01 | Matahari Bekasi Siang Hari Itu

Kalau bukan karena asas kekeluargaan, hari ini kami tidak akan berdiri di tepi lapangan sekolah orang.

Iya, kami.

Karena di sebelahku ada Dine, Wahyu, dan Akbar. Kami berdiri berjajar bak tangga nada. Dari kiri ke kanan; dari aku ke Akbar, lalu Wahyu, dan akhirnya Dine. Setahuku Wahyu jadi tambah tinggi setelah liburan tahun ajaran baru, jadi aku tidak tahu persisnya siapa yang lebih tinggi di antara mereka berdua sekarang.

Yah, intinya, aku tidak sendirian.

Secara umum kemunculan kami berempat di tempat ini adalah sebagai suporter. Demi membakar semangat para anggota klub dance yang terlibat ke dalam perlombaan tingkat provinsi, kami rela berdiri di bawah teriknya matahari.

Di tempat lain (mungkin sebenarnya tidak jauh dari lokasi kami berdiri) ada beberapa anak kelas lain yang juga datang untuk menyambut kartu as mereka masing-masing.

Kartu as kami berempat jelas Raya dan Mona.

Oh, iya. Aku pernah bilang kalau Raya anak klub dance, tetapi belum soal Mona, ya?

Nah, jadi, secara mengejutkan Mona memilih klub ekstrakurikuler yang satu itu daripada yang lain. Entah motif sebenarnya apa, yang jelas dia mematahkan stereotip bahwa dancer harus berbadan kecil, atau tinggi, atau kurus.

Tariannya bagus, lho! Dia juga lincah! Energinya seolah tidak pernah habis dan kekuatannya di setiap gerakan mantap betul tanpa celah. Aku mendadak jadi penggemar nomor satunya.

... Atau mungkin nomor dua. Soalnya aku yakin posisi pertama diambil Akbar.

Yah, siapa, sih, yang enggak mau jadi penggemar nomor satunya gebetan—walaupun dianya enggak peka? Hati kecilku mengingatkan, meminta egoku untuk mengalah.

Singkat cerita, Minggu pagi ini, aku yang lupa tanggal berapa persisnya lomba dance itu diadakan tiba-tiba didatangi Dine dengan sepeda motornya. Momen itu terjadi tepat ketika aku sedang menggunting kuku kaki di teras depan rumah. Di belakangnya ada Wahyu yang memboncengi Akbar.

Beruntunglah aku karena sedang menggunting kuku kaki dalam keadaan sudah mandi.

Akhirnya—sebelum mama keluar dari dapur dan memaksa mereka untuk masuk bertamu—aku pamit dengan alasan yang sebenar-benarnya. Setelah itu aku naik ke atas jok belakang motor Dine, meluncur dengan jantung setengah aman selama diboncenginya.

Berhubung cuaca sedang terik-teriknya, kami berempat akhirnya membeli minuman dingin ketika sudah sampai di lokasi perlombaan. Setelah itu kami buru-buru melipir di tepi lapangan yang sejuk dan rimbun di bawah pohon sebelum tempatnya diambil orang.

Di situ kami masih mengoceh, membicarakan hal secara acak nan tidak bermanfaat, mengomentari tim dari sekolah lain, menggosipi guru-guru di sekolah, dan lain sebagainya.

Sampai akhirnya kami meneguk minuman dingin masing-masing dengan khusyuk, barulah kami terdiam.

Maksudku benar-benar diam.

Tidak ada lagi obrolan setelah itu.

Wahyu tampaknya hendak menjadi orang pertama yang memecah kesunyian di antara kami. Dia bilang, "Kata ibuku, kalau tadinya segerombol orang lagi asyik ngobrol terus tiba-tiba hening, itu berarti ada setan lewat."

Tadinya aku sebal hanya karena lupa untuk membawa jepit rambut—poniku mulai panjang, keningku gerah, dan itu menyebalkan. Sekarang aku semakin sebal dengan ocehan tidak penting Wahyu. Rasanya cuaca makin panas dan kian menyebalkan.

Bohong kalau aku bilang tidak ingin menggebuk bahu Wahyu dengan plastik es teh yang sedang kucekik erat-erat. Nahas, harganya yang mencapai lima ribu rupiah per bungkus membuatku enggan.

Alhasil aku hanya bisa menegur, "Kalau ngomong jangan suka sembarangan."

Wahyu melimbai. Jelas sekali dia bakal melawan ucapanku.

