08 | H-7 Menjelang Pembukaan Festival

Hari Senin berganti menjadi Selasa. Kalau dihitung-hitung, tinggal enam hari lagi menuju festival.

Aku berkonsultasi dengan Mona tentang bagaimana cara membuat komik, bagaimana cara membuat jalan ceritanya, dan bagaimana lainnya. Beruntunglah aku karena Mona anak yang suportif.

Bisa jadi di dalam hatinya ada sekelebat rasa ingin menang, tetapi kalaupun rasa itu memang ada, berarti Mona menyembunyikannya dengan sangat baik.

Mona tidak bisa berhenti tersenyum saat kutunjukkan gambar hasil renungan sesi BK hari Jumat lalu. Dia bilang suasana gambarku mirip buku cerita anak-anak luar negeri—tidak terpaku pada ukuran objek yang sebenarnya, mengandalkan imajinasi, dan komentar lain yang membuatku tersenyum malu karena gambar-yang-bermasalah-di-mata-Miss-Jeje ternyata terlihat bagus di mata orang.

Selain itu Mona juga bilang, "Kalau kamu bikin dialog atau narasi yang filosofis pakai tipe gambar begini, hasilnya pasti bakal lebih dramatis."

"Bikin komik pakai gaya begini boleh? Bukan harus kayak yang di etalase bagian komik di toko buku?"

"Lho? Emangnya siapa yang larang? Mau bentuk karakter manusianya kayak balon juga enggak apa-apa, lho."

Mona tidak sepenuhnya salah, sih. Sayangnya, aku payah soal menggambar orang-orangan. Hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati lebih menarik untuk digambar. Sampai aku kepikiran, Apa kubuat fabel aja, ya?

Lalu saat kupikir-pikir lagi, apa kaitannya hewan-hewanan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda?

•∆•

Pada hari Rabu—lima hari menuju festival—aku kabur ke rumah tetangga pada sore harinya untuk meminta bahan renungan.

Tujuan utamaku adalah kamar Mbak Lila. Nahas, senyum manis Tante Indri menahanku untuk duduk dengan tenang dan nyaman di sofa ruang tengah. Katanya, aku harus mencicipi biskuit cokelatnya nanti—yang sekarang masih dalam proses pembuatan.

Setelah sekian lama menjadi tetangganya, bukan hal yang mudah untuk menolak perintah menyenangkan begini.

Lagipula biskuit buatan Tante Indri itu terlalu enak untuk dilewatkan.

Jadi aku duduk di sofa yang satu lagi untuk menanti biskuit, lumayan berjarak dari Kelvin yang sibuk dengan laptop dan tugas presentasinya.

Di bawah; di atas karpet; tepat di dekat kakinya, ada Kahla yang sedang duduk memeluk bantal sofa sambil memegangi remote televisi. Plester di lutut kanannya menarik perhatianku. Lalu entah insting dari mana, kusempatkan diri untuk menyapa, walaupun ujung-ujungnya hanya dibalas dengan: anggukan samar, mengalihkan wajah, dan gerakan memeluk bantal sofa lebih kuat lagi.

Aku tidak begitu paham apa arti serangkaian gerakannya; entah malu atau memang tidak suka melihat wajahku. Yang jelas aku agak sakit hati.

Yah, mau bagaimana lagi, 'kan? Kalau aku tidak berusaha maju duluan, perkembangan hubungan kami bakal mentok di situ-situ saja.

"Pin."

"Hm?"

"Mbak Lila ke mana?"

"Lagi ke tukang fotokopi. Kenapa?" Kelvin mendongak dari layar laptop, menatapku barang sedetik, kemudian semakin mendongak ke arah Tante Indri yang masih bolak-balik di dapur. "Bu, jangan capek-capek, lah. Kasihan perutnya."

"Ih, si Mas lebay. Ibu udah pengalaman tiga kali, kamu tahu apa?"

"Kasihan perut ...," Aku termenung, berpikir, kemudian melotot dramatis. "Tante hamil?!"

Tante Indri cekikikan.

Aku tidak ikut cekikikan.

