30 | Sabtu, 16 Desember 2017

Keramaian mendadak lenyap. Yang mampu kudengar hanya sunyi di dalam air.

Aku bisa berenang, bila dasar kolamnya masih bisa kakiku jangkau. Kalaupun kedalaman kolamnya mencapai dua meter, aku akan berenang di tepi agar tidak terlalu panik atau menyusahkan orang ketika tenggelam.

Sebagai catatan tambahan, aku tidak pernah ingin berenang ketika matahari sudah turun berganti bulan.

Karena inilah yang kutakuti.

Disertai bunyi blub-blub yang tidak jelas, dunia terasa berputar, berputar, dan terus berputar sampai akhirnya sesuatu yang keras menabrak pelipisku. Aku mengernyit. Nyeri datang menusuk. Kepalaku berdenyut. Di atas segalanya, aku kalap karena tidak bisa melihat apa pun.

Kakiku mengayuh tidak jelas, berusaha menggapai dasar, tetapi tak kunjung sampai. Dalam panik mulai kehabisan pasokan oksigen, aku meraba sekeliling, berusaha mencari permukaan atau paling tidak tembok pemisah atau tembok tepi kolam; tetapi tidak dapat juga.

Di saat pikiranku buntu dan rasanya dada nyaris meledak, sebuah tangan menarik genggamanku yang berisi crochet paus. Tahu bahwa akhirnya ada pertolongan, kuangkat tanganku yang satu lagi agar disambut serupa. Kakiku yang masih bergerak-gerak tiba-tiba tak sengaja menendang wujud kaki yang lain. Semakin yakinlah aku bahwa yang menarikku ini juga sesama manusia. Bukan jejadian atau apa.

Melawan tekanan air, tubuhku ditarik naik. Mataku menyipit saat melihat adanya pantulan cahaya dari atas. Rasanya lega bukan main begitu tahu itulah permukaan kolam.

Berhasil mengeluarkan kepala dari kolam membuatku bergegas meraup oksigen banyak-banyak. Napas tersengal, menunduk sambil terbatuk-batuk, juga tak berani melepas pegangan pada tangan besar di depanku.

"—a?"

Gila, aku enggak mau tenggelam lagi.

"—sa lihat aku?"

Aduh, mataku perih.

"Ra!"

Terkesiap, aku mendongak. Bertemu tatap, masih tersengal, dan bingung ingin senang atau takut saat yang kulihat di depan mata adalah Kelvin yang sama basah kuyupnya denganku.

Tiba-tiba aku mendengar kalimat Jenny di kepala. "Aku enggak bakal mau lempar kamu ke sana, karena pasti ujung-ujungnya ada drama picisan."

Kampret. Ini, toh, maksudnya. Aku mengerjap. Mengusir rasa perih di mata, kemudian terkesiap. "O-orang tadi—"

"Kabur. Ada satu lagi tiba-tiba muncul, dia yang dorong kamu."

"Oh ...."

Berarti aku tidak salah dengar. Pria aneh yang mengajakku bicara mungkin sebenarnya punya cara lain.

Mungkin ... sumpahnya tentang dia bukan orang jahat ternyata memang benar.

Kelvin menghela napas. Dia tolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, tampak mempertimbangkan untuk mencapai tepi kolam yang mana karena kami berada di tengah-tengah. Begitu melihat Ipang melambai-lambaikan senter ponselnya di satu sisi tepi kolam, Kelvin mulai menarikku ke sana.

"Ada yang luka, enggak?"

Aku diam, mencoba untuk tetap menjaga dagu di bawah air karena tidak ingin ditelan canggung. "Tadi pelipisku kejedot, sih."

"Sakit?"

"Ya, masa geli?"

Kelvin terkekeh, menuntunku untuk menginjak keramik yang lebih tinggi di dasar kolam begitu sampai di tepi. "Bisa naiknya?"

