06 | Pohon dan Rumah Tanpa Orang

Selain Bu Isma dan Pak Gun, ada masih banyak sosok guru unik yang ingin kuceritakan kepada kalian. 

Misalnya tentang selera humor Pak Egi di mapel Sejarah Indonesia, kewibawaan Pak Hamzah setiap PPKn, tongue twister bahasa Jerman ala Frau¹ Erin, Bu Neneng yang suka kelepasan berbahasa Sunda di jam matematika, dan guru unik lainnya.

Namun, untuk sekarang ini kalian harus mengenal satu orang saja. Beliau tidak segarang Bu Isma, tetapi jabatannya yang three in one cukup membuat seisi kelas ketar-ketir.

Pertama, beliau adalah guru bahasa Inggris. Walaupun kurikulum di sini menggunakan aksen Amerika, beliau sering iseng menggunakan aksen British di materi listening.

Kedua, beliau adalah satu dari tiga guru BK di SMA Nusantara, tentunya sebagai penanggung jawab jurusan Bahasa. Jangankan gosip di kelas, gosip anak-anak jurusan sebelah pun beliau bisa tahu. Kemampuan intel Wahyu tidak ada apa-apanya.

Ketiga, beliau adalah wali kelas XI Bahasa 2. Menolak dipanggil dengan embel-embel "bu" karena masih melajang, walaupun banyak omongan kalau usianya sudah memasuki kepala tiga.

Itulah sebabnya beliau dipanggil Miss Jeje.

Kesannya lebih muda daripada Bu Isma, ya? Padahal nyatanya beliau lebih senior 10 tahun.

Di SMA Nusantara—mungkin berlaku juga di SMP dan SMK-nya—ada satu jam mapel dalam sepekan yang digunakan untuk sesi BK. Biasanya diletakkan di akhir kelas, walaupun ada juga yang di tengah-tengah sebelum isoma. Sesi tersebut tertulis jelas di lembaran jadwal setiap kelas. Sehingga banyak yang salah mengira kalau itu adalah pelajaran berbuku paket.

Nah, di jurusan Bahasa sendiri jadwalnya begini: 

Hari Senin untuk kelas 11, hari Rabu untuk kelas 10, dan hari Jumat untuk kelas 12.

Kelas Kelvin—XI Bahasa 1—kedapatan jam pagi setelah upacara bendera, sedangkan tetangganya ini mendapatkan jam terakhir sebelum pulang.

Apa lagi, ya, penjelasan yang ketinggalan?

"Yang udah selesai gambar, boleh dibawa ke depan sini, ya."

Oh, iya. 

Sesi BK bisa dibilang hampir tidak ada bedanya dengan sesi terapi

Biasanya sesi BK diisi dengan kegiatan menggambar, mengisi kuesioner, diskusi dadakan (walaupun menyerempet ke gosip), sesi konseling mandiri (setiap anak akan dipanggil ke ruangan yang kosong untuk berbicara empat mata dengan beliau), dan bahkan bisa menjadi jamkos.

"Miss!" Galang mengangkat tangan di meja belakangku, manyun-manyun menjepit pensil di antara bibir dan hidung. "Ini enggak masuk ke penilaian, 'kan?"

"Kata siapa?" Dengan amat mudah Miss Jeje melempar balik pertanyaan itu. "Kalau kamu enggak bikin, nanti di lembar psikologismu Miss isi pakai huruf C semua. Mau?"

Lembar Psikologis berisi penilaian tes karakter peserta didik berdasarkan sesi konseling yang sudah dijalankan. Setahuku, lembaran ini diisi oleh para wali kelas berdasarkan data laporan dari guru BK.

Kebetulan, wali kelas XI Bahasa 2 adalah guru BK-nya.

Setelah diisi, nantinya Lembar Psikologis akan diselipkan, dan diberikan bersama dengan rapor semesteran. Tujuannya agar orang tua dan wali murid tahu bagaimana sikap dan karakter anaknya selama di sekolah.

Walaupun memang ... tidak semua orang tua peduli tentang isi lembaran itu, sih.

Yah, kalaupun mama tidak sempat membaca atau kelupaan, biasanya aku yang keasyikan sendiri membaca setiap keterangan tertulis di sana. Komentar yang ditulis Miss Jeje biasanya seru-seru. Hitung-hitung sebagai hiburan dan bahan introspeksi diri.

Biasanya aku justru mencari apa yang salah dariku selama di sekolah. Soalnya seru.

