Bab 7|Batalkan Saja!
سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Bukan ujiannya yang membuat kita patah, namun harapan yang tumbuh dan hati yang bergantung pada makhluknya lah yang sering menghadirkan kecewa."
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Seusai menyelesaikan urusan pekerjaan, seorang perempuan bersiap-siap untuk pulang. Ia mencangklongkan Sling bag dan mendekap laptopnya kemudian beranjak dari tempat duduk. Ketika menuruni lantai satu, dia melihat satu manusia yang masih sibuk dengan urusan komputer. Jam sudah menunjukkan angka 17.30. Langit telah berubah jadi kemerah-merahan. Udara pun kini menjadi lebih sejuk.
"Mar, saya duluan, ya. Assalamu'alaikum," pamitnya.
Lelaki yang diajak bicara itu pun terinterupsi lalu menerbitkan senyum. "Iya, Mba Lily. Fii amanillah. Wa'aalaikumussalam," balasnya. Lily hanya mengangguk kemudian bergegas keluar. Di depan klinik, sudah ada sebuah mobil sedan putih yang sedang menunggunya. Ia langsung membuka pintu depan dan masuk.
"Yuk, Mas."
Sang sopir mengangguk lalu mengemudikan mobil dengan tenang.
"Kita singgah sebentar di Vilmut, ya," cetusnya sambil memperbaiki riasan yang agak berantakan.
"Ngapain?" ujar sang suami heran. Sebab jarang-jarang istrinya itu meminta berkunjung ke rumah bude-nya.
"Ada deh," ucapnya misterius sembari mengerling.
"Hmm, mulai main rahasia-rahasiaan nih," protes suaminya.
"Hehe, nanti juga Mas Amri tau," ujarnya tak berminat membocorkan hal tersebut ke suaminya.
Amri hanya pasrah dan mengikuti kemauan sang istri. Jika melanjutkan tanya, dia hanya akan mendapat dua kali lipat omelan dari perempuan itu.
Mobil meluncur mulus menuju salah satu perumahan elite yang ada di Mojokerto. Warna oranye berpendar mewarnai cakrawala. Menemani perjalanan dua insan sore itu.
Tak lama kemudian, rumah tujuan sudah terlihat. Sebuah rumah bergaya eropa yang tampak elegan. Seulas senyum tercetak di wajah ayu perempuan itu. Ia segera keluar dari mobil lalu menghampiri satpam.
"Mau ketemu bude Ria. Beliau ada?"
"Ohh, Mba Lily, toh. Masuk aja, Mba," ucap security saat mengetahui sang tamu itu adalah bagian dari keluarga tersebut.
Lily hanya tersenyum usil, kemudian menggandeng suaminya lalu masuk ke pekarangan yang luas. Lily langsung memencet bel dan menunggu si pemilik rumah tidak sabaran.
Pintu terbuka,"Eh, Lily?" sapa suara itu.
"Assalamu'alaikum, Bude." Lily tersenyum lantas mencium tangan Ria.
"Wa'alaikumussalam. Ayo sini masuk," ajaknya. Ia menggiring sepasang suami istri itu menuju ruang tamu.
"Gimana kabarnya, Bude?"
"Alhamdulillah, baik. Seperti yang kamu lihat sekarang. Kamu sama Amri gimana, sehat?" Ria balik bertanya.
"Alhamdulillah Lily sama Mas Amri juga baik dan sehat."
"Tumben kalian ke sini tidak ngabarin dulu? Kan gak ada persiapan buat menyambut kalian," ujar Ria sedikit cemberut.
"Oh iyaa kabar Daisy gimana? Sudah lama gak liat cucu Bude yang satu itu," ucap Ria dengan mata yang dipenuhi binar kerinduan.
"Hehe, maaf ya Bude. Lily berangkatnya dari klinik. Jadi gak sempat ke rumah, takut kemalaman."
"Iya nih Bude. Saya saja baru tau ide mendadaknya ini pas jemput dia," timpal Amri melirik istrinya yang kini menampilkan cengiran khas nya.
"Oh iya, Pakde sama A—"
"Mba Lily!"
Pekikan itu berhasil memotong ucapan Lily. Ia segera menoleh pada sumber suara. Ia tersenyum ketika melihat orang yang sedari tadi dicarinya itu telah muncul. Wajahnya cerah dan binar penasaran tercetak jelas di sana. Ia segera menghampiri Lily dan duduk di dekat ibunya.
"Panjang umur ni anak. Baru aja dicariin udah muncul, hehe," tukas Lily. Ia menampilkan senyum misterius yang membuat lawan bicaranya semakin tidak sabar.
"Mas Amri, Bude, boleh saya bicara berdua dengan Akas?"
"Oalah. Rupanya kamu punya perlu sama Akas, toh."
Lily tersenyum. "Iya, Mas. Maaf ya tadi gak berterus tadi, hehe."
"Ya udah sana. Gak pake lama ya," titahnya.
"Ly, jangan lama-lama ngobrolnya. Sekalian Bude juga mau bikin minuman," pesan Ria.
"Iya, Mas, Bude," jawab Lily sigap.
Kedua manusia beda jenis itu beranjak menuju teras belakang. Di sana sudah tersedia dua tempat duduk yang nyaman dan di depannya terdapat sebuah kolam. Suasananya asri dan sejuk. Dipenuhi tanaman hias hasil karya tangan ajaib Ria.
Lily dan Akas duduk bersebarangan dengan meja yang menjadi pembatas.
"Mba," kode Akas.
"Iya, Kas. Sabar dong, haha," ucap Lily gemas. Ia sengaja mengulur-ulur waktu.
