00 | Kieraya Austin, Jakarta, 2004

Dalam perangkap kaus putih berlapis baju kodok berbahan jin, aku berdiri tegang di pinggir ruangan. Sendirian memilin-milin tali baju dengan gelisah.

Ruangan itu terang dan berisik. Ada banyak orang yang duduk di sana. Mereka bertukar kata, mengobrol tak putus-putus, saling bersenda gurau. Begitu tahu bahwa aku sedang berdiri jauh di pinggir ruangan, mereka langsung berlomba-lomba untuk mencuri perhatianku.

Di antara banyaknya orang, aku tidak bisa benar-benar melihat wajah satu pun dari mereka. Hanya dari kaki sampai bahu, paling jauh sampai hidung. Beberapa di antara mereka bahkan hanya terlihat posturnya, mirip siluet. Wajah mereka tidak terlihat jelas. Seperti terhalang cahaya entah dari mana.

Satu-satunya yang bisa kulihat jelas wajahnya hanya seorang wanita tua di atas kursi. Tempatnya agak berjarak dari sekumpulan orang itu. Tatapannya tajam dan tidak bersahabat sama sekali. Sudah kucoba untuk berani balas menatapnya, tetapi sorot mata itu tetap membuatku takut.

Setelah beberapa saat kami bertatapan, akhirnya wanita tua itu bangkit dari kursi, melenggang pindah tempat. Entah ke mana dia pergi, yang jelas ekspresinya masih tidak enak dipandang.

Aku masih sibuk menatap kesibukan orang satu per satu sampai tiba-tiba seseorang mendorong punggungku pelan dari belakang. Ada kalimat yang diucapkan samar-samar. Untuk persisnya aku tidak dengar, tetapi nadanya bilang kalau itu kalimat bujukan.

Orang-orang itu tersenyum lebar, memanggil-manggil namaku sambil mengayunkan tangan dan menyodorkan stoples biskuit serta permen.

Sayangnya, aku tidak ingin ke sana.

Jadi aku menggeleng-geleng, malah menguatkan pijakan kaki-kakiku yang pendek dan berisi sekuat tenaga sambil meremas tali baju kodok. Gestur itu ternyata mampu membuat beberapa orang di sana kecewa.

"Yah, ayo ke sini, dong." Seorang wanita berpotongan rambut pendek paling semangat menyita perhatianku. Wajahnya buram. "Jangan sama mamanya terus. Tante enggak bakal ambil mama kamu, kok."

Aku menggeleng. Kian mengerut mundur. Buru-buru tangan kiriku menggapai tangan besar lainnya di sebelahku. Entah tangan siapa.

Walaupun buram, bisa kurasakan tante itu cemberut melihat reaksiku. "Ih, kamu, mah, gitu," sungutnya, kemudian dia tersentak seperti baru menyadari sesuatu. "Eh, dia bisa bahasa Indonesia, 'kan?"

Seorang pria tergelak. Wajahnya juga buram. "Coba takut-takutin. Kalau nangis, berarti dia paham."

Tante berambut pendek itu tergelak, mengatakan kata-kata yang tidak kupahami, lalu kembali sibuk dengan urusannya. Dia tidak berusaha memancingku lagi. Akhirnya aku tidak lagi menjadi pusat perhatian.

Namun, masih ada satu orang yang bersikukuh mencuri perhatianku. Posturnya secara mengejutkan hampir sama seperti si tante tadi. Bedanya, rambut tante yang satu ini tampak sedikit lebih panjang, diikat dengan karet rambut berwarna merah, lalu disampirkan di atas satu bahu.

Dia duduk di atas tikar, bersandar nyaman pada kaki seorang pria yang duduk di atas sofa—tepat di belakangnya. Ada sebuah stoples di sebelah kakinya, dan tante itu mengambil dua bungkus berwarna emas—yang kukenali sebagai cokelat bola—dari sana. Sambil tersenyum jenaka tangannya bergerak menggoyang-goyangkan benda itu sambil menghadap ke arahku.

Diam-diam aku meremas tali baju lebih kuat. Aku mau cokelatnya, tetapi menolak untuk maju.

Si om yang kakinya disandari oleh tante itu terkekeh-kekeh. Hanya mereka berdua yang masih berusaha membuatku mendekat.