"Yang gambarnya jelek nanti Miss ajak room tour ke BK," ucap Miss Jeje tiba-tiba, secara otomatis membangkitkan jiwa-jiwa non-seni di dalam kelas. Sorak sana, sorak sini; keluh sana, keluh sini.

Di sebelahku, Dine mengepalkan kedua tangan di hadapan selembar kertas HVS yang sudah mulai terisi gambar. Ada kobaran api imajiner pada kedua bola matanya. 

"Kita harus bikin Miss Jeje terpukau!" tekadnya. "Ayo, Er, beri aku inspirasi. Kira-kira butuh apa lagi di sekitar sini?"

Kutelengkan kepala ke arah kertas Dine. Tergambar satu pohon besar di sana, tepat di tengah-tengah. Batangnya besar, daunnya tak kalah lebat, akar menjalar di bawah garis yang dia buat. Garis-garis panjang yang bergelantungan pada pohon mengundangku untuk berasumsi kalau itu pohon beringin. Namun, beberapa bentuk lingkaran-nyaris-penyok di antara dedaunan langsung membuatku ragu.

"Emangnya pohon beringin punya buah, ya?" Adalah pertanyaan pertama yang melintas di dalam kepalaku.

Dine ternganga. "Hah? Enggak tahu."

"Lah, itu?" Tanpa sadar aku melotot dan menuding si bentuk bundar abstrak. "Yang mbulet penyok ini apaan? Buah, 'kan?"

"Iya, tapi ini bukan pohon beringin," sanggah Dine. "Ini, tuh, pohon hasil perkawinan silang. Antara apel sama mangga. Gen bapaknya—si mangga—lebih dominan, makanya pohon ini jadi gede tinggi kayak aku. Terus yang katamu akar pohon beringin ini rambutnya ... Jangan nangis, Er. Aku lagi presentasi."

Spontan kubekap mulut yang nyaris tersenyum. "Dia cewek apa cowok?" tanyaku sedatar papan triplek.

"Cewek. Sini aku tulis—ce ... wek. Nah. Terus stickman ini yang punya pohonnya. Di sini temannya. Mereka lagi piknik di bawah pohon gara-gara rumahnya lagi enggak ada kipas."

Aku bertopang pipi—kalau ada istilahnya—dengan tangan kanan. "Namanya siapa?"

Dine menoleh. "Apanya?"

"Pohonnya."

"Apgo. Akronim dari Apple Mang—IH, MISS JEEE ...! MASA ERA NANGIS LIHAT GAMBAR SAYA ...!"

Kudorong Dine sepenuh hati; sejauh mungkin sampai dia nyaris meluncur dari kursi. Walaupun dia duduk di kursi pojok, jarak antara meja dengan tembok nyatanya cukup jauh, bahkan muat untuk dilalui. Kelas ini terlalu luas, bahkan setelah diisi oleh dua puluh remaja dan satu orang dewasa. Mungkin karena susunan mejanya yang dua-dua.

Miss Jeje melotot pura-pura garang dari meja guru. Penat dengan kelas yang ribut walaupun isinya hanya dua puluh anak—bahkan ada tiga orang yang absen hari ini.

"Heh, berisik," beliau menegur. "Sini kalian berdua. Bawa gambarnya ke depan, sekalian coba jelasin ke Miss."

Aku cemberut. Tawa Dine pupus.

Kulirik Dine. Gara-gara kamu!

Dine melirikku. Apa? Jangan salahin aku!

"Kok, langsung sepi? Ayo sini!"

Setengah enggan aku berdiri membawa kertas terlebih dahulu, dan memeluknya sampai tidak terlihat celah sedikit pun. Dine mengekor di belakangku. Sudah lumayan kalem karena jin pohon mangga apelnya sudah keluar.

"Jauh-jauh, Din. Emoh aku ketularan kamu."

"Kenapa, sih? Ini, tuh, masterpiece!" Ketika melewati meja Wahyu, cewek jangkung itu melirik ke sana dan berkata, "Tuh, lihat! Bahkan punya Wahyu kalah epik!"

Wahyu mengangkat wajah sambil memicingkan mata. Tidak lama. Dia langsung kembali fokus ke pekerjaannya. Mungkin dia lelah. Perlakuan kurang ajar Dine terhadap harga diri Wahyu memang agak mulai menjadi-jadi.

