07 | Para Delegasi Perang Antar Kelas

Dine membuat grup "SEBAD (Sebelas Bahasa Dua)"

Anda ditambahkan

Galang🐊
😱😱😱😱😱

Akbar
Astaghfirullah...

Wahyu Bau
Itu nama grupnya apa enggak bisa lebih memancing fitnah lagi?

Dine
BUKAN SEBAD YANG ITU, YA, SAHABAT
BEDA
TOBAT, TOBAT
HEUH, TANDA-TANDA AKHIR TAHUN
Maaf maaf aja, nih, kalian yang enggak beres 🙏

Galang🐊
Aku masih polos, Kak 🥺
Enggak ngerti apa-apa 🥺👉👈

Dine
Halah 👎

Raya
Lho? Kok, bikin grup lagi?
Yang udah ada kenapa?
Orang-orangnya, 'kan, masih sama?

Dine
Enggak tahu si Wahyu

Wahyu Bau
Bu Isma enggak ada kabar, biar aman mending bikin baru dulu aja
@Dine kontak Miss Jeje

Dine
Daku enggak simpan nomornya :(

Galang🐊
Padahal tinggal kick aja nomornya Bu Isma di grup lama

Dine
^calon penghuni surga^

Raya
Nih, Din, aku ada kontak Miss Jeje

Dine
Raya aja, deh
Kuangkat status kedudukan Raya menjadi admin grup ini🧎

Wahyu Bau
Ya emang seharusnya ...

Raya menambahkan +62 800 **** ****

Dine
WELCOME, MISS~! 🤩🙌💖🥳🤗🎉

+62 800 **** ****
Hello, my children. Akhirnya saya bisa lihat foto profil kalian yang alay-alay ini 🥰
Oh, wow
Ini nama angkatan kalian? Berani juga

Wahyu Bau
Eh
Bukan, Miss
@Dine ganti, ganti

Dine
Maaf, Miss. Wahyu enggak kreatif soalnya 😞🙏

Wahyu Bau
Jelas-jelas kau yang bikin

Dine
Aduh, lagi enggak ada ide, Miss :(

+62 800 **** ****
Ya udah, tapi kalau bisa diganti, ya
Sekalian buat nama angkatan kalian aja

Wahyu Bau
Oke, Miss

Dine
Aye, aye, Miss!

+62 800 **** ****
By the way, gimana buat persiapan festival?
Udah pada lihat posternya, belum?
Hari Senin kita diskusi, ya. Satu orang cuma boleh ikut satu mata lomba, biar yang ikutan dari kelas kita lumayan merata.

•∆•

Miss Jeje benar-benar membuka sesi diskusi di hari Senin.

Memang benar masih ada lima belas menit sebelum jam istirahat pertama, tetapi percayalah, beliau memulai diskusi ketika anak muridnya tengah mengerjakan soal-soal latihan buku Bahasa Inggris.

Soal latihanku sudah terisi tuntas. Dine pun sama. Jadi kami sibuk sendiri bermain tangan sambil mendengarkan penuturan Miss Jeje soal Festival Literasi Nusantara.

"Emang kapan, sih, festivalnya? Aku lupa."

"Hm ...," Dine menelengkan kepala; menatap dua jari di tangan kanan dan satu jari di tangan kirinya, "Senin depan."

Sejenak aku mengalihkan pandangan ke papan tulis, bagian sudut kiri atas; tempat di mana hari dan tanggal tertulis jelas bersama tahunnya. Sekarang tanggal 22 Oktober, tujuh hari lagi berarti tanggal 29.

Itu artinya festival dimulai tepat sehari setelah Hari Sumpah Pemuda itu sendiri.

"Kita ada upacara gitu, enggak?" tanyaku lagi.

"Katanya, sih, upacaranya diundur ke hari Senin, sekalian pembukaan FLN sama acara pertamanya. Tapi ada juga yang bilang pas di hari Minggunya." Dine menjawab, kemudian berlagak berpikir. "Apa, ya, acara pertamanya? Kalau enggak salah seminar gitu, deh. Aku dengar-dengar dari Akbar. Dia, 'kan, anak OSIS."

Aku cemberut. "Suntuk banget."

"Selama dapat jatah konsumsi, sih, aku pribadi enggak masalah. Toh, cuma duduk sambil dengar orang ngomong doang. Anggap aja lagi istirahat sekalian berleha-leha biar seragamnya enggak cuma dipakai sebentar," tutur Dine, dan kupikir dia ada benarnya. "Dah, hus, ayo lanjut. Sekarang kamu yang jalan."

