02 | Seharusnya Tidak Seasing Itu

Kepala Wahyu menyelip masuk di antara celah pintu, melongok mencari-cari orang yang tak sepantasnya di kelas itu.

Tak butuh waktu lama, matanya berhasil menemukan kami—spesifiknya: aku dan Dine—sambil melotot, dan itu mengingatkanku kepada penari Bali yang joget-joget leher sambil melotot tanpa senyum.

"Buruan keluar, sini," titahnya. "Ada orang."

Setelah itu dia menyingkir jauh dari pintu.

Aku bergegas menepuk Dine, mengajaknya berdiri. Oh, jelas-jelas aku paham bahwa yang dimaksud Wahyu adalah para anggota klub dance yang sudah selesai tampil dan hendak menguasai kembali ruangan ini beserta AC-nya. Walaupun Wahyu hanya bilang, Ada orang.

Awalnya Dine enggan bangkit, posisinya langsung malas-malasan. Keluhannya meluncur hanya karena dia ingin menyejukkan diri di bawah AC lebih lama. Ujung-ujungnya dia menyalahkan matahari yang terlalu terik.

"Asli, Er. Misalnya kita setor kaki ke depan pintu aja, nih, pasti panasnya udah kerasa banget," gerutunya sambil melangkah gontai malas-malasan.

Sambil mengangkat bahu, aku mendorong punggung Dine agar dia lekas jalan. "Yah, gimana, ya. Kalau enggak panas, namanya bukan Bekasi."

Dibungkam fakta pahit, Dine menggerutu tidak jelas, dan akhirnya mengalah untuk keluar ruangan.

Untungnya kami menginjakkan kaki ke dunia luar tepat sebelum segerombolan anak klub dance menyerbu pintu. Berbagai macam obrolan mengudara selagi mereka melintas, ditambah dengan sorak-sorai seolah mereka saling menyemangati setelah tampil.

Namun, suara mereka perlahan memudar ketika sudah benar-benar masuk ke dalam ruangan. Entah apakah karena mereka lega diterpa angin AC, atau mungkin mendadak canggung ketika melihat Raya dan Mona.

Yah, itu masalah mereka. Biarlah mereka mengurus dramanya sendiri.

"Tuh, Er, coba lihat." Dine tiba-tiba mencolekku sampai menoleh. "Betulan Kelvin, 'kan? Aku enggak bohong, 'kan? Emang kamunya aja ...."

Bersamaan dengan kata-katanya yang pudar di akhir, aku mengangkat alis, menjulurkan leher, berusaha mencari sosok Kelvin di sekitar Wahyu dan Akbar yang berdiri berdekatan.

Setelah sekali lagi kupaksa mataku menyipit demi mengaktifkan daya akomodasi maksimal, barulah aku berhasil melihat wajah Kelvin di bawah bayang-bayang topi putihnya.

Di bawah matahari yang puas melihat kami kepanasan, aku dan Dine berjalan pelan berdampingan dalam perjalanan menuju Wahyu dan Akbar. Mereka berdiri diam menanti di bawah pohon rindang.

Tak jauh dari mereka, Kelvin berdiri di sana. Di sekitarnya ada Ipang dan beberapa anak cowok lain yang kukenali sebagai teman sefutsalnya—dan rupanya Viktor sungguhan ada di sana.

Atas nama refleks, keningku berkerut jengkel mengingat ekspresi jahatnya yang diarahkan padaku. Padahal aku tidak punya urusan apa-apa dengannya.

Namun, lain dariku, Dine justru melotot antusias.

"Eh, ada Viktor!" desisnya dengan wajah sumringah. Sedetik kemudian senyumnya luntur. Seolah-olah ada ingatan lain yang baru menghantam kepalanya. "Wah, mampus aku."

Entah kenapa kesialan Dine selalu menarik perhatianku. "Kenapa?"

Dine berdecak lidah. Tangannya menarik bahuku sampai aku nyaris limbung ke belakang. Aku tidak banyak protes karena tahu betul apa artinya.

Ini pertanda adanya gosip dadakan.

