006. Sangkar Emas -1-

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata
Setting : Heian/Kamakura Periode

****

Suara kokokan ayam mengiringi matahari yang mulai menampakkan cahaya malu-malu di daratan Kyoto. Istana keshogunan yang biasa tenang itu pagi buta seperti ini di penuhi dengan suara langkah-langkah kaki kuda.

"Kau bisa turun sendiri atau mau ku gendong Sakura-chan?" Sang Shogun menampilkan seringai licik yang terukir di bibirnya, dalam waktu satu malam dia sudah menambah dua wanita baru dari kalangan bangsawan yang akan ditawannya di istana keShogunan bagian selatan.

Wajah putih pengantin baru Uchiha ini menampilkan guratan penuh amarah, dia lebih memilih loncat sendiri dari kuda dari pada di sentuh oleh jendral samurai tak punya hati ini.

Tap..

Naruto dengan sigap menangkap tubuh sintal sang tabib wanita yang melompat dari kuda.

"Berhati hatilah Sakura-chan sayang sekali jika tubuh indahmu ini menghantam tanah." Seringai iblis dari bibir Naruto membuat Sakura meronta dari gendongan sang Shogun.

Naruto menurunkan tubuh Sakura dari gendongannya, dan menariknya paksa menuju Istana Selatan Keshogunan.

Para Geisha keluar dari kamar mereka dengan masih menggunakan nagajuban*), saat mendengar suara berisik dari pintu utama istana selatan.

"Lepaskan aku brengsek!" Sakura meronta-ronta dari Naruto yang menyeretnya, menjadi tontonan utama para Geisha-geisha.

Naruto sama sekali tidak mengindahkan teriakan Sakura yang memancing keributan di istana selatan. Shogun berambut pirang itu terus menyeret Sakura di sepanjang rokka istana para Geishanya menuju satu kamar kosong.

Lutut Sakura menghantam tatami, akibat Naruto yang mendorongnya masuk ke dalam kamar gelap. Kamar itu menjadi terang saat Naruto berhasil menyalakan lilin yang tertempel pada dinding kamar.

Naruto berjalan mendekati Sakura yang duduk tersungkur di hadapannya, langkah demi langkah yang seolah siap menerkam, tak membuat Sakura sedikitpun gentar pada Shogun yang pernah menjadi sahabat kecilnya ini. Tangan Naruto baru saja akan menyentuh surai merah muda pengantin baru Uchiha ini, tapi dengan sigap Sakura menggigit lengan sang Shogun.

Naruto menarik cepat tangannya sambil meringis akibat gigitan istri mantan sahabatnya ini.

"Berani kau menyentuhku!!! Aku akan bunuh diri dengan mengigit lidahku!" Teriak Sakura sambil mengadu emeraldnya dengan shapire sang Shogun

"Khe, kau masih galak seperti dulu Sakura-chan, kau tak perlu khawatir aku punya tawanan yang lebih menarik darimu, kau hanya perlu menikmati fasilitas di istana ini sambil menunggu suamimu menukarkan kepalanya dengan kebebasanmu." Senyum iblis terukir dari bibir Naruto sebelum dia meninggalkan Sakura di dalam kamar kosong itu.

Setelah kepergian sang Shogun, Sakura memeluk lututnya sambil bersandar di pojok kamar, isakan mulai terdengar dari bibir merah mudanya bersamaan dengan air bening yang mengalir dari emeraldnya "Sasuke-kun." Suara lirih itu terdengar pilu, memanggil sang suami yang kini resmi menjadi buronan keShogunan.

Baru saja selesai menutup shoji kamar Sakura, seorang samurai berkulit pucat berdiri tepat di hadapannya.

"Sai, kenapa pagi buta ada disini, apa istrimu Ino tidak memuaskan? Kau pilih saja Geisha yang kau suka disini, kecuali dua geisha yang baru kudapatkan, dan Shion."

"Apa masih belum selesai Naruto?" Menatap Onix sang samurai berkulit pucat yang ada di hadapannya, seutas senyum bagaikan iblis penuh kemenangan terukir di bibirnya.

"Sampai mereka mati pelan-pelan dengan menderita, ini tak akan pernah selesai." Sebuah jawaban yang terdengar kejam keluar dari mulut Naruto.

Sai menepuk bahu saudara seperguruannya itu. "Ingat Naruto, kita dan Sasuke ini adalah saudara."

Tangan tan Naruto menepis pelan tangan Sai yang bertengger di bahunya. "Aku adalah Shogun, dan kau adalah samurai di bawah kepemimpinanku, jaga batasanmu."

Bersama dengan ucapan congkaknya Naruto meninggalkan Sai yang mengepalkan tangan menahan amarah.

...

Kaki tan itu melangkah di rokka kayu menuju satu kamar yang seharusnya dia diami semalam. Kamar seorang gadis yang dijuluki murasakiro no hime atau tuan putri lotus ungu. Tuan putri yang terkenal akan kewangian tubuhnya, bahkan saat dia menari di halaman terbuka kupu-kupu akan menghinggapi tubuhnya.

Hyuuga Hinata.

Shoji itu terbuka perlahan, kakinya melangkah pelan takut jika lotus ungunya akan terusik karna kehadirannya.

Naruto duduk bersimpuh di samping futon lebar tempat berbaring lotus ungunya. Tangan tannya terulur, mengusap pelan helaian indigo yang selalu di rindukannya ini.

"Nggghhhh...."

Bibir sang Shogun tersenyum tipis, mendengar lenguhan Hinata yang tertidur pulas, dengan jejak-jejak air mata di pipi porselen nya, tangan tan yang sedari tadi mengelus lembut helaian indigo itu, berpindah menyentuh pergelangan nadi Hinata, memastikan jika totokan sang bibi sudah sepenuhnya terlepas.

Baru saja akan menarik tangannya dari pegelangan Hinata, tangan seputih susu itu, menggenggam erat tangan tan yang berniat melepaskan pautannya.