Aku mendengkus. Kembali fokus ke jari-jari tangan di atas meja sambil menyimak ucapan Miss Jeje di tengah dengungan diskusi anak kelas.

"Hansa sama Jenny ikut lomba debat, sih! Fix no debat!"

Kudengar Hansamu berdecak lidah di meja paling belakang, paling pojok, sederet dengan pintu kelas. Sebelumnya dia sedang bersandar malas-malasan pada dinding di sebelahnya, tetapi begitu namanya disebut, sorot matanya langsung segar (atau lebih tepatnya: jengkel).

Setelah itu aku spontan melirik Jenny yang duduk di kursi paling depan, pojok, paling ujung dekat kusen pintu. Wajahnya juga jengkel, tetapi tidak seterang-terangan Hansamu.

Secara ajaib, mereka duduk sebaris. Kupikir awalnya itu ketidaksengajaan, tetapi setelah dipikir-pikir mungkin memang sengaja. Karena kalau Jenny duduk di paling depan dan Hansamu duduk di paling belakang—dengan catatan: mereka sebaris—maka secara otomatis mereka bakal jarang bertatap muka.

"Hm, boleh, boleh." Miss Jeje bertopang dagu, duduk miring ke arah barisan meja paling ujung pinggir sana. Jelas-jelas memberikan atensi penuh kepada Jenny dan Hansamu secara bergantian. "Kalian sendiri gimana? Mau?"

Sekali lagi kutatap mereka berdua bergantian. Ekspresi mereka jelas-jelas saling mengatakan: Najis. Amit-amit.

Untuk sesaat, seisi kelas menjadi agak hening karena tegang menanti reaksi duo genius itu. Beruntung sekali para badut kelas dengan segera mencairkan suasana dengan menyarankan nama-nama anak tukang lawak sebagai peserta lomba debat. Galang bahkan ikut-ikutan di belakang punggungku.

Miss Jeje tampaknya memahami situasi dengan cepat, jadi beliau langsung bilang begini:

"Kalau oke, bilang. Kalau enggak mau, bilang juga, ya."

Tanpa bertukar tatapan ataupun saling melirik, baik Jenny maupun Hansamu sama-sama menganggukkan kepala.

Tiba-tiba Dine mencolek punggung tangan kiriku yang mengepal di atas buku paket Bahasa Inggris. Aku spontan menoleh, tersadar bahwa kami masih bermain tangan.

Akhirnya mau tak mau kuangkat jari tengah, agak merapat dengan telunjuk. Kemudian, tanpa pikir panjang, kuadu kepalan tangan kanan dan kiriku pelan-pelan agar tidak ketahuan Miss Jeje. Sekarang masing-masing kepalan tanganku berisi satu jari telunjuk.

Iya, kami sedang bermain tambah-tambahan jari tangan.

Coba, deh. Ini lumayan seru.

"Masalahnya, yang otaknya encer di kelas ini cuma mereka. Yang bisa tenang sampai akhir walaupun diajak debat juga cuma mereka," kata Dine tiba-tiba. "Kalau sampai mereka enggak mau ikutan dan enggak ada yang mau jadi perwakilan, nanti kelas kita ...."

Tanpa suara, dia tarik garis horizontal imajiner di depan leher.

Artinya: kelas XI Bahasa 2 bisa terancam diremehkan akibat tidak mengirimkan perwakilan lomba debat.

Berdasarkan pengalaman tahun lalu, lomba-lomba di Festival Literasi Nusantara ternyata bukan hanya untuk sekadar meramaikan, melainkan juga untuk menaikkan "pamor" kelas. Ini aturan tak tertulis setiap tahunnya.

Aku pribadi tidak masalah, tetapi yang kena imbasnya bukan hanya satu orang, melainkan satu kelas atau bahkan bisa jadi seangkatan.

Agak nelangsa kulirik meja sebelah. Ada Raya dan Mona yang sedang sibuk berunding dengan wajah serius. Entah membahas apa. Suara mereka kecil sekali. Sulit mendengarnya.

Lalu, entah refleks dari mana, aku berbisik kepada Dine ketika melihat wajah Raya ternyata lumayan 'debat-able'.

"Kenapa enggak Raya aja?" Aku berbisik, pelan dan hati-hati.

