03 | Namanya "Permainan Firasat"

Tebak apa yang terjadi begitu mama melihat aku pulang dengan Kelvin? 

Ayo coba tebak. Aku akan diam selama beberapa saat agar kalian dapat berpikir.

Anggaplah aku ini tokoh kartun pemeran utama di dalam film serial anak-anak yang beredukasi. Aku bertanya, lalu kalian akan menjawab. Nanti ujung-ujungnya akan kubilang "benar" walaupun jawaban kalian meleset. Yang penting kalian menjawab seolah-olah ada aku.

Oke, sudah bisa menebaknya?

Ya, benar.

Kelvin ditahan untuk makan siang.

Sosok ibu adalah makhluk paling mulia yang terkadang mudah dibaca dan ditebak, tetapi nyatanya beliau adalah sosok yang lebih sering membuat buah hatinya mengernyit kebingungan—atas perilakunya.

Nah, karena mama punya cincin emas yang disimpan baik-baik di laci perhiasan, buku nikah, dan akta kelahiranku, secara otomatis mama adalah satu dari sekian banyak sosok bernama "Ibu".

Lalu aku adalah "si buah hati" yang mengernyit kebingungan itu.

Ada satu fakta unik tentang mama: terkadang suasana hatinya bisa membuat hariku menjadi yang terburuk, terkadang juga mengubahnya menjadi hari yang terbaik. Tanpa alasan jelas, tanpa latar belakang serinci karya ilmiah. Bila memang ingin, maka terjadilah.

Kali ini, mama dengan random-nya menyambut kedatangan kami di teras. Pakaiannya rapi, ada helm menjepit kepalanya, dan tangannya menenteng sebuah plastik besar bercetak segiempat dengan logo sebuah merk yang sudah kuhafal dengan baik.

Piza.

"Eh, ada Kelvin?" Mama berseloroh. Agak kerepotan membuka helm sambil mengeluh gerah, tetapi masih tersenyum senang karena ada anak tetangga. "Tante beli piza, nih. Panggil Lila sama Kahla, gih. Kita makan bareng di sini."

Namun, Kelvin menolak. "Eh, enggak usah, Tante. Habis ini Kelvin juga mau balik lagi."

"Main lagi?" Pertanyaan mama terus mengalir bak reporter. Kali ini nadanya agak mengintimidasi. "Kalau gitu makan dulu, ayo."

Aku nyengir kuda saat melihat bahu Kelvin turun. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, dan itu berarti acara main mereka juga tidak urgen-urgen amat. Bisa ditunda untuk makan siang sejenak.

Lagi-lagi hari ini aku menyadari, bahwa memang ternyata tidak ada yang bisa mengalahkan sosok ibu, meskipun ibu tetangga.

Sembari menonton Kelvin yang tengah duduk bimbang di atas motor, aku bertanya, "Tante Indri lagi enggak di rumah?"

"Enggak," jawab Kelvin sekenanya. Masih diam di atas motor.

Dalam hitungan detik yang panjang, tatapannya terpaku pada setang. Saat sudah bosan barulah dia kasak-kusuk mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku jaket dan mendadak fokus memainkan benda itu.

Sejujurnya aku penasaran dengan gelagatnya, tetapi tidak sampai ke tingkat kepo. Jadi aku memutuskan untuk diam saja.

Tak tahu bagaimana cara membujuk anak orang yang memiliki keteguhan hati jauh di atasku, akhirnya aku memutuskan untuk mendongak. Berdiri diam menatap langit, sedikit demi sedikit berpindah objek ke pohon mangga, dan berakhir ke jendela kamarku sendiri.

Aku berputar perlahan hanya untuk mendapati Kelvin masih sibuk dengan ponselnya. Kepalaku kembali mendongak, terbengong-bengong melihat jendela kamar Kelvin yang ternyata memang se-seberangan itu dengan jendela kamarku.

Sayang sekali aku baru menyadarinya sekarang. Padahal setelah ini kami akan mengurangi interaksi masuk-bertamu-tanpa-pintu.

Ya ampun, kayak habis ini kalian enggak bakal ketemu lagi aja. Sisi logisku tiba-tiba bersuara, ringan tangan menampar sisi melankolisku yang malang. Mending bantu Mama aja, deh.

"Mau makan di mana, Ma?"

"Hm ...," Mama mendongak, bergumam ke atas langit. "Ternyata panas juga, ya. Di dalam aja, kali?"

Nah, kawan-kawan, begitulah contoh sebuah pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan pula.

"Oke." Aku berkacak pinggang. Berbaik hati kubalikkan tubuh menghadap Kelvin sebelum menghampiri mama. "Jadi ikut makan atau enggak? Mending ikut enggak, sih? Enak, lho, piza gratisan dengan cita rasa berduit."