"Jadi," mulainya, "waktu bagi rapot kemarin, aku mau kabur begitu Bu Isma mulai cerita ini-itu ke ibuku. Soalnya pas Bu Isma mulai bahas kelakuan dan nilai-nilai tugas harianku, muka ibuku enggak enak dipandang." Dine bercerita dengan langkah lambat-lambat. "Terus pas aku baru julur satu kaki diam-diam ke luar pintu, tiba-tiba aku lihat Viktor. Kayaknya dia lari-lari kecil dari jauh."

Kutebak kelanjutannya jelek. "Terus?"

Dine berhenti melangkah. Aku ikut-ikutan. "Terus dia nyungsruk," katanya. "Dan begonya, aku malah ngakak besar."

"Habis itu kamu bantu dia berdiri?"

"Enggak."

"...."

"...."

"... Tadinya aku mau heran, tapi ini kamu."

"Maaf, atuh. Kan, refleks."

Pahamlah aku sekarang alasan kenapa Viktor menatapku dengan sinis sebelumnya. Mungkin sebenarnya dia bukan jengkel kepadaku, melainkan kepada Dine yang sedang asyik berbahagia seolah tidak ingat punya dosa mentertawakan orang yang terselengkat kakinya yang panjang.

Sudahlah korbannya Viktor.

Di hari pembagian rapot.

Di depan banyak wali murid pula.

Kalau aku jadi Viktor, mungkin aku sudah mendoakan yang terbaik untuk Dine setiap malam, sebelum tidur.

"Nah, lho. Dia lihat ke sini." Dine merengek. Kedua tangannya menggenggam lengan bawahku erat-erat. Begitu kutatap ke depan, memang benar Viktor sedang mengarahkan tatapannya pada kami. Dua kali lipat dari yang dia tujukan padaku sebelumnya.

Sekarang, cewek ganteng yang tingginya bahkan melebihi Viktor ini malah berusaha sembunyi di bawah ketiakku.

"Gimana ini? Matanya seram gitu. Masih ganteng, sih, tapi kalau matanya sinis begitu siapa yang enggak takut, coba?"

Aku. Soalnya aku enggak salah apa-apa.

Tadinya aku ingin bilang begitu, tetapi batal. Demi menjaga persahabatan yang indah dan terarah, aku berbohong dengan cara menganggukkan kepala. Rambutku yang dicepol mulai meloloskan beberapa helai begitu aku mengangguk, mendarat menutupi leher, turun membingkai wajah.

"Nah, sekarang," kudorong tangannya menjauh, "ayo minta maaf sebelum hubungan kalian semakin enggak tergapai."

Ada keengganan yang terpantul jelas di mata Dine. "Kayaknya aku pulang sekarang aja, deh. Tadi ibuku telepon," dia bergumam.

"Ah, masa?"

"Ih, betulan."

"Ih, Dine enggak mau minta maaf," cibirku. "Ih, Dine cemen."

Dine cemberut. Masih tidak mau kalah, dia berdiri tegap, berjalan cepat. Bukan ke arah tempat yang rindang, melainkan secara spesifik ke arah Kelvin yang sedang berbincang-bincang sambil mengayun-ayunkan botol minuman isotoniknya.

"KELVIN!"

"DIH?" Aku berseru tidak terima. "CURANG! MALAH GANTI TOPIK!"

Tak peduli, cewek ganteng itu menunjuk-menunjuk kepalaku penuh semangat. "VIN, LIHAT, DEH! RAMBUT ERA BERANTAKAN!"

Aku menggeram, meniup poni tepat ketika Kelvin menoleh. Mata kami bersibobrok. Hanya sekilas, karena setelah itu dia kembali menatap Dine sambil mengangkat sedikit topi pausnya.

"Ya, terus?"

Dine mesem-mesem. "Aduh, enggak ada niat buat betulin rambutnya, nih?"

Kepala Kelvin miring ke kanan, alisnya terangkat sebelah. "Enggak, tuh?"

Gerakan Dine mendadak berhenti total. Bukan hanya dia yang mendadak berperilaku aneh, bahkan Wahyu mengangkat alis dan Akbar berkedip-kedip penuh curiga. Berbanding terbalik dengan reaksi sunyi mereka bertiga, beberapa teman futsal Kelvin justru berseru-seru heboh sok kecewa. Suara Ipang adalah yang paling terdengar jelas.