Aku justru terkesiap, bergegas menghampiri Tante Indri yang kembali mengurus adonan biskuit di dapur. Kemudian entah bagaimana tanganku sudah memeluk lengannya dan kepalaku bersandar gemas di sana. Euforia seketika mengguyur dari kepala sampai kaki saat kutatap perut Tante Indri yang tampak rata-rata saja. "Ih, sejak kapan, Tante?"

"Baru jalan dua bulan," jawab Tante Indri dengan senyum manis. "Belakangan ini Tante enggak enak badan. Pas hari Minggu kemarin diperiksa, eh, ternyata ngisi."

Oh.

Itu hari perlombaan dance Raya dan Mona.

Pantas saja waktu itu tiga bersaudara ini ditinggal sendirian sampai diajak makan siang di rumah tetangga! Ternyata ini alasannya.

"Era bantu bikin biskuitnya, deh."

"Eh, ngapain?" Tante Indri berkelit, bersusah payah mengusirku dari dapur. "Tunggu di depan aja, gih."

"Ih, mending Era di sini daripada nontonin Kelvin sibuk sendiri. Bentar, Era cuci tangan dulu."

Kuikat ulang rambutku tinggi-tinggi sebelum melesat ke wastafel, mencuci tangan dengan super serius, lalu kembali lagi ke samping Tante Indri yang sedang membulat-bulatkan adonan biskuit.

Dalam hitungan detik, aku sudah sibuk sendiri dengan Tante Indri di dapurnya.

Ketika Mbak Lila pulang dengan segepok kertas, aku sudah lupa dengan tujuan utamaku pergi ke rumah tetangga. Akhirnya Mbak Lila ikut bergabung, jumlah biskuit yang dibuat mendadak sangat banyak, dan pada akhirnya agenda sore itu adalah menumpang masak di dapur orang dan pulang dengan sebungkus makanan.

Mama memanggilku dari teras rumah sekitar pukul lima—waktunya memasak makan sore. Jadi aku izin undur diri dengan menggenggam sekantong biskuit cokelat, kemudian berderap ke rumah sambil melapor, "Ma, Tante Indri hamil, lho!"

"Oh, Mama udah tahu." Kemudian gelak tawa Mama meledak saat aku memberikan tatapan terluka karena ketinggalan berita.

Di penghujung hari Rabu itu, akhirnya tidak ada kemajuan soal rancangan komikku. Aku tidur tanpa rasa gelisah dan bangun dengan kesadaran pahit bahwa kunjunganku ke rumah tetangga hampir sia-sia (hampir karena sekarang setidaknya aku tahu cara membuat biskuit).

•∆•

Hari pun berganti ke Kamis. Sekarang tersisa empat hari sebelum festival.

Jam pelajaran kedua seharusnya PKn, tetapi Pak Hamzah berhalangan hadir dan kami berakhir dititipkan sehalaman tugas yang harus selesai sebelum jam istirahat pertama. Tugas PKn itu mudah, memang bentuk narasinya saja yang panjang-panjang dan mengakibatkan suntuk. Namun, kalau dikerjakan sepenuh hati, kujamin tanpa sadar kalian sudah menuliskan jawaban untuk soal terakhir.

Sepanjang pengerjaan tugas, Dine hampir tidak berhenti mencolek lengan seragam kotak-kotak merah yang kukenakan. Pandangannya menerawang, hampir-hampir melamun. Sepertinya dia punya masalah yang gatal hendak dia ceritakan.

Awalnya kuabaikan, tetapi makin lama colekannya makin menjengkelkan.

"Ck." Habis sudah kesabaranku. "Kenapa, sih, Din?"

"Aku merana," keluhnya. "Kayaknya Uji enggak percaya kalau aku bisa jadi anak kalem."

"Aku pun enggak bakal percaya kalau posisiku belum kenal kamu."

"Ih, Era, mah."

Kedua bahuku terangkat serempak. Maaf-maaf aja, Din. "Emangnya dia kenapa? Jarang-jarang ada orang yang bisa bikin kamu merana begini."