Senyum tipis terukir dari bibi sang Shogun. "Sebegitu inginnyakah kau aku disini Hime? Sampai sampai dalam tidurpun kau mengenggam erat tanganku..." Naruto menyingkap selimut tebal yang menutupi tubuh setengah telanjang Hinata, akibat permainannya yang belum selesai. Bercak-bercak merah pada leher dan dada, terlihat jelas pada kulit seputih salju itu, dengan satu tangan Naruto menutup nagajuban putih yang dia singkap saat menjelajahi tubuh mulus sang lotus ungu.

Tangan tannya yang terbebas dari pautan tangan Hinata, mengelus lembut pipi tembam putih kemerahan, yang di hiasi sedikit lebam membiru, akibat kecerobohan samurai yang memegangnya dan menyebabkan dia terjatuh saat Naruto membakar istana klan Hyuuga.

"Apa sakit, hm?" Seutas senyuman tulus melengkung di bibir Naruto. "Kenapa sangat sulit untuk membencimu? Maaf jika kau harus ku hukum seperti ini."

Naruto ikut berbaring di samping Hinata menjadikan lengannya sebagai bantalan Hinata, satu tangannya yang di sudah tidak terpaut lagi dengan sang gadis, membawa tubuh mungil itu menghadap pada dada bidangnya.

Mengeratkan dekapannya pada sang lotus ungu dengan merangkul pinggangnya, disusul dengan mengusap lembut punggung sang gadis. Pucuk kepala indigo itu dia kecupi lembut, menikmati setiap aroma bunga yang menguar dari rambut lebat nan gelap yang dia sukai.

"Okaerinasai Hime."

🌹🌹🌹🌹

Pohon Sakura di halaman istana Hyuuga mengugurkan ratusan kelopaknya yang terbawa angin. Menerpa tubuh gadis yang menari bak kupu-kupu raksasa di tengah musim semi. Kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh sang gadis yang sedang menari, bahkan sebagian kupu-kupu itu hinggap di pundak dan kepala yang dihiasi helaian kelam indigonya.

Tanpa alunan musik, Hinata menari bak ratu kupu-kupu raksasa yang dikelilingi kupu-kupu kecil, tamoto*) dari furisode*) nya berkibar layaknya sayap kupu-kupu mengikuti gerakan berputarnya diantara helaian kelopak bunga sakura yang berguguran dan kupu-kupu kecil beraneka warna yang mengelilinginya. Hingga suara pijakan langkah kaki kuda jantan terdengar oleh telinganya.

Tubuh tegap yang turun dari kuda hitam itu, menghentikan tarian indah sang lotus ungu. Menatap penuh ketakutan shapire yang memandangnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Tubuh molek itu seketika bersimpuh di hamparan rumput hijau yang di pangkas rata, kening putihnya tertempel pada hamparan rumput, memberikan salam penghormatan seraya bersujud pada sang jendral pemimpin semua klan samurai di negeri matahari terbit.

"Keii o arawashimasu, Shogun-sama."

Naruto berjalan pelan mendekati tubuh mungil yang sedang bersujud di hadapannya, berjongkok, agar posisinya tidak terlalu tinggi dari Hinata.

"Bangunlah Hime, tak sepatutnya kau bersujud seperti itu, kau itu bangsawan bukan rakyat jelata atau budak," tangan tannya menyentuh pelan lengan ramping sang gadis membawa sang lotus ungu duduk sejajar dengan rubah ekor sembilan yang berada dihadapannya.

Permata lavender itu tertunduk malu dan penuh ketakutan saat shapire di hadapannya menatapnya lekat.

'Kenapa Naruto-kun tiba tiba disini, kenapa dia memperlakukanku seperti ini? Bukankah dia tak pernah mengakui mengenalku?' Berbagai pertanyaan menghantui batin Hinata, kala sikap sang shogun yang merupakan cinta masa kecilnya itu, berubah kembali menjadi hangat padanya.

Rasa heran sang gadis semakin bertambah saat sepasang tangan tan itu, membawa tubuh mungilnya masuk ke dalam dekapan hangat sang kitsune.

"Hontou ni gomenasai, Hime," Hinata tersentak mendengar sang Shogun, kembali memanggilnya dengan sebutan Hime.

Bertahun-tahun dia merindukan panggilan itu keluar dari mulut cinta masa kecilnya ini, tapi hanya sikap acuh seolah tak pernah saling mengenal yang di tampakan Naruto.

Kepala indigonya mendongak, menatap wajah secerah mentari yang menampilkan senyuman hangat. Satu tangan tan terlepas dari rangkulan pinggangnya, beralih mengusap pipi putih sang gadis.

"Maaf karena selama ini aku tidak mengakui mengenalmu, kau tahu Hime, di hari terakhir kita bertemu, saat kau menungguku di depan gerbang istana, Ba-san mengajakku bertemu dengan Tenno-sama yang akan menikahinya. Tenno-sama sangat senang bertemu denganku, dia bahkan memperbolehkan aku tinggal di istana dan langsung mengajakku berbincang sambil berkuda. Kau tahu kan betapa bodohnya aku dulu, aku terjatuh saat berkuda dan kepalaku menghantam batu," Naruto terkekeh sambil mengelus helaian indigo kesayangannya.

Hati Hinata tersentak saat mendengar penuturan bahwa kepala sang Shogun pernah menghantam batu. Permata lavender itu mulai berkaca kaca, menatap penuh cinta shapire yang beradu pandang dengan lavendernya.

Tangan putihnya terulur membelai kening Naruto yang tertutup ikat kepala hitam "Apa sakit?" Suara lembut itu mengalun bagai musik merdu menyejukan telinga Naruto.

Naruto terkekeh kecil sambil balas mengelus pipi pualam kemerahan itu "Lebih sakit lagi karena aku tidak bisa mengingatmu."

Bangun dari posisi bersandar pada dada bidang sang Shogun Hinata meimiringkan kepala indigonya dengan permata lavender yang membulat penuh tanda tanya, seolah meminta pernjelasan atas penuturan sang pria barusan.

Naruto kembali membawa kepala Hinata bersandar pada dada bidangnya. Tangan tannya kembali membelai helaian indigo yang di hiasi beberapa kelopak sakura yang masih berguguran menerpa tubuh mereka. Bahkan beberapa kupu-kupu nakal masih mengerubuni tubuh Hinata seolah tidak memberikan Naruto kesempatan mendekap sang gadis.