Lucunya, entah kenapa Wahyu tidak mencari tempat duduk yang lain—yang jauh dari tangan Dine. Padahal aku sudah menduga kalau di kelas 11 ini dia akan mengambil kursi barisan tengah, duduk di deret paling depan, dan berhadapan tepat dengan papan tulis.

Namun, di sinilah dia.

Masih di tempat yang sama, dengan teman duduk yang berbeda. Dulu teman semejanya Fauzi (kalian tidak mengenalnya), sekarang ada Akbar. 

Omong-omong, singkat cerita, begitu aku dan Dine tiba di hadapan Miss Jeje, wanita berusia kepala tiga yang barang bawaannya serba merah muda itu duduk manis berlipat tangan. Jelas-jelas menunggu aku atau Dine memulai sesi penjelasan lebih dulu.

"Ayo mulai. Siapa duluan?"

Aku refleks menunjuk Dine; Dine menunjukku. Saat kupelototi anak itu sampai dia cengengesan, akhirnya gambar Dine disetorkan lebih dulu.

Ketika Miss Jeje menerima sodoran kertas HVS Dine, kening malang beliau langsung berkerut-kerut.

Belum sempat beliau berkomentar, Dine lebih dulu menyela dengan, "Oke, Miss. Saya mulai, ya."

Maka dimulailah penjelasan Dine tentang gambar abstraknya. Mulai dari pohon, rumah, sampai stickman yang dia akui sebagai objek "orang" pada gambar tersebut. Dia bahkan tidak meninggalkan fakta bahwa pohonnya bernama Apgo.

Setelah mendengar penjelasan Dine, Miss Jeje mengambil alih gambarnya. Sekali lagi beliau menatap isi kertas Dine sebelum menumpuknya bersama gambar anak-anak lain

"Agak liar, ya, imajinasi kamu," kata Miss Jeje. "Besok-besok, kalau kamu ketemu guru biologi, jangan kasih tahu soal perkawinan silang pohon mangga dan apel ala-ala kamu ini, ya. Kasihan beliau, bisa trauma."

Aku nyengir lebar. Dine menyenggol bahuku.

"Nah," Miss Jeje menggeser tumpukan gambar. Kali ini beralih kepadaku yang masih memeluk kertas. "Sekarang kita lihat punya Era."

"Yeah, kasih lihat gambarmu, dong," pinta Dine seraya merapat padaku saat kuserahkan kertas HVS. "Wah, ini pasti pohon mangga di depan rumahmu. Aku kenal batangnya .... Ih, kok, dia enggak berakar?"

Aku merengut tidak terima. Mana ada pohon mangga punya daun lima jari-jari! "Ini pohon maple!"

"Mirip pohon mangga!"

"Hus," sela Miss Jeje cepat-cepat. "Ayo buruan. Yang lain juga mau maju, lho."

Dine merapat kepadaku, lalu berbisik, "Ih, pohon Era enggak berakar."

"Dine bicik."

Kutatap gambar pohonku dan pohon Dine. Punyaku lebih ke kiri, lebih ke bawah pula—sampai-sampai tidak kugambar akarnya.

"Jadi, Miss, ini gambar saya. Sengaja saya pakai pohon maple soalnya saya kenyang lihat pohon mangga."

Dine cengar-cengir di sebelahku.

"Ini batangnya, ini daunnya ... Sengaja saya buat lebar soalnya saya suka pohon rindang. Nah, ini posisi pohonnya kayak lebih ke depan, makanya akar pohonnya enggak kelihatan."

Bohong. Sebenarnya aku tidak tahu cara menggambar akar.

"Terus gimana cara dia mendapatkan sumber makanannya kalau enggak ada akar?" Dine menyerobot.

"Ini, tuh, akarnya tembus ke bawah kertas sini, lho." Mati-matian kutahan ekspresi serius meski Dine sudah siap terbahak keras. "Mereka tenggelam, terbenam, dan tertanam di bawah tanah. Pemalu, mereka itu. Dan mereka bukan ekstrover garis keras kayak kamu."

Miss Jeje menarik pelan kertasku ke arahnya, mencoba melihat lebih dekat. "Rumahnya mana? Ini yang di belakang pohon? Agak ketutupan?"

Aku mengangguk; mengabaikan Dine. Lantas aku ikut-ikutan merapat ke Miss Jeje karena berusaha melihat gambar sendiri dari dekat.

