Bab 2: RUO
"Dika, lo bikin gue takut tau nggak!" ujarku sambil berkacak pinggang, tampak raut lega dengan hembusan napas panjang ketika kubuka pintu rumah dan menampilkan sosok jangkung yang sangat kukenal.
Rahandika Yasa, teman masa kecilku yang juga satu kampus, tapi dia dari Fakultas Kedokteran. Rahandika sangat populer karena terkenal dengan IPK-nya yang selalu diatas 3,75. Dia pun aktif menjadi wakil ketua BEM di kampus. Pesan yang masuk tadi dari dirinya, meski ada juga pesan lain dari nomor yang tidak kukenal tepat di bawah pesan Rahandika.
Isinya bikin aku muak sekaligus merinding.
08xxxxxxxxxx
Sayang, sudah menerima paketnya kan? Jangan nakal, kalau tidak ingin berakhir seperti ular itu.
"Kenapa deh? Panik banget gitu. Kayak lihat hantu, lo takut ya di rumah sendiri?" Rahandika memandangku dengan bingung, lalu masuk begitu saja ke dalam, tapi dengan cepat kutahan lengannya yang berbalut jaket kulit. Tatapan kami bertemu, perlahan dengan was-was atensiku beralih ke paket yang menjadi biang ketakutanku.
Rahandika membantuku menyelesaikan masalah hari ini, dia membuang bangkainya ke tempat sampah luar setelah memastikan hewan itu memang sudah tidak bernyawa. Rahandika yang sudah terbiasa dengan berbagai bangkai hewan, sangat mudah menyelesaikan masalah ini. Aku bersyukur dengan kedatangannya ke rumah. Memang hanya dia yang dapat kupercaya, pertemanan kami sudah terjalin selama itu.
"Sudah sejak kapan lo dapat teror kayak gini?" tanya Rahandika setelah kembali dari dapur untuk membasuh tangan. Raut wajahnya serius terbesit khawatir di sana dan juga kesal, namun senyuman tipis yang terpatri pada wajahnya sedikit menimbulkan tanya pada benakku.
***
Seminggu lebih telah berlalu, bertemu lagi aku dengan tanggal 4. Seperti yang kuduga, aku mendapatkan surat berdarah lagi, isinya selalu sama seperti itu. Kalimatnya tidak ada yang berbeda, seperti pesan spam pada e-mail masuk, juga pesan dari nomor yang tidak dikenal berisi kalimat-kalimat aneh menambah kengerian setiap harinya. Tapi kali ini, paket teror yang kudapat berganti menjadi bangkai kupu-kupu berwarna cokelat dengan sayap yang robek-robek. Penuh sampai satu kotak. Aku memang menyukai kupu-kupu, tapi beda cerita jika bentuknya seperti ini. Aku menyukai yang bernyawa, bukan bangkainya!
Lamunanku harus diganggu oleh kedatangan Mahesa. Duh, laki-laki itu lagi. Padahal kampus sangat luas, kenapa harus bertemu di taman sih? Padahal aku sengaja menyendiri di sini menjauhkan diri dari keramaian di kantin atau sekitar kelas.
Mahesa dengan senyum manisnya duduk tepat di sampingku. "Hai, Aghata sayang. Tumben sendirian aja? Temen lo yang itu nggak ada?" Maksudnya adalah Narendra. Benar, laki-laki itu mulai jarang menempel padaku lagi setelah berkata akan membantuku menyelesaikan teror ini, bahkan dia jarang masuk kelas.
"Sayang, sayang. Jaga mulut lo ya," ketusku sambil bergeser, saat itu juga gawaiku bergetar, ada sebuah telepon masuk. Nama yang tertampil adalah Andra, raut wajahku berubah cerah lalu segera kuangkat panggilan itu, mengindahkan keberadaan Mahesa, pria itu tetap saja ikut bergeser mendekat.
Maunya apa sih?
"Halo, Andra?" Aku mendengar suara batuk dari seberang sana, Narendra sedang sakit?
"Aghata, Rahandika Yasa itu teman lo kan? Gue sering lihat lo berdua ngobrol." Pandanganku beralih, melirik kearah Mahesa yang menatapku tanpa senyum di wajah, seakan ingin mengatakan sesuatu namun tertahan.
"Kenapa sama Dika ...?" tanyaku sedikit ragu.
"Mungkin lo nggak akan percaya sama info yang gue dapatkan," ucap Narenda berjeda, "dia yang membunuh Frischa Amber, Agha. Mulai sekarang, lo harus jauh-jauh dari dia."
Aku tercenung, fakta lucu apa lagi ini? Benar Rahandika Yasa kawan kecilnya itu? Pasti bercanda. Aku tertawa hambar dengan lambat.
"Nggak mungkin, itu pasti info hoax. Lo sekarang di mana, Ndra?" Sedikit rasa kesal mencuat karena nama Dika tertuduh seenaknya.
"Semua info ini gue dapat dari Ayah, nanti gue kasih semua buktinya." Panggilan itu terputus sepihak. Bersamaan dengan itu, aku melihat sosok laki-laki yang baru saja berjalan menjauh di lorong kampus sambil memasukkan gawainya ke dalam saku celana.
Andra?
Aku sampai melupakan sepenuhnya keberadaan Mahesa yang sedari tadi bergeming di sebelahku.
***
Waktu berlalu cukup cepat, aku bergegas menuju rumah Narendra, duduk dalam diam di halte depan kampus, ditemani ramainya kendaraan berlalu-lalang, dengan mentari yang sudah dalam setengah perjalanan aku menunggu bus yang akan menjemput dan mengantarku ke rumah Narendra.