Aku tidak tahu persis ekspresiku seperti apa, yang jelas aku tidak mencoba untuk tersenyum ataupun memasang wajah galak.

Biasa saja.

Yah, tadinya aku merasa biasa saja. Sampai kemudian Dine menoleh horor kepadaku, barulah aku merasakan adanya kengerian yang semakin menjadi di dalam pikirannya.

Tanpa mengatakan sepatah kata apa pun, dia menarikku menjauh dari kerumunan cowok. Kulihat air wajahnya berubah tegang.

"Kalian KDRT?"

"Enggak," jawabku santai. "Yah, secara logika, kalau rambutku berantakan emangnya kenapa? Aku, kan, bisa kucir ulang sendiri."

Tatapan horor Dine masih belum luntur. "Seriusan?" tanyanya, masih bersikeras mendengar jawaban yang dia inginkan. "Yakin enggak ada yang perlu kamu kasih tahu aku?"

Kuhela napas keras-keras.

"Yah," aku bergumam, menatap ujung sepatu, "sebenarnya ada, sih."

Kalau kalian ingin mendengarnya juga, mari sini kuceritakan.

Pada malam terakhir (setelah malam puncak) karyawisata saat liburan semester kemarin, Kelvin meneleponku saat aku sedang berusaha menyelesaikan tugas reportase sebelum tepar selama perjalanan pulang. Dia menyunting video, aku mengetik teks berdasarkan hasil rekaman audio.

Secara tidak langsung, kami saling menemani di tengah momen bergadang dadakan itu.

Ada banyak hal yang kami bahas, tentu saja. Salah satunya adalah persoalan "batas".

Ingat saat aku marah-marah dan tidak sengaja bilang kalau perbuatan Kelvin selama ini membuatku dipandang manja? Nah, rupanya cerocosanku yang satu itu sungguhan didengar olehnya, bahkan dipikirkan dalam-dalam juga.

Kelvin mengira aku tidak nyaman dengan segala pelayanan yang dia lakukan selama ini, karena mungkin aku mengatakannya dengan amat sangat tulus.

Padahal saat itu aku hanya mengeluarkan unek-unek karena Jenny menganggapku sebagai tuan putri yang tidak bisa apa-apa tanpa Kelvin.

Oke, itu masa lalu. Sekarang aku dan Jenny tidak saling melempar lirikan keji, kok.

Nah, lanjut.

Setelah itu Kelvin menawarkan perjanjian denganku. Katanya aku boleh memutuskan sampai mana batas pelayanan yang dia berikan. Aku boleh membuat garis batas, menciptakan ruangku sendiri, membuat larangan ini-itu setiap kali dia mampir, dan lainnya. Kelvin bahkan bilang bahwa dia tidak akan masuk lewat jendela kamarku lagi mulai sekarang, kecuali bila terjadi sesuatu.

Sesuatu yang benar-benar genting, gawat, dan bahaya.

Itulah kenapa Kelvin melontarkan dua kata penolakan sederhana itu untuk menjawab seruan iseng Dine. Yang mana—kalau aku boleh jujur—rasanya agak janggal dan menyakitkan.

Mungkin rasanya agak janggal karena selama ini Kelvin selalu membantuku bahkan dalam hal remeh sekalipun, bahkan dalam masalah menata rambut (saat SMP dulu, Kelvin hobi memilin-milin rambutku).

Itulah kenapa aku belum terbiasa mendengar penolakan tajam darinya. Dari mulut cowok lain, sih, oke. Aku maklum karena belum tahu perangai mereka.

Kalau Kelvin? Percayalah, dia lain cerita.

Jangankan aku, bahkan mama pun tertegun selama tiga hari. Entah sudah berapa kali aku ditanya apakah kami bertengkar atau tidak.

Lucunya, hari ini Dine sama tertegunnya dengan mama waktu itu.

Namun, alih-alih buang-buang tenaga untuk bertanya apakah kami bertengkar atau tidak, dia justru manggut-manggut pertanda paham.