Nahas, si empunya nama langsung menoleh ke arahku tanpa adegan celingukan. Dia melotot. Sorot matanya tampak luar biasa tajam di balik lensa kacamata. Bahkan tanpa variasi gerakan mengancam lainnya, Raya sudah membuatku ciut di tempat.

Alhasil kututup mulut rapat-rapat, tidak jadi mengutarakan pendapat lebih jauh. Permainan tambah-tambahan jari tangan bersama Dine tiba-tiba terasa lebih menarik.

"Siapa yang mau ikut lomba puisi?" Miss Jeje kembali mengambil kendali kelas di saat para tukang lawak hampir membuyarkan konsentrasi. "Kita butuh sepasang, ya. Yang satu bikin puisi, yang satu lagi baca puisinya."

"Fauzi aja, Miss! Puisinya keren-keren!"

Kalau kalian lupa, Fauzi ini teman semeja Wahyu yang dulu (aku sudah bilang di bab sebelumnya). Dia adalah kutu buku yang paling diam-diam menghanyutkan sejak kelas 10. Aku jarang bermain atau bertegur sapa dengannya. Karena selain tidak sefrekuensi, Fauzi cukup pendiam di kelas—dan aku juga akan diam kalau tidak ada yang ingin kubicarakan, jadi bisa dibilang hubungan pertemanan kami agak mustahil.

Namun, itu bukan berarti Fauzi tidak punya teman. Buktinya ada anak kelas sebelah yang sering mengajaknya ke luar kelas. Anak cewek, malah. Kuduga mereka bakal membicarakan buku-buku sepanjang hari, di mana pun mereka berada.

"Kamu mau jadi penulis atau pembacanya?" tanya beliau.

Si cowok berkacamata yang duduk tepat di belakang Jenny kini tersenyum tipis-tipis-manis. Matanya melengkung naik di balik lensa kacamata semi-lingkaran yang sewarna arang. "Penulisnya, Miss."

"Great confidence. I can't wait to hear your poem," kata Miss Jeje. "Siapa yang mau jadi pembaca puisinya? Yang mau coba angkat tangan—atau kamu boleh pilih sendiri, kok, Zi. Sesuaikan pembacanya sama karakter puisimu aja. Biar latihannya lebih gampang."

Belum sempat Fauzi membalas ataupun memilih, Dine mengangkat tangan tinggi-tinggi. Permainan tambah-tambahan jari tangan seketika berakhir (dan tolong jangan tanya kenapa cewek jangkung ini habis kepentok apa, karena aku sendiri tidak paham jalan pikirnya sekarang).

"Dine? Seriously?" Ujung bibir Miss Jeje tertarik, kentara betul sedang berusaha menahan tawa.

"Serius, Miss. Kapan lagi ada kesempatan buat baca puisi-puisi kerennya Uji?" Dine cemberut (bohongan) seiring tangannya turun ke atas meja. Entah binar-binar harapan atau bukan, yang jelas dia menatap Fauzi lurus-lurus sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Boleh, Ji? Aku emang kelihatan somplak di luar, tapi kalau baca puisi aku bisa pasang muka serius sesuai temanya, kok. Ya?"

Tepat di kursi belakang Jenny, Fauzi melontarkan senyum.

"Iya, boleh," katanya.

Apa-apaan ini? Kutatap Dine. Kutatap Fauzi. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.

Memang kesannya jadi tidak sopan, tetapi aku terlalu penasaran dengan udang di balik batu kejadian ini. Dine hendak menjadi relawan sebagai rekan anak pendiam di kelas adalah suatu anomali; sebuah peringatan. Kecuali ini hanya sisi ekstrovernya yang kebelet mengadopsi lebih banyak makhluk introver. Seperti insting mengayomi.

Galang tiba-tiba mencolek bahu kananku dari belakang. Saat aku menoleh, ternyata dia sudah condong mendekat. Nyaris saja kutepuk wajahnya keras-keras atas nama refleks.

"Teman semejamu kenapa? Kepalanya kepentok pintu?" bisiknya. "Kupikir gebetannya ada di kelas sebelah?"

Kupasang ekspresi coba-deh-kamu-lihat-apakah-mukaku-kayak-tahu-sesuatu-atau-enggak?