Kelvin mendelik tepat ketika mama tergelak.

Lagi-lagi, sebelum Kelvin mampu bicara, mama mencuri start dengan melontarkan rentetan pertanyaan.

"Atau Kelvin mau makan nasi? Tante ada nasi, sih. Paling lauknya aja. Enggak afdol, ya, kalau makan siang enggak pakai nasi?"

Aku mengulum bibir ketika tiba-tiba teringat fakta menyenangkan: sebanyak apa pun porsi makanku di mata mama, nyatanya masih jauh lebih sedikit dibandingkan Kelvin. Mau seganteng apa pun anak Tante Indri yang satu itu, kalau lambungnya masih produk lokal sudah pasti makannya seporsi kuli.

Sulit hidup tanpa nasi pula.

Omong-omong, mama akhirnya memutuskan untuk masuk lebih dulu. Gerah, katanya.

Sedangkan Kelvin pasrah menghubungi Mbak Lila—karena dia tidak enak hati main kabur begitu saja—dan menyampaikan ajakan makan siang dari mama. Hanya sebentar, tidak lama, dan kalau kuhitung-hitung durasi meneleponnya kurang dari sepuluh detik.

Setelah sepuluh detik berikutnya, pagar rumah seberang terbuka dan muncullah Mbak Lila di baliknya. Berdiri penuh percaya diri walau hanya berbalut daster lucu. Lengkap dengan sebuah jedai berhiaskan bunga kamboja kuning menjepit rambut cokelatnya. Saat Mbak Lila menoleh untuk memanggil Kahla, aku melihat bagian belakang bawah rambutnya ternyata dicat pirang. Ini pertama kalinya aku melihat itu. Sepertinya memang baru-baru ini dicatnya.

Sialnya adalah hanya dengan pakaian semacam itu, kecantikan Mbak Lila tetap menguar ke mana-mana.

Terkadang aku kepikiran sesuatu. Aku yang perempuan saja menganggapnya cantik, apalagi pacarnya, ya?

"Dia pede ke luar rumah begitu karena dia pernah curhat kalau pacarnya mau serius sama hubungan mereka. Dan katanya lagi—pacarnya bilang begitu pas dia lagi dasteran. Makanya jadi pede." Kelvin tiba-tiba menumpahkan segelas informasi tanpa kupinta.

Euforiaku mulai terpancing. Aku suka gosip. "Tapi betulan serius, 'kan?"

"Katanya, sih, mau dilamar sebelum wisuda."

Oh, iya juga. Mbak Lila mulai memasuki saat-saat paling krusial dalam dunia perkuliahan. Kalau aku boleh bilang, dilamar pacar setelah urusan kuliah dan sibuk skripsi di sana-sini terdengar bagai fatamorgana di tengah gurun pasir.

Antara hanya halusinasi, atau sebuah tujuan baru yang harus digapai.

"Kalau cuma prank, gimana?" Otakku memerintahkan untuk bertanya demikian, dan sekarang aku berada di ambang penyesalan.

Lihatlah. Kelvin bahkan sampai terdiam mematung sesaat.

Bagus. Kutepuk mulutku terang-terangan. Bagus sekali, lisanku. Bagus sekali.

"Kalau cuma prank," Kelvin meletakkan helm di teras dan bergumam, "namanya bakal ku-blacklist dari daftar besanan sampai tujuh turunan."

Heh!

Tawaku pecah di saat itu juga. Kelvin protektif itu ternyata memang benar adanya.

Mbak Lila akhirnya tiba dan secara ajaib tidak datang sendirian. Kahla dengan patuh mengekor di belakangnya. Garis wajahnya datar tanpa emosi, tetapi sekadar itu saja. Tidak ada pelototan galak atau sorot mata ketakutan seperti yang pernah kulihat saat dia mengamuk. Aura yang terpancar darinya juga pasif. Selama aku tidak menatap matanya lebih dari lima detik, Kahla tampak seperti anak SD pada umumnya.

Kalau dipikir-pikir, kusempatkan diri untuk tersenyum saat Mbak Lila menyapa, sebentar lagi dia jadi anak SMP.

Bakal seperti apa, ya, dia di SMP? Apa masih semuram ini? Atau mulai berubah? 

Yah, apa pun itu, semoga Mbak Lila berhasil mendapatkan sekolah bagus, meskipun terpaksa jauh sekalipun. Sungguh, segala hal yang berkaitan dengan trauma tidak pernah terdengar bagus. Aku pun pasti bersedia melakukan segalanya demi menjauhkan adik sendiri dari kekangan traumanya.

"Cie, ketahan enggak bisa main." Mbak Lila berkata pelan, tak lupa untuk menyeringai jail begitu Kelvin menatapnya malas-malasan. 