"Mana ada sembarangan kalau udah seorang ibu yang bilang begitu?"

"Ibumu bilang begitu karena kesepian, enggak ada teman, butuh rekan gosip," sahut Dine setelah berhasil menelan es cincau. Wajahnya serius begitu dia melirik Wahyu. "Itu tandanya kamu harus jadi lambe turah."

Akbar, yang sedari tadi diam walau terjepit perdebatan tak penting di antara kami, bergumam-gumam. "Bukannya dia udah dari lama, ya, jadi lambe turah?" tanyanya, lebih terdengar seperti monolog ketimbang bertanya sungguhan.

Meskipun begitu, Dine tetap meresponsnya. "Mungkin bakat lambe turah Wahyu terkikis selama liburan semester kemarin."

Ini kita lagi bahas apa, sih?

"Tolonglah, kalian." Kunyalakan ponsel sekilas untuk melihat jam, lalu mendadak yakin bahwa spekulasiku tepat pada sasaran karena waktu menunjukkan pukul sebelas lewat. "Oh, udah siang. Pantas aja. Enggak heran kalian mulai eror."

Sambil berbalik lalu bersandar pelan-pelan pada jaring besi pembatas lapangan, Dine mencibir. "Kalau kita enggak ikut saran seseorang buat berdiri di sini sejak awal datang, kayaknya kita enggak bakal kepanasan."

Wah, jelas itu sindiran. Tidak salah lagi. Soalnya wajah Wahyu mulai masam.

"Tadi ada yang bilang enggak masalah kalau kita berdiri di sini, sih," sambar Wahyu.

Dine mengerling jengkel sambil pura-pura tidak melihat lawan bicaranya. "Oh, ya? Kalau enggak salah, tadi juga ada yang bilang di sini enggak bakal kerasa panas."

"Mana kutahu kalau di sini bisa kena panas juga?"

"Yah, seharusnya udah tahu, sih. Soalnya tadi yakin banget ucapannya."

Aku mengulum bibir. Diam-diam aku melirik Wahyu dengan Akbar—yang masih berusaha sabar sambil sibuk dengan ponsel dan minuman isotoniknya—sebagai tameng pemisah antara aku dan kericuhan. Wajah Wahyu mulai jengkel. Suaranya lebih jengkel lagi saat dia membalas ucapan Dine.

Katanya, "Kalau kita ambil tempat yang jauh dari sini, spot-nya enggak bakal pas buat lihat Raya."

Kali ini aku berdecak lidah keras-keras. "Raya doang, nih?"

Akbar terbatuk dengan suara vokal "A" samar-samar. Seolah-olah dia memang sengaja batuk hanya untuk menyamarkan tawanya. Bergegas Akbar menggunakan tangan kanannya yang memegang botol untuk menghalangi mulut, dan tangan kirinya untuk menyenggolku yang sibuk menyeringai jahat ke arah Wahyu.

Dari tempatnya, Wahyu menatapku super datar. Jadi kulebarkan seringai sampai akhirnya dia melengos dariku.

Sayangnya, tengok kanan ataupun kiri sama-sama salah bagi Wahyu. Kalau menghadap kiri dia bertemu denganku (walau agak terhalang Akbar), sedangkan kalau menghadap kanan dia bakal bertemu langsung dengan tatapan dan senyum hina dari Dine.

Ketahuilah, suara tawa cewek jangkung itu malah terdengar lebih jahat lagi. Punggung tangan kanannya bahkan bergerak ke depan mulut dengan anggun bak penjahat.

"Dasar ABG," cemoohnya.

Wahyu mengumpat. Tanpa berpikir dua kali langsung mundur menjauh. Begitu melihat ada bagian koridor yang kosong, dia langsung mendaratkan bokongnya di sana. Duduk berselonjor sambil melepas kacamata demi mengusap peluh di pelipis dengan lengan baju.

Akbar membuntutinya, kemudian duduk menjeplak di sebelah Wahyu. Kutebak dia melakukan itu demi menjaga solidaritas antar kaum adam, jadi aku tidak akan menggodanya juga.

"Sabar, Bro," kata Akbar sembari menepuk-nepuk bahu Wahyu. "Orang sabar jodohnya cakep."

Aku mencebik, Dine mengulum bibir dengan dramatis. Dasar pundungan, begitu kurang lebih makna ekspresi kami.

