Bab 5|Permintaan

سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Mementingkan orang lain dan mementingkan diri sendiri adalah dua hal yang sama-sama tidak baik. Jika dilakukan secara berlebihan."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

Astagfirullahal'adzim

Astagfirullahal'adzim

Astagfirullahal'adzim

Sudah hampir sepuluh menit gadis bermukena putih itu statis. Masih dengan posisi awalnya. Duduk di atas sajadah, memejamkan mata dengan bibir yang terus melafalkan istigfar. Menyesali apapun yang pernah terlontar dari mulutnya. Memohon ampunan atas kelalaian yang pernah dibuat. Ya, Thia mengakui. Gadis itu menyesal. Ia menyesal sudah mengatakan hal-hal tak masuk akal itu tempo hari. Seperti kata peribahasa, "mulutmu harimaumu" berarti segala perkataan yang terlanjur dikeluarkan apabila tidak dipikirkan dahulu akan dapat merugikan diri sendiri atau orang lain. Kini ia harus menanggung rasa bersalah yang semakin membesar. Diserbu asumsi liar seolah semesta tak mendukung. Ia benar-benar berada di jalan buntu. Hendak maju ataupun mundur tetap akan menemui kehancuran.

Thia semakin mempercepat tempo pelafalan istigfar. Seiring pikiran-pikiran berlebihan yang kembali menyerbunya. Jari-jemarinya pun tak ketinggalan, dengan cepat menggulir butiran tasbih yang melingkari tangannya. Namun semakin dihalau, pikiran itu semakin gencar menyerangnya.

Arrgghhh

Tok tok tok

"Thiaa."

Sontak gadis itu membuka mata. Bibirnya terkatup dan jemarinya berhenti menggulir tasbih. Suara Nia berhasil memecah fokusnya. Thia mengusap wajahnya kasar sebelum bangkit menghampiri mamanya di balik pintu.

"Kenapa, Ma?" Dahi Thia mengerut ketika melihat senyuman yang merekah dari wajah mamanya.

"Keluarga Akas udah datang. Turun, gih."

Thia tertegun. Dia baru ingat. Hari ini jawabannya akan ditagih. Akas dan keluarga besarnya pasti sangat menantikan momen ini. Hatinya meragu, apakah bisa memberikan jawaban terbaik atau tidak. Sedangkan ia belum selesai berdamai dengan batinnya.

"Thia! Kok malah bengong. Buruan ganti baju terus turun. Mama tunggu di bawah ya," titah Nia tak bisa dibantah. Thia yang sudah mengembalikan kesadarannya mengangguk lalu menutup kembali pintu dan melepaskan mukena. Dia bergegas menuju cermin dan melihat pantulan dirinya di sana. Memegang dada yang berdebar dengan sorot mata sendu.

Bismillah. Semoga ini yang terbaik.

Thia terus menyugesti dirinya dengan kalimat itu sembari berpakaian yang layak. Tak lama kemudian, dia turun dan menyusul keluarganya yang tengah berkumpul di ruang tamu. Rasa takut, gerogi, dan segala macam rasa tak enak menyambanginya saat itu. Panas dingin serta debaran kuat di dadanya membuat Thia langsung mendudukkan diri di dekat Nia, menggenggam tangan mamanya lalu menunduk dalam. Tak sanggup melihat wajah-wajah di hadapannya kini.

"Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga," sambut sebuah suara yang diyakini adalah papanya Akas. Thia menggigit bibir bawahnya dan terus mengatur pernapasan agar rasa gugupnya hilang.

"Nak Thia, setelah kami memberikan waktu untuk memantapkan hati dan niat. Kini kami kembali untuk meminta jawaban dan penjelasan dari Thia sendiri. Boleh kami dengar?"

Ah, mengapa suara calon mertuanya begitu lembut. Membuat perasaan Thia semakin sesak saja. Tak tega menyuarakan isi kepalanya. Sekali lagi, ia memejamkan mata dan menghirup udara lalu mengembuskannya perlahan.

"Sebelumnya, boleh saya meminta pendapat Mas Akas?"

Semua orang saling memandang. Bertanya-tanya apa isi kepala gadis pilihan Akas itu.

"Boleh."

Thia mengembuskan napas lega.

Bismillah.

"Bagaimana menurut Mas Akas jika ada orang lain yang mencintai Mas Akas selain saya?" tanya Thia sambil terus menundukkan kepala.

"Khm." Pria itu berdeham tampak terkejut dan sedikit salah tingkah.

"Jika ada, maka itu adalah haknya dan saya tidak memiliki kuasa untuk melarangnya. Sebab mencintai adalah naluri setiap manusia. Namun, apabila dia sudah berlebihan dan melewati batas seperti ingin menggagalkan niat baik saya untuk mengkhitbah kamu, maka hal itu tentu akan ditindaklanjuti."

