10 | Musim Semi di Pembukaan Festival

Senin, 29 Oktober.

Mama menyapu rumah sebelum jam enam pagi.

Segiat apa pun sosok mama di mataku, kegiatannya saat ini harus kuakui cukup janggal. Apalagi mama melakukannya sebelum aku berangkat ke sekolah. Anomali sebesar dan sejelas ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

"Mau ada tamu, ya, Ma?"

Pertanyaanku membuat mama menghentikan gerakan menyapunya, lalu mendongak dan menatapku. Lumayan lama. Hampir lima detik tanpa suara. Setelah itu mama kembali menyapu dengan santai.

"Nenek mau ke sini."

Antusiasmeku anjlok seketika. Bukannya senang, mood-ku langsung jelek.

"Oh."

Aku tidak pernah menyukai nenekku.

Dia cuek, ketus, dan hobinya adalah menatapku dengan aneh seolah-olah aku ini cikal bakal kecoak yang akan menguasai dapur dan mengubah tatanan dunia. Setiap ucapannya juga tajam. Tidak jauh dari kata menuduh, tidak ada bedanya dengan sindiran.

Semua itu adalah efek dari masalah yang belum usai di masa lalu. Aku tidak ingin membicarakannya sekarang. Jadi nanti-nanti saja.

Mari kita lupakan soal nenek dan fokus saja pada festival.

Omong-omong, dulu saat baru pindah rumah, aku diajak nakal oleh Kelvin untuk diam-diam pergi ke pasar malam. Lokasinya tidak jauh. Hanya di depan perumahan. Aku ingat ada Mbak Lila juga kala itu. Jadi sebenarnya kami tidak nakal-nakal amat.

Ketika tiba di lokasi, aku norak senorak-noraknya. Ada begitu banyak jajanan, wahana kecil-kecilan yang tak seberapa, lampu warna-warni berkelap-kelip, dan keceriaan di mana-mana. Kalau tidak digandeng Mbak Lila atau tidak ditarik Kelvin, aku pasti sudah kelayapan sampai hilang.

Sejak saat itulah aku menyukai acara-acara ramai dan heboh di tempat terbuka, termasuk festival sekolah yang satu ini.

Karena semalam kaki Kelvin keram setelah main futsal, hari ini kami naik motor Om Bima untuk ke sekolah. Demi mencegah adanya drama kaki keram di tengah jalan.

Aku pribadi lebih suka dibonceng naik sepeda. Soalnya tidak begitu mencolok dibandingkan para pengendara motor. Kalau naik motor begini, yang ada kami jadi pusat perhatian, apalagi Kelvin tidak memakai helm. Hal ini bukan hanya berbahaya di jalanan, melainkan juga berbahaya untuk dipandang.

Rambutnya, eh, saat tertiup angin itu, lho.

"Kalau habis ini ada kabar aku dilabrak orang, jangan kaget, ya."

"Hah?" Kelvin menarik kunci motor setelah nyaman dengan tempat parkirnya. Seperti yang kuduga, poninya jadi jabrik. "Emangnya siapa yang mau labrak? Masih ada orang-orang kayak gitu?"

"Mungkin aja."

Tidak ada yang tahu betapa beringasnya penggemar Kelvin kalau melihat dia membonceng anak cewek di saat ganteng-gantengnya.

Iya.

Aku tidak salah bicara, kok.

Kalau aku salah bicara, aku pasti sudah bergegas balik kanan, meninggalkan parkiran motor, dan menjerit-jerit di dalam hati akibat salah tingkah. Bukannya malah menatap Kelvin lurus-lurus seperti ini—apalagi memperhatikan gelagatnya merapikan rambut dan poni.

Bahkan saat Kelvin melirik, aku tetap diam di tempat.

"Segitunya, Ra," katanya sambil mengenakan topi. "Awas nanti suka."

Barulah pada saat itu aku mencebik, balik kanan, dan mengabaikan gelak tawa Kelvin di atas motor.