"Pantang menyerah, ya, Ra," kata si om.

"Oh, ya, jelas. Lihat mukanya, deh. Dia sebenarnya mau, tapi gengsi buat maju." Tante itu nyengir. Matanya yang tidak terlihat malah membuatnya mirip dengan penjahat di kartun yang kutonton. "Ayo maju sini. Kalau enggak maju, nanti Tante gigit kamu. Terus cokelatnya buat Tante, enggak jadi buat kamu."

Aku cemberut hebat—antara takut digigit atau takut cokelat itu dimakan duluan.

"Kenapa, Sayang?"

Kali ini aku mendongak. Beradu tatapan dengan seorang tante lain yang rambut tebalnya kemerahan. Ujung rambutnya bergelung cantik di atas bahu. Sama seperti orang-orang di ruangan itu, aku tidak bisa melihat wajahnya secara menyeluruh, tetapi instingku bilang kalau dia lain dari yang lain. Air wajahnya barangkali lebih keras. Orang ini mungkin lebih cantik, lebih putih. Bukan hanya itu, logat bicaranya pun agak lain daripada tante dan om tadi.

Walau begitu, senyumannya lembut. Tulang pipinya menonjol saat tersenyum dan itu membuat lengkungan bibirnya yang dipoles merah jambu terlihat cantik.

"Mau cokelat?"

Masih cemberut, aku mengangguk pelan-pelan. Takut kepergok si Tante Jahat, tetapi sepertinya si Tante Jahat sudah memergokiku lebih dulu karena kudengar tawanya meledak bak petasan.

Sebelum aku menyadari apa yang terjadi selanjutnya, tiba-tiba tubuhku diangkat, dibawa ke dalam gendongan.

Aku mendongak. Beradu tatap dengan wajahnya yang buram seperti orang lain, tetapi menguarkan hawa nyaman yang kuat.

Bersama, kami berjalan mendekati keramaian itu. Lalu begitu sampai di depan si Tante Jahat, aku diturunkan lagi tanpa dilepas dari pelukan.

Begitu melihat si Tante Jahat mengulum senyum kemenangan sambil menggodaku dengan ayunan bungkus cokelat, aku beringsut merapat masuk ke pelukan. Nyaris aku merengek minta digendong menjauh.

Bodo amat soal cokelat, sekarang aku takut betulan dengan tante ini.

"Nih, Tante kasih satu buat kamu." Si Tante Jahat menyodorkan sebungkus cokelat, sedangkan satu bungkus lagi ada di tangannya. "Ayo bilang apa?"

Aku membuka mulut, mengucapkan terima kasih, tetapi tidak bisa mendengarnya sendiri. Sepertinya tante itu mendengar kalimatku dengan baik, soalnya dia mengangguk-angguk puas setelah aku bicara. Jadi kupikir aku tidak perlu mengulangi kalimat yang sama.

Yah, si Tante Jahat memang puas, tetapi tidak denganku. Karena aku masih menginginkan cokelat di tangannya yang satu lagi.

Iya.

Pokoknya dua-duanya harus ada di tanganku!

Si Tante Jahat menyadari tatapanku. Sekali lagi dia tertawa keras dalam rangka merayakan kemenangannya karena telah berhasil merebut hati seorang anak kecil. Akhirnya dia memberiku cokelat yang satu lagi secara gratis.

Sambil menekan-nekan pipiku dengan telunjuk dia berkata, "Kamu Tante bawa pulang, ya? Buat jadi mainan kucing."

Tante lain yang kini melingkarkan tangannya dari pinggang sampai ke perutku tergelak. "Wah, harus tanya papanya dulu, tuh. Masa anaknya jadi mainan kucing?"

"Ih, gitu, ya? Masa Tante harus izin ke papanya dulu, sih? Izin ke mamanya aja enggak boleh?" Si Tante Jahat—sekarang sudah lumayan baik, tetapi tetap jahat—beringsut mendekatiku yang sedang sibuk berpikir bagaimana caranya membuka bungkus cokelat. Telunjuknya menjawil pipiku lagi. "Heh, bocah. Dengar Tante, enggak? Waduh, malah sibuk sendiri. Nih, lihat pipimu ini lub—"

"Ivonne."