Masih senantiasa mencekik plastik es teh, aku berdiri merapat pada Dine. Cewek tinggi itu juga melakukan hal serupa sehingga kami saling terpental begitu sama-sama menghajar bahu dengan bahu—ralat, sebenarnya bahu(ku) dengan lengan(nya).

Kalau posisi kami sudah berdempetan seperti ini, biasanya sebentar lagi akan muncul hasrat ingin bergosip atau bergunjing ria.

Kuperingatkan kalian; jangan ditiru!

Nahasnya, sebelum kami benar-benar membuka mulut untuk menggosipi kelakuan Wahyu, tepuk tangan dan sorak sorai terdengar riuh rendah di sepenjuru lapangan. Tadinya aku sempat kaget dan bertanya-tanya, tetapi kemudian tersadar bahwa musik telah berhenti dan penampilan-entah-dari-sekolah-mana ini telah resmi usai.

Dua orang MC berjalan sedikit memasuki lapangan untuk sekadar mengingatkan para penonton bahwa mereka masih eksis. Lalu mereka bertukar seruan heboh, berkomentar singkat tentang penampilan yang baru saja disajikan, berjalan penuh percaya diri ke hadapan lautan manusia.

Kepercayaan diri mereka dalam menggiring acara terpancar ke mana-mana, menebarkan hawa positif meskipun cuaca mulai tidak bersahabat.

"Waduh, udah pada minggir begitu, ya, duduknya. Kenapa, nih? Kepanasan, ya?" Si MC cewek bertanya lantang, memanas-manasi penonton yang terlanjur kepanasan. "Kalau menurut kita, nih, ya, daripada kalian berkeluh-kesah panas begitu, mending kalian jajan minuman dingin yang tersedia di stan sebelah sana! Enak-enak, lho!"

MC cowok menepuk-nepuk bahu rekannya sampai berbalik. "Sis, kayaknya mereka bukan mau minuman, deh," katanya. Jelas-jelas mengikuti alur skenario.

"Lho, terus maunya apa? Bansos?"

"Enggak, atuh."

"Ya, terus apa?"

"Mereka pasti maunya yang adem-adem, Sis. Yang cakep-cakep, yang bling-bling .... Heh, jangan sok halah-halah itu yang pakai baju hijau! Sombong gitu, ya." Si MC cowok maju, mengibaskan tangan seolah-olah gemas ingin menyabet orang berbaju hijau di salah satu sudut lapangan. "Diseret Nyi Roro Kidul mampus kau."

Si MC cewek menenggerkan lengannya di atas bahu kanan rekan sepembawa acaranya.

"Kayaknya dia sok-sokan karena belum lihat peserta yang selanjutnya, deh," katanya. "Ada yang imut-imut, ada yang badass, ada yang diam-diam menghanyutkan; beuh, kalian dijamin bakal klepek-klepek, deh! Tipe muka mereka dari Sabang sampai Merauke pun ada, lho. Menggambarkan nama sekolahnya banget."

Aku mengerjap. Entah bagaimana tiba-tiba merasa terpanggil.

"Wah, iya?" Si MC cowok menampilkan ekspresi terkejut yang dibuat-buat (dan ajaibnya terlihat oke). "Tadi kalau enggak salah ada yang namanya kayak gelar bangsawan zaman dulu, enggak, sih? Kayak Kanjeng, Kanjeng, gitu."

Oke, sekarang aku melotot; Dine memekik. Tanpa sadar kami berpegangan tangan, saling menggenggam sekuat tenaga. Dari sisi lapangan yang lain, aku mendengar jeritan serupa dan kukenali wajah-wajah familier yang tidak kukenal itu sebagai siswa-siswi dari sekolah yang sama denganku. Alarm di kepalaku meraungkan sinyal panggilan.

Bunyinya, Sebentar lagi giliran sekolah kita!

Dine bergegas balik kanan, menyeret Wahyu yang kebingungan. Akbar ikut berdiri tanpa ditarik-tarik, dia melihat ke sekeliling dengan sorot kagum bercampur penasaran. Barangkali tidak menyangka bahwa ternyata ada banyak anak sekolah yang datang ke sini juga.

"Kenapa, sih?" tanya Wahyu.

Dine merengek. Kentara betul dia kecewa dengan ketidakpekaan Wahyu. "Bangun, dong, ih! Sebentar lagi giliran sekolah kita. Jangan bengong di ubin begitu!"

