Bab 8|Epiphany
سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Terkadang mementingkan diri sendiri bukan karena kita egois, namun karena hal itu adalah keputusan terbaik daripada peduli namun diri sendiri akan terluka."
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Matahari bersinar tak begitu terik. Angin pun berembus sepoi-sepoi. Hawa terasa hangat. Sepertinya cuaca saat ini sedang bersahabat, sehingga membuat tempat itu menjadi cukup ramai. Dipenuhi banyak manusia yang tengah bercengkerama. Ada pula yang bermain dan juga berbelanja. Taman itu selalu ramai disetiap harinya. Bunga-bunga beragam jenis dan tanaman pohon yang unik menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Sekadar lari kecil untuk membakar lemak maupun menikmati angin sore dan menyegarkan pandangan.
Di antara hiruk pikuk pengunjung, terlihat dua jenis manusia sedang duduk di bawah pohon Jacaranda. Sejak datang ke tempat itu, keduanya masih tampak diam dengan situasi yang canggung. Keduanya juga saling menciptakan jarak. Sepertinya mereka masih larut dalam pikiran masing-masing atau bingung memikirkan kalimat apa yang akan dilontarkan.
Si wanita tampak sibuk memainkan tali tas. Sedangkan si pria terlihat sibuk memainkan sepatunya sendiri. Benar-benar canggung. Namun bukankah hal tersebut terasa wajar pada pertemuan pertama? Ya, apalagi mereka sama-sama orang yang menjaga jarak pada lawan jenis.
Tak berselang lama, Akas mengembuskan napas. Agak berharap hatinya bisa tenang dari debaran yang kian menguat.
"Thia, apa kabar?" Suara pria itu terasa tercekat. Tiga kata namun mengungkapnya benar-benar menguras tenaga.
"Alhamdulillah, baik, Mas. Mas Akas sendiri?" ucap gadis itu sembari tersenyum.
"Alhamdulillah baik juga," balasnya dengan senyum serupa. Keduanya saling berpandangan dan melempar senyuman sejenak lalu kembali menunduk.
"Maaf ya kalo saya meminta yang aneh-aneh dan mengajakmu ke sini," ujarnya sungkan.
"Emm, tidak apa-apa, Mas. Kan di sini juga ramai," jawab Thia sekenannya.
"Hmm."
"Urusan pekerjaan gimana?" Akas melakukan pemanasan dan mencoba berbasa-basi. Basa-basi yang sangat kaku.
"Ya, gitu, Mas. Alhamdulillah lancar."
Alih-alih merasa bahagia bisa bersama orang yang dikagumi dan kini berstatus menjadi calon suaminya itu, Thia justru merasa sebaliknya. Ia gugup dan gelisah. Pikirannya sibuk berspekulasi. Mungkinkah pria itu akan menagih dan menuntut jawabannya?
"Oh iyaa, gimana kabar orangtuamu?"
Benar-benar basi. Akas bingung hendak bertanya apa lagi. Apalagi Thia tampak tidak bisa diajak kompromi.
"Alhamdulillah, mereka juga baik. Kalau orangtua Mas Akas gimana?"
"Alhamdulillah baik juga." Akas hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Emm, Mas Akas mau bahas apa?" tanya Thia to the point.
Tampaknya Thia tidak sabar menunggu pembahasan inti mereka. Rupanya berbasa-basi hanya akan membuatnya semakin overthinking.
Lelaki itu tampak menghela napas. "Maaf ya, Thia. Bukannya ingin menuntut atau memaksa, namun saya ingin tahu kejelasan dari jawabanmu kemarin."
Ah, itu lagi. Batin gadis itu.
"Harusnya saya yang meminta maaf sama Mas Akas. Sebelumnya maaf kalau hal itu malah memberatkan hati Mas Akas," ujarnya sambil menunduk dalam.
Kamu tau itu akan memberatkanku, tapi kenapa kau malah melakukannya, Thia. Batin Akas bersuara.
"Aku tahu itu permintaan aneh dan tak masuk akal. Aku juga tahu kalau sangat kecil kemungkinan Mas Akas akan setuju. Maaf ya Mas, aku lebih mengedepankan perasaan daripada pikiran," ucapnya terlihat menyesal.
"Iya, tidak apa-apa. Saya tahu kamu punya alasan untuk mengatakannya. Saya hanya ingin menyampaikan, jangan sampai kamu ingin membahagiakan orang lain namun justru kamu malah merusak kebahagiaanmu sendiri. Itu bukan perbuatan baik namanya Thia, tapi salah satu bentuk penyiksaan. Maaf kalau saya terkesan menceramahi dan menggurui, tapi harus saya lakukan demi masa depan kita. Jujur saja, saya tidak bisa adil dalam urusan cinta dan tanggung jawab. Terlebih kepada dua wanita dalam satu rumah tangga. Saya tipe orang yang akan memprioritaskan seorang saja. Ketika saya memilih kamu, maka hanya kamu saja yang ada dalam hati dan pikiran saya, maaf."