Thia menahan napas sesaat ketika mendengar jawaban Akas kemudian mengangguk paham.

"Bagaimana bila dia juga ingin menikah dengan Mas Akas?" sekuat hati, Thia menyampaikan pertanyaan itu. Ribuan sesak melandanya dalam sekejap. Rasanya tidak ingin melanjutkan pembicaraan dan langsung saja mengatakan "iya" atas lamaran Akas, namun hati kecilnya memberontak. Mengingatkan tentang sosok Aza yang perlahan menjauhinya.

"Tentu saja saya akan menolaknya. Tidak mungkin saya memberinya peluang ketika saya telah mengkhitbah perempuan lain," jawabnya lugas.

Thia terkesiap. Jawaban yang membuat ekspektasinya patah seketika.

Tenang, Thia. Tenang. Kamu belum memberikan pertanyaan terakhir.

Dia terus menenangkan hatinya dan terpejam sembari memilih kalimat yang bisa segera mengeluarkannya dari labirin menyesakkan itu. Thia kembali menggigit bibir menahan gejolak di dadanya. Sebulir air mata berhasil merembes tatkala perasaan gadis itu mencapai klimaks.

"Bagaimana jika saya meminta kepada Mas Akas untuk menikahi saya dan ... dan ... juga perempuan itu." Runtuh sudah pertahanan gadis itu. Ia membiarkan air mata merembes dengan leluasa. Hatinya sesak tiada tara. Ingin rasanya ia menghilang saja dari bumi. Tak sanggup dan tak ingin mendengar suara selanjutnya. Pasti semua kontra terhadapnya. Apalah daya, dia hanya gadis biasa yang lebih mengedepankan perasaan. Tanpa memungsikan logika yang menentang keras pilihannya dari awal.

"Thia!" Nia langsung menjerit mendengar permintaan bodoh itu. Sedangkan yang lain  saling berpandangan dan menatap Thia heran. Akas terlihat syok dan hanya mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Mencerna perkataan Thia yang terasa tabu.

"Saya menerima lamaran Mas Akas dengan syarat Mas Akas juga harus setuju menikahi perempuan itu." Dengan sekali tarikan napas, Thia melontarkan kalimat itu. Tak perduli lagi pandangan orang lain terhadapnya. Terlebih Nia yang nyaris menelannya hidup-hidup.

"Thia berhenti!" Nia kembali berteriak ketika putri satu-satunya itu berdiri dan pergi begitu saja memasuki kamar. Semua orang tampak syok dan tidak menduga permintaan Thia yang anti mainstream itu. Akas bahkan terlihat lemas menatap kepergian Thia. Akankah impiannya untuk menikahi gadis itu harus sirna?

☀️

Wajah Nia tampak garang menatap pintu kamar putrinya yang tertutup rapat. Ia kesal, marah dan kecewa. Anak yang dia bangga-banggakan kini mempermalukannya di depan calon besan.

Bisa-bisanya anak itu meminta hal gila, batin Nia geram. Sedangkan Wijaya yang berada di sebelahnya pun tampak berusaha memahami jalan pikiran anaknya.

"Yah, gimana ini? Imej kita di mata keluarga Pak Altar pasti sudah buruk. Ulah Thia, nih!" kecam Nia masih dengan wajah kesalnya.

"Bisa-bisanya anak itu memberi persayaratan konyol. Benar-benar sudah gi—"

"Ma!" Nia terkejut saat Wijaya menegurnya.

"Anak sendiri malah dikatain seperti itu."

"Harusnya kamu itu melakukan pendekatan sama anakmu. Bukannya malah mencerca dan melimpahkan kekesalan padanya. Dia pasti punya alasan mengapa mengatakan hal seperti itu. Andaikan kamu bisa lebih dekat dan peka dengan perasaannya, kita tidak akan pernah berada pada situasi ini," jelas Wijaya menyalahkan istrinya.

"Mama dekat kok sama Thia. Thianya aja yang tertutup dan enggan berbagi sama Mama. Kalau Mama bertanya, dia pasti jawab sekadarnya saja," gerutu Nia lagi membela dirinya. Wijaya mengusap wajah gusar lalu beranjak menjauhi istrinya. Jika dibalas, perdebatan mereka tidak akan ada ujungnya.

"Hah! Thia, Thia." Nia menghela napas lelah lantas menyusul suaminya menuju kamar.

Thia masih terisak sejak pintu itu tertutup rapat. Ia mengeluarkan segala beban di hatinya. Ia menyesali dan merutuki semua sikapnya. Ia benci dengan dirinya sendiri. Benci dengan kelemahan yang dimiliki. Tak ada yang pantas disalahkan kecuali dirinya. Semua kerumitan itu diciptakan olehnya. Harusnya semua berjalan mulus dan sesuai rencana, jika saja ia tak terlalu mendewakan rasa bersalahnya.