Pertanyaan yang agak tidak penting itu spontan membuat mataku menyipit. "Jangan modus."

"Hei, aku cuma tanya."

"Jangan asal gendong, dasar cowok. Kamu pikir dia enggak punya teman cewek?" Dine muncul, berjongkok, lalu dengan senang hati mencipratkan permukaan air ke wajah Kelvin sampai cowok itu berjengit mundur dan menyumpah.

Di belakang Dine yang sedang melepas jaket agar tidak ikut basah, ada Nindi yang menggulung lengan bajunya setinggi mungkin. Lalu sambil nyengir dia bertanya, "Siap naik, Er?"

Aku tersenyum, mengacungkan ibu jari.

Dalam hitungan ketiga, dua cewek perkasa ini berhasil mengangkatku kembali ke daratan dengan mudah. Lebih cepat daripada naik tangga, dan membuatku merasa sangat ringan secara konotasi, sekaligus sangat berat secara denotasi karena seluruh pakaianku basah kuyup.

Saat aku mengangkat wajah, barulah kulihat tidak hanya Dine dan Nindi yang mengerubungi. Ada Mona yang meluncur mendekatiku, juga Raya yang sigap melepas jaket parkanya yang tebal dan menyodorkannya secara paksa kepadaku.

"Pakai." Raya bersikukuh.

Masih parau, aku mengelak, "Bajuku basah."

"Dan nyeplak," serang Raya, tak ingin diganggu gugat. "Pakai. Buruan. Yang namanya cowok, walaupun perangainya kayak gulali tetap aja dalamnya hewan buas."

Mona mendekat. Berbisik, "Turuti aja, Er. Daripada meledak."

Aku mengernyit, tersenyum tanggung. Agak berjarak dari para cewek, Kelvin mengernyit. Jelas-jelas mendengarnya. Diam-diam dia bertukar tatapan geli denganku. Hanya sesaat, karena aku refleks berpaling lagi akibat masih canggung. Akhirnya kuterima sodoran jaket Raya sebagai pengalih.

Di saat itulah, kulihat dari jauh, Putri berjalan cepat sambil memeluk dua handuk yang dilipat tebal sambil berseru, "Permisi! Permisi! Handuk mau lewat!"

Jenny berjalan di belakangnya. Begitu melihatku sibuk mengenakan jaket Raya, dia berjongkok dan menadahkan tangan. Ada bandana asliku di tangannya. Dengan warna kain yang sama, dengan motif yang sama. Bedanya mungkin tidak ada kamera yang entah sekecil apa di sana.

Aku paham artinya. Maka kulepas bandana yang basah kuyup dan kutukar dengan milikku yang asli.

"Trims," katanya, mungkin tulus. "Kepalamu oke?"

"Kejedot sedikit," jawabku seraya angkat bahu. Kemudian malu sendiri saat kepikiran bahwa mungkin Jenny menyaksikan drama picisan lewat sudut pandangku secara langsung. "Enggak akan sampai operasi, semoga."

"Semoga." Jenny berdiri, mengetuk AirPods di telinganya, tak melepas tatapan dari bando berbalut kain yang kini basah kuyup. Sorot matanya terlihat amat puas. Sambil beranjak menjauh, sayup-sayup kudengar dia mengatakan "garda" dan "lapor".

Aku mengerjap. Sekarang semakin yakin kalau Jenny itu intel kiriman kepala sekolah.

"Wah, malah kacau begini, ya," cetus Dine. Dia duduk di tempat yang kering sambil terus menontonku yang kebingungan harus mulai handukan dari mana. "Ponselmu aman, Er?"

Eh? Aku melotot. Spontan celingukan dan berakhir menatap nelangsa ke arah kolam. "Kayaknya ... tenggelam."

Mampus aku.