"Jadi ceritanya dari kemarin aku tanya puisinya tentang apa biar aku bisa siap-siap, tapi dia terus-terusan menjauh kayak enggak mau diganggu. Padahal, 'kan, aku cuma mau tahu biar ada gambaran." Dine cemberut sedih. Kepalanya terkulai di atas meja, tak peduli poninya yang mulai panjang meluruh ke mata. Padahal rasanya pasti menjengkelkan sekali kalau ujung poni menusuk-nusuk mata.

Pelan-pelan aku merogoh bagian ransel paling depan. Semoga sisa jepit rambut simpananku masih ada.

"Terus, kalau kamu udah ada gambaran, kamu mau apa?" tanyaku.

"Hm ...," Dine memejamkan mata saat kuraup poninya untuk dijepit, "buat latihan?"

"Latihan gimana? Naskahnya, 'kan, belum ada?"

"Iya, sih." Si cewek jangkung kembali merana. "Terus gimana, dong?"

Aku mendengkus. Sedikit-sedikit mulai paham sebenarnya apa mau Dine.

"Gini, ya, Din. Walaupun kamu merasa sakit hati karena dianggap enggak bisa jadi anak kalem, kamu juga harus paham kalau Fauzi juga merasa enggak enak karena belum ada puisi yang pas buat dibaca sama kamu. Percaya, deh, anak kalem Kayam Fauzi itu biasanya tipe pengamat. Kalian berdua, tuh, kayak kanan dan kiri—bertolak belakang. Terus juga, 'kan, kalian jarang ada komunikasi? Wajar kalau dia lagi dalam proses mengamati karaktermu kayak gimana biar puisinya enak dibaca dan didengar. Nah, 'kan? Aku jadi ceramah. Udah, ah. Hus. PKn-ku belum kelar."

Sebagai respons, Dine mengangkat kepala, cemberut manja, kemudian memelukku dari samping sambil pura-pura menangis histeris. Suaranya mengalahkan bel istirahat pertama yang tiba-tiba berbunyi.

"MAMA ...!"

"ARGH, STOP! PKN-KU BELUM KELAR!"

•∆•

Jumat, 26 Oktober 2018. Tiga hari menjelang festival—aku menstruasi.

Padahal seharusnya aku menstruasi di tanggal belasan, sekarang malah molor ke akhir bulan.

Oke, bukan itu poin pentingnya.

Poin pentingnya adalah aku kabur dari Dine. Tujuanku ke perpustakaan. Tak lupa dengan harapan semoga aku mendapat hidayah terkait komik untuk festival.

Nyatanya, walaupun aku anak Bahasa, perpustakaan bukan destinasi langgananku di saat suntuk atau iseng. Kakiku memang sering mengarah ke sana, tetapi cukup sampai di depan pintunya saja. Masuk ke perpustakaan adalah tantangan untuk menjadi orang paling diam, tenang, dan cinta damai.

Seharusnya Dine yang ke sini, bukan aku.

Aku duduk pada salah satu kursi di meja terpojok sambil membawa sebuah buku tulis dan pensil mekanik (serta penghapus dan pulpen untuk cadangan di saku rok) dengan gerakan hati-hati. Bernapas pun aku hati-hati. Rasanya janggal kalau aku tiba-tiba bersin atau batuk di tengah heningnya perpustakaan.

Sepengalamanku di SMP, perpustakaan sekolah tidak pernah sesunyi ini. Biasanya akan terdengar obrolan dan ocehan yang—menurutku—masih bisa ditolerir.

Sekarang, di SMA, aku baru pertama kali mengalami perasaan serba salah ketika masuk ke perpustakaan. Ruangan ini terlalu ... sepi, hampir-hampir tidak ada suara sedikit pun andaikata tidak ada satu atau dua orang yang mengobrol pelan.

Namun, yah, mengobrol di perpustakaan itu riskan. Orang-orang bisa dengan mudah mendengar isi percakapan hanya bermodal buku-yang-pura-pura-dibaca. Makanya aku tidak merekomendasikan perpustakaan sebagai tempat diskusi masalah serius.

Oke. Kuhela napas pelan-pelan. Sekarang harus mulai dari mana?

"Era?"