"Aku kehilangan ingatanku, Hime. Semua orang di istana membantuku mengembalikan semua ingatanku, kecuali ingatan tentangmu, karena tidak ada seorang pun yang mengetahui hubungan kita berdua..."

Hinata mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar sang Shogun yang mendekapnya.

"Aku sampai harus terjatuh dari kuda untuk kedua kalinya untuk bisa mengingatmu," bibir sang Shogun terus megecupi lembut puncak kepala indigo yang dia rindukan.

Hinata kembali mendongakkan kepalanya dan menampakan permata lavendernya yang sudah di penuhi buliran-buliran bakal air mata. Hatinya merasa ngilu ketika mengetahui sang pujaan hati berkali-kali terluka di kepalanya.

Naruto menatap sendu, permata lavender yang bercahaya karena kristalan air mata yang hampir jatuh. Kedua tangan kekarnya menangkup pipi putih yang dihiasi semburat kemerahan menyerupai buah persik. Kedua kelopak mata putih di kecupnya lembut dengan jangka waktu yang lama.

"Jangan menangis lagi, hatiku sakit melihat mu menangis," ucapan indah mengalun dari mulut pimpinan para samurai itu, sembari mengeluskan telapak tangan besarnya ke kening mulus yang tertutupi poni indigo.

Hinata mengukir senyuman yang meneduhkan dari bibir mungil sewarna buah peach itu. Tangan mungil putihnya mengelus rahang tegas yang dihiasi guratan menyerupai kumis kucing.

Seolah tak ingin kalah dari tangan putih yang mengelus rahangnya. Pemilik tangan tan itu mendekatkan pipi gembul bak buah persik itu dengan wajahnya.

Jarak antara kedua wajah mereka semakin pupus, ketika dua hidung mancung itu saling beradu, sang pria menggesekkan hidungnya lembut ke hidung putih sang wanita.

Perlahan dari gesekan hidung, jarak semakin menipis hingga kedua bibir itu berjarak sangat tipis, sang Shogun memutus jarak antara bibir mereka, bibir sang pria, mulai tertempel ke bibir mungil wanita, kecupan-kecupan lembut mulai di hadiahkan sang pria bagi sang wanita.

Wajah Hinata mulai memerah, baginya ini adalah ciuman pertamanya, ciuman pertamanya yang terjadi sesuai impiannya. Ciuman pertamanya bersama cinta pertamanya. Sebuah impian kecilnya yang sudah di wujudkan sang pencipta.

Kedua bibir itu saling mengecapi manisnya kelembutan dan kasih sayang yang menguar dari kecupan kecupan lembut yang memenuhi bibir mereka. Posisi yang sangat nyaman membuat mereka seolah melupakan waktu dan kemungkinan-kemungkinan orang-orang yang bisa menemukan mereka.

Berciuman di halaman taman istana klan Hyuuga, sebuah tindakan cukup berani oleh sang tuan putri dari klan terhormat ini.

Tapi tidak bagi sang Shogun, dengan kekuasaanya dia sama sekali tidak takut untuk mengecapi manisnya bibir sang gadis, dibawah pohon sakura yang sedang meranggaskan kelopak bunganya, terbawa angin menerpa tubuh mereka yang saling berpelukan sembari duduk berlantaikan rumput hijau yang di pangkas rata, walaupun beberapa kupu-kupu seolah enggan pergi dari menghinggapi tubuh sang tuan putri.

Lama Naruto dan Hinata saling menikmati kecupan di bibir mereka hingga kebutuhan alami untuk menghirup udara, membuat mereka melepaskan pautan dari bibir masing masing.

Dengan gerakan perlahan seolah enggan saling melepaskan pautan, kedua bibir itu mulai terpisah, permata shapire itu menatap lembut permata lavender yang ada dihadapannya. Jari jemari kekarnya mengelus ujung bibir sang gadis yang basah akibat salivanya.

Hinata tertunduk malu dalam dekapan sang Shogun dengan semburat merah menghiasi pipi pualamnya.

Tangan Naruto yang mengelus ujung bibir sang gadis kini beralih ke dagu lancip milik sang murasakiro no hime, membuat kedua permata mereka kembali beradu.

"Jadilah istriku...," ucapan sang Shogun yang mengalun lembut berhasil membuat permata lavender itu membulat seoalah tak percaya.

Hinata memiringkan kepalanya indigonya mengharap sebuah penjelasan dari pria setengah kitsune ini.

"Jadilah istriku hime, ibu dari anak anakku," dengan tangan tannya yang masih memegang dagu lancip Hinata, Naruto membawa wajah Hinata mendekat dengan wajahnya, mengecupi kening yang tertutup poni indigo.

Hinata menganggukan kepala indigonya dengan permata lavendernya yang sudah berkaca-kaca akibat bakal air mata yang siap menggenangi pipinya.

Senyum hangat terukir dari bibir sang Shogun. Kembali Jenderal para samurai ini membawa sang tuan putri kedalam dekapan hangatnya. Kepala indigo yang bersandar nyaman pada dada bidangnya dia kecupi lembut, menikmati setiap aroma bunga yang menguar dari rambut lebat nan gelap yang dia sukai.

"Mito Ba-san dan Nagato Ji-san saat ini sedang bicara dengan Tou-sama mu didalam, nanti malam kami akan datang melamarmu, menjadikan tuan putri Hyuuga ini menjadi seorang Uzumaki, istri seorang Shogun Kamakura Bakufu."


🌹🌹🌹🌹

Kelopak putih itu menampakkan mutiara lavendernya dengan kasar. Mimpi itu kembali hadir, mimpi yang beberapa hari lalu menjadi mimpi indah bagi. Sebuah mimpi yang merupakan reka ulang kejadian nyata beberapa minggu lalu.

Hari dimana sang Shogun datang kembali di kehidupannya setelah hampir sepuluh tahun tak pernah mengakui mengenalnya, hari dimana sang pimpinan para klan samurai itu, membagi kehangatan melalui dekapan hangat padanya, hari dimana ciuman pertamanya terjadi dengan cinta pertamanya, hari dimana dirinya terjebak dalam sebuat tipuan yang di ciptakan sang Shogun untuk melancarkan rencana pembantaian klannya, hari yang mengawali kehancuran hidupnya, dan membuatnya terkurung di sangkar emas istana selatan Kamakura Bafuku. Tempat menampung belasan wanita berkualitas tinggi yang di nobatkan menjadi penghibur untuk lahir batin sang Shogun.

