05 | Si Mantan Gebetan Tetangga
Sebelum kalian bertanya-tanya, Siapa Olin? tolong izinkan aku untuk berkedip cepat terlebih dahulu. Soalnya takut salah lihat.
Oke, aku sudah berkedip tiga kali. Cewek itu masih di sana.
Berarti memang tidak salah lihat. Dia sungguhan Olin.
Meskipun ingin, nyatanya tidak mudah melupakan orang-orang yang pernah memiliki hubungan denganku. Apalagi yang dulu pernah menjadikanku jembatan perantara antara mereka dengan Kelvin.
Nah, ya, Kelvin memang mirip pakan ikan di mana-mana. Laku keras. Jangan heran.
Alasan kenapa aku sulit melupakan mereka cukup beragam, tetapi yang paling umum adalah karena kelucuan mereka. Lalu "kelucuan" ini juga terbagi menjadi dua.
Yang pertama adalah "kelucuan" yang benar-benar lucu dan menggemaskan secara harfiah. Lalu yang kedua, "kelucuan" ini punya artian ya-ampun-lucu-banget-sih-kamu-rasanya-mau-kutimpuk-deh-kepalamu-pakai-sepatu.
Alias sarkas.
Cewek ini—yang sedang menyapaku saat ini—masuk ke dalam golongan pertama.
Dia memang pernah menjadi salah satu dari sekian banyak yang memanfaatkanku sebagai perantara surat cinta di pertengahan masa putih biru. Beruntung sikapnya berubah drastis ke arah yang lebih baik begitu memasuki kelas 9. Hampir saja namanya kumasukkan ke dalam daftar "Orang-Orang yang Harus Dijauhi".
Menurut cerita yang kudengar dari mulut ke mulut, ibunya yang asli pribumi bertemu dengan pemuda gagah nan baik hati (yang merupakan blasteran dua negara) saat masih gadis dan berkuliah di Shanghai. Mereka jatuh cinta, menikah, membangun keluarga, lalu lahirlah Vee You Lin (marga aslinya Lim) yang kini lebih akrab dipanggil Olin.
Mari kita lewatkan penjelasan soal paras Olin karena dia blasteran beberapa negara. Intinya, paras Olin tidak manusiawi. Daya tariknya terlalu kuat.
Olin bisa dibilang semacam "teman yang bukan teman". Kami saling kenal, tetapi tidak begitu akrab. Dulu dia sempat dekat dengan Kelvin (dalam artian teman dekat atau gebetan). Bahkan mungkin sebenarnya mereka sempat backstreet atau apa. Aku tidak tahu. Yang jelas dulu mereka berdua sering dipasang-pasangkan.
Iya, kayak lego.
Oh, tenang saja. Terakhir kali aku mengangkat topik tentang hubungan cinta monyet mereka, Olin dengan tegas memberikan penyangkalan.
Ternyata dia lebih tertarik dengan cowok atlet wushu daripada cowok futsal yang jendela kamarnya berseberangan langsung dengan kamar anak cewek rumah tetangga.
Kukira akan ada sedikit gesekan tak bersahabat di dalam hubungan pertemananku dengan Olin, tetapi sepertinya tidak ...? Maksudku, tuh, lihat. Wajahnya sumringah sekali.
Padahal aku sedang menahan diri untuk tidak asal bicara atau bertindak sembarangan di depannya.
"Era?" Cewek cantik itu melongo (dengan cantik pula), tertawa, kemudian menggapai tanganku dan menjabatnya dengan girang. "Kok, bisa aku baru tahu kalau kita satu SMA? Cuma beda jurusan, lho, ternyata! Kalau Kelvin, sih, aku tahu. Dia pernah pasang foto bareng teman-temannya di medsos."
Aku tersenyum seramah dan senatural mungkin. Tidak boleh terpaksa. Harus tulus.
Omong-omong, boleh tidak, sih, aku bilang padanya kalau aku masih merasa lucu melihat wajah blasteran luar negeri bisa lancar berbicara bahasa Indonesia?
Bayangkan wajah setipe Jepang, Cina, dan Korea bisa berbahasa Indonesia dengan super mulus. Sudah? Lucu, 'kan?