"Nanti minta tolong ke pegawai vila aja." Kelvin datang lagi dengan rambut acak-acakan bak pasca disambar listrik. Handuk yang dia pakai bertengger di pundak. Dia tarik handuk dari tanganku tanpa izin. Sebelum sempat aku bereaksi, cowok itu berjongkok di depanku, mulai menggosok kepalaku bagai menggosok rambut Kahla saat kami berenang berjamaah saat SD dulu. "Dari kepala dulu, baru rambut."

Makasih karena peka aku bingung harus dimulai dari mana. Aku manyun. Kembali mengambil alih handuk. "Oke."

Kelvin berdiri setelah melihatku benar-benar menggosok kepala dulu. "Ada handuk lagi, enggak?"

Dine mengangkat alis. Berbalik dan melambaikan tangan kepada Putri yang masih berdiri ikut menonton. "Bisa minta lagi, Put?" tanyanya.

Putri mengangkat hormat. Hendak balik kanan, tetapi tiba-tiba terdiam.

Sekarang aku yang mengangkat alis. "Kenapa, Put?"

"Putri takut gelap," cicitnya. "Nindi, temani Putri, yuk?"

"Ya?" Nindi mengerjap. Terlihat jelas ragu meninggalkan tempat karena ini kesempatan besarnya ada di dekat Raya. Namun, keraguan itu dalam sekejap hilang dari matanya. Barangkali tersadar bahwa persohibannya dengan Putri lebih penting dibanding kejutan ulang tahun Raya. "Oke—"

"Oh, ada yang mau ke dalam juga?"

Aku menoleh, Putri menoleh, yang lain ikut-ikutan menoleh. Bertemu pandang dengan Galang yang tiba-tiba lewat lalu berhenti dengan gitar akustik di pelukannya. 

"Kenapa jadi lihat ke sini semua, heh?" tanyanya bingung. "Mana yang tadi mau ke dalam juga? Sekalian bareng, enggak? Mau ambil barang, nih. Ada yang ketinggalan. Oh, iya, Mona dicari Miya. Katanya ditunggu di lobi."

"Eh, oke." Mona bergegas berdiri, kemudian berjalan cepat ke dalam vila.

Raya menatapku. Sejak kapan Mona kenal anak sebelah? Begitu kurang lebih arti tatapannya.

Berpura-pura tidak tahu, aku hanya mengangkat bahu.

Galang mengedarkan pandangan, lalu terkunci pada sosok mungil Putri dalam balutan sweter rajut biru langitnya. "Putri, 'kan?" tunjuknya.

Putri mengangguk. "Iya, ini Putri."

"Ayo. Jadi ke dalam, enggak? Tinggal, nih?"

"Ih, tunggu Putri!"

Aduh, lucunya. Mau kudorong sampai tabrakan.

Mungkin, dengan dalih tidak merasa asing lagi dengan cowok buaya Muara Angke itu, Putri melesat ke samping Galang. Hubungan mereka memang tidak pernah dekat sebelumnya. Walau begitu, dapat kudengar keduanya mulai saling mengoceh—bahkan kudengar tawa geli Galang yang jarang terekspos ke publik—sampai hilang ditelan jarak.

Mungkin Galang sedang menggombal dan Putri bukan tipe yang mengelak sinis kalau digombali, ya? Makanya tawa Galang sampai lepas begitu.

"Lumayan." Dine bergumam.

Aku melirik Dine berkat gumamannya itu. Yang dilirik balas melirik. Lalu kami berakhir mesem bersama.

Nah, ternyata kami memang sepemikiran.

"Gimana rasanya berenang malam-malam?" Wahyu datang, menyodorkan dua gelas minuman dengan uap panas samar-samar. Matanya langsung menyipit di balik lensa kacamata persegi ketika aku menjawab pertanyaan itu dengan acungan ibu jari seolah bilang, Mantap.

Anak stres, katanya lewat tatapan. 

"Bu Isma lagi jalan ke sini begitu tahu anaknya main air tengah malam. Pak Gun juga," lapornya.