Biasanya dia akan tersenyum saat terbangun dari mimpi itu, tapi hari ini, mulai hari ini mimpi itu menjadi mimpi terburuk dan menjijikkan baginya. Tetapi ada satu hal yang mengusik pikiran Hinata, karena mimpi itu benar-benar terasa nyata, Hinata bahkan masih bisa merasakan sisa-sisa kehangatan dari dekapan hangat sang Shogun yang memeluknya dalam mimpi seolah Naruto benar-benar mendekapnya.

Mendudukkan dirinya dia atas futon lembut yang terbuat dari bulu angsa, ia memeriksa tubuhnya sendiri, bagian dada dan lehernya di penuhi bercak merah yang tinggalkan oleh sang Shogun. Mengingat kejadian yang baru saja di alaminya semalam, Hinata segera memeriksa futon putih yang menjadi tempatnya berbaring semalaman.

Nagajubannya yang sekarang sudah tertutup rapat tidak memuntup kemungkinan bahwa sang Shogun telah melampiaskan nafsu buas pada tubuhnya.

Tak ada tanda-tanda bercak darah yang mengotori futon putih itu, di tambah dengan rasa sakit yang sama sekali tidak dia rasakan di area kewanitaannya. Hinata menarik nafas legah, karena mahkota kesuciannya belum di rampas oleh sang Shogun, ya belum, karena cepat atau lambat sang jenderal para samurai itu pasti akan merampasnya, bahkan jika dia sudah menjadi mayat sekali pun.

Hinata menyingkap kelambu yang membatasi lantai yang lebih tinggi, tempat futonnya terbentang. Mutiara lavender menyusuri setiap inci kamar yang akan dia huni, sampai ada orang yang berbaik hati melepaskannya dari sang Shogun.

Ini bukan kamarnya di istana klan Hyuuga, kamar ini memang jauh lebih indah dari kamarnya di istana Hyuuga. Kamar yang dihiasi dengan Fusuma*) berlukiskan lotus ungu yang di kelilingi kupu-kupu, lukisan yang seolah menggambarkan dirinya.

Kaki putinya menapak ke tatami lembut yang melapisi lantai yang lebih rendah dari tempat futonnya terbentang. Kaki seputih ini susu itu menuju jendela yang terletak disisi kanan kamarnya, tangan mungilnya membuka jendela dengan ukiran bunga lotus itu, seolah semua di kamar ini memang di buat untuknya, begitu dia membuka jendela, pemandangan kolam yang dihiasi lotus ungu yang di kerubuni kupu-kupu menyambutnya.

Naruto benar-benar mempersiapkan kedatangan Hinata di istana bagi para Geishanya ini, semua yang ada di kamar ini merupakan refleksi dari penggambaran wujud Hinata yang di juluki tuan putri lotus ungu. Tapi semua itu tak dapat menyembuhkan luka di hatinya, luka karena penipuan sang pria yang dikasihinya dengan tulus, luka karena menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana klannya dibantai di hari dimana seharusnya dia lamar.

Tubuhnya merosot dari fusuma, air mata mulai membasahi pipi seputih salju miliknya, rambut gelapnya yang berantakan mulai lembab karena peluhnya.

"Tou-sama, Neji-nii, Hana-chan," Hinata memeluk lututnya sambil memanggil pilu anggota keluarganya, pikirannya melayang pada sang kakak yang selalu melindunginya, sekarang sudah mati terbakar hidup-hidup bersama istananya, sang adik yang selalu di manjakan dan menjadi kesayang semua anggota klan harus menjadi budak di pertambangan, dan nasib sang ayah yang belum di ketahuinya.

"Ohayou gozaimasu, Hinata-sama," suara dari balik shoji yang memanggil namanya membuat Hinata menampakan wajahnya yang di sembunyikannya di lutut.

Berdiri perlahan menyeimbangkan tubuhnya yang seolah melayang akibat kepalanya yang terasa amat pusing akibat terlalu banyak menangis, Hinata menggeser Shoji itu, dan nampaklah gadis berusia lima belas tahun dengan rambut gelap dan poni rata yang menyerupai miliknya.

"Ohayou gozaimasu, Hinata-sama...." Sapa gadis itu sambil tersenyum manis, dari pakaian yang dia pakai Hinata dapat menyimpulkan bahwa dia adalah seorang maiko*) yang di utus untuk melayaninya.

Hinata tersenyum kecut membalas sapaan hangat sang gadis, bukan karena dia tidak sopan, atau angkuh, tapi suasana hatinya yang teramat buruk yang menjadi alasan tertahannya senyuman manis dari bibir mungilnya.

"Watashino namaeha Daijouji Tomoyo desu," Maiko itu memperkenalkan dirinya dihadapan Hinata.

"Hyuuga Hinata, desu," jawab Hinata datar sambil berjalan masuk ke kamarnya.

Tomoyo, mengikuti langkah Hinata memasuki kamarnya.

"Ya ampun Hinata-sama, kau belum mematikan lilinnya!" Pekik Tomoyo terkejut karena Hinata belum mematikan nyala api dari lilin wangi berbentuk lotus ungu yang menerangi kamarnya semalam.

Hinata tak menggubris ucapan Tomoyo, dia kembali berbaring di futon empuknya.

"Anda mau makan siang dulu, atau mandi dulu?" Tanya Tomoyo sambil meletakkan ke keranjang, furisode kotor yang dikenakan dimalam pembantainya klannya.

Tak ada jawaban dari Hinata yang terbaring menghadap tembok. Bangun di tengah hari saat matahari telah menyinari penuh daratan Kyoto, membuat Tomoyo menawarkan makan siang pada sang majikan.

"Hinata-sama?" Tomoyo mendekati sang majikan sambil mengelus pelan bahunya.

