04 | Suatu Hari di Kelas Bahasa
Hari-hariku sebagai anak kelas 11 memang belum begitu berwarna, tetapi Dine—sahabatku yang rambut gantengnya mulai memanjang—selalu punya cara agar hari-hariku bisa menjadi cerita di masa depan.
Contohnya adalah hari ini, ketika aku sedang sibuk main masak-masakan sejak Pak Hamzah masih menerangkan garis besar tentang sistem hukum dan peradilan di Indonesia.
"Berita terkini." Dine melompat turun dari kursi, masih lupa diri kalau dia tinggi. "Langsung dari kelas XI Bahasa 2, sekarang bersama saya ada seorang warga kampung sebelah yang belakangan ini sering tersakiti akibat menebarkan gosip baru di Nusantara. Bapak Ifan Al Farid, bagaimana pendapat Anda tentang gosip yang tersebar?"
Ifan Al Farid—kalian mengenalnya sebagai Ipang—menundukkan pandangan sebelum mendekatkan bibirnya dengan kepala botol yang dipegang Dine.
"Jadi, saya sangat senang sekali—"
Ucapannya terputus begitu Dine menarik botol dan menoyor wajah Ipang ke samping.
"Posisinya jadi korban, Pak. Kok, bisa jadi sangat senang sekali?"
"Oh, salah? Ulang, ulang." Ipang berdeham. Diam sebentar menatap lantai. "Jadi, saya pribadi merasa miris dengan respons orang-orang yang tidak memercayai saya. Padahal saya dan rekan-rekan telah membuktikan secara de facto bahwa informasi yang kami sebarkan benar adanya."
Dine terkikik bak kuntilanak dan Ipang tetap melanjutkan, "Adapun bukti yang kami kumpulkan masih membutuhkan perintilan bukti lainnya, agar informasi kami terbilang memuaskan dan bisa diterima oleh masyarakat. Kebetulan saya ini utusan dari perumahan tetangga. Karena itu untuk lebih detailnya saya serahkan urusan bukti pelacakan informasi kepada Bapak Wahyu."
Wahyu menoleh dari meja guru. Sibuk menumpuk buku tulis PPKn bersama Raya. "Enggak ikut-ikutan."
Namun, Dine menolak dengar. Sekarang dia asyik berderap ke depan kelas.
"Pak Wahyu! Pak Wahyu!" serunya. "Apakah benar dengan apa yang dikatakan oleh Bapak Ifan tadi?"
Wahyu berdecak lidah. Seolah tahu bahwa Dine tidak akan berhenti sampai puas sendiri. Akhirnya Wahyu membungkuk ke depan, mendekatkan bibir seperti yang dilakukan Ipang. "Jadi begini ...."
Hening sejenak.
"Ya ...?"
"Jadi begitu."
Dine mencebik, Raya bahkan ikut melengos. Kali ini cewek jangkung itu menoyor wajah Wahyu sama seperti dia menoyor wajah Ipang.
"Enggak bermutu," sungutnya.
Wahyu balas menoyor wajah Dine tanpa memandang gender. "Becermin dulu sebelum mencaci," katanya.
Dari tempat duduk, kusaksikan mereka saling main toyor-toyoran wajah. Ipang kembali duduk di tempatnya tadi; ketika dia baru datang ke kelas XI Bahasa 2 dan Dine belum mengganggunya dengan sesi wawancara dadakan.
Begitu anak itu asyik menyedot es tehnya, kupergoki arah mata Ipang lurus ke arah Dine, Raya, dan Wahyu di depan meja guru. Entah kepada siapa fokusnya tertuju.
Ketika Wahyu mengusir Dine dan cowok berkacamata itu pergi sendiri ke luar, tatapan Ipang masih terarah ke depan kelas. Bahkan ketika Raya menyodorkan karet rambut berukuran kecil kepada Dine, dia masih menonton. Saat Dine mulai sibuk misuh-misuh sambil mengikat poninya yang mulai panjang ke atas seperti tangkai apel (walau sebenarnya lebih mirip air mancur), barulah cowok itu mesem-mesem.