"Lomba cipta komik—siapa yang mau ikutan? Perwakilannya juga dua orang, ya." Suara riang nan ringan Miss Jeje menarikku kembali ke realita. Beliau barangkali merasa lega karena anak-anak kelasnya cukup aktif diajak berdiskusi begini. Bahkan belum ada dua detik beliau mengedarkan pandangan, tatapannya langsung berhenti di Mona yang mengangkat tangannya dengan semangat. "Oh, Mona mau? Cool! Siapa lagi yang mau?"

"Era, Miss!"

Aku ternganga; menoleh dramatis ke arah Dine. 

Sungguh aku terluka bukan main karena dia menyebut namaku tanpa ragu atau kode sedikit pun. Hampir-hampir aku kelepasan mengumpat di tengah kelas. Sebagai pelampiasan, bergegas kupukul tangan Dine sampai terlontar jauh ke samping buku Bahasa Inggris.

"Ngawur! Enggak mau!"

Namun, tampaknya Dine sama sekali tidak tersinggung. Dia malah cengar-cengir, mengangkat tangannya super tinggi, seolah-olah agar perhatian Miss Jeje tetap terfokus ke arahnya.

"Gambar Era yang kemarin itu lucu, lho, Miss. Miss juga lihat sendiri, 'kan? Kayak gambar di buku dongeng anak-anak! Apa enggak sayang kalau kesempatannya lewat begitu aja?"

Aduh, Dine ini tidak tahu kalau gambarku—yang katanya lucu itu—nyatanya agak bermasalah di mata Miss Jeje.

Aku tidak akan heran kalau Miss Jeje mengizinkanku ikut lomba cipta komik setelah lembar laporan psikologis siswa dibagikan. Sungguh, aku pun penasaran dengan isinya—

"Oke. Era, ya."

Aku mendelik. "Ya?"

Dine bersorak. "Yes!"

Kali ini aku sungguhan mengumpat sambil menatap Dine dengan sinis. 

"Kita musuhan," kataku. Final.

•∆•

Walaupun kubilang kita musuhan, Dine terus mengajakku bicara seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku menyerah, tidak bisa geram lama-lama karena yang lebih penting sekarang adalah memikirkan komik strip seperti apa yang nanti harus kubuat. Dilihat dari temanya yang tertera di poster, sepertinya komik ini harus membawakan alur yang cukup serius.

... Malah sejak awal aku punya pola pikir kalau komik-komik untuk lomba begini sebaiknya berisi hal-hal serius.

Entahlah. Aku tidak paham dunia perkomikan. Tolong jangan hakimi aku.

Dari total lima belas menit waktu istirahat pertama, sudah kuhabiskan lima menit untuk berdiri di depan mading. Dine berdiri di sebelahku, menjadi korban untuk sesaat.

"Kamu tahu enggak, Er? Pelototin mading enggak bakal bikin ide langsung datang membanjir."

Kulempar lirikan sinis ke arah Dine yang sedang asyik menyedot Thai Tea. "Gara-gara siapa, ya, aku jadi harus pelototin mading begini?"

Dine cemberut manja. "Kapan lagi kamu bisa unjuk bakat, sayangku? Tahun kemarin kamu tipes dua pekan, cuma bisa duduk-duduk pas hari ketiga festival. Kalau tunggu momen kelas 12, pasti keburu mager. Nah, jadi kapan lagi kalau bukan sekarang? Ingat, Er, kita harus bersinar paling enggak sekali seumur hidup."

Kecuali Dine. Dia bersinar hampir setiap hari.

"Masih mau pelototin mading?"

Kutatap Dine, agak mendongak, kemudian tatapanku turun ke ponselnya yang menampilkan sebuah room chat. Tampaknya dia punya urusan dengan seseorang.

"Aku mau di sini dulu."

"Ya udah, aku duluan, ya. Uji minta aku ke perpustakaan," pamit Dine. "Bye, sayang. Jangan kangen."

"Najis."

Tak butuh waktu lama, sosok Dine langsung hilang melesat ke belokan tangga, meninggalkanku sendirian bersama para murid kelas dan jurusan lain yang berlalu-lalang.

Sebenarnya aku agak khawatir karena lantai dasar bukan wilayah yang biasa kupijak lama-lama, tetapi mau bagaimana lagi? Mading utama diletakkan di sini; di wilayah anak IPA—yang ternyata agak liar kelakuannya di jam istirahat.

Omong-omong, lomba cipta komik ini ....