Aku tidak berani misuh-misuh atau mengumpat, karena khawatir ucapannya akan menjadi nyata.

Yah, kalaupun memang menjadi nyata, semoga jangan sekarang. Masih ada banyak masalah pribadi yang harus kuselesaikan sebelum memulai babak asmara.

Lebih baik kalau aku sibuk seperti para pengurus OSIS hari ini, yang sedang bolak-balik dengan kaus seragam panitia mereka.

"Aku baru sadar," aku mendongak, menatap Kelvin, "kamu enggak ikut OSIS?"

Kelvin menarik pundakku—karena aku nyaris menabrak orang—lalu mengarahkan kepalaku untuk tetap lurus ke depan. Seolah-olah mengatakan, Jalannya lihat ke depan. Hari ini lagi banyak orang.

"Aku enggak tertarik ikut OSIS."

"Wow."

"Kenapa?"

"Justru aku yang tanya. Kenapa? Bukannya kamu suka kegiatan organisasi?"

"Yah, suka, sih ...." Kudengar jawabannya agak mengawang-awang. "Tapi enggak dulu, deh. Kasihan tetanggaku enggak ada teman nebeng buat pulang."

Untuk sekali itu, aku berhenti melangkah. Tak peduli dengan arah jalan orang-orang yang terhalang, atau Kelvin yang juga mendadak berhenti. Entah karena bingung, atau karena baru menyadari kesalahan dalam ucapannya.

Kalau dia bilang begitu, kesannya seakan-akan dia tidak bergabung ke OSIS karena aku.

Lalu entah kenapa kedengarannya menyebalkan.

"Serius, Pin."

Kelvin diam menatapku, terlalu lekat untuk disebut sekadar menatap biasa. Dia tidak bicara, mengangguk, atau bergerak. Matanya terus menatapku, tetapi aku tahu pikirannya melalang buana. Bisa jadi sedang mencari jawaban terbaik, atau mungkin sedang mencari tahu ada apa denganku hari ini karena sepertinya aku sensitif sekali.

Kemudian senyumnya terbit. Tidak lebar, tidak cerah, tetapi lembut bukan main sampai-sampai matanya ikut tersenyum.

"Enggak," akhirnya dia menjawab. "Aku ikut bimbel, masih ada futsal juga. Mbak Lila udah balik ke kosan, jadi aku harus jaga Ibu. Makanya enggak ada waktu buat OSIS."

Oh. Aku mengangguk-angguk. Puas. Kalaupun dia menjawab begitu karena tahu kalau aku tidak ingin dijadikan alasan, setidaknya semua ucapannya masuk akal. 

Sejenak kutatap sepatu, lalu kutatap Kelvin lagi. Masih tersenyum, kali ini dia memasukkan masing-masing tangannya ke saku celana dan mengedikkan kepala ke lapangan yang ramai.

"Yuk?"

Yah, tidak baik membuatnya merasa serba salah terus. Pagi ini aku yang terlalu sensitif karena kabar soal nenek.

Jadi kutarik napas panjang, tersenyum selebar yang kubisa, lalu menyusul langkahnya.

Berdasarkan poster yang disebar di berbagai macam akun medsos OSIS, kegiatan di hari pertama FLN bersifat umum, kecuali untuk upacara pembukaan. Setelah pembukaan, ada penampilan drama musikal dari ekskul teater di lapangan. Setelah itu barulah seminar dan workshopyang dibuka slot tiketnya untuk umum—resmi dibuka.

Bisa dibilang, hari pertama Festival Literasi Nusantara bertujuan untuk pamer serta promosi sekolah.

"Jangan hilang, ya, Ra."

"Eits." Aku melotot, menusuk pinggang Kelvin dengan siku. Mengungkit masa lalu yang jelek-jelek tidak pernah menyenangkan. "Kandang sendiri, nih, bos. Enggak bakal hilang."

Cengiran Kelvin melebar. Tangannya yang masih di saku sesekali keluar untuk menarik bahuku tiap kali gerombolan manusia lewat. Padahal belum ada pengunjung umum, tetapi lapangan ramai bukan main.