Lalu entah kenapa aku ingin sekali bilang begini:
Pang, kamu suka Dine, ya?
Melihat kelakuannya kepada Dine beberapa bulan ke belakang, aku curiga kalau mulai tumbuh benih-benih bunga merah jambu di dalam dirinya.
Namun, kalau mengingat lagi sisi humoris dan ramahnya kepada semua orang, aku jadi berpikir dua kali—berkali-kali, malahan.
Bukannya melarang Ipang atau apa, aku hanya tidak ingin sisi hati lunak Dine dipermainkan seenak jidat. Salah langkah sedikit saja, sahabat karibku yang satu itu terancam memiliki trust issue stadium empat.
Pokoknya, kalau ada cowok yang suka dengan Dine, tugasku adalah memastikan kalau perasaannya dapat bertahan untuk jangka panjang. Kalau bisa, seumur hidup.
Jadi kalau kamu serius sama rasamu, kutatap Ipang lurus-lurus, jangan setengah-setengah atau nanti kutepak kepala—
"Kenapa, Mih?"
Aku menarik napas, berkedip-kedip. Malah tertangkap basah oleh Ipang padahal tadi aku sedang memergokinya. "Enggak."
"Kalau enggak kenapa-kenapa, matanya biasanya aja atuh, Mih." Ipang manyun, kemudian menempatkan ibu jari dan telunjuknya di bawah dagu. "Kenapa? Aku ganteng, ya? Hm, hm?"
"Enggak."
"Enggak salah lagi?"
Ipang sebelas-dua belas dengan Galang. Kalau sudah berulah, hal yang dapat menjinakkan mereka hanyalah dengan cipratan air atau lemparan barang-barang kecil.
Jadi, kali ini kulempari Ipang dengan serpihan penghapus karet yang tadi kupotong-potong di jam mapel PPKn.
Begitu merasakan ancaman, Ipang bergegas berkelit walaupun ada beberapa remah penghapus lebih dulu berhasil menabrak wajahnya. Dengan wajah sumringah dia kembali mengejekku, lalu duduk di tempat semula.
Ada sebuah peningkatan yang terlihat jelas setelah agenda karyawisata waktu itu, salah satunya adalah rasa familier setiap kali kelas kami kedatangan tamu dari kelas sebelah. Kecanggungan seolah-olah hilang seiring waktu berjalan. Secercah harapan timbul, tentang mungkin kami bisa menjadi angkatan yang solid.
Ipang termasuk ke dalam kategori yang sering bolak-balik ke sini. Terkadang bersama Abang, lebih sering datang sendirian. Dia juga sering mengajak anak-anak cowok untuk main futsal, kartu UNO, kuda templok, dan segala macam permainan lain di kelas sebelah.
Dine juga jadi lebih sering mampir ke kelas sebelah. Alasan utamanya sudah jelas Viktor. Semakin beragam reaksi yang Viktor berikan, maka semakin menjadilah kelakuan Dine. Belakangan ini Dine bahkan mulai sering bermain badminton demi mengisengi targetnya.
Teresa juga sering mampir ke kelas ini begitu tahu Putri juga anak teater. Biasanya, kalau ada kegiatan klub, Teresa dan satu atau dua temannya akan menanti Putri di depan pintu kelas. Begitu pun sebaliknya.
Ketika yang lain mulai sering saling berkunjung, aku justru mulai jarang melakukannya. Yah, sesekali pernah, sih; saat air galon di kelas kosong, barulah aku ke sebelah.
Tolong berhenti berprasangka. Ada alasan khusus kenapa aku begitu.
Belakangan ini Kelvin mulai sering dipanggil guru. Jam pulangnya juga semakin lambat daripada hari-hari biasanya. Kudengar katanya guru-guru mulai mendeteksi adanya kilau-kilau indah pada sisi akademis Kelvin. Jadi kupikir dia mulai ditempa untuk mengikuti serangkaian olimpiade di depan mata.
