Bab 6|Pendekatan
سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,"
(QS Al-Baqarah: 216)
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Kejadian kemarin masih membekas dan senantiasa terbayang di pikiran Akas. Mungkin tak seharusnya dia memikirkan perempuan itu, tetapi dia tidak mampu mengenyahkan sosok Thia di kepalanya. Hari ini dia memutuskan untuk mengunjungi klinik. Selain demi mejalankan misi baru, dia juga berencana menemui sahabat lamanya.
Akas memarkirkan mobilnya lantas turun dan masuk ke klinik. Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Ruangan serba putih itu pun telah ramai. Disaat membuka pintu, matanya sungguh tak bisa ditahan untuk tidak melirik pada meja resepsionis. Sekilas pandangan mereka bertemu. Namun buru-buru perempuan itu menundukkan kepala. Akas menghela napas lantas berlalu menghampiri Amar yang tampak sedang istirahat.
"Assalamu'alaikum, Bro."
"Wa'alaikumussalam. Eh, Akas. Apa kabar?"
Kedua lelaki itu saling bersalaman lalu duduk kembali. Mereka berbasa-basi saling menanyai kabar dan perkembangan pekerjaan. Keduanya memang cukup dekat, namun jarang bertemu akibat kesibukan masing-masing.
"Tumben tidak langsung naik ke ruangan Pak Altar?" cetus Amar.
"Soalnya lagi gak ada urusan sama ruangan itu, haha," jawabnya sembari tertawa. Dahi Amar mengkerut.
"Lantas?"
Akas mengembuskan napas panjang. Memperbaiki posisinya sambil sesekali sudut matanya melirik Thia. Perempuan itu tampak salah tingkah karena kehadiran Akas. Tidak leluasa. Ditambah sosok Aza di sampingnya yang tak berhenti melirik Akas.
"Gue punya maksud lain ke sini. Tapi ya gitu, cuma pengin liat-liat situasi aja."
"Situasi atau seseorang nih?" ledek Amar.
"Dua-duanya, haha" ucapnya lalu diiringi tawa.
Entah benar lucu atau sekadar mencairkan suasana. Tawa Akas terasa ambigu. Rasanya ingin sekali menyamperi perempuan berjilbab merah marun itu. Ingin berbicara berdua dengan leluasa. Namun, ada yang menahannya begitu kuat di sini.
"Kas, btw, lo belum punya niatan menikah?"
Akas terkejut. Tidak menyangka dengan pertanyaan Amar.
"Kenapa memangnya?"
"Ya, gue rasa lo udah pantas aja buat nikah. Usia mantap, penghasilan oke, penampilan juga semakin gemilang," ucap Amar terlihat serius.
"Ah, lo melebih-lebihkan amat sih, Mar."
"Ya, alhamdulillah. Terlepas dari semua omongan lo tadi, gue sementara ini sudah mengkhitbah perempuan," terangnya.
Amar tampak terkejut.
"Serius, Kas?"
Akas mengangguk.
"Masyaallah. Kirain lo masih betah menjomlo, haha," ledek Amar membuat Akas mendengus malas.
"Ya gini-gini gua juga butuh pendamping hidup kali. Sendiri itu ternyata gak enak, Mar. Buruan nyusul gue," tukas Akas.
"In syaa Allah, sebentar gue nyusul kalo udah waktunya istirahat."
"Hah? Lo serius?"
"Iyaa, nyusul ke kafe buat makan kan?"
Akas menepuk jidatnya. Sepertinya dia terlalu polos sehingga tidak sadar sedang dijaili temannya itu. Keduanya lantas tertawa, menyadari kerandoman pembahasan yang unfaedah tersebut.
Tanpa sepengetahuan lelaki itu, Thia kembali membidikkan matanya pada sosok pria jangkung yang sudah menyambangi rumahnya kemarin. Rasa penasaran akan kedatangan Akas yang mendadak membuatnya tak bisa tenang.
"Gimana kabar terbaru dari Mas Akas? Sudah dapat ACC?" bisik Aza membuat Thia membeku. Dia lupa kalau sewaktu-waktu sahabatnya itu akan meminta kepastian. Thia menggeleng pelan. Dia merasa lemas seketika.
"Huftt. Sudah kubilang kan, idemu itu konyol. Jadi, gak mungkin diterima," ketus Aza sambil memalingkan wajah.
"Kita bicarakan lagi nanti ya, Za. Aku mau ke ruangan Mba Lily," ucap Thia tanpa selera. Seujurnya dia pun sudah malas membahas masalah itu.