Hinata membalikkan tubuhnya menghadap Tomoyo, air mata sudah beranak pinak di pipi gembulnya.

Tomoyo duduk di samping futon empuk itu "Anda kenapa Hinata-sama?"

Hinata bangkit dan duduk sambil mengusap kasar matanya.

"Apa Shogun itu membelimu dari Okiya?" Tanya Hinata lembut, sejujurnya dia merasa iba pada gadis yang di perintahkan untuk melayaninya ini. Sikapnya yang periang saat memperkenalkan dirinya membuat Hinata teringat pada sang adik.

Tomoyo menatap sendu Hinata, lalu menunduk sambil tersenyum kecut.

"Maaf jika menyinggungmu," ucap Hinata dengan raut merasa bersalah.

Tomoyo menggeleng cepat. "Tidak... Tidak... Tidak..., aku sama sekali tidak tersinggung Hinata-sama," Tomoyo kembali tersenyum ceria dan menatap permata lavender Hinata. "Anda benar Shogun-sama membeli saya dari Okiya, memang tidak di perbolehkan membeli seorang Maiko tapi Okasan di Okiya tempat ku tingggal sangat takut dengan Shogun-sama dan membiarkan Shogun-sama membawaku kesini, Shogun-sama bilang jika aku melayani mu dengan baik, maka Shogun-sama akan membebaskanku dan membiarkanku bekerja sebagai dayang."

Hinata sedikit tersenyum mendengar celotehan Tomoyo, gadis bermata onix itu benar benar mengingatkannya pada sang adik yang menjadi budak di pertambangan.

"Bagaimana kau bisa tinggal di Okiya, hm?" Tanya Hinata sambil mengelus rambut kelam Tomoyo.

"Setelah Kaa-chan meninggal, ayah tiriku menjualku ke Okiya..." Jawab Tomoyo sendu.

Hinata tersenyum kecut mendengar cerita Tomoyo "Tomoyo, boleh memanggilku Hinata-nee saja..."

Tomoyo kembali menggeleng cepat "Tidak boleh nanti Orochimaru-sama marah...!"

"Orochimaru-sama?" Beo Hinata.

"Iya Orochimaru-sama mirip seperti Okasan di Okiya dia yang mengatur semua Geisha dan Maiko disini," Jawab Tomoyo setengah berbisik.

"Baiklah, tapi kalau kita berdua saja kau harus memanggil ku Hinata-nee ya?" Pinta Hinata lembut.

"Baiklah, sekarang Hinata-nee mau mandi atau mau makan siang dulu?" Tomoyo mengulang lagi tawarannya pada Hinata.

"Tolong antarkan nee-chan ke Onsen, Tomoyo-chan." Pinta Hinata sendu sambil menatap keluar jendela.

Tomoyo tersenyum sambil menarik tangan sang majikan yang begitu bersikap hangat pada dirinya.

🌹🌹🌹🌹

Onsen yang terletak di bagian belakang istana selatan ini, tampak sangat sepi, hanya pemandangan Tomoyo yang sedang mengeringkan rambut gelap Hinata yang baru selesai berendam air hangat dengan taburan kelopak bunga mawar. Mereka bercengkrama layaknya kakak dan adik sambil duduk di kursi marmer pendek di samping kolam air hangat.

"Karena ini sudah siang, para Geisha sudah mandi semua Hinata-nee, di istana ada sembilan Geisha, tiga bulan sebelum anda masuk kesini, satu Geisha dipulangkan ke Okiya, dan tadi pagi barusan ada satu lagi Geisha yang di pulangkan ke Okiya karena Shogun-sama baru membawa Geisha yang bukan dari Okiya," Jelas Tomoyo sambil tetap mengeringkan rambut tebal indigo Hinata.

"Biasanya jika pagi di kolam pemandian utama akan ramai dengan para Geisha yang berendam sambil bergosip," cerocos Tomoyo dengan semangat. "Ada empat Geisha kesayangan Shogun-sama, di banding dengan Geisha yang lain bersama mereka lah Shogun-sama lebih sering menghabiskan waktu."

Hinata tersenyum miris, ada sedikit rasa sakit ketika tahu orang yang kecil dia cintai itu membagi cinta dengan banyak wanita, dulu sempat terbesit rasa bangga di hatinya, ketika Naruto memutuskan melamarnya, terlintas di fikirannya alasan Naruto selama ini bermain dengan para Geisha itu, karena sebuah pelarian akan cinta sang Shogun pada dirinya. Dia berfikir bahwa hanya dirinya lah yang akan di cintai Naruto secara terhormat, sempat terbesit di benaknya ingin meminta sang Shogun melepaskan semua Geishanya ketika mereka menikah.

Miris, malah sekarang dirinya berada diantara para wanita penghibur itu, jangankan untuk membebaskan Geisha yang lain, untuk membebaskan dirinya sendiripun dia tidak punya daya upaya.

"Siapa mereka?" Tanya Hinata datar, jika boleh jujur hatinya sedikit cemuburu pada empat wanita yang dimaksud Tomoyo.

"Yang pertama adalah Shion-sama, lalu Shizuka-sama, Koyuki-sama, dan Amaru-sama, selain ke empat Geisha itu, geisha yang lainnya kurang di perhatikan Shogun-sama, mereka biasanya hanya disuruh menuangkan sake atau bermain musik, tapi semua Geisha disini sudah pernah menjalankan ritual Mizuage*)," Jawab Tomoyo dengan bersemangat, sampai-sampai dia menarik terlalu keras rambut Hinata yang sedang di keringkannya.

"Awww..." Rintih Hinata.

"Gomenasai Hinata-nee, hontou ni gomenasai...," Tomoyo meminta maaf sambil bersujud dihadapan Hinata.

Tangan Hinata terulur menyentuh pundak Tomoyo "Sudah berdirilah aku tak apa."

"Kau baik sekali, Hinata-nee, wajahmu paling cantik diantara para Geisha disini, semoga Kami-sama menjadikanmu istri Shogun-sama, Shogun-sama walau dia kejam, tapi aku yakin ada sifat baik yang tidak di tampakannya" Jawab Tomoyo dengan onixnya yang berkacaca menatap Hinata.