Kelvin juga pernah bilang ingin mengincar jalur prestasi untuk kuliah. Itulah kenapa dia mulai menyiapkan otaknya untuk mengumpulkan banyak bukti prestasi. Yang ajaib adalah kegiatan futsalnya masih aktif, dan sekarang dia benar-benar terlihat seperti anak ambisius.
Eh, tenang saja. Terkadang aku masih suka menebeng padanya, kok. Kami tidak sekaku itu.
"Sumpah, deh, ya. Aku enggak sabar dapat undangan yang tulisannya 'Gunawan & Isma'. Beuh!" Dine berdecak lidah keras-keras dengan gerak-gerik tangan heboh. Masih mondar-mandir di depan kelas pula. "Langsung muncul di kalender: Hari Patah Hati se-Nusantara."
Aku mendengkus. Suka merasa tabu sendiri setiap kali ada yang bilang "nusantara". Terkadang kupikir itu artinya nama sekolah kami, tetapi kadang aku juga mengira kalau itu maksudnya se-Indonesia Raya.
"Tapi kalau misalnya betulan jadi, nih ...," Ipang bertopang kepala (kalau memang ada istilahnya), "apa itu berarti kita jadi saudara tiri?"
Aku nyengir. Bego.
"Agak sulit dibayangkan, tapi kayaknya dunia masih baik-baik saja." Tiba-tiba saja Dine sudah berdiri di depan mejaku. Kucir poni apelnya bergoyang depan-belakang saat dia berjoget kecil. "Soalnya tadi pas aku ke bawah buat panggil Pak Hamzah, aku lihat ada Pak Gun lagi tempel sesuatu di mading. Kukira itu undangannya yang pakai konsep pesta foya-foya. Soalnya desain posternya meriah."
Kulempar tiga potongan kecil penghapus ke arah Dine. "Nyebut."
"Maap."
"Oh ...," Ipang menyahut sambil menatap langit-langit kelas. Sepertinya dia sedang mencoba mengingat sesuatu. "Kalau enggak salah itu poster festival, deh."
Kegiatan masak-masakanku terhenti. Ucapan Ipang mendadak lebih menarik daripada penghapus karet seri makanan milik Dine. "Festival apa?" Akhirnya aku bertanya.
Sayangnya, Ipang hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
"Kalau penasaran, kenapa enggak lihat sendiri?"
"Yuk!" Dine bersemangat dalam satu jentikan jari. Kucir poni apelnya makin bergoyang saat dia mengerang dramatis. Tak lupa dia menarik-narik tanganku agar aku mau bangkit dari tempat duduk. "Yuk, lihat, yuk! Raya ikut juga, ayo!"
Raya—tiada angin tiada hujan, tiba-tiba diseret ke dalam pembicaraan—mengernyit hebat, lalu merespons dengan, "Hah?"
Dine cemberut. Semangatnya langsung lenyap. Tanganku bahkan tidak lagi dia tarik-tarik.
Sebagai info, siapa pun yang diperlakukan begitu oleh Raya pasti akan memiliki ekspresi serupa. Kalau dideskripsikan, rasanya kurang lebih seperti tamparan, malu, dan kecewa yang dicampur menjadi satu. Padahal aku yakin tujuan Dine mengajak Raya adalah agar si anak tetangga kembali ke habitatnya sendiri.
Raya sepertinya menyadari hal itu, karena dia langsung menghela napas panjang sesaat setelah Dine memasang ekspresi itu.
"Ya udah, ayo."
Aku nyengir saat Dine kembali bersemangat menarik-narik tanganku. Poninya bergoyang brutal dan akhirnya tawa Ipang lepas juga.