"Ini saya gambar rumah ala-ala kue rumah jahe gitu, Miss. Letaknya di tengah hutan maple. Ada cerobong asapnya, terus ini ada asapnya juga. Soalnya perapian di rumah itu lagi nyala. Terus ada jalan setapaknya, ada tamannya, terus ...,"

Kutelengkan kepala, berusaha mencari hal lain yang mungkin harus kujelaskan lebih lanjut.

Apa lagi, ya? Kayaknya udah.

Miss Jeje menatapku lantaran tidak mendengar lanjutan apa-apa lagi. "Udah?"

Aku mengangguk.

"Orangnya mana?"

Aku tersentak. "Ya, Miss?"

"Orangnya," ulang Miss Jeje seraya menunjuk gambarku. "Miss, 'kan, minta kalian gambar rumah, pohon, sama orang. Nah, orang di gambarmu ini ke mana?"

Oh, iya ....

Melihat gerakan menuntut jawaban itu, aku refleks membungkuk, diam menatap gambar yang kubuat hampir sepenuh hati.

Hanya ada satu rumah di gambar. Cerobong asapnya mengeluarkan asap, sebagai tanda kalau rumah itu hidup. Suasananya tampak hangat dengan pohon besar yang berdiri di sebelahnya, menutupi sedikit rumah itu—kubilang rumah itu di belakang pohon, ingat?

Lalu ada jalan setapak kecil dari pintu rumah ke jalanan lepas. Arahnya tak tentu, berkelok-kelok dengan bebatuan estetik seperti yang pernah kulihat di buku-buku dongeng anak. Tamannya sederhana, tetapi banyak sampah dedaunan. Ceritanya ini musim gugur. Banyak daun yang jatuh meluruh.

Sebenarnya, pohon itu tidak hanya satu. Ada banyak lagi di sekitarnya, tetapi memang yang kugambar dengan jelas dan besar hanya ada satu—di bagian paling kiri dari kertas; sedikit menghalangi rumah.

Cukup lama aku menelaah, lalu aku tertegun. Barulah aku sadar kalau aku terlalu fokus menggambar pemandangan, sehingga tidak ada satu pun gambar orang di atas kertas. Pantas saja Miss Jeje menanyakannya.

"Orangnya ...," Aku mengerucutkan bibir, berusaha berpikir cepat mencari jawaban.

Mustahil menggambar orang di atas kertas yang sudah indah dan penuh panorama. Kalau dipaksakan, nanti pemandangan di sekitarnya jadi terlihat jelek. Memang, sih, ini bukan tugas prakarya, tetapi sayang kalau menggambarnya pun asal-asalan.

Sejenak keningku berkerut, sibuk memikirkan ide baru.

Lalu tak lama kemudian, ide cemerlang itu datang.

"Oh, orangnya lagi keluar, Miss! Ceritanya ini rumah Red Riding Hood."

Miss Jeje menatapku. "Di rumah ada siapa? Kenapa cerobong asapnya nyala?" Beliau bertanya.

Aku meringis. Bersiap menahan malu karena menjawab seadanya.

"Itu ... soalnya kompor di sana masih nyala."

Dine mengombinasikan tawa keras dan tepuk tangan heboh menjadi satu. Aku mengulum bibir. Harap-harap dengan begitu bisa sedikit menepis rasa malu. Kupikir Miss Jeje akan geleng-geleng kepala sambil tersenyum tak habis pikir, tetapi rupanya aku salah.

Beliau tidak tersenyum. Sama sekali.

"Dine boleh ke tempat duduk," katanya. "Era di sini dulu."

Refleks aku dan Dine beradu tatap. Agak panik, tetapi apa boleh buat. Mungkin sesi menggambar di jam BK memang tidak bisa dianggap remeh.

Berhadapan dengan Miss Jeje rupanya terasa menegangkan.

"Era," panggilnya—secara mengejutkan—pelan dan lembut. "Kenapa orangnya harus lagi di luar rumah? Kenapa enggak di dalam aja?"

Aku terdiam, spontan menahan napas.

Sambil menatap gambarku yang tidak bagus-bagus amat itu, kedua tanganku iseng saling bermain dengan ujung dasi abu-abu hari ini. Menarik, memuntir, meremas—begitu terus sampai bahannya kusut.

"Soalnya ...," jawabku ragu-ragu, "udara di luar lebih segar daripada di dalam rumah."

Entah kenapa ... hanya itu jawaban yang terlintas.

Catatan Jempol:

¹Frau:
Nyonya; Ibu/Bu; wanita asing (Bahasa Jerman)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top