Bab 9|Sebuah Pilihan

سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Pilihlah apa yang baik menurut Allah, jangan memilih yang baik menurut hatimu. Karena hati bisa keliru, namun Allah tak pernah keliru."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

"Maafkan aku, Za."

Suara lirih itu mengundang iba. Namun si lawan bicara hanya diam enggan menanggapi. Rasanya ia ingin marah. Hatinya dijungkir balikkan seenaknya. Jika bukan atas nama persahabatan, Aza tak segan-segan untuk mengambil tindakan. Tetapi nuraninya masih berjalan. Itu tak mungkin dia lakukan.

"Aku tak tahu harus gimana lagi. Aku tak mungkin melanjutkan pernikahan itu jika kamu tak memaafkanku, Za," ujar Thia dengan nada frustasi. Rasanya seperti ia berada di jalan buntu.

"Za, kumohon jangan mendiamkanku seperti ini." Mata bening Thia terlihat berkilat karena genangan air mata.

Aza menghela napas panjang. Ia kesal dengan keadaan. Kesal atas takdir rumit yang menautkan mereka. Seharusnya tidak berbelit-belit seperti ini, tetapi Thia ... Ah, gadis itu membuat semuanya menjadi rumit.

"Aku gak tau harus ngomong apa, Thia. Sudahlah, lanjutkan saja urusanmu, aku pun akan melanjutkan urusanku," ucap Aza terkesan tidak acuh.

"Aza jangan marah padaku," pinta Thia mengiba. Sontak sahabatnya itu memalingkan wajah.

"Berhenti bersikap seperti ini, Thia! Berhenti perlihatkan kelemahanmu sama orang lain," bentak Aza sedikit kesal.

"Kamu bukan orang lain. Kamu sahabat aku, Za," bela Thia.

"Terserah!" pungkas Aza lantas beranjak pergi meninggalkan Thia yang menatapnya dengan nanar.

Aza sungguh kesal dengan Thia. Dia tidak suka melihat gadis itu memohon-mohon padanya. Seperti dirinya orang jahat saja. Mungkin untuk sementara waktu, dia akan menghindari Thia. Selain untuk menetralkan perasaannya, dia tidak ingin Thia mengingatkannya lagi dengan takdir nahasnya itu.

Aza kembali ke klinik setelah jam istirahat usai. Gadis itu tak sengaja menemukan Amar yang tengah melamun di mejanya. Ia melangkah maju hendak menegur lelaki itu.

"Mas Amar, ngelamunin apa? Hati-hati nanti dimasuki setan loh," sindir Aza dengan tawa tertahan.

"Eh, Aza," ucapnya setelah sadar ada orang lain di sekitarmya. "Bahasamu Za, kurang kasar," lanjutnya sambil terkekeh. Aza pun ikut tersenyum.

"Habis, Mas Amar dulu suka negur aku kalo lagi melamun. Nah, sekarang giliran Aza, kan," sahutnya. Amar kini tersenyum sambil menganggukkan kepala. Membuat Aza merasa aneh. Sangat jarang manusia salju itu meleleh seperti ini.

Apa benar dia telah dirasuki setan baik? Ah, ngaco! Memang ada setan baik?

"Oh iya, Thia mana?"

Senyuman tipis Aza langsung memudar kala mendengar pertanyaan itu. Ia sadar, dirinya memang tidak bisa jauh-jauh dari nama itu.

"Masih di kafe kali, Mas," ucapnya cuek hendak kembali ke tempatnya.

"Loh, bukannya tadi kalian sama-sama ke sana?" heran Amar menangkap gelagat aneh di wajah perempuan itu.

Giliran Thia aja Mas Amar banyak omong, heran.

"Tadi aku pergi duluan, Mas," balasnya tanpa berminat melanjutkan pembahasan. Dia menyibukkan diri agar pertanyaan Amar tidak berlanjut.

"Aza," panggil Amar. Ia mendekati perempuan itu dengan langkah ragu-ragu. Hal yang nyaris mustahil ia lakukan. Manusia salju yang selalu dingin sama perempuan. Aza memicingkan matanya.

"Ya."

"Saya mau minta tolong sama kamu." Sudut bibir kiri Aza berkedut. Ia sudah menduga, Amar tidak pernah mendekat jika hanya sekadar basa-basi. Jika bukan meminta tolong, pasti hal itu hanya masalah pekerjaan. Kali ini apa lagi?

"Apa yang bisa aku bantukan, Mas?"

"Bantu saya bisa ta'aruf dengan Thia."

Aza tersentak. Amar memang bukan tipe lelaki yang suka berbasa-basi. Ia selalu to the point. Namun, keterusterangan pria itu membuat hati Aza lebam.

Thia lagi, Thia lagi.

Ingin rasanya Aza berteriak pada semesta. Mengapa perempuan itu selalu berada satu langkah di depannya?

"Buat apa, Mas?"

Pertanyaan Aza tentu saja menerbitkan kerutan di dahi Amar.

"Tentu saja untuk bisa melangkah ke tahap yang lebih serius," ucap Amar.

"Saranku tidak usah dilanjutkan, Mas."

"Kenapa? Apakah cara saya salah?"

Aza mengembuskan napas berat lalu menatap Amar yang sontak melirik ke arah lain.

"Bukan cara Mas Amar yang salah. Tetapi target Mas Amar lah yang salah."

Ucapan Aza yang sarat makna itu membuat kepala Amar dipenuhi tanda tanya.

"Maksudnya?"

"Thia sudah dikhitbah, Mas."