Sebelum Kelvin sempat membalas, Mbak Lila lebih dulu bersopan santun kepada mama.

"Waduh, ini enggak apa-apa, Tan, kita ikut makan?" tanyanya.

"Ih, emangnya kenapa? Era juga sering begitu, kok, di rumah kalian." Mama mengarahkan tatapan beribu maknanya padaku. "Udah, enggak usah malu-malu. Tante kenal sama kalian sejak Lila masuk TK, Kelvin bahkan udah ada di perut Indri—oh, iya! Kamu tahu enggak, Vin? Dulu ibumu sering kepingin naik wahana di Dufan pas lagi hamil kamu! Aduh, enggak habis pikir si Bima."

Buset. Kukulum bibir rapat-rapat, tak lupa bergerak menghindar ketika siku Kelvin dalam perjalanan menuju pinggangku.

Dimulai dari situlah akhirnya agenda makan siang—atau nyemil siang, karena tidak ada nasi—berlangsung seru.

Mama dan Mbak Lila mendominasi percakapan. Setiap kali mereka memancing Kelvin, anak itu bakal menarikku ke dalam percakapan juga (yang mana akan diakhiri dengan gulat kecil menggunakan tangan kosong atau tendangan bebas). Kahla, sekeras apa pun diajak bicara, hanya akan mengangguk, menggeleng, dan kalaupun dia benar-benar menjawab suaranya malah terdengar amat kecil. Sampai-sampai Mbak Lila atau Kelvin harus menyampaikannya lagi bak permainan kuda bisik.

"Gimana kabar hakpen? Masih dipakai?"

Entah pancingan dari mana, tiba-tiba saja kekehan singkat meluncur dari mulutku.

"Masih, dong," jawabku bangga, jujur dari hati. "Terakhir kemarin Mama mau punya tas rajut, jadi kubuat, deh."

Kelvin mendengkus dengan piza dalam perjalanan ke mulut. Mataku refleks menyipit ke arahnya.

Setelah diam tiga detik, akhirnya kutanyakan, "Kenapa?"

Cowok di sebelahku mengalihkan pandangan. Sibuk mengunyah piza. "Enggak," kilahnya.

Enggak adalah jawaban paling mencurigakan yang biasanya memiliki makna keterbalikan.

Aku tidak tahu persisnya anak ini mendengkus karena aku berakhir mendalami ilmu crochet atau karena apa, tetapi firasatku mengatakan bahwa Kelvin mencibir kepercayaan diriku karena teringat dulu aku merengek-rengek saat dia menerima crochet paus hadiah ulang tahunnya.

Yah, seharusnya wajar, 'kan? Itu crochet perdanaku. Sudah begitu, ekor pausnya kecil sebelah pula.

Selesai melahap piza, Kelvin bangkit berdiri untuk membantu mama membereskan bungkus sampah. Mbak Lila tampaknya tahu akan sehening apa bila aku ditinggal berdua saja dengan Kahla, atau akan seaneh apa suasananya bila aku ditinggal bertiga dengan kedua adiknya. Jadi dia tetap duduk di dekatku, mengobrol di sela-sela acara televisi.

Fakta unik: hubungan antara Kelvin dan Kahla terkadang masih membutuhkan Mbak Lila sebagai perantara. Walaupun memang Mbak Lila sering bilang kalau Kelvin diam-diam berusaha untuk dekat dengan adiknya itu.

Sayangnya, aku anak tunggal. Jadi tidak begitu paham bagaimana rasanya canggung dengan saudara sendiri.

Sekembalinya Kelvin dari dapur, dia tidak datang dengan tangan kosong. Ada sekotak besar es krim di tangannya, juga tiga sendok plastik di tangannya yang lain.

"Eh, kok, sendoknya cuma tiga?" Mbak Lila mengerutkan kening. "Era makannya gimana?"

"Pakai kaki."

Dengan senang hati kutimpuk Kelvin dengan bantal sofa.

"Maksudnya ini kalian aja yang makan, aku mau lanjut main. Ditunggu anak-anak," ujar Kelvin akhirnya. Dia bahkan masih menyempatkan diri untuk menimpuk tetangganya dengan bantal sofa yang tadi.

Ketika aku menyingkirkan bantal dan menerima sodoran kotak es krim, Mbak Lila mengambil alih tiga sendok plastik dari tangan adik bujangnya. Wajahnya tertekuk.

"Rugi, lho, enggak makan es krim," kata Mbak Lila.

Lalu dibalas oleh Kelvin dengan mengangkat kedua bahu. "Aku bukan Era."

Beruntung ada kotak es krim di tanganku, bantal sofa tidak melayang dan tersakiti lagi untuk yang ketiga kalinya.