Hinata tersenyum kecut mendengar doa sang Maiko, dia sudah tidak berharap lagi menjadi istri sang Shogun setelah apa yang dilakukan Naruto pada klannya.

"Ne, Tomoyo-chan bisa kau beri tahu siapa Geisha yang tadi pagi di bawa Shogun?" Tanya Hinata saat Tomoyo menguarkan asap ratus*) kerambut Hinata.

"Wah saya kurang tahu Hinata-nee, tapi kudengar Shogun-sama membawanya dari perbatasan Kyoto."

🌹🌹🌹🌹

"Ne, Hinata-nee, jadi mau pakai furisode yang mana?" Begitu kembali ke kekamar Hinata, Tomoyo langsung mengeluarkan semua Furisode dari Oshiire besar yang menempel pada dinding kamar Hinata.

Hinata memperhatikan hamparan kimono dengan lengan menjuntai seperti sayap kupu-kupu. Naruto mengingat semua hal kecil tentang apa yang Hinata sukai, kecintaan Hinata pada bunga dan kupu-kupu membuat hampir semua kimono furisode yang dimilikinya bermotif bunga dan kupu-kupu.

Seolah mengganti semua kimono furisode miliknya yang terbakar di istana klan Hyuuga, puluhan kimono dengan bahan sutera kualitas terbaik dari daratan China, terhampar d hadapan Hinata.

Hinata tersenyum kecut melihat puluhan furidose yang di hamparkan Tomoyo di atas tatami.

"Ne, Hinata-nee, jadi mau pilih yang mana?" Tomoyo bertanya sambil memiringkan kepalanya.

Tangan Hinata terulur, menunjuk sehelai kimono furisode, berbahan sutera putih polos.

"Huh, Hinata-nee, yakin mau pakai yang itu? Hari ini Shogun-sama akan mengajak anda minum teh bersama."

"Biarkan aku memakai yang itu saja."

🌹🌹🌹🌹

Seolah tak ada lagi nyawa yang besermayam di tubuhnya, sore itu Hinata berjalan gontai di sepanjang roka dengan wajah pucat, dan furisode putihnya. Rambutnya di biarkan tergerai, walau beberapa kali Tomoyo menawarkan untuk menggelung atau mengepang rambutnya, bahkan sebuah kanzashi penghias rambutpun enggan di pakai oleh Hinata.

Berjalan gontai setelah seharian mendekam di kamar sambil menangis, membuat kelopak putihnya membengkak dengan wajah yang memucat.

Melintasi kolam koi besar yang terletak di tengah istana selatan keshogunan, membuat Hinata yang berjalan di tepian roka terlihat jelas oleh tiga Geisha yang sedang duduk bersantai menikmati sore sambil berbincang di tepian kolam. Gunjingan usil pun mulai keluar dari bibir mereka yang di lapisi oleh gincu merah.

"Lihat itu bukannya Geisha baru Shogun-sama dari klan Hyuuga itu?"

"Kenapa dia memakai furisode putih? Seperti shadako."

"Wajahnya tidak dirias."

"Rambut gelapnya di biarkan terurai."

"Poni rata, dan mata ungu pucatnya mengerikan!"

"Bukankah dia si lotus ungu yang terkenal itu, kenapa malah lebih mirip Shadako?"

🌹🌹🌹🌹

Tiga orang wanita berjalan menyusuri rokka menuju taman yang mengeliling kolam ikan koi yang berada di tengah istana selatan keshogunan. Berniat bergabung dengan tiga Geisha lainnya yang lebih dahulu berkumpul disana.

"Kalian lihat ini...?" Geisha dengan mata biru gelap sewarna dengan permata tourmaline, itu dengan sombong mempelihatkan cincin bertahta permata tourmaline merah di jari manisnya.

"Kau sangat beruntung Koyuki, Shogun-sama hanya memberikan ku rantai kalung perak," sahut Amaru dengan nada kecewa.

"Kasihan sekali nasibmu kalian, lihat ini," Shizuka menunjukkan cincin emas bertahtahkan emerald ,"Shogun-sama menempanya khusus untukku karna warna batu ini sama dengan mataku," Mata Koyuki dan Amaru membulat sempurna terperangah dengan perhiasan yang di tunjukan Geisha berambut hitam ini.

"Mendapat hadiah seperti itu saja sudah bangga. Kau lihat Shizuka, Shogun-sama memberikanku hadiah gelang giok dari dinasti Tang sebagai hadiah ulang tahunku..." Wanita dengan rambut pirang pucat itu dengan bangga memamerkan gelang berwarna hijau, yang baru di dapatnya dari sang Shogun, ekor Kimono Uchikake*) hitam bermotif bunga lili emas, terseret disepanjang roka yang di laluinya.

Amaru dan Koyuki yang sedari tadi kagum akan perhiasan yang dikenakan Shizuka, kini mengalihkan pandangannya pada seorang Geisha yang baru bergabung dengan obrolan mereka di tengah rokka. Shion tersenyum congkak sambil menyodorkan pergelangan tangannya ke arah Amaru dan Koyuki yang menatap penuh harap.

Shizuka mendengus kesal, dia berbalik dan berjalan meninggalkan Shion bersama dengan dua Geisha yang sedang menganggumi keindahan gelang giok milik Shion.

Koyuki dan Amaru berjalan disisi kanan dan kiri Shion sambil menatap gelang gioknya yang di pandangi oleh Shion.

"Emmm, ano, Shion, jangan terus memandangi gelang itu perhatikan jalanmu," Amaru memperingatkan sambil menatap penuh harap gelang itu.

"Aku sedang ingin memandang bukti cinta Shogun-sama...," ametyst nya berbinar-binar mengingat kata-kata rayuan yang di sampaikan Naruto saat memberikan gelang itu.

"Cinta...?" Beo Amaru.

"Shion, hati-hati bicara, jika di dengar Orochimaru-sama dan sampai ketelinga Kogo-sama kau bisa dikembalikan Okiya," Koyuki memperingatkan, cinta..., adalah sebuah kata kata haram bagi para Geisha yang dibesarkan di Okiya. Mereka di larang untuk mencintai sekalipun itu adalah danna mereka sendiri.