"Gimana?" ucapnya terlihat tidak sabar.
"Mba tadi udah bicara face to face dan heart to heart. Meskipun hasilnya kurang memuaskan, tetapi Mba senang dia udah mau terbuka sedikit demi sedikit sama Mba."
"Sabar, ya," lanjutnya diiringi senyum kecut.
"Masih harus bersabar?" tanya Akas dengan wajah tampak putus asa.
Padahal tadinya aku sudah sangat optimis misi ini akan berhasil cepat. Hah!
"Anggap aja kamu sedang puasa. Menahan diri sementara hingga akhirnya Allah membukakan jalan untukmu dan untuknya."
"Tapi, Mba. Saya hanya ingin membawa perasaan saya ke jalan yang halal, tapi kok jadi rumit begini," kesah Akas.
"Akas, kamu lupa kalau setan tidak menyukai sebuah perbuatan yang baik? Menikah adalah salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah. Tentu saja ia tidak akan tinggal diam untuk tidak melencengkan niat kita. Ia akan menghalangi kita untuk berbuat ketataan dengan beragam cara. Baik dengan menunda-nunda maupun dengan cara tergesa-gesa. Setiap orang yang akan memasuki gerbang pernikahan pasti akan mengalami ujian ini. Pesan Mba, selalu dekatkan dirimu kepada Allah. Salat istikharah-lah agar pilihanmu tidak salah. Jangan lupa selalu berdoa agar diberikan kemudahan. Insyaallah, Mba akan membantu semampu Mba."
"Terima kasih atas nasihat dan bantuannya hari ini, Mba. Cuma Mba Lily nih yang bisa kuandalkan sekarang," ucap Akas dengan sorot mata sendu.
"Eh, kamu salah, Kas," koreksi Lily.
"Maksud Mba?" Kening Akas berkerut tak paham.
"Yang bisa kamu andalkan hanyalah Allah. Yang bisa kamu jadikan tumpuan hanya Allah. Berharaplah hanya kepada-Nya, jangan sama manusia kayak Mba. Oke?" pungkas Lily sembari berdiri bersiap kembali ke ruang tamu. Ia tersenyum penuh arti kepada Akas. Menyisipkan sedikit aura penyemangat di sana.
"Siap, Mba."
☀️
"Thia!"
Aksi mengendap-endapnya ambyar seketika. Langkahnya terhenti saat suara itu menahannya dengan paksa. Thia terdiam menunggu mamanya menghampiri. Gadis itu sengaja ingin menghindar. Enggan mengungkit kejadian kemarin. Namun, semesta rupanya tidak mendukung. Nyatanya, ia memang harus segera menuntaskan problemnya.
"Mama ingin bicara," ucap Nia seolah ingin menggiring putrinya kembali ke ruang tamu.
"Bisakah nanti malam saja, Ma?" pinta Thia agak keberatan.
"Thia mau bersih-bersih dulu."
Terlihat Nia seperti mengembuskan napas. Ia tidak boleh kecolongan anaknya lagi. Kemarin-kemarin dia memberikan kesempatan, namun rupanya Thia pandai berkelit untuk menghindari pembahasan.
"Gak bisa. Sebentar malam mama mau ke rumah bu Dian," kukuhnya.
Kini giliran Thia yang menghela napas. Sejujurnya ia suntuk dan ingin sekali memberi ruang untuk diri sendiri. Itulah mengapa ia tak ingin kepulangannya diketahui penghuni rumah. Tenaganya tak banyak untuk memberikan penjelasan. Dia takut, mamanya akan menuntut ini itu dan mendebatnya. Thia selalu menghindari perdebatan.
"Ya udah," luluh perempuan itu.
"Mama langsung to the point saja ya," ucapnya. Thia mengangguk. Berharap pembahasan tidak memanjang dan melebar.
"Sebenarnya kamu sudah siap nikah atau belum sih, Nak?"
Thia tertegun. Nada suara Nia melembut dan tambahan "Nak" di belakan kalimatnya membuat hati gadis itu bergetar. Lelahnya seolah-olah menguap saat itu juga. Ia kemudian memunduk. Meraba hatinya. Mencari jawaban yang sebenarnya.
"Insyaallah. Thia siap, Ma. Bukankah pernikahan memang lebih dianjurlkan agar kita bisa terhindar dari hal-hal yang dilarang agama?" jawabnya lugas.
"Kalau gitu kenapa kamu mesti kasih syarat yang aneh-aneh ke Akas dan mengulur-ulur waktu pernikahan dengan sikapmu yang seperti ini?!" Nia meninggikan volume suara membuat Thia seketika mengangkat kepalanya.
"Mental Thia yang belum siap, Ma," ujar Thia dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dia tidak akan pernah sanggup mendengar nada bentakan.
"Ya sudah. Batalkan saja! Sudah kepalang malu. Batalkan saja sekalian. Biar malunya tidak setengah-setengah," kesal Nia lantas berdiri dan beranjak pergi.
Gadis itu terkejut. Thia yang syok atas keputusan mamanya menatap kepergian wanita paruh baya itu dengan pandangan tidak percaya. Otaknya terlalu sesak untuk memasukkan dan mencernanya dalam kepala. Hatinya pun memberontak untuk menolak. Tidak. Ini bukanlah keinginannya.
Aku hanya butuh waktu, batin Thia. Lalu setetes air mata mencelus dari peraduannya.
☀️
Jangan lupa berikan support terbaiknya🤗
Vote + comen + share
Semoga bermanfaat^^
Salam ukhuwah^^
im_nisaa
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top