"Hmm," gumam Aza.
Thia pun berlalu dengan gerakan cepat menuju lantai dua. Dia ditugaskan oleh atasannya itu untuk merekap pengeluaran dan pemasukan selama sebulan. Seharusnya itu sudah menjadi tugas staff keuangan, namun karena alasan sibuk, ia jadi membebankannya kepada orang lain.
"Berkasnya mana, Mba?" tanya Thia setelah duduk dan membuka laptop.
"Itu di rak paling atas warna biru. Kesinikan aja semua," pinta wanita beranak satu itu tanpa mengalihkan perhatian dari komputer.
Thia menurut dan mengerjakan perintah Lily tanpa komentar. Namun, ketika ia sudah tenggelam dengan angka-angka tersebut, atasannya itu tiba-tiba bercetus.
"Thia, gimana lamarannya? Lancar?"
Tentu saja Thia terkejut. Sebab, tidak pernah sekalipun dia mengumbar berita itu kecuali pada Aza. Namun, rasanya tidak mungkin jika sahabatnya itu menyebarkan hal-hal yang belum sepatutnya diketahui publik.
Hawa panas dengan cepat menjalari tengkuk Thia. Ia menelan saliva, gugup.
"Em ... maaf Mba. Maksud Mba Lily apa?" cicit Thia pelan dan ragu.
"Oh, itu, lamaran pernikahan maksud saya. Kamu sudah dikhitbah Akas kan?" tanyanya memastikan.
Perasaan Thia semakin tidak enak. Dadanya berdebar kuat. Ia mulai menggigit bibir pertanda sedang berpikir keras. Ia ingin menghindar, tetapi kalimat apapun tidak ada yang muncul diotaknya. Lumpuh.
"Maaf, Mba tau dari mana?"
"Dari seseorang yang tidak ingin disebutkan namanya," jawabnya membuat otak Thia bergerak liar dan mau tak mau memunculkan pikiran negatif. Segala hal dikaitkan lalu disimpulkannya sendiri.
Aza!
Nama itu terngiang di telinganya membuat rasa geram tidak bisa ditahan.
"Maaf, tapi saya tidak bisa mengatakannya sama Mba Lily," cetusnya berusaha abai. Dia hanya ingin menyelesaikan tugas itu lalu pergi.
"Kenapa?" tanya perempuan itu tampak belum puas.
"Karena merahasiakan lamaran itu lebih dianjurkan daripada mengumbarnya, Mba," jawab Thia lugas. Lily tampak mengangguk.
"Jadi apakah meminta pendapat atau saran dari orang lain untuk memantapkan pilihan juga dilarang?"
"Kalau menurut saya tidak apa-apa yang penting orang tersebut orang yang paham ilmu pernikahan dan tidak ada hubungan apapun dengan si pelamar agar kita bisa terhindar dari munculnya sifat iri hati dan dengki."
"Kamu sendiri sudah meminta pendapat dan sudah mantap dengan pilihanmu?"
Thia terdiam. Merasa tertampar. Terkadang manusia pandai menasihati, akan tetapi ia lalai dari nasihatnya sendiri.
"In syaa Allah, Mba," ucapnya ambigu.
"Thia. Manusia itu makhluk sosial dalam artian kita tidak dapat hidup sendiri. Sebab kita tak hanya dituntut membantu, tetapi juga dibantu. Kekuatan kita terbatas, makanya kita butuh oranglain untuk membantu kita. Seperti saya yang meminta bantuan kepadamu untuk menghendel buku kas. Begitu juga ketika kamu mengalami kebuntuan pada suatu masalah, kamu tidak bisa menanganinya seorang diri dan butuh masukan dari orang lain."
Thia tertunduk. Merasa tertohok dengan kalimat-kalimat itu. Selama ini ia selalu memendam dan memecahkan masalahnya sendiri. Dia memiliki sahabat, tempat berbagi segala keluh dan kesah. Namun ia tak pernah berani bercerita dengan dalih tak ingin membebani orang lain.
"Mba perhatikan, akhir-akhir ini kamu banyak diam dan keliatan murung. Tidak semangat seperti biasanya. Tentu Mba tau ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Ngomong-ngomong soal lamaran. Apakah karena itu?"
"Sebelumnya, saya perlu tahu dari mana Mba tahu soal itu?" tanyanya.
"Maaf Thia, tetapi Mba tidak bisa mengatakannya."
"Kalau begitu, saya juga tidak bisa mengatakannya kepada Mba Lily," kukuhnya.