Ipang, di sebelah Kelvin, cemberut dan berceletuk, "Habislah. Kayaknya waktu kita bakal dipotong."

Alisku menukik. Ekspresi Wahyu lenyap. Bibir Dine menipis. Kami satu suara:

Ipang goblok.

Raya mengernyit. "Waktu apa?"

Aku menahan diri untuk tidak terang-terangan memelototi Ipang yang kini membuang pandangannya. Dine melakukan hal yang sama; walau bedanya dia terang-terangan tersenyum dengan lengkungan yang berlebihan. Dari matanya yang pura-pura tersenyum itu terpancar sumpah serapah yang indah, seperti, Itu mulut kenapa enggak bisa ditahan, ya, tolong?

Merasa terintimidasi ditatap aku, Dine, dan Wahyu, Ipang malah beralih menatap Kelvin, sedangkan yang ditatap mengangkat satu alis.

"Apa, hah?" sahut Kelvin, tidak tertarik dibawa-bawa ke dalam masalah yang dia kira bukan urusannya.

"Oh, iya!" Dine menyambar tiba-tiba, bergegas pindah ke samping Raya. "Sekarang jam berapa, Yu?"

Wahyu mengangkat tangannya, menatap jam tangannya sekilas. "Enggak kelihatan."

"Nih." Ipang melipir ke Wahyu, menyalakan senter dari ponsel. "Kelihatan, enggak?"

Kenapa dia enggak lihat di ponselnya aja?

"Jam dua belas lewat tiga belas menit," tukas Wahyu. "Lumayan. Masih ada empat puluh tujuh menit."

Raya masih penasaran. Tatapannya benar-benar menuntut. "Ada apaan, sih?" tanyanya.

Dine dan Wahyu bertukar tatapan selama beberapa saat, kemudian keduanya menghela napas. Mengangguk-angguk bagaikan telah melakukan sebuah telepati

"Sini berdiri, Ray. Ipang juga sini—tarik si Kelvin juga, hei, sini kau, Mas Ganteng. Yang lain juga kumpul, dong, sini!" tukas Dine lantang seraya menarik tiga orang itu mendekat. "Nih, sekarang, kan, udah masuk hari Sabtu, ya. Katanya si Ipang ada kado kecil ekstra buat semua anak. Beberapa anak udah dapat, tapi yang tadi keluar dari aula duluan pada belum dapat. Era juga belum dapat, ya, Er? Keluar duluan, 'kan? Enggak sempat lihat Wahyu koprol, 'kan?"

Buset, tipuannya. "Wahyu koprol?" Aku mengernyit tanpa ragu. Instingku bilang ini salah satu siasat detik-detik dimulainya kejutan.

Berkat gelenganku yang sama sekali tidak ada ragunya, Raya mengerjap, makin penasaran.

Sedangkan Kelvin menatap keramik di bawah kakinya dengan khidmat, kemudian dia mengangkat wajah guna menatap sohib kurus keritingnya.

"Sekaya apa kamu, Pang?" tanyanya kurang ajar. "Disuruh bayar lapangan sewa aja enggak pernah mau."

"Waduh, Bos. Enggak gitu, dong, cara mainnya. Nih, sebentar, bagi-bagi sedotan dulu. Abang, tolong ambil yang di belakang, dong, Bang." Ipang membagikan sedotan pendek dengan guntingan melancip di ujung kepada orang-orang di sekitarnya, dilanjutkan dengan serah terima dua pasang balon angka dari tangan Abang. Angka 17 untuk Kelvin dan angka 16 untuk Raya. "Pegang, jangan sampai lepas. Buat pelampung."

Kelvin mengerjap, Raya mengernyit; melotot. Kesadaran menampar mereka keras-keras. "HEH—"

Tiupan terompet sedotan menginterupsi dengan nyaring. Raya spontan menutup telinganya dan Dine memanfaatkan momen itu untuk menyenggol Raya ke kolam dengan satu entakan pinggul, sedangkan Ipang dengan heroik membenturkan diri ke Kelvin hingga keduanya tercebur ke dalam kolam.