"Aku setuju soal jangan masuk ke kamarmu lewat jendela. Orang-orang butuh privasi. Dan bukannya mempermasalahkan gender atau apa, ya, maksudku di sini posisimu cewek. Dan di negeri kita ini, batasan antara cowok dan cewek masih jadi perihal budaya yang sakral. Makanya aku setuju soal bikin jarak," katanya. "Tapi aku enggak setuju kalau perjanjian itu bikin kalian sampai terpaksa berlagak pura-pura enggak kenal. Mau kayak gimana pun, kalau seseorang udah dikenal lengket sama seseorang lainnya, lalu tiba-tiba mereka pisah—itu udah jelas banget bakal bikin orang bertanya-tanya."

Aku melengos. Pelan-pelan meringis.

Sewaktu SMP dulu juga pernah ada seorang anak yang bilang begitu padaku. Saking kuatnya kesan "di mana ada Era, di situ ada Kelvin" selama tiga tahun berseragam putih-biru. Aku sampai meradang karena anak itu bilang seharusnya aku terus bersama anak Tante Indri yang paling tampan itu hanya karena aku tetangganya.

Nyebelin banget. Begitu pikirku waktu itu.

Dulu aku juga pernah menjadi cupid beberapa kali—oh, atau mungkin "tukang pos surat cinta monyet" bakal terdengar lebih tepat.

Nah, kejadian itu kualami di kelas sembilan, jadi saat itu aku sudah lumayan lelah diperalat, dan dalam sekejap aku langsung bertransformasi menjadi sosok-yang-sedang-belajar-untuk-menjadi-keras-kepala. Makanya waktu itu aku membalas ucapan si-anak-sok-tahu dengan sadis sampai anaknya nyaris ketakutan.

Kali ini aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama; menyakiti hati lawan bicara, maksudku.

Jadi daripada membalas argumen Dine dengan segudang kata yang sudah kusiapkan di kepala, aku memilih untuk manut dan mengangguk. Lagi.

Puas melihatku menurut, wajah Dine berubah menjadi sumringah.

"Ayo, deh," katanya sambil merangkulku. "Kita jajan es lagi, habis itu kukepang rambutmu. Kasihan itu lehermu pasti gerah kena rambut awut-awutan begitu. Kemarin aku dikasih karet rambut sama tanteku. Katanya buat kucir poni—ngejek banget emang, mentang-mentang yang bisa dikucir cuma poniku doang—tapi masalahnya, di karet ini ada pitanya gitu. Bentuknya manis banget, deh. Lebih cocok kalau kamu yang pakai."

Bibirku mengerucut, menahan malu lantaran dipuji. Dengan penuh rasa respek kubalas rangkulan Dine walau sedikit sulit meraih bahunya.

"Trims, Din." Kutepuk bahunya dua kali. "Kamu yang terbaik pokoknya."

Dine mengendus-endus udara di sekitar. "Hm, bau tahu di balik tepung," gumamnya, merujuk kepada kata-kata kosongku yang terdengar manis. "Eh, ini jadinya kita mau jajan lagi, 'kan? Maksudku, biar kita jalannya sekalian belok aja, enggak usah ke tempat cowok-cowok yang tadi."

"Erh ..., kayaknya aku enggak usah, deh."

"Lho, kenapa?"

Aku meringis. "Uangku habis."

"HAH?" Dine melotot. Tidak lebih horor daripada saat dia bingung dengan kondisi antara aku dan Kelvin tadi, tetapi tetap horor. "Kok, bisa? Tadi kita baru jajan es doang, lho? Emangnya kamu bawa uang berapa?"

Penuh rasa bangga kuangkat ketiga jariku sudah dua kali pengalaman melakukan cap tiga jari ijazah sekolah.

Iya, maksudnya tiga ribu rupiah. Tidak banyak-banyak. Itu pun bukan uang yang kuambil dari celengan dengan sengaja, melainkan sisa uang simpanan yang kutemukan di balik casing ponsel.

