kepalanya dengan cepat.

Tingkah lucu sang indigo itu memancing senyum mengembang di bibir sang Shogun. "Jadi kau siap menerima hukumanmu Uzumaki Hinata."

Naruto meninggikan gendongannya pada Hinata. Hingga jarak wajah mereka begitu dekat. Dengan mata terbuka sang lotus ungu melihat bibir merah kecoklatan jendral samurai itu melumat dalam bibirnya.

"Hmmmmmpppp..." Hinata terkesiap seketika saat lumatan lumatan lembut itu menyerang bibir mungilnya. Tubuhnya merespon. Hal itu terbukti dari tangan putihnya yang tadi melingkar di leher Naruto, sekarang malah meremas halus bagian belakang kepala si pria yang ditumbuhi helaian sewarna kelopak bunga matahari.

Lama kelamaan lumatan itu semakin dalam dan lembut. Hinata memejamkan matanya dan mulai terbawa arus permainan sang Jendral yang menjelajahi tiap inci rongga mulut Hinata dengan lidahnya.

'Kami-sama..., apa aku telah berdosa mencintai orang yang menyebabkan kematian keluargaku?. Apa bagiku mencintainya begitu hina...,? Ia telah banyak menerima ketidak adilan sepanjang hidupnya. Bolehkah aku memenuhi relung hatinya yang terisi dendam dengan cinta dan kasih sayang. Aku mencintainya....'

o0o

Rembulan malam itu menyinari langit Fuji yang sudah menjadi kelam. Tapi mutiara lavendernya masih enggan terpejam. Ia tak hentinya memandangi keindahan rembulan yang ditemani taburan bintang. Hingga suara pergeseran shoji, yang di sebabkan oleh sang manusia setengah kitsune mengalihkan pandangannya.

"Kenapa belum tidur?" Naruto berjalan mendekati futton yang menjadi alas Hinata berbaring. Ia duduk disamping kepala indigo yang terbaring nyaman diatas bantal petak. Tangannya terulur mengacak pucuk kepala indigo itu dengan sayang

Hinata duduk dari posisi berbaringnya. Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Aku belum mengantuk..., atau mungkin..." Hinata memberi jeda pada ucapannya. Dan menumpukan tangannya pada telapak tangan besar yang berada di pucuk kepalanya. Membawa tangan sewarna madu itu ke perutnya yang sedikit membuncit.

Naruto tersenyum sangat tipis ketika telapak tangan besarnya tertempel pada perut yang sedang mengandung benihnya. Dia gerakkan tangannya mengelus lembut perut yang tertutup nagajuban putih itu.

"Dia yang tak bisa tidur..." Hinata kembali melanjutkan kembali kalimat yang digantungnya.

Naruto membungkukkan sedikt tubuhnya sampai kepalanya menjadi sejajar dengan perut Hinata. "Jadi anak Otou-chan belum ingin tidur ya..." Naruto berbicara sambil menempelkan telinganya ke perut Hinata.

"Apa kau mengidam sesuatu, Hime.?" Naruto mendongakkan kepalanya dan menatap wajah sayu Hinata yang terpatri senyuman tipis.

Hati Hinata tiba-tiba menghangat ketika panggilan Hime kembali di dengungkan Naruto untuk memanggilnya. Tangannya kemudian membelai kepala pirang yang kini berada dipangkuannya. "Dia ingin sekali mendengarkan ayahnya bermain shinobue*)"

"Hontou?, dia atau ibunya yang merindukan ayahnya bermain shinobue..." Kini netra biru Naruto telah bersembunyi di balik kelopak kecoklatannya. Ia sedang menghayati suara-suara abstrak yang terdengar dari rahim Hinata.

"Kalau tidak mau juga tidak apa-apa..." Jawab Hinata tulus, ia memang tidak ingin memaksa Naruto. "Mungkin ibunyalah yang merindukan suara shinobue yang di tiupkan sang ayah."

Naruto mendudukkan dirinya seketika. Safir birunya memandang lekat mutiara lavender Hinata. Seolah tak menyukai apa yang baru saja terlontar dari mulut mungil Hinata. "Kau sudah memintanya mana boleh kau menariknya kembali."

