25 | Introspeksi Via Video Call

Aku ditinggal sendirian.

Jam digital di layar ponsel menunjukkan angka sepuluh dengan deretan angka nol yang sempurna di belakangnya. Dine keluar setelah mendapat telepon dari Wahyu. Ada briefing, katanya.

Setelah paham kenapa aku tidak ingin keluar kamar, Dine akhirnya bilang akan merekam atau paling tidak mencatat (atau paling sederhananya lagi: mengingat) bagian-bagian penting yang harus dijalankan. Termasuk bagianku.

"Nah, ‘kan? Udah kubilang, pohon mangga di depan kamarmu itu ditebang aja." Dine mengajukan tawarannya setelah kuceritakan masalahku dengan Kelvin. "Kalau kasusnya kayak gitu, apa mau kubantu buat minta fokus ke Raya aja? Biar Kelvin diurus sama anak cowok. Toh, ada Ipang."

Aku menolak. Tentu saja. Namun, diam-diam kuapresiasi sahabatku yang satu itu.

Walau sering dianggap aneh dan kurang harga diri karena sering ganti pacar, nyatanya Dine menjadi yang lebih mengetahui bagaimana permukaan hati orang. Lebih-lebih lagi anak cewek.

Omong-omong, aku hanya sedikit bercerita tentang AirPods dan pertengkaran tak masuk akal yang disebabkan oleh benda itu. Menurutku itu dulu yang bisa kuceritakan. Sisanya masih perlu kutilik lagi sampai detail.

Maka di sinilah aku sekarang; melanjutkan crochet sambil memikirkan bagaimana cara menjalankan rencana tanpa harus terbawa emosi walau hanya karena melihat batang hidung Kelvin.

Ini sulit, tetapi harus ada caranya. Jangan sampai orang-orang akan menyadari ada yang salah dengan kami. Karena kalau sudah begitu, bisa-bisa yang ada malah canggung.

Tentu ada bagian super kecil dari diriku untuk datang meminta maaf lebih dulu, tetapi setelah dipikir-pikir lagi, kenapa aku harus minta maaf padahal bukan aku yang memancing ke topik yang lebih emosional?

Kenapa Kelvin kesal karena aku kena tubruk si pria berhelm full face sampai dia terpaksa melayangkan bogem? Harusnya, kan, aku yang misuh-misuh?

Kenapa kali ini dia tidak memaklumi tetangganya yang tidak punya napas dan tenaga kuda seperti dirinya? Dia lupa kalau dia anak futsal atau lupa kalau aku bukan anak atletik? Aku Era, lho. Bukan Nindi.

Kenapa pula dia yang marah-marah padahal aku datang ke gazebo hanya untuk jalan-jalan sore? Pembahasan AirPods itu, kan, spontan saja.

"Ck." Kulempar seperangkat alat crochet ke atas ranjang. Tak peduli melihat benda-benda itu berlompatan nyaris terguling dan raib ke atas lantai. Kuhela napas keras-keras, lalu kuusap mata yang berat.

Makin diingat-ingat, kok, jadi makin kesal.

Ambisiku untuk menyelesaikan crochet tiba-tiba lenyap, berevolusi menjadi rasa malas, dan pada akhirnya menuntutku untuk rebahan tanpa berbuat apa-apa.

Pandanganku beralih ke pergelangan kaki kanan yang tampak berkilau setelah diolesi obat luar lagi. Rasa panasnya menyerap, tapi masih sakit setiap digunakan untuk melangkah. Bahkan setelah mencari tips penyembuhan praktis di internet pun jawabannya selalu sama: pijat refleksi tidak lama setelah kejadian.

Aku tersenyum masam setiap kali menemukan inti yang sama dari artikel yang berbeda.

Telat banget. Sekarang kakiku sekaku mayat, pikirku.

Kemudian tiba-tiba aku terpikirkan gagasan lain: bagaimana kalau mama tahu anaknya keseleo sampai kesulitan menikmati liburan? Apa yang akan kudapat? Saran pengobatan atau ucapan semoga lekas sembuh?

Meh, aku yakin bukan keduanya.

Sudah pasti mama bakal mengoceh, "Kamu, tuh, ngapain aja, sih? Enggak di rumah, enggak di luar; apa-apa jatuh, keseleo, lecet. Kalah sama kucing."

Kalau kubalas, Kucing, kan, nyawanya sembilan, bisa-bisa semprotan mama kian menjadi. Pada akhirnya aku harus mengalah karena mama selalu benar.

"Ih," aku bergumam. "Jadi kangen Mama."

Sekali lagi kutatap ponsel, dan akhirnya kuputuskan untuk menghubungi mama. Sempat bimbang, pada akhirnya kupilih panggilan video karena ada kemungkinan lebih mudah menggoda aktivitas mama di jam-jam segini.