Suara dehaman menyela euforia dadakan di lapangan. Si MC cowok adalah pelakunya. Di balik kepala mik, kulihat senyumannya yang tampak dipaksakan untuk tidak mekar. Mungkin dia sedang mencoba untuk pura-pura kalem. Lain dengan rekannya yang sudah keburu cengar-cengir dan menebarkan cahaya imajiner. Miknya masih berada di genggaman, tetapi dijauhkan dari bibir.

"Gawat, Sis. Kayaknya banyak yang paham kodenya, deh," ucap si MC cowok dengan suara bergetar menahan tawa. "Mereka langsung pada maju gitu, lho, duduknya. Mau kita panggil kapan, nih?"

"Kita tes suporternya dulu, dong." Si MC cewek berdeham, menurunkan lengannya dari bahu si cowok, kemudian maju ke depan sambil berseru, "EKHM, HALO HALO, YOROBUN¹! MASIH SEMANGAT ENGGAK, NIH?"

Semua orang berteriak dan Dine pun sama. Mereka menyerukan jawaban, "MASIH!" dengan suara yang menggetarkan telinga.

"Nah, gitu, dong!" Si MC cewek tertawa-tawa. Mulai terbawa suasana euforia. "Coba sini—SUPORTER SMA NUSANTARA MANA SUARANYA?"

Dine berseru-seru heboh di sebelahku. Aku cengar-cengir melihat gelagatnya. Refleks kujauhkan kepala begitu mendengar antusiasme yang mengudara. Hal ini kulakukan demi mencegah sakit telinga berlebih bila mendengar teriakannya.

Tepat ketika aku menjauhkan kepala, menoleh ke arah tengah lapangan, kemudian melihat ke sekeliling, seluruh gerak tubuhku mendadak beku. Segerombolan cowok di sisi lapangan yang sama dengan kami berempat—walaupun agak jauh—telah mencuri perhatianku.

Satu di antara mereka yang tinggi badannya lebih minimalis tak sengaja bertemu pandang denganku. Matanya datar, dan entah kenapa malah keningnya yang berkerut saat melihatku.

Lho, Viktor?

Aku ikut mengerutkan kening karena seharusnya aku yang begitu.

"Er, Er! Itu Raya!" Agenda kernyit-mengernyitku terinterupsi oleh banjiran euforia Dine. Dia bahkan sampai repot-repot mengguncang-guncang bahuku segala demi mendapatkan perhatian. "YA AMPUN, KAKAK RAYA! LOVE YOU, SAYANG! AYO SEMANGAT!"

Raya mengedarkan pandangannya yang agak melamun, lalu dalam sekejap dia tersenyum riang begitu melihat keberadaan orang-orang yang dikenalnya sedang sibuk teriak-teriak heboh.

Aku melongo. Terkejut dengan modenya. Kacamatanya dilepas. Garis eyeliner hitam membuat bentuk tatapannya lebih tajam sekaligus cantik. Rambutnya yang memang dipotong rata sedada dikucir tinggi, lalu diloloskan ke bagian belakang topi hitam polosnya. Pakaiannya senada dengan anggota timnya yang lain. Kombinasi antara hitam dan putih. Barangkali mengikuti tema yang diberikan.

Aku masih melongo. Otakku menjeritkan kata-kata tidak penting seperti, OH, BEGINI, TOH, PENAMPILAN DI LUAR SEKOLAHNYA MANTAN BENDAHARA X BAHASA 2?

Namun, ada satu warna lain di pergelangan tangannya, warna yang cukup mencolok antara hitam dan putih, warna kesukaan Raya; sebuah scrunchie manis berwarna ungu melingkar di sana. Dialihfungsikan menjadi gelang alih-alih dipakai untuk rambut. Kalau dilihat-lihat fungsinya malah lebih mirip jimat keberuntungan daripada ikat rambut.

"Wah, dipakai."

Aku menatap Wahyu, si sumber gumaman, yang tengah bersedekap tanpa melepas tatapannya dari arah lapangan—atau harus kubilang, tanpa melepas tatapannya dari Raya.

Aduh, kok, lucu begini, ya.

Tanpa ada niat mengejek sedikit pun, aku membalas ucapannya dengan bangga. "Tandanya dia suka, 'kan? Siapa dulu, dong, mata-matanya?"

Wahyu melirikku sekilas, lalu mendengkus dan tersenyum miring. Entah karena memang puas atau karena mengejek, yang jelas dia tidak membalas ucapanku.

