017. Terungkapnya Rahasia
Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode
***
Kelopak mata sewarna susu itu berkedut tidak nyaman. Wanita yang sedang terbaring diatas satu futton yang sama dengan sang Shogun itu merasakan tidak nyaman di bagian perutnya.
Perutnya yang sedikit membuncit itu terasa penuh dan begah. Tangannya meraba bagian perutnya. Tapi yang dia rasakan adalah tangan lain yang kekar yang melingkar diatas perutnya, seolah ingin melindungi perut itu.
Kelopak mata itu terbuka sempurna karena rasa mual di perutnya tidak dapat berkompromi lagi. "Hmmmmkkkkk..." Hasrat muntahnya yang tertahan itu membuatnya serta merta duduk dari posisi berbaringnya.
Pria yang terlelap disampingnya itu pun tak tinggal diam mendengar suara muntah tertahan itu. Dengan sigap sang Shogun mengambil baskom kuningan yang sengaja di tinggalkan sang bibi di atas kepalanya.
"Muntahkan disini." Ujar Naruto perhatian dengan satu tangannya menyodorkan baskom kuningan itu di hadapan mulut Hinata dan tangannya yang lain memijat lembut tengkuk putih itu.
"Hoeeekkkk, hoeeeeekkk..." Hinata memuntahkan cairan bening ke dalam baskom berisi air itu.
Safir biru itu menatap penuh iba pada wajah sebulat bulan yang bercucuran keringat setelah memuntahkan cairan bening.
Hinata menjauhkan baskom itu dari hadapannya, Naruto yang tanggap segera bangkit sambil membawa baskom itu keluar dari kamarnya.
Di luar kamar sudah ada dua dayang yang menyambut baskom dari jendral itu, sambil tersenyum kecil.
"Sebentar lagi Hinata-sama akan mengidam, Shogun-sama." Ujar salah satu dayang sambil membungkuk berpamitan pada sang Shogun, Naruto tersenyum dan mengangguk pada kedua dayang itu, lalu melangkahkan kembali kakinya masuk ke kamar yang sekarang dihuninya bersama Hinata.
"Apa yang kau lakukan pada tubuhku." Tanya Hinata dingin tanpa melihat wajah Naruto. Satu tangannya sibuk membersihkan sudut bibirnya dengan ujung nagajuban putihnya.
"Aku menidurimu dan membuatmu hamil." Jawab Naruto enteng sambil berjalan kearah Hinata yang terduduk diatas futton.
Seolah tak yakin dengan jawaban dengan jawaban ayah dari janinnya ini, Hinata dengan cepat meraba perutnya.
Mutiara ungu pucatnya seketika terbelalak saat melihat dan merasakan perutnya yang sedikit membuncit. "Tidak ini tidak mungkin." Seketika tangannya yang masih lemah itu memukuli pelan perutnya. "Tidak mungkin aku hamil anak orang yang telah menghancurkan keluargaku," isaknya dengan tangannya yang terus meninju perutnya.
"Apa yang kau lakukan!!!" Naruto berlarian ketakutan melihat Hinata memukuli janin kecilnya itu.
Tangan kekarnya seketika menahan tangan Hinata yang mencoba memukuli perutnya sendiri dan mengunci tangan itu di atas kepala indigo Hinata.
"Lepaskan, lepaskan, aku tidak mau mengandung anak siluman sepertimu.." Teriak Hinata sambil terisak.
Dengan cepat Naruto melentangkan tubuh Hinata hingga kembali terbaring diatas futton. Tubuh kekar itu seketika mengukung tubuh Hinata yang kini berada dibawahnya.
"Lepaskan aku siluman, lepaskan!!!" Teriak Hinata sambil meronta.
Tak ingin identitasnya sebagai setengah kitsune terbongkar karena teriakan Hinata, dengan cepat Naruto membungkam mulut Hinata dengan mulutnya sendiri.
"Ngggghhhhh." Hinata melenguh pelan saat bibir Naruto melumat bibir mungilnya. Dada bidang Naruto menempel erat pada dada berisinya yang hanya tertutup nagajuban tipis yang sebentar lagi juga akan terbuka karena sang Shogun terus menggesekan dada mereka..
Lidah Naruto bahkan meninta jalan masuk pada mulut Hinata. Entah nafsu macam apa yang sudah merasuki Hinata, niatnya yang tadi ingin berontak kini malah berbalik menikmati lumatan-lumatan kecil pada bibirnya.
Balas menghisap tiap kali Naruto menghisap bibirnya. "Nghhhhh...," Hinata mengerang tertahan.
Cukup lama dua bibir itu beradu sampai sang Jendral Samurai melepas kan pautan bibir mereka.