Sekarang bayangkan dia berbicara dengan logat Bekasi.
Nah.
Bagaimana?
"Tadinya aku enggak mau bareng dia lagi, sih." Aku mengangkat bahu. Bersiap melontarkan kebohongan penuh omong kosong demi berbasa-basi. "Tapi boleh, deh, biar bisa nebeng. Hemat tenaga, hemat ongkos."
Olin nyengir. Ah, dia nyengir pun masih cantik. "Frasa 'di mana ada Kelvin, di situ ada Era' ternyata masih berlaku, ya?"
Kekehan geli meluncur tanpa bisa kutahan. Agak tidak tahu diri karena aku melakukannya di tengah keramaian orang-orang yang berusaha melihat isi mading. Semoga setelah ini tidak ada yang misuh-misuh kepadaku karena jarak pandangnya—mungkin—terhalang.
Lagipula siapa, sih, yang seenaknya menciptakan frasa semacam itu?
Aku tidak akan heran kalau ada penggemar fanatik Kelvin yang emosinya jadi tersulut setelah mendengar kalimat aneh tersebut. Soalnya terkesan oh-ternyata-Kelvin-udah-punya-pawang. Atau kesan yang lebih parah lagi adalah ada-ya-orang-yang-hubungannya-udah-absolut-sama-Kelvin?
"Itu kemarin, sih. Belakangan ini kayaknya mulai berkurang."
Dine tiba-tiba menyerobot. Tidak peduli dengan tatapan penuh peringatan dari Raya (dan sebenarnya aku sangat berterima kasih!). Kemudian alih-alih mundur, dia justru merapat padaku dan menyapa Olin dengan lambaian tangan yang cukup bersahabat.
"Hai. Jepitanmu lucu," sapanya.
Kening Olin berkerut halus, tetapi dia masih tersenyum walau sekarang tampangnya terlihat tidak yakin. "Makasih ...?"
"Eh, santai. Aku serius muji, lho." Dine buru-buru menambahkan. Wajah mengintimidasinya mendadak hilang dan diganti dengan wajah sumringah saat dia mengulurkan tangan. "Emang kata orang-orang mukaku agak lain, tapi sumpah, enggak bermaksud apa-apa, kok. Aku suka banget aksesori rambut."
Kerutan di kening Olin lenyap, senyum manisnya kembali lagi. Kali ini dia bahkan terkikik.
"Oke, makasih banyak, lho," katanya, bermaksud mengulang ucapan terima kasih atas pujian dari Dine. "Kamu tinggi banget, ya. Era yang tinggi bahkan jadi kelihatan kecil."
Raya berdeham sesamar yang dia bisa sambil memalingkan wajah. Sayup-sayup kudengar gumamannya yang terdengar seperti, Apalagi aku, ya?
Aku refleks melirik Raya akibat mendengar sebuah hoaks. Padahal nyatanya Raya tidak seminimalis itu.
Masih ada Putri. Kalian pasti ingat, dong, ya?
Bahkan yang mendapat gelar "Anak Kecil" di kelas pun bukan Raya, melainkan Putri. Bendahara kelas ini memang agak insecure saja dengan bentuk tubuhnya sendiri.
"By the way, namaku Dine, Bahasa 2. Yang pakai kacamata namanya Raya, dari kelas yang sama."
Olin terperangah. "Berarti Era juga Bahasa 2, ya?"
Karena malas bersuara, jadi aku mengangguk.
"Kenalin. Olin, IPA 5," ucap Olin sambil menjabat tangan Dine, lalu dia mengangguk kepada Raya yang hanya melambaikan tangan untuk beramah-tamah. "Eh, iya, itu yang di poster ada berita apaan, sih?"
"Oh, biasalah. Festival Literasi Nusantara kayak tahun kemarin. Yang paling ditunggu cuma hari ketiganya doang, sih, ya." Dine menjawab, kemudian mendorong-dorong aku dan Raya untuk segera hengkang dari depan mading. "Eh, Lin, kita-kita duluan, ya. Mau ke kantin, nih. Takut keburu bel masuk."