Puas menggoda Wahyu, kali ini aku hendak memeriksa kondisi Akbar. Dine sudah sibuk sendiri merekam sambil menahan diri untuk tidak menjerit-jerit, jadi kupikir ada baiknya kalau aku memeriksa keadaan dua cowok yang gebetannya sedang berjuang di lapangan ini.

Namun, lain dengan Wahyu, Akbar justru tidak tampak secerah itu.

Dia berdiri agak di belakang kami. Alih-alih menyelinap demi mendapatkan tempat berdiri paling depan, dia justru membiarkan orang lain mengisi tempatnya.

Berdasarkan prasangka, kuhampiri dia lalu kusenggol sikunya. "Kenapa?"

"Mona enggak masuk ke lapangan," katanya pelan, kemudian tatapannya turun ke ponsel. Kedua keningnya nyaris bertaut. "Kemarin dia bilang dia masuk ke tim inti. Jadi seharusnya dia turun ke lapangan."

Tanpa becermin pun aku yakin seratus persen kedua alisku terangkat tinggi. Didorong prasangka buruk, bergegas kufokuskan pandangan ke lapangan untuk melakukan observasi, mencari-cari wajah yang kurang familier dengan percaya diri. Soalnya belakangan ini aku dan Dine rajin menonton klub dance latihan sepulang sekolah. Jadi paling tidak aku merasa familier walau tidak benar-benar mengenal mereka.

Lumayan lama aku memicingkan mata, akhirnya aku tertegun. Baru sadar bahwa posisi penarinya agak berbeda.

Seingatku, cowok yang tak terlalu tinggi dan bertubuh besar itu posisinya di tengah, menjadi rekan tari Mona di salah satu bagian koreografi, tetapi sekarang posisinya pindah ke pinggir dan ... tidak ada Mona di sana.

Rekan tarinya berubah.

Oh, ya ampun.

"Bar," panggilku. "Ruang tunggunya ... Mona kasih tahu tempatnya, enggak?"

"Ruang kelas nomor tiga dari lapangan," jawab Akbar tanpa melepas tatapan dari layar ponsel. Dengan suara pelan dia bergumam, "Kenapa perasaanku enggak enak?"

Aku mengepalkan satu tangan, mengusapnya dengan tangan yang lain. Sebersit keraguan muncul di benakku, lalu hilang, timbul, dan akhirnya hilang lagi. Kutarik napas panjang, mencoba untuk tidak plin-plan.

Demi Mona.

Tidak boleh ada ragu demi Mona.

"Oke," kataku kemudian. "Kamu mau tunggu di sini atau ikut aku?"

•∆•

Aku tidak berlari.

Alasannya sederhana: karena aku tidak tahu tempat persisnya, dan sedang ada banyak orang di sini. Kalau aku berlari-lari seenak jidat, nanti bakal ada banyak korban tabrak lari.

Jadilah sekarang aku sekadar berjalan cepat secepat yang kubisa karena langkah kaki Akbar ternyata lumayan lebar. Dia berjalan memimpin, dan pada akhirnya ini tidak terlihat seperti Akbar yang ikut aku, tetapi aku yang ikut Akbar.

Mona tidak memberitahu siapa pun tentang lapangan sebelah mana yang dimaksud. Jadi aku dan Akbar memutuskan untuk memeriksa setiap pintu yang ditempeli kertas, kemudian membaca tulisannya baik-baik. Memastikan bahwa benar-benar ada tulisan "SMA NUSANTARA" di sana.

"Oh!" Aku berhenti, bergegas menarik kemeja Akbar sebelum dia melenggang jauh. "Itu, tuh! Nama sekolah kita di kertas pintu yang itu! Nomor tiga dari lapangan, enggak?"

Akbar menatap lapangan, kemudian menatap pintu kelas yang kumaksud. Tak butuh waktu lama kepalanya mengangguk.

"Secara hitungan benar, sih," katanya.

"Oke." Aku mengepalkan tangan lagi, mengusap-usapnya seperti tadi. "Ayo."

Aku tidak tahu bagaimana ekspresi yang Akbar pasang saat ini. Fokusku ke depan, fokusku ke hati. Kalau sampai aku merasa ragu sedikit saja, alam bawah sadarku pasti sudah spontan membawa kakiku balik kanan dan berusaha meyakinkan hati kecilku kalau Mona baik-baik saja—tetapi tidak. Hal itu tidak boleh terjadi.