Kaki-kaki jenjang Naruto kini berjalan menuju oshiire yang menempel pada dinding kamar itu. Ia mengambil sebatang alat musik tiup yang terbuat dari bambu dan menunjukkan benda itu kehadapan Hinata sambil tersenyum. Wanita indigo itu membalas dengan senyuman terbaiknya, seraya menumpukan dagunya pada lututnya yang telah ditekuk.

'Kau akan mendengarnya lagi Hime.., hari ini setelah sepuluh tahun, aku kembali memainkannya, untukmu..., hanya untukmu..."

Naruto berjalan menuju pinggir jendela dan mulai duduk bersila disana. "Dengarkan sambil berbaring saja." Pinta Naruto sambil tersenyum lembut.

Hinata menurut. Ia membaringkan tubuhnya menghadap kekiri. Selain dari arah itu ia berhadapan langsung dengan Naruto yang telah siap dengan shinobuenya, berbaring ke arah kiri juga baik untuk janin yang sedang dikandungnya.

Naruto mulai meniupkan shinobuenya sambil memejamkan kedua matanya. Musik yang sama seperti yang ia perdengarkan pada Hinata ketika usianya menginjak tiga belas tahun. Di bawah pohon ginko. Dengan shinobue yang sama ia selalu mengiringi Hinata menari dengan permainan shinobuennya.

Alunan musik dari tiupan shinobue Naruto, seolah menjadi lagu pengantar tidur bagi Hinata. Perlahan kelopak matanya mulai meredup, terpejam seiring dengan indahnya permainan alat musik yang di tiupkan Naruto dengan piawainya.

Ingatannya kembali kemasa ketika ia berusia dua belas tahun saat itu Naruto sudah menginjak usia tiga belas tahun. Setiap hari Naruto selalu meminta Hinata menari dihadapannya diiringi dengan alunan musik yang di tiupkan oleh Naruto.

'Suara shinobue ini, akhirnya aku mendengarnya lagi. Aku merindukan suara alunan shinobue ini selama sepuluh tahun. Dan hari ini aku kembali mendengarkannya. Ia kembali meniupkan shinobuenya setelah menjadi samurai. Dihadapanku, hanya untukku..."

o0o

Tengah malam Hinata terjaga dari tidurnya. Kerongkongannya yang terasa kering menjadi alasannya membuka kelopak mata yang sebenarnya sudah mengantuk.

Ia mendudukkan dirinya, lalu pandangannya kini teralih pada Naruto yang terlelap meringkuk di bawah jendela. 'Kasihan sekali, Naruto-kun...' Hinata berjalan mendekati Naruto yang tidur hanya beralaskan tatami dan tanpa selimut. Peralahan ia membentangkan selimut yang tadi dipakainya, ke tubuh tegap Naruto.

Niatannya untuk menenggak air putih sudah ia lupakan, ketika tanpa sengaja mutiaranya memandang wajah polos sang jendral yang sedang terlelap. Tangan selembut sutranya terulur mengelus rahang tegas kecoklatan milik Naruto. Ia tersenyum kecil saat melihat Naruto menggeliat akibat sentuhannya.

"Nggghhhh..." Naruto mengerang pelan dalam tidurnya. Dan itu sontak membuat Hinata menarik tangannya dari wajah Naruto.

Tapi melihat Naruto kembali terlelap dengan nyenyak. Hinata kembali melanjutkan pekerjaan tangannya yang kini berpindah pada surai pirang Naruto yang terasa halus di tangan lembutnya.

Naruto kian nyaman dalam tidurnya saat helaian sewarna kelopak bunga matahari milik nya di elus lembut oleh jemari lentik milik Hinata. Senyumnan legapun tersungging di bibir Hinata. 'Beristirahatlah Naruto-kun.' Hinata menghentikan elusannya pada surai Naruto. Ia memutuskan untuk kembali ke niatan awalnya, minum air putih.

Tapi ketika ia menarik tangannya dari surai sang Shogun, sebuah gerakkan halus menahannya. Tangan besar Naruto sedang menggenggam tangan mungilnya. Safir birunya memandang wajah putih Hinata yang bercahaya di terpa sinar sang rembulan.

"Jangan pergi..." Suara parau Naruto membuat haru di relung hati Hinata. Ia tersenyum lembut dan menumpukan tangannya yang lain ke tangan Naruto yang sedang menggenggam tangannya.

"Aku hanya ingin minum..." Jawab Hinata lembut.

...