Olin mengangkat ibu jarinya, menerima salam pamit kami. Entah dalam maksud apa sebenarnya, dia tersenyum kepadaku sekali lagi.
"Dadah, Era. Sampai ketemu lagi," katanya.
Lalu kujawab di dalam hati: Tapi aku enggak mau ketemu kamu lagi.
Aku tersenyum dan kulambaikan tanganku ke arahnya. Lalu tanpa menoleh ke belakang lagi, kami pergi menjauh dari mading sampai tidak lagi merasakan hawa keberadaan Olin.
Begitu kami sudah hampir dekat dengan kantin, tiba-tiba Dine bergidik sambil bersuara dramatis. Raya pun tiba-tiba mendengkus, seolah-olah sudah tidak tahan lagi melakukan aksi pura-pura. Sebagai respons pertama, aku refleks cekikikan.
Dari satu sisi aku paham kenapa mereka melakukannya, tetapi di sisi lain ada bagian diriku yang merasa seharusnya mereka tidak begitu.
"Kalian kenapa, sih? Kok, jahat begitu?"
Dine langsung mendorong bahuku sampai aku oleng ke samping tanpa ba-bi-bu, tetapi aku tidak marah. Malah ngakak.
"Enggak usah sok lemah lembut gitu, ya, mbaknya," sindir Dine. "Yang mukanya jelas-jelas udah enggak tahan mau kabur itu kamu. Aku sama Raya udah panik saling injak kaki, tahu enggak?"
Raya mengangguk sambil melakukan observasi terhadap deretan stan jajanan yang hari ini hadir di kantin.
"Aku enggak tahu ini firasatku doang atau apa, tapi aku merasa terintimidasi sama cewek tadi," imbuh Raya, jelas-jelas mendukung ucapan Dine. Kemudian dia menarik tanganku begitu matanya terpaku pada stan siomay. "Mukanya emang enggak jahat, tapi pas kamu merespons panggilan pertama dia itu langsung kerasa banget tekanannya."
Bukan bermaksud dramatis, tetapi aku yang dulu di SMP pasti berpikiran serupa.
"Masa, sih?"
"Yah," Raya menarik tanganku ke depan kuali siomay, "aku, sih, lihatnya begitu. Enggak tahu, ya, kalau si Dine. Bang, beli siomaynya goceng, ya."
Dine langsung menyerobot maju. "Aku juga mau gocengan!"
Mataku refleks menyipit saat uap dari panci siomay mengepul menembus wajah. Aroma khas siomay menguar tanpa ampun.
Aduh, aku pesan satu juga, deh.
"Tapi kalian enggak boleh berprasangka buruk, lho. Olin anaknya baik," kataku kepada siapa pun yang bersedia mendengarkan.
Raya melirikku sekilas. "Kedengarannya enggak begitu."
"Hei, betulan, lho."
"Masa? Instingku bilang kamu cuma ngomong itu dari mulut, bukan dari hati."
"Hm, betul kata Raya, instingku juga meraung-raung kayak gitu. Oh, terus juga, nih, aku penasaran sama satu hal." Dine mengambil jeda untuk menerima plastik siomaynya lebih dulu, kemudian dia mengoper milik Raya, dan akhirnya milikku. Sambil menyodorkan uang lima ribu rupiah, dia bertanya, "Ini cuma perasaanku aja atau emang ternyata dulu kalian pernah ribut karena ... seorang Kelvin?"
Aku batal mengambil uang dari saku rok. Keburu tertegun sambil melotot.
Aku belum menjelaskan apa-apa tentang masa SMP-ku ke Dine, bukan? Baru kepada pembaca saja ... iya, 'kan?
Wah.
Gila.
Insting apaan bisa tajam parah kayak gitu?!
Di tengah keterkejutan yang belum usai, Raya tiba-tiba agak membungkuk, miring-miring berusaha melihat wajahku dengan gerakan dramatis. Di detik berikutnya, dia terbahak keras-keras. Perbuatannya secara otomatis membawa cengiran lebar ke wajah Dine, sekaligus menamparkan rasa malu tepat ke wajahku.