Merasa bertanggung jawab sebagai nona rumah, aku meletakkan kotak es krim di lantai dan berdiri begitu Kelvin mulai sibuk memutar-mutar tali kunci motor di tangan. Selanjutnya aku mendongak, menatap Kelvin, dan mengantarnya ke hadapan mama untuk izin pamit hengkang.

Karena aku tahu kalau izin pamit dan tidak ditemani anak pemilik rumah itu sulitnya bukan main.

"Ma, Kelvin mau pamit."

"Eh, mau ke mana?" Mama berseru, entah untuk basa-basi atau memang tidak setuju melihat Kelvin panas-panasan di siang bolong.

"Ke rumah teman, Tante. Udah ditunggu," jawab Kelvin. Sambil agak membungkuk dia menyalami tangan mama, tak lupa memasang senyum sejuta watt. "Makasih makan siangnya, Tante. Kelvin jalan dulu."

Mama tertawa, mengacak-acak puncak kepalanya sampai berantakan. "Hati-hati di jalan, ya," pesannya.

Kelvin mengangguk dan berakhirlah sesi pamitan.

Melewati ruang tengah—di mana Kahla asyik menonton sambil menyendokkan es krim bersama Mbak Lila—Kelvin pamit sekilas tanpa menoleh dan langsung disemprot serentetan wejangan bahasa Jawa oleh kakaknya.

"Sun dulu sini! Yang sopan!" adalah inti dari ucapan Mbak Lila.

Melengos, Kelvin melangkah malas-malasan ke tempat kakaknya berada, mengesun tangan Mbak Lila dengan benar (kutebak karena enggan disemprot lagi), kemudian mengusap gemas kepala Kahla (yang mana akhirnya anak itu diam mematung dan spontan menatap abangnya lekat-lekat).

Setelah berpamitan dengan tiga orang, akhirnya Kelvin berhasil menginjakkan kaki di teras dan menghampiri motornya.

Aku tetap berdiri, diam memperhatikan sampai kemudian Kelvin menatapku tanpa suara.

Risi ditatap lama-lama, akhirnya aku angkat suara. "Apa?"

"Kamu pendiam banget, ya, hari ini."

"Biasanya juga begini, kok," aku berkilah. "Kenapa, hm? Baru sadar, ya, kalau aku ini anaknya kalem banget?"

Kelvin berjengit. "Hoaks."

Aku mencibir, lalu menonton setiap gerakannya yang hendak mengenakan topi. Tak butuh waktu lama, aku tersadar saat tatapanku berhenti di rambutnya yang berantakan. Mahakarya pasca diacak-acak mama.

Kenapa, ya? Tiba-tiba aku juga mau ....

"Mau acak-acak rambutmu juga, dong."

"Hah?" Kelvin menatapku, batal mengenakan topi. Dalam dua detik yang panjang dia hanya diam membatu, masih menatapku seolah tengah menimbang-nimbang, lalu kemudian dia menggeleng. "Enggak. Enggak boleh."

"Ih." Aku manyun. "Pelit."

"Emang."

"Najis."

Kelvin tergelak, kemudian menyalakan mesin motor. Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi selain salam semacam "duluan, Ra", dia melesat bersama motornya begitu saja.

"Hm, aneh."

Mbak Lila tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku, entah sejak kapan ikut melepas kepergian Kelvin dan motornya. Senyumannya tak kunjung luntur sampai akhirnya cowok itu lenyap dari pandangan kami.

Di saat itulah Mbak Lila menurunkan sedikit senyumnya seraya memindahkan tatapannya ke arahku.

Aku melirik. Dapat melihat dengan jelas adanya berbagai pertanyaan di sana.

"Kenapa, Mbak?"

"Kamu," Mbak Lila berkedip dua kali, "lagi ada masalah sama dia, kah? Atau enggak?"

"Hah?" Kerutan di keningku kian menjadi. Lama-lama aku berada di ambang rasa jengkel dan heran kalau ditanya begitu terus. "Enggak, kok. Kelihatannya separah itu, ya? Perasaan biasa aja, deh. Enggak ada apa-apa."

Mbak Lila kembali menghadap ke depan, mengemut sendok plastik, manggut-manggut dengan perlahan.

"Mungkin perasaanku aja."

Iya, mungkin perasaan Mbak aja.

Kutundukkan kepala untuk menekuri lantai sebentar, sebelum akhirnya kuajak Mbak Lila kembali masuk ke dalam untuk makan es krim lagi. Kahla bisa jadi merasa tidak nyaman kalau ditinggal sendirian terlalu lama.

Sayangnya, besok-besok aku baru paham kalau hari itu aku terlalu meremehkan pertanyaan Mbak Lila.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top