Tangan sewarna madu itu menyodorkan cangkir yang terbuat dari tanah liat berisikan air putih. "Kenapa tak membangunkanku kalau ingin minum..." Naruto kini duduk disamping Hinata yang kembali duduk diatas futton atas paksaan sang Shogun.

"Aku hanya tidak ingin merepotkan anda Shogun-sama..." Jawab Hinata lirih setelah menenggak habis air putih yang ada di tangannya.

Naruto kembali tersenyum kecut saat mendengar panggilan formal itu. "Hime.."

"Uhum.."

"Boleh aku meminta sesuatu padamu..."

"Akan ku penuhi jika aku mampu, Shogun-sama..."

Safir birunya memandang sendu pada wajah sayu yang tengah bercahaya di terpa sinar sang purnama. Tangan tannya terulur dan menggapai pipi gembul yang mulai memerah bak buah persik.

"Bisa kau berhenti memanggiku Shogun-sama?"

Mutiara lavendernya membulat. Ia seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulut sang jendral samurai.

"A...a..pa.. boleh.. be..be.. gitu..?"

"Aku sudah lama menginginkanmu berhenti memanggilku seperti itu. Tapi lidahku terlalu kelu untuk mengungkapkannya...., tapi jika kau tak bersedia, aku tak akan memaksa.., sudahlah lupakan saja, anggap aku tak pernah meminta hal itu padamu, sekarang tidurlah..., besok kita akan kembali ke Kyoto." Tanpa memberikan kesempatan untuk Hinata menjawab. Naruto langsung membaringkan tubuh Hinata dan menyelimutinya.

Hinata hanya dapat terpaku ketika, Naruto kembali menjauhinya dan duduk disamping jendela. Kepala pirangnya mendongak kelangit. Menatap rembulan yang membentuk purnama sempurna.

Mutiara lavender itu dengan jelas menangkap kehampaan yang terpancar dari safir birunya. Ada banyak air mata pilu yang ditahan disana. Ada banyak beban yang di tanggung hati tegarnya. Ia tahu semenjak lulus dari perguruan samurai, Naruto telah berubah menjadi pribadi yang dingin dan penuh kelicikan.

Kenangan masa lalu akan terbantainya keluarga tercintanya membuat Hinata tak pernah lagi melihat senyuman secerah mentarinya.

Ia beranjak dari futton. Dan mendekati tubuh kekar sang Shogun. Tangannya terulur dan menyentuh punggung besar sang jendral samurai.

"Na....Naruto...-kun...." Kepala pirangnya menoleh saat mendengar panggilan yang telah lama ia rindukan.

Naruto hanya terdiam. Ia tak pernah mengira jika Hinata sudi memanggilnya seperti itu setelah apa yang ia lakukan pada wanita indigo ini.

"Hontou ni gomenasai...." Kalimat itu meluncur tanpa hambatan dari bibir mungil Hinata.

Dan itu kontan membuat Naruto tersentak. Dirinyalah yang harus meminta maaf disini. Tak seharusnya ia mempermainkan perasaan Hinata. Wanita itu sama sekali tak terlibat dalam kebusukan klannya. Dendam memaksanya membuat Hinata merasakan semua penderitaan yang pernah ia alami. Ia jadikan Hinata alat untuk mencapai semua dendamnya.

Tapi Hinata tetaplah Hinata. Kendati ia membangkang beberapa waktu yang lalu. Tetap tak akan ada yang mampu mengubah hati lembutnya.

"Kau tidak salah apa-apa Hime..." Jawab Naruto dingin. "Akulah yang harusnya minta maaf padamu. Tak seharusnya kau menanggung dosa yang telah dilakukan klanmu..." Tangannya terulur membelai helaian kelam indigo itu dengan penuh kasih sayang.

Tak ada jawaban dari Hinata. Wanita hamil itu justru melelehkan air matanya dengan raut wajah yang amat pilu.

"Kumohon jangan menangis." Tangan Naruto membelai pipi gembul yang berlinangan air mata itu.

Hinata menangkap tangan yang kini tengah menjamah pipinya. Ia kecupi lembut tangan yang telah membantai banyak nyawa itu. Mutiara lavendernya kemudian memandang sendu safir yang telah lama menahan banyak air mata. Dia tahu, Naruto tak ingin, dia tak pernah ingin melakukan pembantaian keji itu. Tapi hatinya sudah di butakan dendam.