Refleks kuhalangi buku dengan tangan, agak kalap menoleh ke asal suara, dan bertemulah mataku dengan sebuah jepit rambut berpita raksasa yang bergelantung manis di sisi kiri kepala. Wajah Olin kemudian menjadi hal kedua yang kulihat. Dia menatapku heran, tetapi bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Oh, hai, Lin," sapaku balik. Agak kaku, tetapi bolehlah.

"Aku tahu kalau anak Bahasa suka ke perpustakaan, tapi ini pertama kalinya aku lihat kamu." Tatapan Olin turun ke kursi di seberangku. "Kosong?"

Aku mengangguk. Nyaman tak nyaman membiarkannya duduk di depanku. Tanpa sengaja mataku menangkap sebuah buku tebal yang dia bawa kemari. Kalau kulihat dari sampul, sepertinya itu novel. Padahal aku sudah mengira kalau orang sejenis Olin—yang kelihatan sekali kemampuan akademisnya di atas rata-rata—tidak akan pernah menyentuh karya-karya fiksi.

"Aku ikut lomba bikin cerpen buat FLN." Padahal aku tidak tanya. "Aku ingat di buku ini ada satu adegan pendek yang cocok sama tema cerpennya, jadi mau kukutip buat jadi referensi ide dasar."

Oke, itu cukup mengejutkan.

"Kamu bikin cerpen? Kukira kamu enggak bakal sentuh lomba-lomba kayak gitu," kataku pelan-pelan, tetapi percayalah aku takjub sungguhan.

"Sebenarnya aku enggak ada minat sama sekali, sih, tapi teman sebangkuku di kelas suka banget menulis begini. Kami lumayan dekat, yah, mirip kamu sama temanmu yang tinggi itu. Jadi dia mau berusaha bikin aku kejebak di dunia fiksi. Katanya biar aku bisa lebih manusiawi." Olin terkekeh—dan sialnya dia jadi tambah cantik—kemudian tiba-tiba terdiam seolah ada tombol yang tak sengaja ditekan. "Eh, maaf, kayaknya barusan aku ... agak too much information."

Memang, tetapi aku senang-senang saja kalau dengan begitu dia jadi nyaman.

"Santai aja. Aku suka dengar orang ngomong, kok," kataku, mulai tertular santainya Olin.

Olin menghela napas, entah bagaimana membuatku bertanya-tanya apakah yang barusan adalah sisi lainnya yang selalu dia sembunyikan demi kenyamanan orang lain. Kalau benar begitu rasanya pasti tidak enak. Ya, 'kan?

Gawat.

Lama-lama aku jadi bersimpati padanya.

Atau ini efek menstruasi?

"Kalau kamu sendiri?"

Aku mengerjap. "Ya?"

"Kamu sendiri ngapain di perpustakaan?" tanya Olin pelan-pelan. Mata sipitnya berbinar penasaran. "Aku enggak lihat kamu pegang buku bacaan, jadi kupikir kamu punya urusan lain di sini, di luar materi literasi. Eh, atau jangan-jangan kamu lagi me time dan aku ganggu?"

Aku menggeleng kuat-kuat. Bergegas kucegat perasaan bersalah Olin muncul lagi ke permukaan.

Lalu sambil berdoa semoga tidak salah bicara, kumulai sesi penjelasan tentang apa dan bagaimana dan mengapa ujung-ujungnya aku bisa di perpustakaan sendirian. Olin menyimak, sesekali menyela kecil untuk bertanya atau memastikan sesuatu, kemudian lanjut menyimak lagi.

Di ujung penuturan, kedua bahuku seolah berubah menjadi agar-agar. Lemas bukan main. Rasanya bahkan mendadak ringan dibandingkan sebelum ada Olin tadi.

Jadi begini, ya, rasanya didengar orang lain?

"Aku mungkin bukan profesional di bidang komik atau literasi, tapi aku ada satu rekomendasi buku non-fiksi terjemahan yang cocok sama tema komik dan—secara ajaib—cocok sama gaya gambarmu." Senyum Olin merekah ketika aku terang-terangan menunjukkan wajah tertarik. "Mau coba cari sekarang?"