Ini terjadi karena kemunculan Dine terlalu terburu-buru. Dia berdusta atas nama Raya, bilang kalau sebentar lagi giliran sekolah kami. Jadi aku panik dan hanya bisa menyambar ponsel yang memang sedang tergeletak di sebelah kakiku. Jangankan mengambil sling bag, salim ke mama pun tidak sempat.

Pokoknya kekacauan itu terjadi kurang dari semenit.

Sekarang, bertolak belakang dengan aku yang bangga karena hanya membawa uang sesedikit itu, Dine justru geleng-geleng dengan wajah prihatin.

"Gila," desisnya. "Kamu hidup di zaman kapan, Er? Sebelum ada krisis moneter?"

"Coba tanya ke orang yang tadi pagi bikin aku panik sampai lupa buat ambil tas."

Masih sambil merangkulku, cengiran Dine melebar dan dia menambahkan suara kekeh geli nan menyebalkan sebagai pelengkap. "Tenang, Er, tenang. Enggak cuma tetanggamu yang bisa traktir orang. Aku juga bisa."

•∆•

Kantin sekolah ini rupanya menjual es kepal.

Mama pernah bilang kalau es kepal yang sedang tren belakangan ini punya rasa yang terlalu manis. Namun, sebagai penderita hipotensi aku menolak argumen itu. Es kepal mampu menyelamatkanku dari bayangan hitam ketika bangun dari posisi kepala lebih rendah dari kaki, juga membuatku bertahan untuk tidak makan manisan selama seminggu.

"Gila, ya," komentar Dine begitu aku menyuap es kepal ke dalam mulut tanpa meringis. "Enggak kemanisan, Er?"

Di atas bangku panjang meja kantin, kuemut sendok plastik sambil goyang-goyang kaki. "Enggak, kok. Kalau makannya sedikit-sedikit, rasanya enak. Kecuali kalau caramu makan es udah kayak makan nasi, nah, baru giung."

Di atas bangku panjang, aku duduk menyampingi meja, karena Dine sedang menata rambutku. Dan karena wadah es kepal ini setara dengan pangkuanku, mau tak mau aku harus menunduk untuk menyendokkan isinya lagi.

Nahas, begitu aku menunduk sedikit saja, Dine langsung menarik rambutku sampai aku terdongak. Dine bersungut-sungut karena ini yang kedua kalinya aku refleks menunduk. Sehingga—katanya—aliran kekonsistenan dalam kepangan pendek ciptaannya terancam berantakan.

Jangan tanya aku apa artinya. Aku juga tidak paham.

Seselesainya Dine mengepang, Wahyu dan Akbar tiba-tiba muncul entah dari arah mana. Di belakangnya ada Ipang, Kelvin, dan beberapa anak futsal yang langsung menempati bangku kosong di meja yang aku dan Dine tempati.

Viktor termasuk, tetapi dia duduk di kursi yang paling ujung, paling jauh, paling terhindar dari Dine.

Wahyu adalah orang pertama yang berkomentar, "Ditunggu malah kabur. Jajan es pula."

"Sahabatku," sahut Dine. "Sesungguhnya iri pertanda tak mampu."

Tak berminat masuk ke perdebatan mereka, akhirnya aku lebih memilih menyaksikan Kelvin mengambil tempat duduk di sisi kosongku yang satunya lagi. Sambil mengangkat topi sampai lepas, alisnya terangkat begitu melihat rambutku.

"Ganti model? Kenapa sama yang tadi?" tanyanya.

"Udah berantakan. Leherku juga gerah," jawabku sekenanya.

Tangan kiri Kelvin terangkat, telunjuknya mencolek-colek kuciran pita yang mengikat pangkal rambutku. "Ini punya siapa?"

"Dine." Kusuap lagi sesendok es kepal. "Dia juga yang buat kepangannya."

Dine mengayunkan punggungnya ke belakang sampai dia bisa melihat Kelvin dengan jelas. Penuh rasa bangga dia mengangkat ibu jari dan telunjuknya ke bawah dagu. Kedua ujung bibirnya ditarik ke dua sisi berlawanan. Alisnya naik-turun dengan centil.

"Gimana, gimana?" serangnya. "Bagus, 'kan? Lucu, 'kan? Era jadi tambah manis, 'kan?"