Tinn...!!! suara klakson sebuah mobil sedan berwarna hitam mengkilap dengan logo 4 lingkaran yang berjajar menyambung. Kaca mobil terbuka dan terlihat seorang pria paruh baya dengan setelan jas nya yang rapi.
"Dengan kak Agatha, benar?" ucapnya dari dalam mobil.
"Iya pak, benar. Ada apa ya?" tanyaku penuh ketidaktahuan.
"Silahkan masuk, saya di minta untuk menjemput Anda," jawabnya.
"Saya?" tanyaku kembali dengan penuh waspada.
"Iya, saya diminta Mas Andra untuk menjemput Anda."
Mendengar namanya cukup untuk melegakan diriku yang sudah siap berlari. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil, duduk disamping pak kusir, eh, samping pak supir. Aku menutup pintu mobil, tangan pak supir memegang perseneling, menginjak gas dan kami menuju rumah Narendra.
Sebuah rumah berada di pojok kota, dengan gerbang tinggi besar sebagai pintu terluar rumahnya, butuh puluhan meter hanya untuk sampai depan pintu rumahnya. Di depan rumah, sudah berdiri sosok pria yang ku kenal, Narendra.
Aku membuka pintu dan keluar dari mobil, senyuman Narendra menyapaku terlebih dahulu, lalu mengajakku masuk ke dalam rumahnya yang besar, melewati ruang tamu yang kurasa besarnya sama dengan rumahku, kepalaku memutar 180 derajat, mataku menatap detail setiap inci rumah hingga ... bruk!!!!
Aku menabrak tubuh Narendra yang berhenti tepat di depanku, kami sampai diruang keluarga Narendra, seorang pria yang duduk di sofa besar nan empuk mengalihkan pandangannya ke belakang, ke arah kami. Aku tahu siapa dia, tentunya Ayah Narendra, bukan soal itu, dia rektor kampus kami.
Dengan dingin Ayah Narendra menyuruh kami duduk hanya dengan gerakan kepala saja, aku yang untungnya masih tahu tata krama hanya bisa mengikuti Narendra. Sekian menit telinga kuhanya mendengar suara televisi yang beliau tonton, hinga ...
"Pa," panggil Andra.
"Hmm."
"Ini Agatha temanku, teman dekat dia juga yang kemarin Papa bilang ke aku," ucap Andra.
Hening.
Ayah Narendra mematikan televisi, lalu berdiri. "Kalian ikut Papa," ajak Ayah Andra pada kami.
Tanpa basa-basi kami mengikuti Ayah Narendra yang juga rektor kampusku. Masuk lebih dalam di rumah Narendra, kami naik menuju lantai 4 rumah ini, langkah kami sampai di lantai 4 dengan lift yang tersediam, langkahku masih mengikuti mereka, Ayah Narendra membuka pintu di sebelah kiri tepat sebelum pintu balkon.
Aku dan Narendra berdiri bersebelahan sembari Ayah Narendra membuka beberapa berkas yang tersusun rapi di lemari ruangan. Sebuah amplop cokelat beliau letakkan di meja depan kami, aku masih dalam rasa penasaran, bukan berapa isi uang yang ada dalam amplop cokelat, tapi apa saja bukti yang Ayah Narendra punya untuk tuduhan pada Dika teman masa kecilku.
Tali pengait amplop perlahan beliau lepas, beberapa kertas juga sudah tampak terlihat, dan satu buah VCD juga ada didalamnya. Ayah Narendra menyodorkan lembaran kertas itu, aku membaca dengan seksama dan dalam tempo yang pelan, aku takut ada beberapa hal penting yang kulewatkan. Sebuah sobekan dari berita harian kota juga ada di berkas ini.
DUGAAN SEMENTARA MASIH MURNI BUNUH DIRI ....
... APA PENYEBABNYA?
UNIVERSITAS SWASTA ....
KASUS PERTAMA ....
PIHAK KELUARGA INGIN BUKTI YANG VALID.
Ayah Narendra memutar VCD tersebut di dalam komputernya, dan memintaku untuk duduk di kursinya dan menyaksikannya sendiri. Di dalam video tersebut ada seorang pria yang tak asing bagiku, seseorang yang hampir setiap hari ada dalam tangkapan pandangan mataku, salah satu karyawan kampus.
Ia melihat dan mendengarkannya secara detail apa saja yang ia katakan, aku merasakan ada ketakutan di setiap kata yang ia lontarkan, getar rasa gemetarnya terasa hingga nadi-nadiku. Kesaksiannya memang perlu di dengarkan, apalagi menyangkut nyawa seseorang yang sudah tak bisa kembali.
Beberapa inti isi dari VCD tersebut memang memberi tahu jika Frischa Amber bukan atau tidak melakukan tindakan bunuh diri melainkan dibunuh dengan cara didorong dari atap sekolah, dikuatkan dengan beberapa hal, seperti tempat atau atap sekolah memang tidak bisa dimasuki oleh mahasiswa, yang diperbolehkan naik pun harus mempunyai izin dari staff atasan kampus yang harus ditandatangani secara langsung oleh rektor kampus, mengingat gedung kampus yang tinggi dan menelisik kebelakang ada kejadian yang sama juga, tak cukup di situ, bahkan alasan tidak masuk akalnya ada peraturan ketat hanya berdasarkan film semata.
Alasan sepele tersebut juga didasari alasan yang sama, yaitu banyak anak atau remaja yang ter-influence oleh sejumlah film yang digemari. Lalu adegan selanjutnya, membuatku membulatkan mata tidak percaya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top