"Hm." Cewek jangkung itu tersenyum. "Ternyata."
Aku mendesis. "Enggak."
"Enggak salah lagi?"
"Enggak!"
•∆•
Sialnya, bahkan ketika jam pulang sekolah sudah berdering sampai habis pun, Dine masih menggangguku bahkan sampai dia masuk ke dalam mobil bibinya—yang katanya sore ini hendak membawanya pergi ke rumah saudara.
... Yah, Dine memang agak lain. Pergi ke rumah saudara di hari Senin, setelah pulang sekolah; entah apa tujuannya.
Omong-omong, Raya tadinya hendak menggangguku juga, tetapi Mona keburu menariknya pergi ke ruang guru. Wahyu sempat memberiku tatapan penasaran, tetapi kuabaikan karena bisa jadi lebih gawat andai dia juga tahu permasalahannya.
Begitu menyelesaikan petualangan menyusuri anak tangga dan berhasil menginjakkan kaki di lantai dasar—lantainya anak IPA—aku mendadak waspada dan refleks menjauhi area koridor di mana kelas IPA 5 berada. Khawatir tak sengaja bertemu dengan Olin sekali lagi.
Sekali lagi kutegaskan, kami bukannya bermusuhan, hanya ada sedikit ketidaknyamanan.
Kalian tahu, 'kan, rasanya ketika berada di sekitar orang yang sedang tidak ingin kalian temui, dan sebenarnya kalian tidak membenci mereka? Nah, rasanya begitu. Aku hanya sedang tidak ingin bertemu Olin.
Itu saja, kok. Sumpah.
"Kok, letoy gitu jalannya?"
Mengerjap; kesadaranku kembali lagi. Oh, koridor IPA 5 sudah terlewat. Sekarang aku sudah di parkiran sepeda, dan di depanku sosok tinggi Kelvin sudah siap sedia di atas sadel Jelly. Bawaannya pada siang menjelang sore ini agak ... ribet.
Ransel di punggung, tas bekal di setang, paper bag berisi gulungan kertas karton yang mencuat (dan aku yakin isinya lebih dari sekadar kertas karton), dan terakhir ada beberapa potongan kardus agak tebal terikat tali rafia di sadel belakang.
Sejenak aku termenung. Diam memikirkan taktik untuk dibonceng pulang.
Atau aku jalan kaki saja, ya? Toh, tidak jauh-jauh amat.
"Jangan sekali-kali mikir buat jalan sendiri." Wajah Kelvin tertekuk seketika. "Udah mendung. Buruan naik."
Kucoba untuk ikut-ikutan menekuk ekspresi wajah seperti yang Kelvin lakukan.
"Aku juga pasti bakal langsung lompat ke sadel belakang andai bawaanmu enggak seribet itu, Pin," sungutku. "Sini paper bag-nya. Kubantu bawa sambil jalan. Hus. Jangan ajak debat, oke? Udah mendung. Buruan sini. Paper bag. Nah, ayo pulang."
Sebelum Kelvin memulai sesi argumentasi, aku melangkah lebih dulu dengan ransel di punggung dan paper bag di dalam pelukan. Aku terbiasa berlari dan berjalan kaki di saat-saat sendirian, jadi berjalan cepat itu bukan persoalan. Mudah sekali selama hanya fokus pada ritme langkah dan tujuan utama.
Namun, melihat dari lambatnya gerakan Jelly di agak-belakang-punggungku, sepertinya Kelvin memang tidak membiarkanku jalan di belakang. Padahal tujuanku untuk menjaga kardusnya tetap di atas sadel.
Demi tidak ditelan canggung, kuputuskan untuk membuka sesi obrolan dengan senang hati.
"Pin."
"Hm?"
"Masih ingat Olin?"
"Teman SMP?"
"Iya. Aku baru tahu Olin di Nusantara lagi. Anak IPA 5. Tadi aku ketemu dia pas lihat berita FLN di mading, jam istirahat pertama," mulaiku. "Dia emang udah lama di sana atau baru jadi anak pindahan? Kenapa aku baru lihat, ya?"
"Enggak tahu juga," jawab Kelvin, secara mengejutkan tanpa perlu berpikir panjang.