"Iya, maaf Mas, Thia menyesal pernah mengatakan hal yang tidak-tidak."
"Bagi saya, pernikahan bukan hanya soal bahagia dan membahagiakan. Namun juga ada visi misi yang akan dicapai. Bukan hanya menyalurkan cinta, namun juga membangun surga. Tujuan kita menikah adalah untuk beribadah kepada Allah. Apalah artinya jika bahtera yang dibangun hanya menghadirkan kesengsaraan dan melencengkan kita dari surga. Pernikahan itu urgensinya kompleks. Tidak bisa dibangun hanya dengan pondasi cinta. Maaf ya Thia, saya jadi menggebu-gebu seperti ini," terangnya tidak enak sebab perempuan itu tampak melamun.
"Boleh bertanya?" cetus Akas kemudian.
"Y-ya? Mau nanya apa, Mas?"
"Perempuan yang kamu maksud apakah sahabatmu di klinik?"
Thia terkesiap. Darahnya seperti naik ke ubun-ubun. Rasa panas menjalari seluruh tubuhnya dengan cepat. Ia kini menegang dengan satu pertanyaan itu. Haruskah ia jawab atau diam saja?
"Thia," tegur pria itu sekali lagi.
"I-iya, Mas?" ucapnya gelagapan.
"Apakah dia orangnya?"
"Mm, maaf Mas, saya tidak bisa mengatakannya."
Akas menghela napas. "Ya sudah. Oh iya, jadi kapan saya bisa datang ke rumah kamu lagi?"
"E-eh?" Gadis itu tergegap-gegap. Menatap Akas yang menginginkan jawab.
"Nanti, saya bicara sama orangtua dulu ya, Mas."
"Oke. Saya tunggu ya," ucap Akas tersenyum.
"Terima kasih atas waktunya hari ini. Udah mau balik?"
"Mm, boleh deh, Mas. Sekalian saya mau bicara sama mama dan ayah kalau ada di rumah."
Hati Akas menghangat mendengarnya. Tidak sabar menanti keputusan terbaik dari calon makmumnya itu. Ia tersenyum dalam diam sambil mendoakan yang terbaik untuk mereka berdua.
"Ya udah, saya antar kamu."
"Tidak merepotkan, Mas? Siapa tau Mas ada kesibukan?" tanya Thia berusaha menolak karena tidak enak ditambah canggung.
"Tidak merepotkan kok. Saya juga tidak punya kesibukan yang mendesak."
Thia mengangguk lalu beranjak menghampiri kendaraannya di area parkir. Diikuti Akas yang memperhatikan gadis itu sambil terus mendoakan langkahnya.
☀️
Hari libur seperti ini memang cocok dihabiskan dengan quality time bersama keluarga maupun sahabat. Sekadar mengobrol, minum teh bersama, atau melakukan pekerjaan rumahan secara bersama-sama cukup menghangatkan dan bisa mempererat hubungan. Hal yang sama dilakukan Akas. Ia membantu papa dan ibunya membersihkan halaman belakang dengan penuh semangat. Keluarga itu berencana akan menambah pohon mangga disetiap sudut, juga beberapa bunga langka yang telah dibeli ibunya kemarin.
"Tidak biasanya kamu membantu membersihkan. Biasanya juga pergi joging kalau libur begini," tukas Ria agak heran melihat kehadiran Akas di halaman itu.
"Hehe, jangan gitu dong, Bu. Kan Akas pengin memperbanyak momen bersama keluarga," ujarnya. Ia sibuk membantu papanya menggali tanah. Sedangkan Ria tampak sibuk dengan bunga-bunganya.
"Emang iya, kamu tuh terlalu sibuk menurut Ibu. Entah apa yang diurus di yayasan. Kayak banyak sekali," sindir ibunya membuat Akas terkekeh.
"Hehe, ya gitu lah, Bu. Meskipun tidak banyak, tapi yayasan butuh banyak-banyak ide yang kreatif agar tidak tertinggal. Bahkan nih, Bu, klinik Papa sebenarnya Akas berpikir mau renovasi sedikit."
"Loh, kok kamu gak bilang-bilang, Kas kalau mau dirombak?" sambut papanya.
"Kan baru dipikirkan, Pa. Ini namanya Akas kasih bocoran, hehe."
