Bab 3: OUR
Di dalam video tersebut, pria yang berbicara mengatakan jika saat hari Kamis waktu itu, ia melihat Frischa Amber yang sebagai korban berjalan menuju atap sekolah tidak sendirian, berdua dengan seorang laki-laki.
"Waktu itu saya melihat mereka, saya menegurnya dan mengatakan untuk tidak naik ke atas jika tidak ada kepentingan, tapi laki-laki itu menyodorkan selembar kertas tanpa berbicara sepatah kata pun, ketika saya melihat kertas tersebut, itu merupakan kertas izin yang sudah di tandatangi oleh Pak Rektor, karena sudah ada izin, maka saya hanya bisa membiarkan mereka, namun dengan sedikit curiga saya membuntutinya."
Kalimat panjang dan jelas tersebut merupakan kesaksiannya, aku tahu siapa orang yang memberikan kesaksian, namun Ayah Narendra menyuruhku untuk tetap menutupi identitas tersebut demi menghindari kejadian yang diluar nalar.
Setelah video kesaksian bapak tersebut, berlanjut pada sebuah video amatir yang memperlihatkan kejadian ketika Frischa Amber di dorong dari atap gedung, sepersekian detik kemudian sang pelaku menoleh kebelakang, mengetahui jika aksinya diketahui seseorang. Video berakhir dengan layar hitam.
Aku menatap Ayah Narendra, kami bertiga diam, hanya suara ada angin yang menerobos masuk melalui celah ventilasi.
"Dari pengakuan beliau, pria tersebut sesuai apa yang Narendra katakan," ucap Ayah Andra.
"Kenapa gue yakin kalo itu dia, satu, si bapak melihat langsung pelaku, dan ketika di interogasi sama Papa, Papa keluarkan semua foto mahasiswa, dan si bapak cuma nunjuk satu anak," ucap Narendra panjang.
"Karena ini menyangkut temen gue, gue boleh nggak ketemu sama si bapak ini?" tanyaku.
"Untuk saat ini belum boleh, untuk sementara saya pindahkan ke kota lain untuk berjaga-jaga, selepas kasus selesai, kamu boleh ketemu," jawab Ayah Narendra.
Melihat raut wajah mereka yang sangat meyakinkan, dan juga Ayah Narendra yang merupakan rektor kampus, alasannya sangat masuk akal. Pertemuan singkat yang terasa sangat lama ini berakhir, aku memutuskan untuk pulang, tapi itu hanya kalimat pamitku pada keluarga Narendra, setelah aku diantar oleh supir keluarga Narendra hingga depan gang rumahku, aku tidak langsung pulang ke rumah, aku melanjutkan perjalananku menuju rumah Rahandika.
Sembari berjalan, aku mengontak Rahandika via pesan, mengajaknya untuk berbicara empat mata. 10 menit berlalu, aku dan dia bertemu di suatu tempat. Membicarakan apa yang memang aku ingin ketahui kebenarannya, aku sangat hati-hati dalam mengeluarkan setiap kata yang aku ucapkan.
"Dapet berita dari mana lo? Lo percaya sama berita itu, kita temenan udah lama, Gha!" ucap Rahandika setelah mendengar semua penjelasanku.
"Ini bukan masalah percaya atau nggak, kalo bukan lo yang sebagai pelaku, gue nggak bakal kaya gini, gue peduli sama lo karena kita tu temen, Dik!" balasku dengan nada tinggi.
"Temen? Temen ya, haha," ucap Rahandika tiba-tiba.
Mendengar kalimat Rahandika barusan membuatku merinding, sikap was-was pun aku tingkatkan. Sepersekian detik setelah perkataannya selesai, kalung yang tergantung di leherku tersentak setelah kedua tangan Rahandika mencekikku, dengan ekspresi bangga dan tersenyum ia menatapku tajam.
"Gue suka sama lo dari lama, dan lo cuma bilang temen? Lo suka sama siapa Agha, siapa cowok yang lo suka, mau gue bunuh kaya Frischa?" ucap Dika dengan nada penuh penekanan.
"Soal hadiah dari gue gimana, lo suka kan, kupu-kupu, ular dan lainnya," lanjut Dika.
"Lepasin gue, Dik, uhuk."
"Gue ilangin Frischa dari hidup lo karena lo suka digangguin sama dia," lanjut Dika.
Aku tak berdaya dalam posisi itu, aku hanya bisa mencoba untuk tetap hidup bagaimana caranya, dalam mata terpejam, telingaku mendengar suara BUKK!! dan cengkraman tangan Rahandika terlepas. Aku membuka mata sembari memegang leherku, merabanya untuk memastikan leherku tidak putus dan masih baik-baik saja.
"Apa maksud lo?" tanya seseorang yang suaranya tak asing bagiku.
"Ngapain lo disini, jangan ikut campur masalah gue," jawab Rahandika yang tersungkur entah kenapa.
"Lo nggak apa-apa kan, Gha," ucap Andra yang entah darimana ia datang.
"Jangan mentang-mentang lo anak rektor, lo bisa seenaknya ya, gue nggak takut sama lo apalagi bokap lo," ucap Rahandika.
Tanpa ada jawaban dari Rahandika, dia yang sudah berdiri pun berlari dan melayangkan pukulan tepat pada wajah Narendra, reflek tangan pria itu yang cepat pun bisa menangkap pukulan Rahandika dengan mudah. Dengan tangan Rahandika yang masih dalam genggaman, Narendra memukul balik Rahandika tepat di perutnya, perkelahian mereka tak sampai disitu, jual beli pukulan tak terelakan.