Panggilan video pertamaku terlewat tanpa jawaban. Begitu kuulang lagi dan tiga nada panggilan berlalu, akhirnya panggilan videoku diangkat. Betapa lega hatiku ketika melihat mama sibuk mengunyah. Itu artinya kondisi di rumah aman-aman saja.

"Halo, Ma."

"Halo juga. Kenapa, Sayang?"

"Enggak apa-apa," kataku. "Cuma kangen Mama."

Mama berhenti mengunyah. Matanya menatapku lewat layar dengan pandangan aneh. "Apa, nih? Modus mau minta uang?"

"Ih." Aku cemberut. "Wong Era serius begini."

"Masa, sih?" Mama mengerjap. Kondisinya kasak-kusuk lagi. Kulihat latar belakangnya kini berupa pajangan-pajangan yang kuingat ada di ruang tengah. "Ayah, lihat, deh. Anaknya tiba-tiba bilang kangen, nih, Yah."

"Mana yang bilang kangen?"

Aku nyengir. Bersiap menyambut wajah yang hampir sulit kulihat setiap hari lantaran pekerjaannya.

"Halo, Ay—" Aku melotot. Kaget sendiri melihat selaput tipis masker wajah menempel di wajahnya yang terbiasa berekspresi keras bak pria sejati. "IH, SEJAK KAPAN PAKAI BEGITUAN?"

"Ini?" Ayah menepuk pipinya sendiri, kemudian tangannya dipukul mama. "Disuruh coba pakai ini sama Mama. Katanya biar tambah ganteng. Padahal enggak pakai ini mamamu juga udah sayang."

"Ih, kata siapa?"

"Lho? Tadi Ayah rekam suara, lho."

"Eits, dilarang mesra-mesraan selama ada orang ketiga," protesku. "Era mau ngobrol sama Mama, bukan nonton FTV."

"Kok, sama Mama doang?" Wajah ayah mendekat. Dapat kulihat bibirnya melengkung ke bawah. Cemberut dibuat-buat yang sering kulakukan balik kepadanya saat merengek atau memelas. "Era enggak kangen sama Ayah? Ayah libur sampai Senin, nih. Era pulang kapan?"

"Besok pulang, kok." Kuambil kembali crochet yang hampir jadi, benang poliester, dan hakpen yang tadi kuhempaskan. "Kenapa? Mau jalan-jalan?"

"Mau, dong, kalau sama anak Ayah," kata ayah. Suaranya agak aneh karena menahan diri untuk tidak meretakkan masker lebih parah lagi. "Tapi nanti pijat Ayah dulu kalau udah pulang."

"Ih, ada juga Era yang dipijat. Kan, habis jalan-jalan."

"Enggak mau. Maunya Ayah."

Aku manyun. "Iya, iya. Ya udah. Mama mana?"

"Hadir, Sayang." Ponsel kembali beralih kepada pemiliknya. Kini hanya wajah mama yang mengisi layar. "Kenapa, sih? Dari tadi cari Mama terus ... eh? Itu crochet yang kamu bikin kemarin-kemarin?"

"Iya, dong." Senyum banggaku tercetak jelas sembari menggoyang-goyangkan crochet paus yang tinggal diberi ekor. Pamer ke mama sendiri rasanya memang luar biasa. "Lucu, 'kan?"

"Kok, badannya kayak bentuk tabung gitu, sih? Hihi. Tapi lucu, kok. Imut kayak Mama."

"Apa? Apa?" Wajah ayah merangsek masuk layar. "Apa yang imut kayak Mama?"

"Ih ...!" Dengan gemas mama mendorong suaminya sendiri sampai terdengar erangan dramatis akibat terguling jatuh dari sofa. "Itu Era bikin gantungan kunci rajut. Bentuknya paus gendut gitu. Lucu, deh."

"Bentuk paus? Kenapa harus paus?" Suara ayah terdengar tanpa terlihat wajahnya. "Owalah, pasti buat anak lanangnya si Indri."

Cengiranku luntur perlahan. Merutuki kepekaan super tinggi milik ayah. Agak ketus kukatakan, "Enggak. Ini buat Era sendiri."

"Kamu mana ada suka paus."

"Suka, tuh."

"Halah. Suka orangnya, bukan pausnya."

Aku manyun. Merasa disudutkan. "Era mau sama Mama aja. Ayah nyebelin."

Mama tertawa menang, mengusir ayah menjauh sambil berkelakar—ah, tidak. Lebih tepatnya sambil terbahak-bahak dengan geli karena diterkam dan digelitiki ayah.

Visual mereka di layar ponselku sampai tidak jelas bentuknya. Entah ponselnya terbentur meja atau terlempar karena mama punya sensor geli yang cukup tajam sama sepertiku.

... Inilah kenapa aku melarang mereka bermesraan ketika ada orang ketiga.

Apa, ya ... terkadang alih-alih romantis, kupikir mereka menggelikan. Barangkali karena usiaku belum sampai pada fase romantis yang seperti itu.