Aku tersedak, melotot. Senyumku luntur. "Din, kayaknya yang terakhir enggak perlu, deh."

"Apa salahnya?" Kelvin yang menyahut. Dia tengah bertopang dagu begitu aku melihat ke arahnya lagi. "Emang manis, kok."

"Pin, enggak usah ikut-ikutan."

Dine bergidik geli lalu tergelak sendiri setelah mengulangi kalimat Kelvin. "Ipi silihnyi? Iming minis, kik."

Kuhajar pinggang Dine dengan siku, dan meledaklah tawanya sekali lagi. Mulutnya baru berhenti mencemooh karena digunakan untuk menyedot es cincau. Selesai mengunyah dan menelan, dia kembali menoleh ke arah Kelvin sambil memanjangkan leher—karena aku duduk menghalangi di antara keduanya.

"Eh, Vin."

"Hm?"

"Ini yang lainnya anak futsal, 'kan? Kalian ramai-ramai ke sini buat apa?" Dine bertanya. "Berburu cewek cakep? Minta nomor penjaga kantin yang di situ? Atau apa?"

"Astaghfirullah." Itu bukan Kelvin, melainkan Ipang. Dia melotot, duduk persis di seberang Dine. Eskpresi terperanjatnya tampak dramatis. Bahkan tangannya bergerak ke depan dada. "Serendah itu derajat kami di matamu, Din? Bukankah kita rekan?"

"Kan, makanya aku tanya." Dine mencomot bubuk susu yang terhampar di sisi wadah es kepalku, kemudian melemparnya ke arah Ipang. Dia mendecakkan lidah karena cowok kurus di depannya terlalu banyak membadut.

Ipang manyun. Tangannya bergerak memutar-mutar ponsel. "Aku enggak tahu persisnya, sih. Ikut-ikut aja. Tapi Kelvin dan yang lain tahu, kok. Eh, jangan melotot, Din. Lama-lama kamu bisa mirip Mamih."

Keningku berkerut ekstrem. "Aku punya nama."

"Mamih Era?"

Kutunjuk Ipang dengan sendok. "Pang."

"Oke. Aku baik, aku diam."

Di sebelahku, Kelvin geleng-geleng kepala tak habis pikir sebelum angkat suara.

"Singkatnya, ada anak futsal yang pindah ke klub dance baru-baru ini. Tariannya bagus, energinya oke. Buktinya dia bisa langsung masuk ke tim yang lomba hari ini. Padahal secara logika dia seharusnya masih harus banyak latihan," tuturnya. "Masalahnya, dia kurang percaya diri sejak beberapa anak futsal kelas 12 mulai komentar ini-itu tentang keputusannya. Makanya kami ke sini."

Dine ber-oh panjang. "Buat jadi suporter, gitu?"

"Yap."

Aku manggut-manggut paham, kembali mengeruk es kepal sampai sendoknya penuh. "Kayak kita yang ke sini buat Raya sama Mona, ya." Lalu kulahap.

Tepat setelah aku menyuap es kepal sekali lagi, Kelvin mengambil wadah dari tanganku tanpa izin. Diangkat olehnya benda itu sampai sejajar dengan wajahnya. Ada berbagai ekspresi yang sulit dibaca di sana. Seolah-olah dia sedang menghitung perkiraan kalori dan kandungan gula di dalam wadah plastik itu.

Begitu otot-otot wajahnya kembali rileks, dia mengembalikan es kepal itu padaku.

"Kayaknya cukup buat kebutuhan gula seminggu, ya," katanya.

Aku menoleh ke arah Dine, tersenyum mengejek seolah bilang, Tuh, 'kan?

"Tapi tetap enggak boleh banyak-banyak. Itu kemanisan." Kelvin menambahkan, dan Dine langsung balas mengejekku sebesar dua kali lipat menyebalkannya. "Tuh, isinya gula sama cokelat semua."

Bibirku maju. Tidak terima kekalahan, apalagi dari Dine.

"Eh, iya. Mona ajak jalan-jalan ke SMB habis ini," kata Akbar tiba-tiba. Tatapannya berpindah tempat antara aku dan Dine, berulang kali. "Kalian ikut?"