"Lo nggak apa-apa kan sayang," ucap Mahesa yang tiba-tiba datang.
"Nggak apa-apa kok, Hes," jawabku.
"Di apain kamu sampe kaya gini?" tanya Mahesa ditengah suara pukulan Rahandika dan Narendra.
"Dicekik sama Dika," balasku.
Entah apa motivasi Mahesa, setelah mendengar jawabanku, ia menoleh ke arah dua orang yang berkelahi di depan kami dan berlari dengan teriakan nya. Di sebrang, Rahandika yang masih tersulut emosi sudah siap dengan pukulannya untuk Narendra, lagi-lagi Narendra berhasil menghindari pukulan Rahandika, namun.... BUKK!!!
Pukulan itu bersarang tepat ke wajah Mahesa yang maju tanpa perhitungan, hening, Mahesa tersungkur lemas setelah mendapat pukulan dari Rahandika. Mereka melanjutkan perkelahian mereka tanpa menghiraukan Mahesa yang pingsan di sebelah mereka.
Pertarungan mereka berakhir setelah Rahandika yang tersungkur untuk kesekian kalinya sudah tidak sanggup berdiri, Narendra melihat Rahandika yang sudah tidak sanggup lagi dengan tenang, sekiranya Rahandika sudah tidak menyerangnya, ia berbalik dan menghampiri ku.
"Lo gimana? Apa yang luka?" tanya Narendra.
"Nggak ada, Ndra, cuma kaget aja tadi," jawabku.
"Pak, telepon ke rumah, bawa mobil lagi, anter yang pingsan itu ke rumah sakit, sekalian telepon polisi juga," ucap Narendra pada sopir pribadinya.
Narendra menggendongku menuju mobilnya yang tak jauh dari lokasi ku, entah kenapa aku hanya diam, padahal aku sanggup untuk berjalan dengan kaki ku sendiri. Setelah masuk ke dalam mobil, Narendra yang menyetir langsung mengarahkan mobil menuju rumah sakit.
Setelah pemeriksaan di rumah sakit, dan dokter berkata jika aku baik-baik saja, dan di hari itu juga aku di antar Narendra untuk pulang.
***
Hari-hari ku berlanjut seperti biasa, Rahandika yang sudah dikeluarkan dari kampus akibat kasus yang ia lakukan, dan saat ini juga mendekam di penjara juga, membuatku lebih tenang, teror pesan dan kado seperti yang lalu sudah tidak ada lagi.
Berjalan di lorong kampus, aku bertemu dengan Mahesa, kali ini dia hanya menyapa seperti biasa tanpa ada kata atau kalimat yang membuatku risih, aku menatap Mahesa setelah ia berjalan melewatiku. Perkiraan ku salah, ternyata bukan karena apa, tetapi tepat dibelakangku berjalan sosok Narendra. Aku menghentikan langkahku, tangan Narendra mengusap kepalaku lalu merangkulku tanpa menghentikan langkahnya. Kami berjalan menuju kantin untuk makan siang.
Seusai dari kantin, Narendra mengajakku untuk menuju ruang rektor kampus sekaligus ayahnya, disana aku dipertemukan oleh si bapak yang sebagai saksi kasus kemarin.
Soal Rahandika, kasusnya masih dalam persidangan untuk memutuskan hukuman yang setimpal, dari pihak keluarga Frischa Amber meminta sang pelaku alias Rahandika Yasa dihukum mati, nyawa dibayar nyawa, dan sebaliknya dari keluarga Rahandika Yasa meminta banding untuk hukuman yang ringan.
Mulai saat ini hari-hari ku berjalan dengan senang, minggu ke empat bulan ini sudah berakhir, memasuki awal bulan, hari ini tanggal 4, aku dan Narendra pulang dari kampus bersamaan, kali ini dia mengajakku berkeliling kota sembari menikmati senja di pinggiran kota. Bercengkrama layaknya sepasang kekasih yang sudah lama menjalin komitmen.
Senja sudah hadir dalam jangkau mata kami, cerah jingganya menghiasi tawa kami. Cukup lama kami berbincang ditemani senja yang tanpa kelimat perpisahan ia pamit, aku mengajak Narendra untuk pulang.
Tepat sebelum aku membuka pintu mobil, tangan Narendra meraih tanganku, menghentikan langkahku juga membuatku menoleh ke arahnya. Sekian detik hening, bukan, hanya kami yang diam, suara burung yang lewat tepat di atas kami dan suara angin masih terdengar.
"Agha, gue suka sama lo," ucap Andra.
"Ya?"
"Lo," wajahnya berpaling, "mau nggak jadi pacar gue?" lanjut Narendra.
Cuaca yang sangat cerah hari ini, entah petir mana yang menyambar Narendra, dia mengungkapkan perasaannya padaku. Aku tersenyum, melepas genggamannya, tanganku memegang kedua tangan Narendra, menunggu dia menatapku.
"Iya, mau kok," jawabku setelah matanya tertuju padaku. Aku mendekap Narendra, memeluknya sepenuh hati.
"Aku mencintai dunia ini, beserta salah satu manusianya," ucap Narendra tiba-tiba.
"Haha, bagus juga kalimat kamu," sahutku.
"Bukan kalimatku, aku ngutip dari cerita," jawab Narendra.
Momen kali ini berakhir, aku dan Narendra memutuskan pulang setelah gelap malam sudah menyapa. Siapa sangka kami akan menjadi sepasang kekasih setelah rentetan kejadian mengerikan sebelum ini? Seakan aku sudah berhasil bangun dari mimpi buruk.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top