Lily mengesah keras. Harus dengan cara apa ia membujuk perempuan itu. Ia mengerti perasaan Thia yang tak bisa mengatakannya. Namun dia juga tidak mungkin mengingkari janjinya sendiri.
"Gini deh, Mba kasih saran aja ya sebagai orang yang sudah pernah dilamar."
"Pernikahan itu adalah tentang bersatunya dua manusia yaitu laki-laki dan perempuan yang sebelumnya haram menjadi suci dengan ijab qabul. Ingat! Dua manusia ya, bukan tiga atau empat," tekannya lalu melirik Thia yang masih setia menatap laptop dengan pandangan kosong.
"Lalu jika ada seorang lelaki yang mendatangimu dan kamu tahu ia salih, agama serta akhlaknya baik, maka tidak ada keraguan untuk menerimanya. Menurut Mba ya, Akas itu sudah memenuhi kriteria tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri jika kita masih bisa menolak. Itulah pentingnya salat istikharah."
Thia mengembuskan napas. "Iya, Mba Lily benar."
"Kalau menurut kamu Akas itu gimana?" Pertanyaan tak terduga. Thia tertegun.
"Ya, seperti yang Mba bilang tadi. Di ... dia agama dan akhlaknya baik. Ibadah dan pergaulannya juga terjaga," jawab Thia.
"Nah, berarti sudah gak ada keraguan, kan? Sudah salat istikharah juga?"
"Iya, Mba."
"Syukurlah. Oh iya, saya mau tanya lagi nih." Kepala Thia langsung menoleh ke arah perempuan itu. Menunggu lontaran selanjutnya. Menebak-nebak pertanyaan yang akan muncul.
"Bagaimana menurutmu poligami itu?"
Persendian Thia melemas. Rasa-rasanya Mba Lily sedang menginterogasinya alih-alih menyuruhnya merekap buku kas. Semua pertanyaan dan nasihat wanita itu selalu tepat sasaran. Mengenai ulu hatinya. Menamparnya habis-habisan.
"Poligami itu dibolehkan, Mba. Sudah jelas tercatat di Al-Qur'an," ucapnya berusaha untuk tenang.
"Jadi, kamu setuju kalau misalnya suamimu nanti ingin berpoligami?" tuntut Lily.
Thia menggeleng pelan.
"Benar Thia. Kayaknya gak ada ya wanita yang ingin diduakan. Meskipun lelaki bilang bisa adil, tetapi menurut kita dia tidak akan pernah bisa berbuat adil. Karena sifat perempuan yang ingin selalu dinomorsatukan."
"Tapi ada juga nih fenomena dimana sang istri meminta suaminya menikah lagi, padahal suaminya itu tidak mau berpoligami."
Rupanya Lily sangat bersemangat untuk bertukar pendapat dengan Thia hari ini.
"Bahkan nih ada beberapa video viral yang beredar dimana lelaki menikahi dua perempuan sekaligus! Gimana yaa, agak anomali gitu."
Thia tertampar untuk yang kesekian kalinya. Hatinya tertohok. Ia merasa tersindir dengan penyataan terakhir dari mba Lily. Ia menduga sepertinya wanita itu mengetahui seluk beluk problematika lamarannya dan sengaja menyindir-nyindir dan memberinya beragam pertanyaan. Semua terdengar masuk akal. Aza pasti telah menceritakan semuanya pada wanita itu. Perasaan Thia semakin keruh, namun dia berusaha tetap terlihat tenang.
"Semua fenomena yang Mba sebutkan tadi terjadi bukan tanpa alasan. Kita tidak pernah tau isi hati orang, Mba," ucap Thia dengan suara bergetar.
"Mba tau Thia, tentu mereka punya alasannya sendiri-sendiri. Entah itu masuk akal atau tidak. Hanya saja sebelum bertindak ada baiknya kita berpikir terlebih dahulu. Misalnya memikirkan dampak baik dan buruknya. Bukan hanya kepada kita, tetapi kepada orang lain. Bukan hanya dampak di dunia tapi juga di akhirat."
Semua perkataan mba Lily benar. Wanita yang setau Thia dari keluarga yang agamais itu terlihat anggun dan dengan busana semi syar'i-nya. Terlihat berwibawa dengan semua pemikiran dan perkataannya yang berbobot. Thia merasa malu dengan dirinya sendiri. Dengan semua keterbatasannya yang dipaksa untuk terlihat maksimal. Merasa pilihannya yang terbaik, namun belum tentu baik menurut orang lain.
"Mba. Sejujurnya ..." Thia berniat untuk mengatakan isi hatinya yang terpendam selama ini.