•∆•
Tinggi badanku bertambah setengah senti begitu naik kelas, tetapi sialnya aku tetap kesulitan tiap kali melihat isi papan mading dari jauh. Lebih-lebih lagi kalau dikerumuni banyak orang.
Jadi biasanya aku akan membiarkan Dine melakukan triknya: berani maju, memanjangkan leher, lalu mengejutkan orang-orang yang berada di bawah hidungnya dan membuat mereka bergeser untuk memberikan Dine spasi sempit.
Agak kurang ajar memang, tetapi patut dicoba.
"Oh! Itu!" Cewek jangkung itu akhirnya memundurkan kepala tanpa bergeser—agar tempatnya tidak direbut orang lain lagi. "Itu yang kumaksud!"
Raya berjinjit di sebelahku. Punggung seorang anak cowok dengan bet lengan kanan bertuliskan "XII IPA" menghalangi jarak pandangnya. Berulang kali Raya mengerut-ngerutkan hidung sambil mendorong bingkai kacamata ungunya ke atas. Mata gelapnya memicing, tampak lebih berkilat dari biasanya. Mungkin kesal bukan main dengan keberadaan cowok tak peka di depannya.
"Aku enggak akan pernah tahu yang mana maksudnya kalau kamu enggak sebut nama acaranya," dia bersungut-sungut.
"Oh, iya." Dine nyengir kuda. Kentara betul mengejek aku dan Raya.
Sejurus kemudian dia kembali menghadap ke mading, fokus menatap huruf-huruf di sana sejenak sebelum mendiktekannya keras-keras.
"Festival Literasi Nusantara," ucap Dine sebelum angkat bahu. "Tajuk utamanya begitu, sih. Kayaknya ini buat Bulan Bahasa."
Aku mengangkat alis. Bersabar menunggu orang di depanku hengkang lebih dulu, kemudian langsung menyerobot maju saat orang itu benar-benar pergi. Pelan-pelan kubaca poster pengumuman dari atas sampai bawah.
Kalau benar itu pengganti acara Bulan Bahasa yang umum dilakukan banyak sekolah, berarti tanggal acaranya tidak jauh-jauh dari akhir bulan. Masalahnya ....
"Mana tanggalnya?"
"Ini, Er. Ya ampun, masa anak Bahasa kualitas literasinya jelek? Jangan bikin Mama Pertama kita malu, ah," ejek Dine seraya menyentuh tulisan tanggal dan waktu pelaksanaan acara. "Nanti kalau matamu dicucuk pakai tusuk konde Bu Isma baru, deh, tahu rasa."
Aku manyun. Memilih untuk fokus melihat apa yang ditunjuk Dine daripada membalas ejekannya yang tidak akan pernah berakhir.
Berdasarkan pengalamanku tahun lalu, Festival Literasi Nusantara adalah acara tahunan sekolah yang menggabungkan dua momen untuk dirayakan, yakni Bulan Bahasa dan Hari Sumpah Pemuda. Kalau kudengar dari kakak kelas yang sekarang sudah menjadi alumnus, katanya dua hari peringatan itu digabung karena maknanya berkaitan.
Makna Sumpah Pemuda sudah jelas kalian paham, ya. Nah, di samping Sumpah Pemuda, Bulan Bahasa sendiri muncul sebagai peringatan (atau harus kubilang perayaan?) atas terciptanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Jadi kesimpulannya?
Iya, begitulah. Kalian sudah paham.
"Gimana?" Dine berkacak pinggang. "Kalian ikutan? Kok, aku kayak antara minat dan enggak, ya, lihat lombanya?"
Yah, Dine tidak sepenuhnya salah.
Tak jauh beda dari namanya—festival literasi—perlombaan yang akan dilaksanakan pun terbilang cukup damai. Lomba cipta cerpen, puisi, komik, mendongeng ... satu-satunya yang paling seru untuk ditonton adalah lomba debat.
Terkadang seseorang bisa lepas kendali sampai emosinya meluap, itulah kenapa lomba debat menyenangkan untuk ditonton.