Kira-kira sejauh mana aku bisa bertahan, ya? Memang ada Mona juga yang ikut serta, tetapi bagaimana kalau misalnya anak-anak kelas berekspektasi lebih? Menginginkan dua pemenang? Komik bagus layak baca? Miris, bahkan aku tidak tahu komik yang bagus itu yang seperti apa.

Kegiatanku di rumah saat berleha-leha itu merajut, masak, dan membuat kerajinan-kerajinan lucu ala DIY. Membaca buku termasuk, tetapi tidak sesering tiga itu. Aku baru akan membaca kalau memang ada yang mau kucari informasinya.

"Ra?"

Aku menoleh, agak terkejut, tetapi tidak heran melihat Kelvin berjalan bersisian dengan Ipang.

"Ngapain di sini?" Kelvin bertanya, membuka plastik berisi cireng di depan wajahku. Instingku bilang itu gerakan menawar, jadi aku tidak boleh kehilangan kesempatan. "Sendirian? Dine mana?"

Sambil memilih-milih satu dari dua cireng di dalam plastik, aku menjawab, "Dia udah ke kelas duluan. Aku lagi lihat-lihat mading ... Ini rasa apa?"

Kelvin ikut melongok saat kutunjuk cireng berbentuk bintang. "Kornet."

"Pedas?"

"Lumayan."

"Oke, aku ambil ini. Makasih."

Ipang mencondongkan tubuh tepat ke arah poster FLN. Wajahnya memang khas tukang lawak, tetapi yang kali ini terlihat agak serius.

"Mamih ikut lomba apa?"

Kutatap Ipang lurus-lurus. Tadinya aku mau bilang, Stop panggil aku 'Mamih', tetapi yang keluar dari mulutku malah: "Tahu dari mana aku ikut lomba?"

"Karena dari tadi fokus Mamih ke bagian sini," jawabnya sambil menekan bagian lomba-lomba di poster. "Pasti ikut lomba debat, ya? Ih, keren banget, deh, Mamih. Nanti pasti lawan Pap—"

Kelvin mendorong bahu Ipang agak keras, tanpa sedikit pun rasa ragu, sampai sobatnya itu terpental agak jauh.

Aku menatap Kelvin lurus-lurus, agak sangsi setelah mendengar ucapan Ipang. Sekali lagi aku terkejut, tetapi merasa tidak heran lagi. Sudah kubilang di awal-awal kemarin—Kelvin mulai berambisi dengan nilai-nilainya. "Kamu ikut debat?"

Pertanyaanku direspons dengan kedua bahu yang terangkat serempak. "Bareng Tere."

"Aku enggak tanya 'bareng siapa?'."

"Yah, info aja," katanya. "Anak kelasmu siapa aja yang ikutan?"

Dalam tiga gigitan besar, cireng bintang berisi kornet tandas menyisakan minyak. Betul kata Kelvin. Rasanya lumayan pedas. "Yah, orangnya yang begitu-begitu aja, sih. Jenny sama Hansamu kayaknya ikut debat, terus ... hei, mukanya biasa aja. Udah jelas aku bakal dukung mereka kalau jadi, bukan kamu. Kenapa? Iri? Makanya pindah kelas. Oh, by the way, aku sama Mona ikut lomba bikin komik—"

"Mamih bisa bikin komik?"

Sekali lagi, Kelvin mendorong bahu Ipang. "Terus siapa lagi?"

Sebelum menjawab, kusempatkan diri untuk menjulurkan lidah ke arah si kurus tinggi berambut brokoli. "Dine sama Fauzi ikut lomba puisi. Fauzi yang bikin, Dine yang baca," kataku lambat-lambat sambil melirik Ipang. "Dia yang unjuk diri buat ikutan. Keren banget, 'kan?"

Kali ini Ipang mengernyit. "Fauzi?"

Aku cengar-cengir melihat wajah berpikirnya. Dilihat bagaimanapun itu ekspresi curiga bercampur penasaran.

"Fauzi emang ganteng, sih. Dia pakai kacamata tipis, anaknya baik-baik, tapi kayaknya dia lebih suka sama buku daripada anak cewek—apalagi cewek petakilan," aku berceloteh. "Tenang, Pang. Gebetanmu aman."

Di detik itu juga tawa Kelvin meledak tanpa peringatan. Di sisi lain, Ipang cemberut hebat tanpa repot-repot menyembunyikan kesan salah tingkah.

Catatan Jempol:

Mau dikasih cireng isi kornet juga sama Kelvin :(👉👈

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top