Apa pun yang sedang dilakukan Mona detik ini, aku harus melihatnya. Harus.

Berhenti di depan pintu ruangan yang menimbulkan sedikit celah terbuka, aku bertukar tatapan dengan Akbar sejenak. Tadinya maksud tatapanku adalah hendak memastikan apakah Akbar sudah siap muncul di depan Mona dengan sederet dialog akting atau tidak. Namun, entah mengapa Akbar menangkap sinyal itu dalam bentuk lain.

Katanya, "Aku di luar, deh."

"Lah?" Aku mendelik. Bersiap menyemprotnya dengan kata-kata protes yang bisa jadi mengandung kosakata tidak bermoral. Beruntung, Akbar langsung mengangkat tangan untuk mencegahku bicara macam-macam.

"Kalau aku ikut masuk, nanti dia enggak bakal jujur," jelasnya dengan suara rendah. "Kalau lagi di saat-saat begini, lebih baik temannya aja yang masuk, 'kan? Lagipula aku enggak mau ganggu."

Dan kamu enggak mau lihat dia nangis, imbuh pikiranku, yang mana agak cheesy, tetapi aku paham maksud di baliknya.

Pada akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah menganggukkan kepala.

"Oke ...," kataku pelan. "Tapi kamu tunggu di sini, 'kan? Bilang ke Dine sama Wahyu juga kalau perlu."

Akbar mengangguk. "Oke."

Oke. Sekali lagi aku menarik napas panjang, bersiap-siap melakukan akting singkat sebelum membahas ke intinya. Angin pendingin udara menyelip keluar dari celah pintu. Memberiku efek gugup hanya untuk mendorong sebuah pintu.

Akbar bersandar pada sisi yang lain agar tidak terlihat dari dalam. Di bawah tatapannya, pelan-pelan kudorong pintu itu sampai terbuka. Angin dingin menyambutku, berikut dengan rembesan cahaya matahari Bekasi siang di siang hari yang membuat ruangan itu tampak terang sekaligus redup tanpa lampu yang menyala.

Kepalaku melongok, menoleh ke kanan dan kiri untuk memeriksa apakah Mona benar-benar ada di dalam ruangan.

Dan di sanalah dia.

Duduk di atas salah satu kursi di belakang ruangan, sibuk menatap ponsel tanpa memainkannya. Mejanya didesaki tas-tas, begitu pula satu meja lagi di sebelahnya. Wajahnya tak berekspresi. Benar-benar lain dari Mona yang biasa kulihat, dan dia tidak menyadari kemunculan seseorang di depan pintu.

Aku mengulum bibir. Memilah-milih intonasi yang bagus dan sesuai untuk menyapa. Selanjutnya aku berdeham, disusul dengan helaan napas panjang.

"Eh, Mona?" sapaku dengan intonasi kaget dan sedikit riang.

Mona, seperti yang kuduga, tersentak di tempatnya kemudian mengerjap cepat, mendongak ke pintu. Wajahnya mendadak cerah.

"Lho, Era?" balasnya. "Kok, ke sini? Enggak ikut tonton yang di lapangan?"

"Tadi aku habis dari toilet." Bohong. "Terus iseng lewat sini, enggak sengaja lihat nama sekolah di pintu." Angin AC menyambut kedatanganku. "Tadinya mau lewat aja, sih. Tapi begitu melongok, eh, ternyata ada kamu."

Mona menampilkan cengiran manis, dan entah kenapa sekarang aku malah sakit hati melihatnya.

"Kamu ...," penuh kehati-hatian aku bertanya, "enggak ikut ke lapangan? Atau ternyata ada dua tim yang maju?"

Agak menunduk, Mona menggeleng. Ponselnya masih digenggam erat-erat. "Aku ... diminta buat jaga tas, jadi aku di sini aja."

Bohong.

Aku menggaruk hidung. "Akbar bilang kamu masuk tim inti."

Mona diam. Aku diam.

Kami terdiam.

Kalau kuhitung-hitung, total diamnya kami berlangsung selama kurang-lebih tiga detik.

"Itu ... kesalahan teknis," jawab Mona pelan. "Tadinya aku mau ralat, tapi aku ... enggak enak sama kalian."

Bohong.

"Mon."

"Hm?"

Aku berhenti di depan mejanya, berjongkok sambil berpegangan dengan tepi meja demi menjaga keseimbangan. Kutatap Mona lurus-lurus, tetapi dia tidak menatapku balik. "Kamu enggak apa-apa?"