Upacara pembukaan nyatanya bukan benar-benar upacara. Ada panggung hasil perjuangan dekorasi anak OSIS di dekat tiang bendera. Panggung itu sudah diisi dengan meja tamu dan dua sofa tunggal yang kuyakini sebagai tempat duduk bintang tamu dan moderatornya nanti.

Karena panggung sudah didekorasi sedemikian rupa, alhasil kami diminta untuk duduk mengitari lapangan dengan batas yang sudah ditentukan, sementara pembawa acara berdiri tengah lapangan, menjadi pusat perhatian.

Anehnya, aku tak kunjung menemukan orang-orang yang kukenal. Jadi Kelvin terus menemaniku bahkan saat Ipang dan Abang datang. Memang tiga semprul, mereka ini.

"Mamih udah sarapan?" Ipang bertanya, menyodorkan plastik berisi gorengan yang dia beli. "Aku beli gorengan di Mbak Uduk depan, nih. Enak, tapi awas panas. Soalnya baru diangkat."

Karena rezeki tidak boleh ditolak, kuambil satu tempe goreng darinya.

Yang lucu adalah Kelvin rajin memastikan bahwa aku tidak merasa terasingkan. Caranya cukup beragam. Mulai dari menawarkan jajanan lain (masih punya Ipang), menyahuti ucapan pembawa acara ataupun kepala sekolah dengan kurang ajar, juga menepuk-nepuk lututku dengan topi putihnya (yang kemudian kuambil, kumainkan, hampir kurusak, lalu direbut kembali oleh yang punya sambil misuh-misuh).

Dine akhirnya datang di pertengahan upacara pembukaan.

Matanya menatap tajam spasi sempit antara aku dan Kelvin yang duduk bersebelahan. Tak lama kemudian, dia duduk di sebelah kananku yang kosong. Jelas sekali mengurungkan diri untuk duduk menyempil guna menjauhkan aku dari Kelvin, atau mungkin sebaliknya.

"Aku bawa jajanan! Hohoho!"

Sumpah, tidak berdosa sekali wajahnya.

Walaupun kutatap sinis tujuh detik, dia malah meletakkan seplastik jajanan dengan tenang, kemudian mulai menawarkan segala macam jajanan satu per satu.

Selama beberapa detik ke depan, yang kami lakukan adalah mengunyah sambil menonton prosesi pembukaan secara simbolis dengan pita dan ledakan konfeti.

"Galang kayak kucing ngelendot¹," kata Dine tiba-tiba. "Gara-gara pacar barunya mau main drama."

Tatapanku belum lepas dari pembawa acara yang sedang mengotak-atik pengeras suara di depan sana. Galang menggila karena pacar barunya itu bukan hal yang baru. Guru-guru pun tahu rumor kelakuan jahanamnya yang satu itu.

"Baru lagi? Udah enggak sama adik kelas yang kemarin itu?"

Gelengan kuat Dine sukses menarik perhatianku. "Udah enggak. Dan sekarang dia serius, bukan kontrak-kontrakan atau mainan lagi."

Wow.

Oke, sekarang aku tertarik.

"Terus?" Aku merapat ke Dine, mendadak kepo, bersiap julid kalau-kalau tidak sesuai ekspektasi. "Siapa orangnya? Siapa? Ayo spill."

Dine melirik ke sekitar, mendekat, lalu dengan hati-hati berbisik, "Putri."

"...."

"...."

"... Bohong."

"Sumpah."

Satu tanganku buru-buru menutup mulut yang terbuka lebar. Aku tertarik untuk langsung percaya, tetapi aku butuh bukti konkret.

"Mustahil, Din." Aku mengelak. "Masa tiba-tiba?"

Tawa jahat Dine meletus. Agak kurang ajar dia mencengkeram pipiku dengan satu tangan, memutarnya ke arah sisi lain gerombolan murid. "Tuh. Yang lagi berdiri di sebelah pot. Berduaan."