"Huh, gaya," cibir Ria memecah tawa keduanya. Matahari sudah naik sepenggelah. Hawa dingin sudah tak terasa dan embun dideaunan terserap dengan cepat oleh cahayanya. Tergantikan suasana yang sedikit panas. Namun keluarga itu masih asyik menghabiskan waktu di taman.
"Memangnya apanya yang mau direnovasi, Kas?" tanya papanya masih penasaran dan melanjutkan pembahasan itu.
"Desain interiornya sudah terlalu membosankan menurut Akas. Perlu ditambahin beberapa perabot dan hiasan. Supaya karyawannya tidak bosan dengan suasana yang itu-itu aja dan pengunjung bisa nyaman di sana," terang lelaki itu.
"Wah ide yang bagus, Kas. Papa setuju," ucap Altar antusias.
"Ibu juga setuju, meskipun tidak tahu menahu ya soal begituan," timpal ibunya.
"Ya iyalah, Ibu kan cuma tahu bunga dan arisan," sindir Altar membuat Akas menahan tawanya. Setelah ini pasti akan terdengar adu mulut dari mereka berdua.
"Papa, Ibu, doakan Akas ya," ucapnya sambil melengkungkan senyumnya.
"Tanpa diminta pun kami doakan, Kas," sahut Ria.
"Iya, Akas tahu. Semoga lamaran Akas akan menemui titik terang dan bisa segera menikah," ucapnya dengan hati berbunga-bunga.
"Amin," balas keduanya.
"Memangnya hilalnya sudah muncul?" tanya Ria ragu.
"Kemarin Akas sudah bicara sama Thia. Alhamdulillah dia mau mendengarkan saranku dan berdiskusi ulang dengan keluarganya. Secepatnya Akas akan mengabari perempuan itu."
"Kamu tahu siapa orang yang dia bicarakan waktu itu?" tanya Ria sedikit penasaran.
"Mm, entahlah Akas kurang tau. Thia juga gak mau ngasih tau. Tapi kemungkinan sih sahabatnya dia. Karena kalau Akas perhatikan, setiap kesana dia tuh sering curi-curi pandang ke Akas. Terus pernah juga dia seperti mencari perhatian gitu. Ah, entahlah, Akas tidak ingin berpikir macam-macam," ujarnya tidak ingin peduli, namun sejujurnya ia pun memikirkan perempuan itu.
"Menurut Ibu sih si Thia pasti sangat dekat dengan orang itu sehingga dia takut membuatnya kecewa atau mungkin orang itu malah mengancam Thia untuk memberikan syarat itu kepadamu." Ria mencoba menebak-nebak yang terjadi.
"Apapun alasan Thia, Akas tetap menunggu dia memberikan jawaban iya tanpa embel-embel harus menikahi orang lain," pungkas Akas membuat orangtuanya bungkam.
"Kamu minta bantuan sama Mbakmu?"
"Iya, soalnya Akas tidak bisa melakukan pendekatan secara intens. Jadi kurasa Mba Lily bisa membantuku."
"Hmm, keputusan yang tepat," ucap Altar. Akas menghela napas lega. Ia takut keputusannya malah ditentang orangtuanya.
Di tempat yang berbeda, suasana yang tersaji pun terlihat berbeda. Rumah itu tampak sepi. Meskipun penampakannya sudah bersih, namun terasa dingin tanpa jamahan penghuninya. Sedangkan di lantai atas, sebuah kamar dengan pintu terbuka memperlihatkan seorang gadis yang sedang berdiri menghadap balkon. Pandangannya jatuh pada cakrawala yang terlihat cerah. Secerah epiphany yang telah menerpanya pagi ini. Tak bisa dipungkiri ia merasa lega dan sedikit bahagia.
Mulai sekarang cobalah lebih memprioritaskan kebahagiaanmu sendiri. Kamu bukan alat pembahagia orang lain.
Jangan sampai kamu ingin membahagiakan orang lain namun justru kamu malah merusak kebahagiaanmu sendiri.
Kamu berhak merasa bahagia tanpa harus membahagiakan orang lain terlebih dahulu.
Terkadang mementingkan diri sendiri bukan karena kita egois, namun karena hal itu adalah keputusan terbaik daripada peduli namun kamu sendiri akan terluka.
Semua nasihat itu menari bergantian di hadapan wajah Thia. Satu persatu menyentak kesadarannya. Ia sadar, keputusannya selama ini salah. Pilihan yang menurutnya terbaik adalah justru yang terburuk.
Maafkan aku, Za.
️☀️
Mohon maaf updetnya telat, huhu.
Terus berikan supportnya ya dengan cara vote dan komen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top