Sekonyong-konyong, perhatian Lily langsung berpusat pada perempuan itu. Menunggu kalimat selanjutnya dengan tatapan tanpa kedip.
"Saya sedang dilema," tuturnya.
"Hmm. Ayo lanjutkan," pinta Lily melihat Thia kembali diam.
"Disatu sisi saya tidak ingin mengecewakan orang lain, namun di sisi lain saya malah mengecewakan yang lainnya lagi. Saya sudah memiliki keputusan, tetapi saya sendiri pun masih bingung dengan keputusan itu apakah baik atau tidak."
Gotcha!
Lily bersorak dalam hati. Ia tersenyum tipis. Usahanya untuk membuat gadis itu bercerita tidak sia-sia. Ah, setelah ini dia akan segera menemui orang itu.
"Hei. Look at me!" titah Lily. Thia pun dengan otomatis mengangkat wajahnya dan menatap atasannya itu, patuh.
"Kecewa dan mengecewakan itu hal yang wajar. Seba kita manusia yang memiliki hati dan perasaan. Kita bisa kecewa karena memiliki harapan terhadap sesuatu. Dan ketika kita tidak mendapatkannya maka rasa itu akan hadir. Namun, yang menjadi point pentingnya adalah tidak semua yang kita inginkan akan didapatkan. Oleh karena itu setiap manusia harus siap untuk kecewa. Dan kita pun tidak bisa mengelak untuk tidak mengecewakan orang lain."
"Critical point yang Mba cermati adalah kamu merasa bertanggungjawab atas kekecewaan orang lain. Betul?"
Walau masih ragu dengan asumsi itu, Thia hanya mengangguk pelan.
Lily menjentikkan jari, merasa mendapatkan titik penting dari permasalahan gadis itu.
"Thia. Manusia memang makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Namun, bukan berarti kamu juga bertanggung jawab atas semua yang terjadi di sekitarmu. Misalnya sahabatmu sedih atau kecewa, lalu kamu merasa dirimulah yang bertanggung jawab untuk membuatnya bahagia. Tidak Sayang. Perasaan dan pikiran orang lain itu di luar kendalimu. Saat kamu merasa terbebani dan ingin melakukan yang terbaik, mungkin itu suatu bentuk kasih sayang dan kepedulianmu kepadanya. Namun, bukan berarti kamu harus menyakiti dan membebani dirimu sendiri dengan berbagai pemikiran di luar kendalimu."
"Jika kamu ingin dia bahagia dengan membuat keputusan yang menurutmu terbaik. Apa kau yakin dirimu atau orang di sekitarmu juga bahagia?"
Thia menggeleng lemah. Dia tak mampu lagi berkata-kata.
"Betul, Thia. Jadi yang harus kamu prioritaskan bukan orang lain, melainkan dirimu sendiri yang terlebih dahulu kau bahagiakan. Karena, setiap orang itu pasti akan mengusahakan jalan bahagianya masing-masing."
"Jangan menzalimi diri sendiri, Thia. Bukan fisikmu yang sakit, namun batinmu lah yang terluka. Mulai sekarang cobalah lebih memprioritaskan kebahagiaanmu sendiri. Kamu bukan alat pembahagia orang lain. Jadilah dirimu sendiri," pungkas Lily mengakhiri nasihat panjangnya.
"Terima kasih atas nasihat berharganya, Mba," ucap Thia tulus.
Lily tersenyum. "Jangan sungkan untuk berbagi sama Mba. In syaa Allah saya akan memberikan bantuan sesuai kesanggupan."
"Boleh saya peluk Mba?" tanya Thia dengan mata berkaca-kaca dipenuhi haru. Lily merekahkan senyumnya dan mengangguk. Mereka pun berpelukan saling menyalurkan kasih sayang. Beberap kali Thia mengerjap menahan air matanya agar tidak jatuh. Perasaannya disesaki rasa haru. Dia bersyukur bertemu Lily hari ini.
Tanpa keduanya ketahui, diam-diam di luar ruangan seseorang tengah menguping pembicaraan mereka. Walau tidak semua ia dengar, namun hatinya menghangat dan perasaannya lega. Ia pun tersenyum lalu beranjak turun.
☀️
Orang itu. Siapakah dia? Ada yg bisa menebak?
Masih pada semangat mengikuti kisah Thia, Aza, dan Akas, gak?
Harus semangat yaa, biar authornya juga selalu semangat melanjutkan kisah mereka.
Salam ukhuwah^^
im_nisaa
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top