Saat kepala ketiganya menyembul dengan cepat berkat bantuan balon, keramaian meletus seketika.

"YEAY, SELAMAT UDAH TAMBAH TUA!"

Aku tertawa histeris di tengah sorak sorai. Puas hati bertos ria dengan Dine di tengah ramainya tepukan tangan karena berhasil mengelabui target sampai akhir. Antara miris sekaligus puas, kusaksikan Kelvin yang baru selesai handukan malah kembali basah kuyup.

Wahyu bertepuk tangan keras-keras di tengah sorak-sorai keramaian. Dine memprovokasi keadaan dengan berteriak, "ENAKNYA KITA NYANYI, ENGGAK, SIH? HAPPY BIRTHDAY, RAYA ...!"

Ipang muncul dari air, menyemburkan napas, kemudian menyambung, "HAPPY BIRTHDAY, KELVIN ...!"

Dari situlah, semua perencanaan kami terbayar.

Masih ramai dengan lagu, Teresa berlari menerobos keramaian dengan sebotol minyak kayu putih di tangan. Sempat-sempatnya dia memberikan botol itu padaku sebelum ikut menangkap nada dan melanjutkan lirik dengan heboh.

Di belakangnya lagi, Galang berjalan cepat dengan korek api gas di tangan. Putri lari-lompat—kutebak berusaha menyejajarkan langkah Galang yang lebar-lebar—sambil membentangkan handuk kering di atas kepalanya. Kombinasi suara imut (Putri) dan suara boyband dadakan (Galang) meramaikan malam sampai nada lagu jadi berantakan.

Sembari ikut berdendang di dalam hati, aku menoleh ke sekitar, mencoba melihat yang lain.

Akbar masih memegangi handycam. Tidak bersuara, tetapi goyangan kecilnya bilang kalau dia ikut berpartisipasi.

Agak jauh terpisah dari kerumunan, Jenny berdiri dengan satu tangan bertengger di pinggang. Dia menjauhkan diri dari riuhnya tepi kolam, tidak melepas ponsel barang sedetik, berdiri diam menonton keriuhan. Hansamu ada di sebelahnya, bersedekap tanpa niat bergabung. Ketika Bu Isma tiba dengan napas tersengal, ekspresi Jenny seketika berubah menjadi cerah.

Begitu nyanyian diulang sekali lagi, Raya bergegas naik. Tertawa histeris bercampur merengek karena bajunya basah kuyup.

Kemudian Wahyu datang, menyodorkan kemeja luarannya kepada Raya dan sekarang yang histeris bukan hanya Raya semata, melainkan semua orang yang berada di tepi kolam.

Dine dengan senang hati memprovokasi suasana dengan nyanyian, "BUNGA-BUNGA CINTA BERMEKARAN ...!"

Selama perhatian orang-orang masih terpaku pada Wahyu dan Raya, Kelvin melipir padaku, masih di dalam kolam. Dia kerepotan dengan dua balon angka di tangannya, jadi kubantu mengambil salah satunya.

Kelvin mendongak, menatapku tanpa bisa menahan senyum karena cengiran dan kekeh geliku tak kunjung usai.

Akhirnya, setelah puas tertawa di sana-sini, aku membungkuk ke arahnya sambil memeluk balon angka satu dan mengucapkan, "Happy birthday, ganteng."

Kelvin mendengkus, dan rasanya sudah lama aku tidak melihatnya begitu. "Makasih, cantik."

Aku tergelak lagi. Kali ini geli sendiri mendengar tutur katanya malah mirip Galang versi buaya.

Catatan Jempol:

CIEEEEEEEE (☞ ͡° ͜ʖ ͡°)☞

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top