Mirisnya lagi, aku paling tidak tahu harus berkontribusi seperti apa di perlombaan semacam itu. Bisa dibilang aku ini tidak tahu bakatku sendiri ada di bidang apa.
Membuat cerpen, puisi, komik—aku bisa semuanya, dengan tujuan untuk kesenangan pribadi atau untuk nilai tugas semata. Hasilnya mungkin tidak bagus-bagus amat, tetapi paling tidak aku bisa.
Jangankan mendongeng, menceritakan pengalaman liburan di depan kelas saja aku paling enggan. Memang banyak pengalaman yang seru, tetapi aku lebih suka merenungkannya sendiri. Mendengar cerita orang lain jauh lebih seru. Terkadang mereka lebih absurd dan menghibur.
Lomba terakhir: debat.
... Ini ejekan, ya? Adu mulut tanpa ilmu dengan Kelvin saja sudah membuat mataku berair, apalagi kalau berdebat dengan segala teori?
Duh, enggak dulu, deh. Trims.
"Dari wajah-wajah tidak hidup ini," Dine menatap aku dan Raya bergantian, "sepertinya tidak ada satu pun dari kita yang tertarik buat ikutan, ya?"
Sikuku refleks menjotos pinggangnya. "Jangan keras-keras suaranya."
Raya mengerutkan bibir. Tatapannya yang sejak tadi terpaku pada mading kini turun ke lantai. Entah ke sepatunya atau benar-benar ke keramik.
"Dari tadi aku kepikiran sesuatu," dia bergumam.
"Apa? Apa?" serobot Dine. Paham betul bahwa ketika seorang Ayudia Kanjeng Raya sudah bergumam serius, tandanya ada masalah pelik. "Spill aja, Ray. Enggak usah dipendam. Cukup masalah keuangan kelas aja yang dipendam."
Sekilas lirikan tajam Raya melayang ke arah Dine. Berdiri terjepit di antara keduanya, yang bisa kulakukan hanyalah mengatupkan bibir rapat-rapat merangkap tersenyum manis, sedangkan Dine hanya cengar-cengir sambil mengalihfungsikan aku sebagai tameng.
"Itu—"
"Permisi ...."
Tersentil fakta bahwa kami bertiga terlalu lama berdiri menghalangi mading, kami bergegas berbalik dan bergeser demi memberikan fasilitas kepada orang di belakang kami.
Namun, saat aku baru separuh balik kiri (jangan ditiru dalam Pramuka), mataku menangkap benda paling nyentrik yang dikenakan cewek tersebut.
Sebuah pita menempel di sisi kiri kepalanya, menjadi media penyibak rambut sampai daun telinganya tampak. Warnanya putih polos, kontras dengan warna rambutnya. Setelah kupelototi, sepertinya itu jepit rambut.
Agak norak, tetapi kalau boleh jujur aku suka modelnya.
Selesai mengobservasi rambut dan hiasannya, kali ini aku mulai memindai cewek itu dari kaki sampai berhenti di wajah. Lain dari orang-orang yang kulihat di sekolah, dia memiliki bentuk wajah yang kecil, manis, dilengkapi dengan bentuk mata yang kupikir berada di antara sipit dan tidak. Ada tahi lalat kecil di tulang pipi kirinya.
Bahkan sebelum beradu tatap denganku, wajahnya sudah sumringah lebih dulu. Lalu ketika kami benar-benar berhadapan, aku termangu.
Wajahnya familier.
"Eh, Era?!" Kali ini dia melotot. "Ini Era, 'kan? Masih ingat aku, enggak?"
Aku mengernyit, berusaha menggali ingatan lama. Kalaupun Dine atau Raya sedang berusaha bertanya-tanya lewat senggolan tangan, aku akan mengabaikannya. Jadilah aku terdiam di sana sampai akhirnya sebuah nama muncul di kepala.
Anak ini ....
"... Olin?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top