Mona menunduk dalam. Walaupun harus kubilang agak sia-sia dia melakukannya, karena aku sudah melihat air wajahnya berubah.

Pernah ada yang bilang pertanyaan semacam itu justru meruntuhkan semuanya, jadi aku menanyakannya. Karena aku memang bermaksud untuk membuat Mona runtuh sekarang, di tempat ini, di depanku, di depan orang-orang yang mungkin akan masuk sebentar lagi.

Karena aku tahu rasanya lebih menyakitkan kalau runtuh seorang diri.

Mona balas menatapku. Lalu dalam satu, dua, tiga—air matanya menggenang. Bola matanya berkaca-kaca.

"Er ...."

Uh-oh. Aku bergegas bangkit. Panik sendiri melihat Mona mulai menangis.

"Hei, hei," ucapku sambil duduk di kursi kosong sebelahnya. "Enggak apa-apa, Mon. Nangis aja enggak apa-apa. Manusiawi, kok."

Mona menunduk, tak kunjung melepas ponselnya.

Aku menipiskan bibir. Mendadak takut serba salah. Aduh, ini enggak salah, 'kan?

Kalau aku boleh jujur, tidak banyak yang bisa kukatakan, jadi aku hanya menyentuh tangannya yang kosong, kemudian menggamitnya.

Tidak banyak yang bisa kukatakan, jadi aku memberikan tepukan ringan di sana, tersenyum selembut yang kubisa saat mataku bertemu matanya.

Sekali kutegaskan, tidak banyak yang bisa kukatakan, jadi aku bersandar ringan pada bahunya. Berharap-harap cemas semoga Mona paham maksudnya adalah dia boleh bersandar padaku kapan pun dia mau.

Perlahan dan pasti kurasakan guncangan kecil pada sandaran. Mona menarik tangannya dari gamitanku, melepaskan ponselnya, kemudian sibuk mengusap mata, mengisut hidung.

Aku duduk menghadapnya, diam menanti.

"Aku gemuk, Er," gumamnya parau. "Aku enggak seharusnya di depan. Penonton enggak bisa lihat mereka yang di belakang kalau aku di depan. Aku enggak hafal koreografi bagian belakang, jadi aku diminta buat jaga tas."

Sudah kuduga. Diminta adalah kata kasar yang dihaluskan. Keadaan yang sebenarnya tidak terdengar setulus itu.

"Aku gemuk."

Refleks kukulum bibir, kupeluk Mona dari samping. "Iya, kamu gemuk."

"Aku jelek."

"Kamu gemuk, Mona. Bukan jelek."

"Beban tim."

"Kamu gemuk," tekanku seraya mengeratkan pelukan, membawanya berayun kecil ke kanan dan kiri. "Dan kamu cantik, kamu manis, kamu lucu, kamu imut." Kali ini aku melepas pelukan lebih dulu, lalu kuhadapkan Mona ke arahku. Pelan-pelan kutarik tangannya agar turun dari wajah. "Kamu penyabar, kamu teguh, kamu keren."

Mona mengusap wajahnya lagi. Matanya memerah, tangannya nyaris memberontak, tetapi aku menahannya.

"Kamu hebat, kamu berani, kamu Mona." Aku tersenyum, berusaha yang terbaik agar terlihat secerah matahari Teletubbies. "Kamu Mona, kamu Mona, kamu Mona, dan itu kenapa aku di sini—buat Mona."

Mona menunduk. Air matanya turun. Bergegas kupeluk dia lagi dan betapa leganya aku saat Mona balas memeluk.

Di tengah suasana syahdu itu, pintu ruangan menjeblak terbuka. Suara Dine terdengar, juga suara Raya.

"MANA MOMON KESAYANGANKU?"

Kutatap Dine dengan datar. Pupus sudah suasana emosional tadi. Segala yang dramatis dan serius langsung hancur lebur kalau Dine sudah turun tangan.

Raya, masih mengenakan pakaian yang sama, muncul dari belakang Dine sambil melepas topi. "Na!"

Setelah itu dia berlari, meluncur ke arah kami. Dine menyusul. Begitu Mona mengangkat wajahnya sambil menarik napas, mereka diam membatu. Kening Raya berkerut, lengkap dengan berbagai ekspresi antara penyesalan, sedih, dan kesal di sana. Sedangkan Dine langsung berhenti menghancurkan suasana muram, matanya melotot.