Hubungan Geisha dengan danna yang telah membelinya hanyalah sebatas kontak fisik, dan material belaka. Sang Geisha beruntung apabila sang danna juga mencintainya dan membebaskannya dari status Geisha bahkan mencintainya, tapi bila sang danna terganggu dengan cinta sang Geisha. Geisha itu bisa dikembalikan ke Okiya, dihukum atau bahkan bisa sampai di bunuh, sesuai keinginan hati sang danna.

Dan Naruto, seluruh kekaisaran dinasti Heian tahu bahwa sang Shogun, tidak peduli sama sekali dengan perasaan yang disebut cinta. Bahkan Naruto lebih suka memelihara banyak Geisha karena tidak mau terikat dengan sebuah pernikahan. Sampai saat ini tidak ada Geishanya berani berujar cinta pada sang Shogun kecuali Shion.

Sang Shogun pun tak pernah menanggapi atau menolak pernyataan cinta sang Geisha, berkali'kali Shion hampir di kembalikan ke Okiya oleh Mito, tapi Naruto selalu membela, dan membiarkan Shion tinggal di istananya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya.

Dibanding dari empat Geisha itu bersama Shionlah, Naruto banyak menghabiskan malam-malamnya. Bukan hanya sekedar bersetubuh, otak cerdas dimiliki oleh Shion membuat Naruto tak segan bertukar pikiran, bahkan berbincang tentang banyak hal, termasuk mengenai masalah keshogunan dan politik.

Satu alasan lagi, mata ametyst Shion yang meneduhkan itu selalu mengingatkan Naruto pada cinta masa kecilnya, dan itulah yang menjadi alasan Naruto tetap mempertahankan Shion di istananya. Walau telinganya sama sekali tidak tertutup dengan berita tingkah congkak Shion yang sewena-wena pada para maiko*) dan tiga Geisha yang tidak terlalu di perhatikan Naruto.

***

Ametyst itu menadang penuh cinta gelang giok yang melingkar di pergelangan putihnya, pandangannya yang hanya tertuju pada gelang pemberian dannanya, membuat dia berjalan tanpa memperhatikan sekitarnya.

Dari arah berlawanan Hinata yang berjalan dengan tatapan kosong menuju istana utama ke Shogunan juga tidak memperhatikan bahwa dia sedang berpapasan dengan Shion.

Brukkkk

Tubuh Hinata dan Shion terjungkal kebelakang bersamaan setelah kedua bahu mereka saling bertabrakan akibat perhatian mereka yang sedang teralih pada khayalan masing masing.

"Brengsek!" Umapat Shion sambil berusaha berdiri dengan di bantu Amaru dan Koyuki.

Sementara Hinata meringis kesakitan, dan dibantu oleh Tomoyo untuk berdiri.

Shion yang sudah berdiri terlebih dahulu mendorong tubuh Hinata yang baru akan di bantu berdiri oleh Tomoyo.

Brukkkk

Sekali lagi tubuh Hinata menghantam kayu roka karena dorong Shion. Kepalanya yang sedari tadi tertunduk mendongak, hingga ametyst dan lavender itu beradu pandang.

Hinata yang suasana hatinya sedang buruk, lebih memilih meminta maaf dari pada berdebat dengan Shion.

"Gomenasai." Ujar Hinata dengan tulus dan suara lirihnya.

"Cih, jadi ini Geisha Hyuuga keparat itu yang baru masuk kesini? Meminta maaflah dengan bersujud padaku," ujar Shion sambil memandang rendah.

Shion yang sempat gerah mendengar kabar Naruto melamar Hinata, kini tersenyum puas melihat Hinata kondisi Hinata yang menyerupai mayat hidup itu terduduk lemas di bawah kakinya.

Sementara Hinata, darahnya seolah mendidih mendengar nama klannya di sebut dengan nada remeh. Permata lavender yang tadinya memandang teduh ametyst dihadapannya, kini memandang nyalang ke arah Geisha yang mengenakan banyak perhiasan berkilau di tubuhnya.

"Dia Shion-sama, Hinata-sama, jangan terpancing, dia Geisha kesayang Shogun-sama," Tomoyo memperingatkan

"Hati-hati berbicara nona!" Balas Hinata, sambil berusaha bangkit sendiri, bahkan gerakan Tomoyo yang ingin menbantunya kalah cepat dengan Hinata yang membangkitkan sendiri dirinya.

"Kau itu bukan lagi bangsawan, tak perlu aku menyebut nama klanmu dengan hormat." Ucap Shion congkak.

"Mutiara tetaplah mutiara walaupun telah diletakkan di lumpur kotor, dan batu kerikil tetaplah batu kerikil walau telah di asah dan diletakkan di kotak perhiasan. Bangsawan tetaplah bangsawan sekalipun di tawan sebagai Geisha, dan wanita simpanan tetaplah wanita simpanan walau dia amat di sayang oleh sang tuan." Walau dengan wajah yang pucat, Hinata masih mengeluarkan aura puteri bangsawannya, ketika membalas ucapan Shion.

Koyuki dan Amaru tercengang dengan ucapan Hinata yang mampu membuat mulut Shion terbungkam. Hinata berjalan melewati Shion dengan pandangannya yang tak lagi kosong, tatapan anggunnya sebagai seorang Hyuuga kini menghiasi permata lavendernya.

Shion yang tidak mau di kalahkan, menarik Hinata hingga kembali kehadapannya dengan kasar. Tubuh Hinata sedikit oleng ketika Shion, menariknya kebelakang. Tangan Shion melayang dan hampir menampar pipi pualam Hinata. Tapi tangan Hinata jauh lebih cepat mencengkram tangan Shion.

Krakk

Bunyi retak gelang giok yang dikenakan tangan Shion untuk menampar pipi Hinata, terdengar jelas di telinga Amaru dan Koyuki. Mulut kedua Geisha ini melongo melihat kekuatan tangan Hinata meretakkan gelang yang baru saja di hadiahkan oleh Naruto.

"Kau jangan lupa posisi mu, nona. Kau di dapatkan Shogun dengan cara di beli, sementara aku masuk ke tempat terkutuk ini, setelah Shogun berengsek itu membantai klanku. Hargamu hanya sebatas pada kepingan perak dan emas, sementara aku dibayar dengan cucuran darah para bangsawan." Hinata melepaskan tangan Shion yang terluka karena retakan giok, dengan kasar.