Hari itu, untuk pertama kalinya sejak SMP, aku dan Olin kembali berjalan bersisian, menyusuri setiap sudut perpustakaan dan mampir dari satu rak ke rak lainnya.

•∆•

Sabtu pagi, kram perut menstruasi mencegahku untuk bangkit dari ranjang.

Aku melaporkan kondisi pada mama, kalau-kalau nanti aku mendadak emosional saat dipanggil dan didesak dalam kondisi rumit begini. Beruntung aku masih bisa menggapai buku coret-coretan dan pulpen di kolong ranjang (bekas semalam aku menggambar sebelum tidur). Jadi kupikir Sabtu pagiku tidak jelek-jelek amat.

Sebagai pelampiasan rasa sakit, aku menggambar kucing, rubah, pohon, gubuk tua, apa pun itu di atas kertas. Ponsel kuletakkan jauh-jauh agar tidak menjadi korban dari ketidakstabilan emosiku hari ini.

Dine bahkan repot-repot membuat pembaruan status WhatsApp bertuliskan: SIAGA 2: ERA KRAM PERUT MENSTRUASI! KALAU BUTUH CHAT DIA TOLONG DIJAGA KETIKANNYA. LOVE, DINE. ❤️

Memang agak lain, tetapi sedikit-banyak aku berterima kasih.

Menempel di ranjang bersama bantal dan guling sepanjang pagi ternyata menimbulkan sedikit masalah: kantuk terus datang berulang kali. Walaupun sudah berusaha kuusir dengan melotot atau bangun mendadak, sensasi kram suka tiba-tiba datang dan aku berakhir merebah lagi.

Lelah memaksakan diri untuk tetap terjaga, aku mengerjap-ngerjap nestapa sambil menggenggam pulpen. Rasa kantuk datang lagi; lebih kuat, lebih memancing. Posisi nyaman juga menjadi faktor kenapa kepalaku terasa lebih berat dan kram di perutku perlahan sirna.

Tahu-tahu pulpenku lepas dari genggaman dan aku sudah di antah berantah.

Sendirian. Gelap. Bahkan ditemani suara sedikit pun tidak.

Rasanya cukup lama aku diam di sana, tetapi juga terasa sebentar. Saat aku menoleh ke sembarang arah, tiba-tiba tempatnya berubah. Kali ini terlihat seperti ruang tamu yang diisi oleh banyak orang.

Aku menoleh ke sembarang arah lagi. Sekarang ruang tamunya berubah menjadi bagian dalam mobil. Orang-orang tadi sudah lenyap. Hanya ada sopir yang menyetir mobil dan tangan besar yang seolah menahanku agar tidak jatuh duduk merosot dari jok tengah.

Aku menoleh, hendak melihat wajah orang yang memegangiku, tetapi tiba-tiba tempatnya berubah lagi.

Tidak ada ruang tamu, tidak ada mobil; yang kulihat hanya landasan kasar berwarna abu atau hitam. Jalanan. Kemudian aku melihat merah, merah, merah, lalu rasanya kepalaku sakit, tanganku sakit, kakiku sakit, dan entah kenapa rasanya aku mau marah, menangis, dan—

"Ra."

Aku terbangun, bernapas pendek-pendek ketika bertemu pandang dengan Kelvin.

... Kenapa ada Kelvin di kamarku?

Duduk di lantai pula?

"Tadinya aku cuma mau kasih titipan benang dari Mbak Lila, sekalian ada kue lagi dari Ibu. Tapi Tante Nora bilang buat kasih langsung kuenya ke kamu, biar mood-mu enakan." Kelvin menjawab pelan-pelan, membuatku mau tak mau mengamati wajahnya pelan-pelan juga. "Lagi datang bulan, ya?"

Aku berkedip cepat. Baru sadar kalau mataku basah.

"... Mimpi buruk?"

Aku berkedip lagi. Kali ini mencoba untuk membuka mulut.

"Sakit?"

Anehnya, belum ada sepuluh detik berselang, aku langsung menyesal telah membuka mulut. Karena yang keluar bukan sekadar iya atau tidak, melainkan rengekan setengah menangis saat kubilang, "Sakit."

Catatan Jempol:

/buru-buru tambahin tagar #angst/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top