"Aduh, ayahmu itu, lho."

Aku tersenyum tanggung. Mencoba mendukung suasana karena mama terkekeh-kekeh, menghela napas. 

"Kenapa, Era? Mau cerita apa ke Mama?"

"Dulu ...." Kujilat bibir yang mendadak kering. "Dulu Mama pernah marah-marah ke Papa, enggak? Atau sama teman cowok di sekolah, gitu?"

Mama diam. Tidak merespons dalam hitungan detik yang terasa panjang. Mendadak aku ragu. Apa jangan-jangan jaringanku jelek dan pertanyaanku tidak tersampai? Haruskah kuulangi pertanyaannya?

"Yah, kalau ditanya pasti pernah, sih." Aku menghela napas. Lega tidak perlu mengulang pertanyaan. "Waktu itu Mama ingat banget ada teman cowok Mama yang lupa bawa buku PR Mama, padahal udah janji bakal dibawa menjelang pemeriksaan. Sejak hari itu, dia enggak pernah Mama pinjami buku PR lagi. Enak banget dia. Mama bikin PR dua jam, dia bikin PR cuma dua menit."

Oh, wow.

Tegas, ya.

"Terus, Mama gimana?"

"Gimana apanya?"

"Yah, PR Mama jadi enggak bisa dinilai di hari itu juga, 'kan? Lagipula, Mama udah susah payah bikin PR-nya juga. Hasil kerja keras Mama sendiri."

"Iya, sih." Mama melirik ke sebelahnya sejenak, lantas mengulum senyum. "Tapi namanya juga remaja, 'kan?"

Keningku berkerut. Agak kontra dengan pernyataan terakhir mama. "Bukannya itu berarti teman Mama enggak bertanggung jawab? Dia enggak merasa bersalah, gitu?"

"Kamu mengharapkan apa dari anak cowok?" Mama tergelak sambil mengalihkan pandangannya ke objek lain (kutebak masih ada ayah di dekatnya). "Mereka bukannya enggak peka. Terkadang mereka gengsi, atau punya cara sendiri buat menunjukkan rasa bersalah lalu meminta maaf. Enggak perlu dipikir berlebihan. Yang penting kamu sabar dan tetap kalem. Oke?"

"Oke ...."

"Kalau mereka masih enggak sadar diri juga, coba aja minta maaf duluan. Enggak ada salahnya kalau cewek yang mulai, ‘kan?"

Aku mencebik. "Gimana ceritanya minta maaf, tapi sebenarnya enggak salah apa-apa?"

"Lho, emangnya kenapa?" Mama mengangkat alis. "Siapa tahu sebenarnya mereka mau dengar ‘maaf’ dulu, ‘kan, biar bisa introspeksi?"

Déjà vu.

Perlahan aku mengangguk. Sedikit demi sedikit mulai termotivasi. "Oke, deh," gumamku setengah melamun. "Oh, iya, Ma."

"Hm?"

"Kaki Era keseleo."

Bukan main, kulihat mama melotot kaget dari layar. Sebuah reaksi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Karena biasanya mama hanya geleng-geleng kepala sambil mengulum senyum.

"Kamu ngapain aja di sana sampai bisa keseleo begitu? Koprol menjelang magrib?" tanyanya—dan sialnya persis Raya.

"Ceritanya panjang ..., tapi intinya belum ada tukang pijat atau orang yang bisa pijat kaki Era. Makanya sekarang Era cuma, yah, di kamar."

Mama terdiam di sana. Pelan dan pasti, tangannya mengambil camilan untuk disetor ke dalam mulut. "Masih bisa jalan, 'kan?"

"Masih, atuh."

"Ya udah, enggak masalah," ujar mama akhirnya. "Nanti kalau pas pulang masih sakit, Mama panggil tukang pijat, ya?"

Aku mengangguk. Tertegun bercampur senang karena beberapa hal; ada yang berpihak padaku tanpa melewati banyak sesi persuasif, perhatian, juga memberiku saran selanjutnya harus bagaimana.

Lebih-lebih lagi, mama menyadarkanku satu hal. Tentang benang imajiner antara masalah dan kata maaf.

Emang ternyata aku sendiri juga ada salah, ya?

"Makasih, Ma."

"Sama-sama, Sayang." Mama tersenyum hangat. Sekali lagi menyetor camilan ke dalam mulut. "Jaga diri di sana. Anak sekolah memang waktunya banyak main, tapi jangan lupa istirahat."

Kemudian mama pamit, beralasan hendak jalan-jalan dengan pacarnya, dan akhirnya sambungan panggilan video berakhir.

Begitu kugulir layar untuk melihat deretan notifikasi, satu pesan baru dari Teresa muncul begitu saja.

[Er, nanti siang ikut kumpul, ya. Sebentar doang, kok.]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top