Hinata mengibaskan tamoto*) nya tepat di hadapan wajah Shion sebelum berlalu diikuti oleh Tomoyo menuju istana utama keShogunan untuk memenuhi undangan atau lebih tepatnya perintah untuk minum teh bersama dengan sang Shogun , meninggalkan Shion yang meringis kesakitan dan tatapan penuh dendam.

つづく

Tsudzuku
-----------------------------------------------

Geisha (bahasa Jepang:芸者 "seniman") adalah seniman-penghibur (entertainer) tradisional Jepang, Untuk menjadi geisha, seorang gadis harus menjalani latihan bertahun- tahun di okiya (rumah geisha). Seorang geisha harus pandai memainkan alat musik tradisional Jepang, yaitu Shamisen, piawai menari, menguasai sastra, dan memiliki pengetahuan luas. Keberadaan geisha dalam struktur kehidupan Jepang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Pada suatu masa dalam sejarah negeri Sakura ini, geisha memiliki posisi yang demikian penting dan tinggi.

Geisha adalah golongan elit. Bagi kebanyakan orang, tidak terlalu mudah untuk melihat geisha. Mereka menjadi simbol yang dipuja dan merupakan salah satu bagian terpenting dalam budaya Jepang.

Dalam kehidupan geisha dikenal adanya mizuage, yaitu menjual kegadisan pada penawar tertinggi. Harga tertinggi yang pernah dicapai dalam mizuage adalah 850.000 dolar !.

Geisha berbeda dengan pelacur, dan hal ini tampak pada cara mereka berpakaian. Pelacur mengikat obinya di depan, sedangkan obi geisha diikat di belakang. Karena diikat di depan, pelacur dengan mudah akan mengenakan obinya kembali setelah dibuka. Sedangkan geisha, karena obinya diikat di belakang, mereka tidak bisa setiap saat membuka dan mengikatnya kembali, karena untuk mengikat obi di belakang membutuhkan bantuan juru rias.

Mereka menghibur tamu yang didominasi oleh kaum adam, dengan tarian, nyanyian, dan obrolan, tapi tidak melakukan relasi seksual. Tapi ada geisha yang menjadi simpanan seseorang (tentunya lelaki yang kaya raya, karena ia harus sanggup membiayai gaya hidup geisha yang mewah), dan geisha hanya berhubungan dengan pria ini, tentunya tanpa pernikahan.

Seorang geisha tidak boleh menikah, tetapi ia bisa memiliki anak dari Danna (sesuai dengan perjanjian yang mereka sepakati), pria yang menjadi dannanya menanggung biaya hidupnya. Biaya hidup geisha sangat mahal, dan ia dituntut untuk selalu tampil mewah.

Mereka dianggap sebagai wanita-wanita paling cantik, paling pandai, dan palinig modis. Beberapa petinggi Jepang masa lalu bahkan mengambil geisha sebagai isteri.

Memang, geisha dianggap sebagai pelestari seni tradisional asli Jepang. Mereka benar-benar menjaga tradisi dengan ketat. Jika di Indonesia, yang hampir sama dengan geisha mungkin ronggeng.

Kehidupan geisha bisa dilihat dari dua sisi : positif dan negatif. Dan karena keberadaan geisha telah melewati kurun yang sangat panjang, maka dalam perjalanannya sisi positif dan negatif itu silih berganti muncul sebagai aspek yang menonjol. Ada masa ketika geisha sangat dekat dengan puncak kekuasaan, ada juga masa ketika geisha terpuruk menjadi wanita penghibur.
Memang benar, geisha adalah wanita yang dalam kepandaian, kecantikan, dan keluwesan lebih dari wanita-wanita Jepang biasa. Mereka juga menjalani kehidupan yang penuh disiplin, terus belajar, dan menjadi pelestari budaya tradisional Jepang. Tetapi, tetap saja keberadaan mereka adalah sebagai penghibur pria, dan tidak sedikit yang menjalani kehidupan sebagai 'simpanan' pria kaya. Inilah yang menurut saya sisi negatifnya.

*sumber : Artikel dari yang ditulis Tuti Nonka seorang dosen pengamat budaya Jepang yang mengajar di Universitas Islam Yogyakarta, artikel beliau dapat di temukan di situs wordpres

Nagajuban : Bagian dalam pelapis kimono yang berwarna putih berbahan katun, pada zaman Jepang kuno, juga merangkap sebagai baju tidur, Nagajuban untuk wanita berupa terusan sampai kemata kaki, sementara untuk para pria hanya berupa atasa saja, karena biasanya pria akan mengenakan hakama sebagai celana.

Tamoto : Bagian lengan furisode yang menyerupai sayap, jika tidak sedang dibentangkan, menyerupai selendang yang teruntai di lengan pemakainya, panjang Tamoto rata rata 114 cm

Furisode: Kimono dengan lengan melebar kebawa yang menyerupai sayap kupu kupu jika di rentangkan

Fusuma: Pembatas dinding tebal yang di hiasi dengan lukisan

Maiko: Geisha junior yang masih menjalani pendidikan di Okiya biasanya melayani para geiko (geisha senior yang sudah dewasa)

Ratus : (bukan bahasa jepang) bubuk wangi yang di bakar dengan kompor kecil yang asapnya digunakan untuk membuat wangi rambut para wanita Asia di zaman dahulu

Uchikake : Kimono yang serupa dengan Furisode, tapi bagian belakangnya sangat panjang hingga terseret di lantai menyerupai ekor gaun pengantin, warnanya jauh lebih mewah, di banding furisode yang biasanya warnanya lebih lembut

Mizuage: Peristiwa memerawani yang dilakukan oleh seorang Maiko yang sudah lulus menjadi Geiko. Orang berhak melakukan mizuage adalah siapa yang berani membayar harga paling tinggi. Peristiwa ini bisa dibandingkan dengan "bukak klambu" pada seorang ronggeng atau penari kesenian tradisional dengan iringan angklung dan gendang di daerah Banyumas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top