Naruto mengambil jarak antara bibirnya dan bibir Hinata. Nafasnya terengah-engah karena ciuman panas yang baru saja di jalaninya. Peluhnya bercucuran hingga kesiku yang menopang tubuhnya agar tak menindih perut buncit yang berisi benihnya.
"Berhenti melawan Hime, itu tak baik untuk bayi kita." Mata Naruto tersorot pada perut tempat anaknya sedang berkembang.
Tangannya yang mengunci pergerakan tangan Hinata terlepas dan membelai pipi seputih susu itu. "Aku tak mau berbuat kasar lagi padamu. Jadi tolong jangan memancing emosiku atau menyakiti anak kita."
Hinata terdiam melihat raut wajah penuh penyesalan di wajah sang Shogun, bukan hanya itu suara parau Naruto yang hampir menangis membuatnya memandang lembut biru safir yang kini sedang menatapnya.
"Kau mungkin tak mau melihat wajahku dulu sekarang, aku akan menjauh dari mu beberapa waktu. Tapi tolong jangan sakiti dia," Naruto mengelus lembut perut Hinata, mengecupnya kemudian beranjak dari futton.
Mutiara lavender Hinata menatap lekat punggung tegap yang tak di tutupi sehelai benangpun. Punggung itu makin menjauh dan menghilang di balik shoji.
Hinata menghela nafas kasar, bersamaan dengan cairan hangat yang mengalir dari mutiaranya. Kepala indigonya di penuhi dengan banyak fikiran, Ayahnya yang baru saja di hukum mati, adiknya yang di jadikan budak, lalu dirinya yang diperkosa dan sekarang mengandung benih orang yang telah menghancurkan keluarganya.
"Kami-sama, apalagi ini..," rintih Hinata sambil menyentuh perutnya. "Apa memang ada sesuatu yang hidup disini?"
"Kau memang sedang hamil Hinata." Suara penuh keanggunan itu menguar di telinganya. Di alihkannya pandangan pada si pemilik suara.
Permaisuri berambut merah itu masuk dengan anggunnya.
Mito langsung duduk di tepi futton, dan menatap lembut mutiara Hinata.
"Apa merasa mual?" Tanya Mito sambil mengelus perut Hinata.
Hinata mengangguk pelan, ia mendongakan kepalanya, mengadu mutiara lavendernya dengan permata kelabu sang permaisuri.
Mito tersenyum seolah tahu maksud dari tatapan Hinata.
"Ibu Naruto seekor Kitsune..,dia menikah dengan seorang manusia biasa, dan sepertinya kau juga tahu, kemarin Naruto menyentuhmu dengan wujudnya yang mengerikan..." Ujar Mito lembut sambil menyelipkan rambut Hinata di bagian telinganya.
"Kau sedang mengandung janin yang sangat istimewa.." Jelas Mito sambil kembali mengelus perut Hinata.
"Wujudnya seperti manusia, tapi dia memiliki kekuatan kitsune, sama seperti ayahnya, bayimu punya kekuatan yang hebat dan sangat besar, dan dia seorang putra..."
"Seorang putra?," beo Hinata mengikuti ujung kalimat Mito.
Mito tersenyum sambil mengangguk. "Kau akan memiliki seorang anak laki-laki yang memiliki kekuatan besar, tak jauh beda dengan ayahnya."
Hinata mendongak dengan raut penuh tanda tanya.
"Aku tahu kau sangat membenci Naruto, dia membantai klanmu dan merenggut paksa kesucian mu, tapi... " Mito sengaja menggantung kalimatnya.
"Apa kau rela jika pria lain yang melakukannya.." Sambung Mito dengan senyuman cerdas di bibir merahnya.
Hinata tertunduk sambil mengelus perutnya, dia tidak dapat membatah perkataan Mito, sebenci apapun dia pada Naruto, sampai kapanpun dia tidak akan rela jika kesuciannya di renggut pria lain.
Melihat Hinata yang mengelus perutnya dengan tatapan penuh tanya membuat Mito angkat bicara.
"Jika menghitung dari pertama kau hamil usia janinmu itu baru dua hari, tapi jika melihat ukurannya, dia sudah berusia tiga bulan." Ujar Mito sambil mengelus perut Hinata dengan tangannya yang berpendar kemerahan.
Seketika perut Hinata bersinar seperti dipasangi lampu di dalamnya. Dengan cepat Hinata menyingkap nagajubannya di bagian perut.
Mutiara Hinata terbelalak dengan air mata penuh haru yang menghiasinya. Bayangan hitam mungil yang mengambang dalam perutnya. Tali pusarnya yang terhubung dengan tali sang ibu, Hinata menyentuh bagian pusarnya dan seketika janin kecil itu menggeliat kecil dalam rahimnya. Bukan hanya itu, Hinata juga melihat ada mutiara kecil dengan pendar yang bercahaya. Cahaya mutiara itu bahkan melingkupi janin mungilnya.