Kenyataan yang dilontarkan Aza membuat Amar terhenyak. Otot-ototnya melemas seketika. Rasanya seperti baru ingin memanjat, tetapi dahan yang diinjak langsung patah begitu saja. Begitulah gambaran perasaan Amar sekarang. Ia menunduk. Tak banyak bicara, langsung menarik diri dan menjauh dari pandangan Aza. Ia paham, lampu di depannya sudah menyala berwarna merah. Tak mungkin menerobos dan memaksakan langkah.

Jam istirahat kini sudah lewat. Para karyawan juga telah kembali ke klinik. Namun, sejak tiga puluh menit berlalu, sosok Thia belum nampak sedikit pun. Ia bagai hilang tak berjejak. Awalnya Aza tak ingin mengindahkan, tetapi semakin lama perasaannya jadi semakin tidak tenang.

"Thia kemana, Za?" tegur Lily ketika melewati perempuan itu.

"Mm, saya juga gak tau, Mba. Thia tidak mengabari saya," ujar Aza sedikit gelisah.

"Ya udah, coba kirimkan pesan dan tanya dimana dia," usul Lily yang segera disambut baik oleh Aza. Secepat kilat pesan itu terkirim. Namun yang terlihat hanyalah tanda ceklis satu dalam artian whatsapp perempuan itu sedang tidak aktif. Aza jadi semakin resah.

"Gak aktif, Mba," ucapnya sambil menatap Lily yang penasaran.

"Ya udah, positif thingking saja. Semoga dia segera datang. Mba ke atas ya," pamitnya. Aza mengangguk lalu kembali fokus ke ponselnya. Ia mencoba menelpon Thia, namun nomor gadis itu sedang tidak aktif. Aza mengesah. Ia kini merasa bersalah telah meninggalkan Thia begitu saja.

Kemana sih, Thia? Batin Aza cemas.

☀️

Ketika seseorang tertimpa masalah, terkadang ia hanya fokus pada masalah itu. Berlarut-larut di dalamnya, merasa putus asa dan terus-menerus mengeluh. Alih-alih mencari jalan keluar, ia berdalih ingin melegakan hati. Namun tanpa sadar ia melupakan Sang pemberi masalah. Yang bisa memberikan, juga bisa menghilangkan.

Thia masih mengenakan mukenanya selepas menunaikan salat duhur. Posisinya pun masih di tempat yang sama. Ia baru saja mencurahkan isi hatinya. Matanya sembab menangisi dirinya yang lemah. Perempuan itu kini enggan beranjak. Ia masih ingin berlama-lama. Selama ini dirinya terlalu berfokus pada masalah, sehingga lupa meminta solusi dari masalahnya itu.

Allah memberikan ujian karena hendak meningkatkan kualitas hamba-Nya. Oleh sebab itu, setiap masalah yang diberikan ada solusi yang ditawarkan. Setiap ujian yang sulit akan selalu bersanding dengan solusi yang mudah.

Beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah adalah salah satu solusi yang bisa mengeluarkan kita dari gundah gulana.

Thia masih dalam posisi berdoa. Matanya terpenjam dengan penghayatan yang mendalam. Sekelilingnya sepi. Ia hanya sendirian. Ponselnya pun dibiarkan mati. Tak ingin memecah konsentrasinya.

Di kepalanya bayang-bayang pernikahan terpampang dengan jelas. Hidup berdua, apakah ia sudah benar-benar siap? Thia merasa masih abu-abu. Di satu sisi, ia ingin menikah, di sisi lain seperti masih ada yang mengganjal di hatinya.

Ya Allah, jika memang dialah lelaki yang Kau pilihkan untukku maka yakinkan hatiku untuk memilihnya.

Ya Allah, jika memang dialah lelaki yang tepat untukku, maka hapuslah seluruh keraguan yang ada dihatiku.

Ya Allah, jika memang dialah lelaki terbaik untukku, maka pantaskanlah diriku untuknya.

Ya Allah, jika memang bersamanya membuatku lebih dekat kepada-Mu, maka mudahkanlah jalan kami untuk mendekati-Mu.

Thia menyapukan kedua tangannya ke wajah. Selepas berdoa dia merogoh tas mencari ponsel pintarnya. Benda tipis itu pun diaktifkkan setelah dibiarkan menganggur. Ia mengabaikan panggilan tak terjawab dan pesan-pesan dari Aza. Sekarang hanya satu orang yang menjadi tujuannya. Setelah itu dia akan kembali mematikan ponselnya dan mencari ketenangan.

"Bismillah. Mas, datanglah lagi ke rumah besok atau kapan pun Mas Akas luang."

Thia mengetikkan pesan singkat itu selepas berdoa dengan khusyuk. Selagi hatinya merasa lapang dan yakin, ia segera menyampaikan kabar itu agar tidak ada lagi yang mengganggu pikirannya. Ia tak ingin menahan niat baik itu lebih lama. Meskipun Aza belum memberikan restu, namun ia yakin sahabatnya itu akan bersikap legawa. Setidaknya ia sudah memilih yang paling sedikit mudaratnya.

Semoga pilihan ini adalah yang terbaik.

☀️

Monyet berlari melihat pisang
Selamat hari raya idul fitri readers tersayang
#pantun yg payah >,<
.
.
Maaf banget, kemarin gak sempat up karena bertepatan dengan hari raya.

Hari ini double up lagi untuk menutupi minus kemarin. Semoga bisa mengobati rasa penasaran kalian.

Dukung terus cerita ini dengan cara vote dan komen.
.
.
Ambil duku dekat pohon pisang
Readers mendukung author pun senang
😆

To be continued ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top