Bukan main, aku langsung cemberut. Dine—yang paham bahwa aku kekurangan simpanan uang—hendak mentertawakanku lagi, tetapi ponselnya lebih dulu menginterupsi dengan cara berdering heboh.

Hampir semua orang spontan melihat ke arahnya, yang mana membuat Dine buru-buru mendesis menahan malu.

Bergegas dia mengangkat panggilan masuk itu tanpa berpindah tempat. Betapa pilihan yang bagus karena itu artinya aku punya alasan untuk menghindari tatapan Akbar yang menanti jawaban.

Selesai bertelepon, Dine mendecakkan lidahnya keras-keras.

"Aku enggak ikut," katanya dongkol. "Ibuku telepon lagi. Aku disuruh jemput adik di rumah nenek."

"Aku juga enggak ikut. Enggak bawa uang," timpalku. Dengan berat hati kuangkat bahu ketika Wahyu menatapku dengan aneh.

"Itu es dari mana?"

"Ditraktir Dine."

Wahyu bersedekap. "Aku bawa dompet."

"Aku enggak mau ditraktir terus dalam sehari," sanggahku. "Rasanya nyebelin. Aku jadi kayak lintah."

Wahyu mencebik mendengar jawabanku. "Biasanya juga minta ditraktir cowoknya."

Lho?

Oh, gitu?

Dibaikin malah ngelunjak, ya?

"Iya, 'kan?" Wahyu masih menyerang. Senyum miringnya membuat tanganku gatal ingin menghajar wajahnya. "Traktiran Dine enggak seberapa sama Kelvin."

Aku berdecih. "Wahyu bacot."

"LHO, ERA?"

"AHAHAHAHA! WOW, WOW, WOW—!"

Hampir semua orang yang ada di meja ini berseru demikian, tetapi Dine menjadi satu-satunya orang yang cepat-cepat menarikku ke dalam pelukan, mengusap kepalaku, lalu menepuk pipiku sampai aku berhenti menatap Wahyu dengan tajam.

Di seberang meja, Ipang terpingkal-pingkal. Meja di depannya resmi menjadi korban pukulan.

"Tahan, Er, tahan. Wahyu emang kampret, tapi tolong tahan." Dine merapal mantra, kemudian dia melotot dan mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Wahyu. "Orang toxic harap jauh-jauh! Jangan nodai Era lebih dari ini!"

Akbar cengar-cengir di sebelah Wahyu, tetapi dia tetap berusaha menjauhkan kawannya itu sebelum aku benar-benar melempar sendok es kepal dan memulai perang. Cowok kalem itu lantas mendorong-dorong Wahyu untuk segera hengkang dari sini.

"Ya udah, kita duluan, ya," pamitnya. "Hati-hati pulangnya. Kasih kabar kalau udah sampai di rumah."

Dine mengacungkan ibu jarinya. Aku masih bersungut-sungut dalam pelukan Dine. Lalu begitu saja-Wahyu dan Akbar langsung hilang ditelan keramaian.

Kelvin maju, bergerak mendekat hanya untuk menyentil pipiku dengan pelan nan telak. "Mulutnya," dia menegur.

"Dia duluan," sungutku. "Nyebelin."

"Yah, enggak nyebelin, enggak Wahyu." Dine akhirnya melepaskanku. Tatapannya lurus ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja, dan dalam sekejap dia cemberut. "Tapi, Er, kayaknya aku betulan enggak bisa antar kamu pulang."

Aku mengulum bibir. Mendadak merasa aneh.

Sejak insiden kejar-kejaran sampai adegan tenggelam di kolam renang vila itu, ada perjanjian tak tertulis yang mana isinya membahas tentang teman-teman yang melihat langsung insiden kolam renang waktu itu tidak akan membiarkanku pergi sendiri bila jaraknya jauh, atau tempatnya benar-benar asing, atau aku tidak kenal daerah tersebut.

Sebenarnya hati besarku sudah percaya diri bahwa aku akan baik-baik saja. Namun, sayangnya hati kecil tidak pernah berbohong: aku masih takut.