Seseorang lainnya datang menginterupsi dengan suara lirih. Dia membungkuk di samping si Tante Jahat, kemudian menepuk pelan kaki si Tante Berambut Merah. Wajahnya memang buram, tetapi aku bisa mengenali intonasi tidak enak hati dari suaranya.

"Itu ...," dia berucap lirih, "dipanggil Mamah."

Aku melirik si Tante Jahat yang mendadak mematung, tetapi aku tidak peduli.

Siapa pula itu "Mamah"? Lebih baik kalau aku fokus membuka bungkus cokelat daripada ikut campur.

Tadinya aku berpikir begitu.

Nahas, pada akhirnya aku gagal membuka bungkus cokelat sendiri. Jadi—berdalih hendak meminta bantuan—aku menghadap si Tante Berambut Merah yang memelukku kian erat. Lalu kusodorkan bungkus cokelat itu padanya. Kataku dalam hati, Tolong bukain, dong. Aku enggak bisa.

Namun, tanganku malah didorong ke bawah olehnya dengan lembut sambil tersenyum. Gerakan sederhana itu dalam sekejap membuatku paham bahwa aku ditolak.

Keningku langsung berkerut. Aku protes.

Begitu aku menggeleng-gelengkan kepala pertanda keras kepala, mataku tidak sengaja beradu pandang dengan sosok wanita tua yang tadi menatapku galak. Kali ini ekspresinya biasa saja, tetapi matanya masih galak. Dia tidak mengarahkan tatapannya padaku, tetapi pada si Tante Berambut Merah ini.

Alhasil, aku merengek lebih keras. Seolah-olah bilang pada Tante Berambut Merah lebih baik meladeniku daripada mendatangi orang yang entah sebenarnya jahat atau baik.

Si Tante Berambut Merah menunduk, menatapku dengan wajah buramnya. "Kie di sini dulu, ya? Sama tantenya dulu sebentar," katanya.

Kemudian dia mencium keningku, pipi kanan, dan pipi kiri. Kecupannya terasa kuat seolah dia tak ingin pergi. Lalu setelah itu pipiku ditangkup dengan tangan lembutnya dan dia berbisik, "Ich hab' dich lieb, Schatz¹."

Setelah itu si Tante Berambut Merah berdiri, meninggalkanku sendiri, membiarkanku dengan mudahnya ditahan oleh si Tante Jahat agar aku tidak menyusulnya.

Aku merengek. Bulir air mataku jatuh sampai membasahi pipi. Sekuat tenaga aku mencoba untuk kabur, tetapi pelukan si Tante Jahat kuat bukan main. Dua bungkus cokelat di tanganku jatuh tergeletak di atas tikar lantaran aku berusaha menggapai hal lainmenggapai punggungnya yang menjauh, terus menjauh, dan tetap menjauh.

Pandanganku buram karena air mata. Lalu dalam sekejap, semuanya menggelap.

Catatan Jempol:

¹Ich hab' dich lieb, Schatz (Bahasa Jerman):
"Aku mencintaimu, Sayang."

:::

This is one of those happy-go-lucky colloquial phrases that you might say to your partner at the end of a phone call, and can also be used for friends and family. It means something like, "Love ya".

(sumber: theculturetrip.com)

.

.

.

Halo, halo, halo! ⁽⁽◝( •௰• )◜⁾⁾

Uwah, seharusnya kita bertemu 16 Mei 2022 nanti, tapi sepertinya jadwal USBN SMK telah mendorong kita untuk bertemu lebih cepat. ( '◡‿ゝ◡')

Gimana kabarnya, kalian? Semoga tetap sehat dan bugar selama Ramadhan, ya. Jangan banyak ngeluh, ayo banyakin ibadahnya. (人*'∀`)。*゚+

Btw, ada yang ... belum lihat teaser jadi-jadian Fotocintasis #2? Aku bikin dan upload video ini di YouTube sebelum ada pengumuman resmi tanggal USBN. Jadi jangan kaget pas lihat tanggal di akhir videonya. (ʘᴗʘ✿)

Videonya ada di bawah ini, ya:

Dengan begini selamat datang di Fotocintasis #2: 17 Tahun dan selamat membaca!
('∩。• ᵕ •。∩')

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top