Tanpa banyak tanya, Raya bergegas ke sisi Mona yang kosong, lalu ambruk memberikan pelukan. Badannya masih panas setelah menari, napasnya masih satu-dua, tetapi Mona tidak menolak pelukannya.

"Sori, Na," rengeknya berulang kali. "Sori banget, Na. Sori."

Dine berdiri di sebelahku. Tampak bingung karena dua sisi Mona sudah dipenuhi pelukan. Dalam sekejap wajahnya mendadak cerah. Dia terilhami untuk berpindah ke belakang kami agar bisa meraup aku, Mona, dan Raya sekaligus.

Dan dia melakukannya.

Demi menyamankan posisi, kugeser satu tanganku untuk menyambut pelukan Dine, sedangkan yang satunya lagi tetap digunakan untuk merangkul Mona. Kupikir Raya melakukan hal yang serupa, karena tanganku yang berada di punggung Dine bertemu dengan kain scrunchie-nya yang lembut.

Jadilah kami berpelukan berempat, berdempetan tidak ingat keringat.

Mona mengisut hidung lagi. "Kenapa kita jadi kayak Teletubbies begini?" tanyanya geli.

Raya merengut. "Aku enggak masalah kalau disuruh daftar, kok."

Aku terkekeh. Diam-diam merasakan keanehan yang lucu setelah Mona bicara demikian. "Karena Teletubbies, kan, berempat. Sukanya pelukan kayak begini," kataku.

Dine mengangguk-angguk. "Dan Mona enggak boleh jadi Teletubbies sendirian."

Mona terkikik geli. Tangannya yang empuk menepuk-nepuk lengan kami sesampainya.

Setelah yakin air mata Mona benar-benar berhenti, kami melepas pelukan. Momen setelahnya terasa agak memalukan. Untuk membunuh rasa malu itu, kami saling mencemooh karena tidak ada satu pun dari kami yang wajahnya masih baik-baik saja, kecuali Dine. Mata bengkak, hidung merah, pipi sembap, hidung beringus—semuanya dijadikan topik dadakan yang kupikir tidak penting-penting amat.

Yah, yang penting Mona tersenyum.

Itu saja.

"Eh, tapi tahu, enggak, sih?" kata Dine. "Gebetan kalian pada berdiri di depan pintu, tahu. Kayaknya mereka lagi bergosip atau mati-matian tahan muntah gara-gara lihat kita pelukan sambil nangis-nangis, deh."

Aku nyengir. Paham betul siapa dan siapa yang sebenarnya dimaksud.

Namun, tiba-tiba saja Dine mendorong bahuku dengan kekuatan guyonan. "Ngapain kamu ikutan cengar-cengir, Er? Punyamu juga ada di depan. Tadi ketemu."

Senyumku luntur, keningku berkerut. "Gimana?"

Dine mengangkat wajah, menunjuk ke arah pintu menggunakan dagunya.

Masih mengernyit, aku ikut-ikutan menatap ke arah pintu. Mengabaikan Dine yang disumpahi Raya begitu dijelaskan kalau maksud dari gebetannya adalah Wahyu. Kuabaikan juga tawa bercanda dan elakan Mona saat dibilang bahwa Akbar adalah gebetannya.

Ada sosok tinggi baru di luar sana, di balik pintu. Orangnya membelakangi pintu, tetapi aku kenal betul dengan topi putih yang dipakai oleh si cowok tinggi itu. Sekilas dia menoleh ke pintu (tanpa melihat ke dalam), dan aku tertegun begitu melihat satu-satunya motif paus hitam kecil di depan topi.

Aku ingat pernah melihat gambarnya. Di suatu grup gabungan, dikirim oleh anak kelas sebelah, dalam rangka sebagai hadiah.

Dia berdiri di sana.

Separuh wajahnya terhalang bayang-bayang topi, garis wajahnya jadi terlihat lebih jelas, lebih tegas, dan secara ajaib aku mengenalnya. Semua pemandangan itu terjadi berkat matahari Bekasi siang hari itu.

Entah untuk apa dia datang kemari.

Yang jelas Kelvin Adiyaksa benar-benar berdiri di sana.

Catatan Jempol:

¹"—yorobun!" [yeo • reo • bun] (Bahasa Korea):
"—semuanya!" (mencakup orang-orang di tempat itu, misalnya konser)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top