Rasanya ingin berteriak sekeras-kerasnya. Melenyapkan segala pikiran yang ada di kepala dan sesak di hatinya. Dia lelah. Lelah harus bersikap peduli. Terlebih kepada sahabatnya. Sesekali saja ia ingin melupakan sosok Aza.

Sulit.

Thia memejamkan mata. Ia terisak pelan. Meredam semua pikiran bodoh itu. Terlintas hakikat pernikahan di kepalanya. Sebuah ikatan yang sakral. Pernikahan bukanlah persoalan sepele, tetapi persoalan penting. Ada amanah dan tanggung jawab yang besar. Ada tujuan yang akan dicapai. Bukan hanya sekadar pelepas nafsu dan pengubah status. Bukan pula permainan yang bisa seenaknya nikah lalu berpisah. Tetapi, lebih daripada itu. Pernikahan adalah bentuk ibadah dan ketakwaan manusia kepada Allah. Yang tidak bisa disepelekan dan sebisa mungkin harus dijaga dari keretakan.

Thia mengetuk-ngetukkan kepalanya di sandaran kasur. Desperate. Ia tak bisa berpikir jernih saat ini. Sekadar memikirkan kelanjutan kisah lamarannya pun tak mampu.

Dilain tempat, seorang lelaki tengah menyanggah dagu dengan tangan yang saling bertaut. Terdiam memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu.

Thia. Satu nama yang masih setia menari di kepalanya. Perempuan yang berhasil menyita perhatiannya dalam sekejap. Membuatnya syok dan nyaris tak bisa berkata-kata.

Bagaimana bisa? Pikirnya.

Ahh. Akas mengesah lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. Matanya terpejam lalu dua jari tangannya terangkat memijat pelan pangkal hidungnya.

"Kas, Ibu tidak habis pikir dengan calon istrimu. Bisa-bisanya ya dia memberi syarat seperti itu." Suara itu langsung memenuhi indera pendengar Akas.

"Akas juga, Bu. Thia mendadak jadi orang berbeda. Seperti bukan dirinya," ucap Akas menatap di sebelah kanannya dan sudah mendapati kedua orangtuanya berada di sana.

"Jadi gimana keputusanmu?"

"Kalau menurut Ibu sih, tidak usah dilanjutkan. Toh masih banyak perempuan yang lebih baik dan tidak memberi syarat yang neko-neko," sambungnya.

"Menurut Ayah bagaimana?" tanya Akas pada ayahnya yang masih tampak berpikir juga.

"Ayah sih tidak masalah, kamu mau menikahi satu, dua, atau tiga perempuan. Yang penting niatmu benar, mampu dan bisa berlaku adil. Kalau tidak mampu, ya jangan coba-coba," tutur ayah Akas serius.

"Ayah cuma menyayangkan sikap Thia yang seolah tidak dewasa dalam memutuskan suatu perkara dan terkesan serampangan. Apatah lagi ini menyangkut pernikahan. Hal krusial dalam ibadah dan kehidupan. Memilih calon pendamping bukanlah ajang permainan yang bisa ditentukan sesuka hati. Namun kita harus selektif dalam memilih, karena kelak darinyalah generasi rabbani dan qur'ani akan terlahir. Darinya pula lah yang akan menjadi penentu baik buruknya suatu negara"

"Jika memang Thia memiliki perkara dengan perempuan yang disebutnya tadi, seharusnya dia lebih memilih keputusan yang paling sedikit mudaratnya. Namun, isi hati dan pikiran orang siapa yang tahu. Boleh jadi dia sedang berperang melawan dirinya sendiri dan kalah, sehingga mengakibatkan dia mengatakan hal seperti itu. Kita tidak bisa menghakimi dan mengecapnya terlalu cepat. Kalau kamu masih mau menunggu, berilah waktu perempuan itu untuk memenangkan pertarungannya. Jika kamu memang yakin bahwa Thia adalah calon pendamping terbaik untukmu, bantu ia menemukan jawaban yang tepat."

Akas mencerna semua nasihat dari ayahnya. Benar. Bahwasanya kita tidak boleh terlalu cepat menjustifikasi seseorang tanpa melihat motifnya dan mencari tahu lebih dalam. Akas bersyukur memiliki Altar sebagai ayahnya. Lelaki itu selalu mampu memberikan solusi terbaik dengan kepala yang dingin. Kini dia sudah tidak terlalu pusing memikirkan jalan keluar. Nyaris saja dia menelan bulat-bulat permintaan Thia karena lebih mengedepankan rasa.

Thia, tunggu kedatanganku lagi.

☀️

Cuma mau mengucapkan selamat membatalkan puasa🤭

Jangan lupa vote, komen, dan share ya

“Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al-An'am ayat 160).

Salam ukhuwah^^
im_nisaa

To be continued ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top