Dan disiniah Hinata berada disampingnya. Untuk mengisi ruang hampa di hati Naruto yang hanya diisi dengan dendam.

Tangan putihnya merengkuh tubuh tegap sang Shogun kedalam pelukannya. Malam itu sang jendral samurai terlihat begitu rapuh, ia tumpukan dagunya pada bahu kecil wanita yang bersedia menerima sebagian kesedihannya.

Hinata mengelus lembut punggung tegap yang mulai bergetar hebat itu. Naruto. Jendral samurai itu kini tengah menangis dalam diam di pelukan wanita yang telah ia hancurkan hidupnya. Putri dari pembatai keluarganya.

"Maaf... maaf..." Air mata dari mutiara lavender itu mulai membasahi surai kelopak bunga matahari yang berada dalam pelukannya.

"Maafkan Hyuuga yang telah merampas semua kebahagiaanmu, Naruto-kun..., aku tahu maaf saja tak cukup untuk semua penderitaan yang kau alami. Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah melihat semuanya dari mimpi yang disalurkan oleh Oba-san. Bahkan jika sekali lagi kau membuatku menderita itu tak akan cukup untuk membayar apa yang telah ayahku lakukan pada keluargamu..."

Naruto menggeleng dalam rengkuhan Hinata. Tidak. Dia tidak ingin lagi membuat wanita ini menderita. Sudah cukup penderitaan Hinata menanggung dosa keluarganya yang sama sekali tidak ia lakukan.

"Naruto-kun.., dengarkan aku..., mulai hari ini, semua yang kau rasakan, penderitaan mu, semua rasa sedihmu..., kau harus membaginya denganku. Aku ada disini mendampingimu dalam seluruh keadaanmu. Semua luka dan kehampaan yang di torehkan Hyuuga pada hidupmu, aku akan menggantinya dengan cinta dan kasih sayang. Semua air mata dan senyumanmu yang telah di rampas oleh Hyuuga, akan aku kembalikan..., aku ada disisimu Naruto-kun..., sekarang, hingga nanti saat nyawaku telah terpisah dari ragaku."

Naruto menegakkan dirinya setelah puas meluapkan semua air matanya di bahu kecil Hinata. Safirnya menatap lekat mutiara lavender yang kini di penuhi buliran air mata. Tangannya membelai lembut linangan air bening yang membasahi pipi selembut salju itu. "Air mata ini..., aku bersumpah, air mata kesedihan ini tak akan pernah menetes lagi dari mutiaramu, Hime."

Hinata tersenyum tipis dan mengelus rahang tegas Naruto. Ia sandarkan kepalanya pada kening Naruto yang tertunduk menghadap wajahnya. "Berjanjilah tak akan ada pertumpahan darah lagi... semuanya sudah selesai dan terbalaskan."

Naruto mengangguk sambil mengelus surai kelam Hinata. Ia kecup lembut dengan penuh cinta sisi kepala indigo sang lotus ungunya. Lalu dengan sangat lembut kecupan itu berpindah pada bibir mungil nan memabukkan milik sang Lotus Ungu...

Malam itu rembulan kembali menjadi saksi bertemunya dua hati yang telah dipisahkan oleh dendam. Shogun dan Murasakiro no Himenya menghabiskan malam panjang dengan saling memeluk, membagi kehangatan di tengah hawa dingin musim semi kaki gunung Fuji.

'Aku bisa menerimamu dalam hidupku Hime, karena kau hadir dalam hidupku ketika semua orang berniat menghabisiku. Tapi aku tak akan pernah membiarkan orang-orang yang mengincar kekuasaanku lepas begitu saja. Kebahagiaan kita ini akan hancur berkeping-keping saat kekuasaanku atas keshogunan lepas. Aku pernah merasakan itu Hime, kebahagiaan keluargaku di rampas oleh para penguasa. Dan aku tak akan pernah membiarkan kebahagiaan yang baru kita bina ini dirampas begitu saja. Tidak. Tak akan pernah ada kata maaf untuk orang yang mengincar posisiku. Termasuk untuk Uchiha Teme itu.

つづく
Tsudzuku

Shinobue : Alat musik tradisional jepang yang menyerupai seruling, terbuat dari bambu (bagian dekat akar)

🍀🍀🍀🍀

Gimana masih kangen ama Naruhina?????

Next chap

"Dendam Sang Geisha"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top