Asal kalian tahu, bertemu dengan orang aneh yang mengetahui namamu bahkan sampai membuat kakimu terkilir dan rahang tetanggamu membiru kena jotosan bukanlah kenangan yang menyenangkan.

"Mau kuantar?"

Kutolehkan kepala dan langsung bertemu pandang dengan Kelvin yang tengah memiringkan kepala, asyik menatapku yang tengah dilanda kebingungan.

"Tapi," aku menggigit sendok plastik, "sayang bensinnya kalau bolak-balik," kataku hati-hati. Tak lupa berdoa di dalam hati semoga ucapanku masuk akal.

"Ya ampun, Mih." Ipang menyahut. "Kelvin, kan, enggak seasing itu buat jadi ojek Mamih. Kenapa harus enggak enak hati?"

Enggak seasing itu ....

Kenapa rasanya barusan aku tertampar, ya? Apa kesannya aku memang sedang terang-terangan menjauh?

"Aku paham kamu lagi kepikiran sama batas yang waktu itu kita bahas." Kelvin mendekat. Tidak ada senyuman begitu aku menatapnya tepat di mata, dan dia berkata dengan suara rendah seolah-olah tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya. "Tapi aku masih ragu kalau sekarang kamu pulang sendiri, karena kamu enggak kenal daerah ini."

Aku diam. Dalam hati aku merutuk karena persoalan pulang ke rumah saja bisa sampai serumit ini.

"Oke," kataku akhirnya. "Tapi nanti kubayar buat bensinnya, ya."

Dine menatapku lurus-lurus. Dia bahkan sempat-sempatnya melirik Kelvin secara terang-terangan. Misalnya boleh kubilang, ekspresinya kecut, aneh, dan baru. Seumur-umur aku melihat Dine setiap hari, ini pertama kalinya dia memasang air wajah begini.

"Betulan, nih, enggak apa-apa kalau kutinggal duluan?" tanyanya.

"Betulan." Aku mengangguk santai. "Sana, gih," usirku tulus.

Mata Dine menampilkan sorot sayu sok manja selama dua detik, lalu berubah menjadi pelototan galak begitu dia beralih kepada Kelvin. Jari telunjuk dan tengahnya teracung; dia menunjuk matanya sendiri, lalu menunjuk Kelvin di momen berikutnya.

"Kalau sampai Era kenapa-kenapa sebelum sampai ke rumah ...," Dine menggambar garis horizontal imajiner di leher dengan ibu jarinya, "awas aja nanti."

Setelah itu Dine melesat menuju parkiran motor, meninggalkan aku sendirian di tengah-tengah kerumunan anak cowok, di sebelah Kelvin yang masih menatap ke arah Dine pergi dengan sorot mata tak terbaca.

Sekarang Kelvin mirip tokoh cowok di film-film yang—sebenarnya—tidak punya salah, tetapi malah kelihatan serba salah karena dikecam seorang cewek.

Sepeninggal Dine, Kelvin memiringkan tubuhnya menghadapku, agak mundur seraya menopang pipinya di atas kepalan tangan. Kedua alisnya bertaut, keningnya berkerut dalam. Dan barangkali kerutannya jadi tambah dalam karena melihatku sedang mengulum bibir, berusaha menahan tawa agar tidak lolos hanya karena melihat ekspresinya.

"Oke ...," katanya lambat-lambat. "Dia yang mendadak protektif atau emang aku yang punya salah ke kamu sebelumnya?"

Cengiranku lepas, aku menggeleng. "Masalah cewek," aku berkilah. Kukeruk wadah es kepal untuk yang terakhir kalinya, kemudian kusodorkan sendoknya ke arah Kelvin. "Mau coba?"

Kelvin membuka mulut, membiarkanku menyuapkan sesendok es kepal terakhir.

Ipang mencibir di seberang meja. "Aduh, senangnya yang udah enggak canggung."

Aku nyengir ketika Kelvin melemparkan senyum mengejek ke arah Ipang. Meskipun tengil, kupikir ucapan Ipang patut dijadikan renungan serta pengingat.

Walau ada batas baru, mungkin memang hubunganku dengan Kelvin seharusnya tidak seasing itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top