"Itu Hoshi no tama milik mendiang ibu Naruto...," jelas Mito lirih, ia kembali teringat dengan mendiang adik perempuannya.
"Hoshi no tama..?" Beo Hinata.
"Iya, bola bintang siluman rubah.., kau tahu kan?"
Hinata mengangguk dia sangat tahu kisah bola bintang milik para siluman rubah itu. Bola bintang yang selalu menjadi incaran para penahluk siluman di daratan Heian karena kekuatannya yang besar.
Dan sekarang dia benar-benar tidak menyangka jika bola bintang itu ada dalam tubuhnya.
"Kau hampir mati saat janinmu membesar dengan cepat, dan Naruto telah memberikan warisan milik mendiang ibunya untuk menyelamatkan nyawamu dan anak kalian..." Jelas Mito.
Hinata terdiam dengan raut wajah yang dipenuhi banyak pertanyaan.
Mito terkekeh melihat ekspresi kebingungan Hinata. "Kau bingung ya..., baiklah kau mandi dan bersiaplah, aku akan menunggumu zanshiki, akan ku ceritakan kau sebuah kisah, yang mungkin akan mengembalikan tatapan cintamu pada keponakanku."
Bersamaan dengan Mito yang mengakhiri ucapannya, Tomoyo dan Ayame memasuki kamar itu.
"Suminasen, Hinata-sama, apa anda mau ke onsen sekarang?" Tanya Tomoyo lembut.
Hinata mengangguk, dengan tatapannya yang memandang Mito yang sedang berjalan menuju shoji dengan Uchikake putihnyanya yang terseret di tatami.
...
Mutiara Hinata menyusuri tiap jengkal kamar sang Shogun yang kini di huninya. Banyak perubahan di kamar itu.
Fusuma yang sebelumnya berwarna hitam dengan motif api merah menyala kini berubah menjadi sewarna langit dengan motif awan putih.
Beberapa tangakai bunga matahari terhias dalam vas yang di letakan di meja pendek. "Shogun-sama, sudah banyak mengubah kamar ini untuk anda Hinata-sama," Jelas Ayame seraya menyisir surai kelam panjang Hinata.
Tak ada jawaban dari Hinata, dia hanya memperhatikan perutnya yang tertutup furisode putih ke biruan berbahan sutra.
"Jangan kencang-kencang mengikat obinya." Cegah Hinata saat Tomoyo akan mengikat obi emas di lingkaran perut buncitnya. Tampaknya Hinata mulai mengkhawatirkan keaadaan bayinya.
Tomoyo tersenyum sambil mengangguk. "Hinata-sama, anda ingin tatanan rambut seperti apa?" Tanya Ayame yang baru selesai mengasapi rambut Hinata dengan ratus.
"Biarkan saja tergerai." Jawab Hinata datar.
Ayame kemudian beralih ke bedak bengkoang yang terletak di meja rias kayu jati. Dengan hati-hati Ayame membubuhkan tipis bedak tabur putih itu ke pipi Hinata.
Sementara Tomoyo, membantu Hinata mengulum kertas merah yang merupakan pemerah bibir.
...
Shoji zanshiki, istana utama keshogunnan itu terbuka, dan seorang wanita dengan surai kelam tergerai memasuki ruang tamu istana utama Shogun itu.
Sang permaisuri yang sedang menikmati matchanya dengan duduk anggun kini mengalihkan pandangannya pada wanita yang berjalan pelan sambil memegangi perutnya.
"Kemarilah," Mito menepuk zabuton kosong di sebelahnya.
Hinata duduk perlahan sambil memegangi perutnya.
Mito terkekeh melihat Hinata yang begitu menjaga kandungannya yang masih kecil.
"Dia masih tiga bulan tak perlu kau elus terus.." Goda Mito yang terkikik kecil.
Merasa malu, Hinata menghentikan elusan pada perutnya.
"Baiklah kau sudah siap mendengarkan ceritaku.." Tanya Mito sambil menatap lekat mutiara lavender Hinata.
Hinata mengangguk pelan. Kedua tangan Mito memegangi bahu Hinata.
"Tatap mataku baik-baik!" Perintah Mito.
Hinata menurut, di adunya mutiara ungu pucatnya dengan permata abu-abu Mito.
Tiba-tiba Hinata terperanjat saat melihat permata kelabu Mito kini sudah sewarna darah, dan benar-benar menyerupai mata rubah.
Hinata mencoba berontak, tapi terlambat, tubuhnya melemah, pandangannya mengabur, dan seketika kesadarannya pun lenyap.
つづく
Tsudzuku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top