Kupicingkan mata dengan ekstrem, kemudian melotot lagi untuk yang kedua kalinya. Benar apa kata Dine, mereka di sana.

Galang dan Putri.

Berdua.

Yang satu berjaket kotak-kotak kasual, yang satu lagi berkostum drama.

Putri sudah rapi dengan kostumnya, berdiri memunggungi Galang sementara cowok itu memegangi bahu Putri dan menggoyangkannya ke kanan, kiri, depan, belakang, bahkan berputar sesekali, mengikuti irama musik. Bersama-sama mereka menyanyikan Firework-nya Katy Perry yang disetel lewat pengeras suara. 

Tadinya kupikir Galang menculik Putri dari gengnya. Namun, begitu melihat ada warga klub teater yang berkostum juga di sekitar mereka, sepertinya Galang bermaksud untuk mengusir rasa gugup Putri.

Puas melihat kelucuan orang lain, aku dan Dine akhirnya kembali mencomot jajanan. "Udah lama? Kenapa aku baru tahu? Perasaan enggak ada angin-anginnya."

Dine berpikir dan aku curiga kenapa dia mau berpikir soal ini. Padahal dia ogah-ogahan berpikir saat belajar.

"Ada tahu," akhirnya dia menjawab. "Sejak jalan-jalan di kelas 10 kemarin. Yang ke vila di Puncak itu, lho. Kayaknya mulai dari situ, deh. Banyak juga, 'kan, yang mulai PDKT dari sana?"

Kalau dipikir-pikir, iya juga.

Waktu itu memang ada banyak hal yang terjadi. Bukan hanya padaku, melainkan juga pada teman-teman yang lain.

Mari kita ambil Wahyu dan Raya sebagai contoh. Aku menyadari ada yang berubah di antara mereka berdua meskipun super samar dan nyaris tak terlihat. Raya memang terkesan biasa saja, tetapi aku tidak bisa menahan senyum miring ketika memergoki Wahyu terang-terangan menatap Raya.

Kenapa, ya, kisah cinta orang, tuh, lucu-lucu?

"Kalian enggak ke depan?" Abang tiba-tiba bertanya. Santai betul gayanya seolah-olah kami sudah akrab sejak lama.

Mungkin karena tahu aku kesulitan menjawab, Dine mengambil alih. "Mau, sih. Tapi enggak ada tempat yang adem," katanya. "Kalian enggak mau ke depan? Teresa juga ikut main drama juga, 'kan?"

"Emoh, ah. Enakan ke kelas," Ipang yang berada di sebelah kiri Kelvin menjawab, kemudian melet-melet lidah seolah salah bicara.

"Idih, durhaka."

"Biarin."

"Mantan ibu kelas kalian, lho, dia itu. Nanti dikutuk jadi sapi Idul Adha, nah, mampus."

"Hus. Enggak usah ribut. Ini ada panggilan buat ke kelas sebentar. Nanti turun lagi, kok, buat nonton." Kelvin akhirnya menengahi dengan melambai-lambaikan topi, kemudian menatapku yang duduk terjepit di antara Kelvin dan Dine. "Bawa topi, enggak?"

Aku menggeleng. Memang tidak berniat membawanya sejak awal.

Tanpa bertanya lagi Kelvin mengulurkan topi putihnya dan membenamkan benda itu ke kepalaku. Jantungku mendadak heboh dan Dine sungguhan heboh di sebelahku.

"Jangan hilang," katanya.

Aku bergumam, "Iya, iya." Tetapi sepertinya tidak terdengar jelas karena Kelvin langsung bangkit berdiri bersama Ipang dan Abang. Ragu-ragu aku membetulkan posisi topi yang kebesaran di kepala. Tiba-tiba saja hawa di sekitar terasa hangat.

Entah karena matahari atau wangi sampo Kelvin di dalam topi.

Catatan Jempol:

¹Ngelendot :
Bergelayut, gelayutan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top