Dan itu membuatku berkali lipat lebih heran. Sangat heran.
"Itu aja?" Aku bertanya dan, sungguh, aku penasaran.
Kok, bisa-bisanya dia hanya menjawab sesederhana itu? Tidak ada penjelasan lain? Semacam kalimat bernuansa 'kalau lihat dari Instagramnya, sih' atau apa?
Masih santai di atas sadel sambil terus mengayuh pedal, Kelvin menatapku malas-malasan. Aku berjengit khawatir, tiba-tiba takut disembur ucapan kasar.
"Emangnya kamu mau aku jawab apa?" tanyanya sambil malas-malasan juga.
"Kalian enggak saling follow di akun medsos mana pun? Olin bilang dia tahu kalau kamu sekolah di Nusantara setelah dia lihat posting-an fotomu bareng anak-anak lain. Kupikir kalian saling follow. Soalnya, kan, mantan gebetan."
Kelvin menatapku, mengernyit dengan wajah masam.
Aku ikut-ikutan, tetapi bedanya wajahku menunjukkan ekspresi ngeri, bukan masam jengkel atau apa. Yang ada di dalam pikiranku hanya satu hal:
Mampus aku.
Sudah episode "Salah Bicara" yang keberapa ini?
"Aku enggak pernah kasih tahu nama akun medsosku sama sekali," gumam Kelvin kemudian. "Mungkin dia stalking," imbuhnya sambil mempercepat laju sepeda.
Aku yang hampir dibalap pun hanya bisa mengerling tak habis pikir. "Yah, siapa, sih, yang bisa tahan buat enggak stalk akun medsos seorang Kelvin Adiyaksa? Mustahil banget. Soalnya bakal rugi karena enggak bisa cuci mata."
Kelvin berjengit. Tampak kaget bercampur jijik. Entah karena ucapanku atau karena tiba-tiba dia merasa diguyur fakta.
"Kabur, ah. Ada cewek mesum."
"Heh?"
Aku melotot begitu Kelvin langsung melesat. Tidak begitu cepat, tidak begitu jauh. Masih ada sisa jarak yang masih bisa kukejar dalam beberapa langkah lebar-lebar, tetapi aku memutuskan untuk melotot horor di belakangnya supaya terkesan aku yang sedang menghantuinya.
Sambil memeluk paper bag, kugerakkan kaki dengan langkah berdentum dramatis. Namun, belum ada tiga puluh detik melakukan itu, perhatianku tersita oleh pengendara motor berhelm yang datang dari arah berlawanan.
Pengendara motor itu memelankan laju motornya, menepi di seberang jalan, kemudian melihat ke arahku tanpa melepas helm ataupun sekadar membuka kacanya sama sekali.
Kenangan buruk soal helm full face langsung menyeruak. Rasa mual datang. Sejenak kepalaku pening dan rasanya aku ingin muntah.
Namun, karena mustahil muntah di pinggir jalan umum, akhirnya kuputuskan untuk mengalihkan fokus ke ujung sepatu sendiri dan mulai berlari. Seiring langkah yang kian cepat, aku bergidik.
Bergegas kususul Kelvin sebelum anak itu menoleh ke belakang dan mengaktifkan mode protektif—yang menurutku agak mengganggu.
Aku ingin mencoba seperti Dine dan Raya: mengikuti insting.
Instingku bilang bahwa Kelvin tidak boleh menjadi yang lebih tahu daripada aku sendiri, soal orang aneh berhelm waktu itu. Orang yang barusan melihatku tanpa membuka helm juga termasuk. Tidak ada pengecualian.
Jadi, mulai sekarang, aku harus menjauhi Kelvin dari urusanku ini sejauh mungkin daripada hari kemarin.
Pokoknya, tidak ada yang boleh ikut campur.
Catatan Jempol:
HAAAAII! LONG TIME NO SEE AAAAAAAAAAHHHHHHHH KANGEN BANGET NGETIK DI SINI UEUEUE. (っ˘̩╭╮˘̩)っ
SEHAT-SEHAT, KALIAN. 💙💙💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top